Dinamika Dakwah Islam Di Kesultanan Ternate

Sebelum menjadi kesultanan, Ternate merupakan sebuah kerajaan yang berdiri pada abad 13 M dan memeluk semacam agama syamanisme. Ternate bersama Tidore, Bacan dan Jailolo adalah empat kerajaan bersaudara yang berasal dari keturunan yang sama. Kerajaan Ternate didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kerajaan ini memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad 13 hingga abad 17 M. Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya, kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah; bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Lautan Pasifik.

 

Membangun Masyarakat Islami

Raja Ternate pertama yang bergelar sultan adalah Zainal Abidin (memerintah 1486-1500). Sejak saat itu, Ternate secara resmi menjadi kesultanan Islam. Zainal Abidin sempat belajar Islam di Giri Jawa Timur. Sekembalinya ke Ternate, ia mengukuhkan Islam dengan memasukkannya dalam struktur politik, kemudian berusaha memperluas dan menanamkan ajaran Islam melalui pendidikan. Ia membuka sekolah dengan mengangkat guru-guru agama dari Jawa. Ia juga mewajibkan para pegawai daerah untuk mempelajari syariat Islam di Ternate.

Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin, Ternate mengalami kemajuan yang pesat bukan hanya di bidang keagamaan, melainkan juga di bidang ekonomi. Perdagangan yang dijalankan oleh orang-orang Ternate, Jawa, dan Melayu menjadi lebih ramai dengan datangnya orang-orang Arab. Kemajuan yang dialami oleh Ternate sempat menimbulkan iri hati kerajaan-kerajaan sekelilingnya. (Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5, hlm. 99)

 

Memperadabkan Ternate

Setelah Sultan Zainal Abidin meninggal, Bayanullah naik menjadi sultan kedua Ternate (1500-1522). Di kalangan orang Barat, ia dikenal dengan nama Abu Lais atau Sultan Boleif. Ia adalah tokoh yang dipandang sangat pandai, terpelajar, ksatria dan pedagang ulung. Ludovido di Varthema, dalam sebuah lukisan yang dibuatnya semasa Bayanullah, melukiskan Sultan Ternate itu sebagai “seorang pria terhormat dari kota Roma”.

Sultan Bayanullah menyadari segi-segi negatif keadaan kawulanya. Sebagai seorang terpelajar dan terhormat, ia mempunyai keinginan besar untuk memperbaikinya. Pada masa pemerintahannya, sejumlah peraturan yang bertujuan memantapkan syariat Islam dan meningkatkan peradaban bagi kawula kesultanan dikeluarkan. Ada dua tindakan Sultan Bayanullah yang layak dicatat.

Pertama, Kesultanan Ternate menyatakan berlakunya hukum perkawinan Islam bagi seluruh kawula kesultanan yang beragama Islam. Sultan Bayanullah melakukan pembatasan poligami. Pada masa itu, rakyat Maluku utara baik yang sudah beragama maupun belum, seperti yang dikeluhkan oleh seorang misionaris Katholik, Franciscus Xaverius, tidak dapat hidup tanpa poligami. Kemungkinan tidak ada batasan jumlah wanita yang dipoligami. Sultan Bayanullah pun mengeluarkan sejumlah persyaratan berat, sehingga secara formal hampir tidak ada celah lagi yang dapat membawa seseorang untuk berpoligami.

Selain itu, Sultan Bayanullah juga melarang praktek pergundikan yang marak pada zaman tersebut, terutama di kalangan para bobato (sebutan pemimpin level bawah di Ternate). Ada bobato yang memelihara gundik hingga puluhan orang. Sultan Bayanullah membuat peraturan bahwa bobato yang memelihara gundik tanpa persetujuannya akan dipecat.

Peraturan lain yang ditegakkan oleh Sultan Bayanullah adalah memangkas biaya dan peningset dalam perkawinan yang memberatkan dan berlebihan. Sultan menerapkan syarat ijab kabul perkawinan, baik hal itu dilakukan secara Islam maupun adat.     

Kedua, semua kawula kesultanan, tanpa pandang bulu –baik Muslim maupun bukan— harus berpakaian secara Islami. Sultan Bayanullah melarang laki-laki memakai cawat, dan perempuan harus memakai pakaian yang menutup auratnya.

Kebijakan Sultan Bayanullah lainnya yang menyangkut Islam adalah peraturannya yang menentukan bahwa untuk diangkat dalam jabatan bobato, baik di pusat maupun daerah, seseorang harus beragama Islam. Dengan peraturan ini, hampir semua bobato kerajaan adalah Muslim. Dengan demikian, melalui pengaruh para bobato, rakyat Maluku didorong untuk memeluk Islam.

Setelah Zainal Abidin, Bayanullah dapat dipandang sebagai tokoh paling berjasa dalam penyebaran agama Islam, khususnya di wilayah Kesultanan Ternate. Di samping itu, Bayanullah merupakan sultan yang paling penting jasanya dalam penerapan prinsip-prinsip Islam ke dalam struktur dan lembaga-lembaga Kesultanan Ternate. Ia juga sukses mengeluarkan rakyatnya dari kesyirikan menuju tauhid. (M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah, hlm. 66-68)

 

Menghadapi Kristenisasi

Saat pertama kali datang ke Banda pada 1512, Portugis disambut baik oleh pribumi Maluku. Sultan Ternate saat itu, Sultan Bayanullah, segera mengadakan hubungan persahabatan dengan Portugis. Portugis kemudian diberi izin untuk membangun benteng di Ternate. Hubungan persahabatan Ternate-Portugis ini berakhir dengan buruk akibat ulah Portugis sendiri. Di antara sebabnya adalah monopoli perdangan rempah-rempah dan Kristenisasi yang dilakukan Portugis kepada pribumi Maluku yang sudah beragama Islam.

Sultan Khairun (1535-1570) adalah tokoh yang menjadi kendala utama baik di bidang perdagangan maupun pelaksanaan konversi ke agama Kristen Katholik. Sebagai Sultan Ternate, Khairun mengeluarkan berbagai peraturan yang menghambat kedua hal tersebut. Di bidang perdagangan rempah-rempah misalnya, ia sangat pro perdagangan bebas dan menentang pungutan pajak penghasilan terhadap petani cengkih. Demikian pula, untuk menghadapi laju konversi yang sangat mengkhawatirkan, Khairun pernah mengadakan pertemuan dengan Sultan Tidore, Bacan dan Jailolo pada 1544 untuk membendung penginjilan yang dilakukan Misi Jesuit. Pertemuan itu menghasilkan keputusan untuk memisahkan pemukiman orang Islam dari pemukiman orang Kristen, dengan tujuan mencegah konversi orang-orang Islam ke dalam agama Kristen. (M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku, hlm. 195) Wallahu a‘lam.

 

Ditulis Oleh: M. Isa Anshari 

 

Tema Lainnya:

Munculnya Kesultanan Banjarmasin

            Proses awal Islamisasi Banjarmasin berjalan lambat, namun pasti. Sejak interaksi antara pedagang Muslim dari Jawa pada masa Kerajaan Negara Daha, pertumbuhan komunitas Muslim di Banjarmasin semakin menggeliat. Para pedagang tersebut kemudian membuat jaringan perdagangan yang menjadi embrio bagi munculnya Kesultanan Banjarmasin.

 

Konflik Politik di Negara Daha

            Etnis Melayu pernah mendominasi perdagangan di Kalimantan. Mereka bahkan berhasil membangun kekuasaan politik di Nusa Tanjung Nagara sejak abad 8 hingga 15 M. Akibat menguatnya dominasi Jawa, mereka kemudian menyebar ke gugusan Pegunungan Meratus dan muara Sungai Barito.

Hubungan komunitas Melayu dengan berbagai etnis Dayak di Kalimantan dalam sejarahnya menunjukkan hubungan yang harmonis dan dinamis. Sejak abad 14 hingga 15, komunitas Melayu yang berdiam di Muara Banjar telah membangun hubungan dengan kalangan istana Kerajaan Negara Daha melalui pemberian upeti setiap tahunnya. Kelompok pemberi upeti ini dipimpin oleh Patih Masih. Ia seorang saudagar yang memiliki pengaruh luas di pesisir Muara Banjar. (Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin, hlm. 126-129)

Sementara itu, di istana Kerajaan Negara Daha terjadi konflik akibat perebutan tahta antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung. Raden Samudera adalah cucu dari Raden Sukarama, cucu Raja Negara Daha. Sebelum wafat, Raden Sukarama berwasiat agar tahta Kerajaan Negara Daha diserahkan kepada Raden Samudera. Wasiat ini menimbulkan bibit konflik karena salah satu anak Raden Sukarama yang bernama Pangerang Tumenggung tidak menyetujuinya. Setelah Raden Sukarama meninggal, Pangeran Tumenggung merebut tahta dan mengakibatkan Raden Samudar terusir dari istana Kerajaan Negara Daha. (M. Suriansyah Ideham, Urang Banjar dan Kebudayaannya, hlm. 19)

Raden Samudera melarikan diri ke muara Sungai Barito. Di sini, ia mendapatkan perlindungan dari komunitas Melayu yang dipimpin oleh Patih Masih. Dibantu oleh Patih Muhur, Patih Balit dan Patih Balitung, Patih Masih kemudian mengangkat Raden Samudera sebagai raja di Muara Banjar. Untuk mewujudkan sebuah kerajaan baru di Muara Banjar, Patih Masih memindahkan Bandar Niaga Muara Bahan ke Muara Banjar. Selain itu, Patih Masih juga rela memberikan rumahnya untuk dipergunakan dan direhab menjadi istana raja.

Langkah berikutnya yang dilakukan Patih Masih adalah berusaha mendapatkan pengakuan politik sekaligus menguatkan legitimasi kekuasaan Raden Samudera di Kerajaan Banjarmasin yang baru saja lahir. Oleh karena itu, ia memerintahkan anak buahnya untuk memberitahu ke berbagai daerah, seperti ke Kintap, Satui, Pasir, Kota Waringin, Sukadana, Sambas, Lawai dan sebagainya. Pemberitahuan terbentuknya kerajaan baru di Muara Banjar ini penting karena sebelumnya wilayah tersebut berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Daha.

Merasa kekuasaan Kerajaan Negara Daha terancam bahaya, tidak ada jalan lain bagi Pangeran Tumenggung kecuali melakukan serangan terhadap Raden Samudera dengan membawa tentaranya ke hilir Sungai Barito. Tanpa bisa dihindari, terjadilah pertempuran antara pihak Raden Samudera dan pihak Pangeran Tumenggung. Pada pertempuran awal yang terjadi di ujung Pulau Alalak, pasukan Raden Samudera berhasil meraih kemenangan. Meskipun demikian, perang belum berakhir. Kedua belah pihak berusaha saling membangun kekuatan, saling mengintai dan saling memblokade komoditas bahan makanan. Patih Masih menilai keadaan yang serba tidak menentu ini merugikan kedua belak pihak, khususnya Kerajaan Banjarmasin. Oleh karena itu, ia berinisiatif agar Raden Samudera meminta bantuan ke Jawa ke Sultan Demak. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 134-141)

         

Peran Kesultanan Demak

            Berangkatlah Patih Balit bersama rombongannya menghadap Sultan Trenggono di Demak guna meminta bantuan untuk menyelesaikan perselisihan antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung. Sultan Trenggono bersedia memberi bantuan dengan syarat Raden Samudera harus masuk Islam. Syarat ini disetujui oleh Raden Samudera. Sultan Trenggono kemudian mengirimkan seribu orang pasukan bersenjata dan mengutus seorang penghulu untuk mengislamkan Raden Samudera.

            Menurut Hikayat Banjar, penghulu itu bernama Khatib Dayyan. Nama sebenarnya adalah Sayyid Abdurrahman. Orang Jawa menyebutnya Ngabdul Rahman. Ia adalah seorang ulama yang berasal dari negeri Arab atau keturunan Arab yang telah aktif mendakwahkan Islam di Jawa. (Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 396)

            Ketika Raden Samudera telah mendapatkan bantuan seribu orang pasukan dari Demak, telah terkumpul pula di Banjarmasin sekitar empat puluh ribu orang serta para pedagang yang bersedia membantunya. Para pedagang itu berasal dari Melayu, Cina, Bugis, Mangkasar dan Jawa. Mereka ikut menyerang Kerajaan Negara Daha.

            Pertempuran besar terjadi di sekitar Sangiang Gantung selama 40 hari. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Agar korban tidak bertambah banyak, pihak Pangeran Tumenggung datang menemui Raden Samudera menyampaikan usulan untuk perang tanding antarraja. Usulan ini diterima oleh Raden Samudera. Saat waktu yang ditentukan telah tiba, Raden Samudera tidak mau melawan Pangeran Tumenggung karena menganggap seperti ayahnya sendiri. Ia bahkan mempersilakan Pangeran Tumenggung untuk membunuhnya. Pangeran Tumenggung menangis dan tidak tega membunuh keponakannya. Ia kemudian rela menyerahkan kekuasaan kepada Raden Samudera.

            Raden Samudera yang telah menerima kekuasaan Negara Daha dari pamannya lalu masuk Islam di hadapan Khatib Dayyan. Selanjutnya, ia mendapatkan nama Islam dengan nama Sultan Suryanullah atau sering juga disebut Sultan Suriansyah. Ia menjadikan Islam sebagai agama resmi di Kesultanan Banjarmasin. Dua tahun setelah memerintah, yaitu pada 1528, ia membangun sebuah masjid. Sementara itu, Khatib Dayyan yang memimpin pasukan bantuan dari Demak, ia angkat menjadi penasihatnya. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 143-181) Demikianlah rangkaian peristiwa munculnya Kesultanan Banjarmasin yang menandai periode diterimanya Islam secara resmi di wilayah tersebut. Wallahu a‘lam.

(Ust. M Isa Anshori)