Ghirah Cemburu Karena Allah

Di jaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. dulu pernah ada juga kejadian dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa yang mungkin dianggap kecil saja. Seorang perempuan datang membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi dari kalangan Bani Qainuqa’. Selagi tukang sepuh itu bekerja, ia duduk menunggu. Datanglah sekelompok orang Yahudi meminta perempuan itu membuka penutup mukanya, namun ia menolak. Tanpa sepengetahuanny a, si tukang sepuh diam-diam menyangkutkan pakaiannya, sehingga auratnya terbuka ketika ia berdiri. Jeritan sang Muslimah, yang dilatari oleh suara tawa orang-orang Yahudi tadi, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda dengan sigap membunuh si tukang sepuh, kemudian ia pun dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Perbuatan yang mungkin pada awalnya dianggap sebagai candaan saja, dianggap sebagai sebuah insiden serius oleh kaum Muslimin. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. pun langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah dan semuanya diusir dari kota Madinah.

Itulah ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai “kecemburuan”, yakni cemburu karena Allah.

Siapapun yang menempuh jalan sebagai penghamba Allah, pasti mengalami fase tumbuhnya ghirah (rasa cemburu) seiring dengan bertambahnya cinta kepada Allah. Karena kecemburuan adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta.

Sebelum memahami seperti apa cemburu yang semestinya dimiliki seorang hamba, perlu dipahami bahwa Allah pun memiliki sifat cemburu.

Allah Cemburu Terhadap Hamba-Nya

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Madaarijus Saalikin berkata, ghirah itu ada dua; ghairatul Haq Ta’ala ala ‘abdihi (kecemburuan Allah atas hamba-Nya) dan ghairatul abdi Lirabbihi (kecemburuan hamba karena Allah).

 

Baca Juga: 5 Alasan Mengapa Negeri Palestina Begitu Mulia dan Harus Dibela

 

Adapun kecemburuan Allah atas hamba-Nya yakni Allah tidak mau disekutukan dengan makhluk dan makhluk hanya boleh beribadah kepada-Nya semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، فَلِذَلِكَ حَرَّم الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَر مِنْهَا وَمَا بَطن

“Tiada yang lebih besar cemburunya daripada Allah, dan di antara kecemburuan-Nya adalah Dia mengharamkan perbuatan yang keji; baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (HR Muslim)

Firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi,” (QS al-A’raf 33)

Seorang mukmin memahami, bahwa Allah memiliki sifat cemburu, Dia tidak ingin disekutukan dengan selain-Nya, dan tidak ingin ada yang lebih diutamakan oleh seorang hamba dari-Nya.

Jika kita takut kecemburuan atasan kita yang kita khawatiri akan marah melihat kita malas-malasan dalam bekerja, lantas bagaimana kita berani bermalas-malasan saat beribadah kepada Allah? Padahal ketika Allah marah, Dia Kuasa untuk berbuat apapun yang Dia kehendaki.

Pengetahuan akan ghirah Allah terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba-Nya juga menjadikan orang mukmin takut berbuat maksiat meskipun dalam keadaan sendirian, karena di manapun kemaksiatan dilakukan oleh seorang hamba, maka bagi Allah itu adalah maksiat terang-terangan di hadapan-Nya. Karena tak ada yang tersembunyi sedikitpun dari Allah.

Bagaimana orang berani berzina ketika ingat kecemburuan Allah. Takkan pula seseorang nekad menjamah yang haram karena takut Allah cemburu kepadanya. Karena ia tahu, ketika ia membuat Allah cemburu maknanya mengundang kemurkaan Allah terhadapnya. Bisa saja Allah mencabut semua nikmat seketika, dan alangkah mudah bagi Allah untuk membalikkan keadaan seseorang dalam waktu sekejap mata.

Cemburu Karena Allah

Adapun kecemburuan hamba karena Allah ada dua, yakni cemburu terhadap diri sendiri dan cemburu terhadap orang lain.

Adapun cemburu terhadap diri sendiri adalah ketika seseorang tidak menjadikan perbuatan, perkataan, perilaku, waktu dan jiwanya untuk selain Allah. Inilah pengertian ghirah yang biasa diartikan dengan bersemangat dalam kebaikan. Karena ia tidak ingin terlihat cacat di hadapan Allah, dan berharap Allah memandang ridha kepadanya. Bahkan, ia berharap dan berusaha untuk menjadi orang yang paling dekat dengan Allah. Karena itulah ia siap berlomba dalam sebagala bentuk kebaikan, “wa fie dzaalika fal yatanaafasul mutanaafisuun,” dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. (QS al-Muthaffifin 26)

Ghirah akan membuat seorang hamba bersungguh untuk terus mendekat dan mencari perhatian Allah. Ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat gerak gerik ia dalam ibadah, maka ia berusaha melakukan yang terbaik dan tak ingin terlihat Allah dalam keadaan lalai hatinya atau malas gerak geriknya. Firman Allah Ta’ala

“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk salat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS asy-Syu’ara 218-219)

Imam al-Harawi menyebutkan di antara contoh ghirah adalah ghirahnya seorang ahli ibadah yang kecewa tatkala kehilangan suatu amal sehingga dia akan berusaha mengganti amal yang setara dengan apa yang ia tinggalkan atau berusuha menyusul apa yang ia terlambat mengerjakannya.

Seperti ghirahnya Umar bin Khathab radhiyallahu anhu menyedekahkan kebun yang menjadi sebab terlambatnya beliau dari shalat berjamaah. Atau seperti putera beliau, Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma yang menghdiupkan malam dengan shalat semalam suntuk lantaran tertinggal satu rekaat shalat Isyak.

Itulah ghirah karena Allah yang berhubungan dengan diri sendiri.

Adapun cemburu terhadap orang lain adalah ia akan marah ketika apa-apa yang dilarang oleh Allah dilanggar oleh manusia dan hak-hak-Nya disepelekan dan dan dilecehkan oleh manusia.

 

Baca Juga: Bila Mengaku Islam Buktikan

 

Ghirah dalam hal ini berarti kepekaan jiwa untuk menolak hal-hal yang membahayakan stabilitas keimanann seseorang. Maknanya, ketika seseorang memiliki ghirah karena Allah, jiwanya akan berontak ketika nafsu membujuk untuk maksiat. Jiwanya juga akan terusik ketika penyimpangan itu dilakukan oleh orang-orang dekatnya. Ia akan tersinggung dan bahkan marah ketika Allah, Rasul-Nya, Islam maupun kaum muslimin dilecehkan. Jiwanya juga tidak suka jika suatu kemungkaran itu tampak di hadapan mata, meskipun pelakunya bukan orang-orang dekatnya.

Inilah ghirah yang merupakan ruh atau nyawa yang menghidupi agama seseorang dan menangkis dari segala penyakit yang hendak menyerangnya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “bara dan panasnya ghirah ini akan menyaring kejelekan dan sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki ghirah yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat dengannya, juga terhadap orang lain secara umum.”

Maka orang yang tidak memiliki ghirah dalam hal ini, sebenarnya ia telah kehilangan agamanya. Karena itulah Buya Hamka menuliskan, “Dan apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” Ya, karena hakikatnya ia telah mati ketika tak memiliki kecemburuan dan kepedulian.

Sebelum beliau, Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan dalam kitabnya ad-Da’u wad Dawa’, “Pokok agama adalah ghairah (cemburu). Siapa saja yang tidak memiliki rasa cemburu, maka nyaris tidak ada agama untuknya.”

Orang yang tak memiliki cemburu,, ia tak merasa memiliki, tak ada pembelaan dan tak ada kepekaan terhadap apa-apa yang membahayakan agamanya. Ini menjadi penanda akan redupnya iman di hatinya. Dan jika iman tak ada, maka jasadnya seakan menjadi kuburan baginya sebelum matinya.

Bagaimana seseorang memiliki iman ketika tak ada kecemburuan sedikitpun di hatinya. Tak ada penolakan hatinya terhadap  kemungkaran, tak ada amarah ketika agamanya dilecehkan dan tak ada pembelaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Apabila tidak sanggup, maka dengan lisan. Jika tidak bisa, maka dengan hati. Dan itulah (mengubah dengan hati) selemah-lemahnya iman” (HR Muslim)

Maka pertanyakan iman kita tatkala tidak terusik melihat kemungkaran di depan mata, tidak tersinggung ketika Allah dan Rasul-Nya dihina, dan tidak pula marah ketika Islam dinodai dan dicela, wallahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

Melunasi Cicilan Barang Haram

Saya membeli biola kepada B seharga 500 ribu rupiah dengan cara mencicil. Saya sudah membayarnya 200 ribu rupiah. Lalu saya mendapatkan hidayah dan membakar biola tersebut. Apakah saya masih harus membayar kekurangannya? Apakah saya berdosa melakukannya? (Abi—Semarang)

الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اتَّبَعَ هُدَاهُ
Dalam kasus yang saudara hadapi, harus dilihat siapakah si B ini, apakah ia seorang muslim ataukah seorang kafir. Jika ia seorang muslim, maka saudara tidak perlu melunasinya. Sebab, ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah pun mengharamkan harganya. Jika ia bersikeras dan memaksa saudara untuk melunasinya, maka hendaklah saudara melunasinya dan memohon ampun kepada Allah karena telah melakukan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya.

 

Baca Juga: Transaksi Ribawi Yang Sering Dianggap Bukan Riba

 

Adapun jika si B adalah seorang kafir, maka saudara harus melunasinya. Sebab orang kafir tidak memandang halal-haramnya suatu barang. Tentu saja seiring dengan itu saudara tetap harus memohon maghfirah kepada Allah. Wallahu a’lam.

 

 

Baca Juga:

 

Cinta Nabi Tapi Meninggalkan Perintahnya?

Mengikuti Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dalam setiap peribadahan kepada Allah adalah tuntutan iman bahkan termasuk pokok keimanan. Siapa saja yang mengaku cinta kepada Rasulullah shallallahu’aliahi wasallam pasti mengikutinya dan tidak menyelisihinya. Allah ta’ala berfirman,

“Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran: 31)

Dengan ittiba’ (mengikuti/meneladani) Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam maka akan membuahkan suatu kemulian dan keselamatan, yaitu Allah mencintai kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Dan itulah sebenar-benar bukti bahwa kita cinta kepada Allah ta’ala.

Berapa banyak orang mengaku dan menyangka mengikuti dan cinta kepada Rasul namun ternyata tidak terbukti dalam amalan nyatanya. Berdalih dengan menghormati dan memuliakan Rasulullah, atau bahkan berdalih dengan cinta Rasul, namun mereka melakukan suatu amalan yang baru dengan menambah atau membuat hal yang benar-benar baru dalam agama yang tidak diperintahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

 

Baca Juga: Demi Uang Logika Dibuang

 

Mereka mengatakan, “Beradab kepada Rasulullah lebih diutamakan dari pada memenuhi perintahnya.” Dalilnya adalah hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Abu bakar tidak memenuhi perintah Rasul ketika diberi isyarat untuk tetap ditempatnya, tapi malah mundur menjadi makmum. Ini adalah mengutamakan adab dari pada perintah Rasul.

Turunan dari hal ini adalah menambahkan lafadz sayyid dalam adzan, iqomah dan shalawat dalam tasyahud. Padahal Rasulullah shallallahu’alihu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada para sahabat lafadz adzan dan iqomah serta telah mengajarkan berbagai lafadz shalawat akan tetapi tidak terdapat satupun yang ada kata “sayyidina.” Maka kita mencukupkan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’aliahi wasallam karena itu adalah adab dalam melaksanakan amalan sesuai dengan yang diajarkannya, bukan malah merasa kita lebih beradab karena menambah kata sayyidina sebelum nama Baginda Rasul, padahal ahlu bait dan para sahabatlah yang paling mengerti bagaimana cara beradab kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Kejadian Abu bakar mengimami sahabat ketika Rasulullah hadir tidak hanya sekali, yaitu ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sakit di akhir hayat beliau, Rasulullah memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para sahabat, beliau bersabda:

“Perintahkan Abu Bakar agar mengimami orang shalat,” lalu Abu Bakar berangkat dan mengimami shalat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakitnya agak ringan, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan bersandar pada dua orang, seakan-akan aku melihat kakinya gontai (tidak mantap dalam melangkah) karena rasa sakit. Lalu Abu Bakar ingin mundur, maka beliau memberikan isyarat untuk tetap di tempatnya, kemudian mendatanginya dan duduk di sebelah Abu Bakar” (HR. al-Bukhari)

 

Baca Juga: Cinta-Mu, Cinta Pecinta-Mu, dan Cinta Amal Kebaikan

 

Dalam hadits yang kedua ini, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan dengan isyarat sebagaimana hadits yang pertama untuk tetap pada tempatnya sebagai imam, namun pada kejadian ke dua Abu Bakar tidak mudur dan tetap menjadi imam, apakah dikatakan pada kejadian kedua ini bahwa Abu Bakar tidak beradab?, tentunya tidak.

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sedang safar dan ketika itu ingin buang hajat,  Amru bin Wahb Ats Tsaqafi berkata, “Kami pernah berada di sisi Al Mughirah bin Syu’bah, kami bertanya, “Apakah ada seorang dari umat ini yang pernah mengimami Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selain Abu Bakar Ash Shiddiq radliallahu ‘anhu?” Al Mughirah menjawab, “Ya. Kami pernah berada dalam suatu perjalanan ini dan itu. Pada waktu sahur tiba-tiba beliau menepuk-nepuk leher hewan tungganganku dan pergi, maka saya mengikuti beliau dan akhirnya beliau bersembunyi dari pandanganku beberapa saat. Setelah itu beliau datang seraya bertanya: “Apakah kamu hendak buang hajat?” saya menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu membawa air?” saya menjawab, “Ya.” Saya pun menuangkan untuknya, kemudian beliau mencuci kedua tangan dan wajahnya. Setelah itu beliau menyingkap tangannya yang tertutup oleh Jubbah yang kedua lengannya sempit. Karena sempit maka beliau memasukkan kedua tangannya dan mengeluarkannya dari bawah jubah. Setelah itu, beliau kembali mencuci wajah, kedua siku, membasuh ubun-ubun, membasuh imamah (sejenis penutup kepala) dan kedua sepatunya.

 

Baca Juga: Suka Sesama Jenis Bawaan Atau Penyimpangan?

 

Dan saat kembali kami mendapati para sahabat telah melaksanakan shalat satu rakaat, sementara Abdurrahman bin Auf yang menjadi imamnya. Aku lantas berjanjak untuk mengingatkannya, namun beliau melarangku. Maka kami pun shalat pada rakaat yang kami dapati dan mengqadla rakaat yang tertinggal.” (HR. Ahmad)

Tentunya bila adab didahulukan sahabat al Mughirah tetap akan mengingatkan kepada sahabat Abdurrahman bin Auf untuk mundur, namun para sahabat memahami bahwa memenuhi perintah Rasulullah adalah adab.

Bila diteliti lebih detail, maka kejadian pertama Abu Bakar mengimami belum sampai mendapatkan satu rakaat, baru istiftah dan Rasul datang, sehingga Abu Bakar mundur dan Rasulullah maju mengimami, adapun bila sudah mendapatkan satu rakaat, maka tidak mungkin imam pertama mundur untuk digantikan imam tetap yang terlambat. Wallahua’lam bis shawab (Taufik el-Hakim/arrisalah/Kasyfu Syubhat)

 

Tema Terkait: Cinta Nabi, Bid’ah, Syubhat

Selamat Dengan Satu Kalimat

Ada kisah yang sangat dramatis, namun bukan drama rekaan atau sandiwara. Melainkan kenyataan yang kelak terjadi di hari Kiamat. Kisah yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara shahih oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad.

 

Kisah Pelaku Banyak Dosa

Kisah tentang anak manusia yang dibebaskan dari neraka, dan disaksikan oleh seluruh manusia, dari yang awal hingga yang paling akhir. Mari kita ikuti kisah berikut ini.

“Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat.”

Termasuk kita, kelak juga akan menyaksikan peristiwa itu.

“Ketika itu dibentangkan 99 tumpukan buku catatan (keburukan) miliknya. Setiap buku catatan dosa panjangnya sejauh mata memandang.”

Ini menggambarkan betapa banyak dosa yang dilakukannya. Bayangkan juga dosa-dosa kita, berapa kali dalam sehari berbohong, berucap kotor, atau menggunjing, padahal setiap kata yang terucap itu ada catatannya, ada malaikat pencatat yang senantiasa menyertai. Begitupun dosa-dosa yang dilakukan oleh tangan, kaki dan anggota jasad yang lain. Semuanya tercatat dan tak satupun terlewat.

Banyak manusia kelak akan terbelalak melihat akumulasi dosa yang semua tercatat dengan detil. Seperti yang dikisahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam ini. Dia melihat 99 tumpukan buku catatan yang berisi segala keburukan yang telah dilakukannya. Tak terbayang betapa malu, takut dan paniknya ketika itu.

 Kemudian Allah berfirman,

“Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini, apakah (para) malaikat pencatat amal telah berlaku curang kepadamu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rabbku.”

Di dunia, mungkin banyak yang bisa berkilah dengan lidah, mengelak dengan trik dan mencari kambing hitam, namun ketika itu dia tak berkutik. Karena tidak ada satupun yang meleset, keliru atau salah tulis. Semua persis dengan kejadian nyata yang memang dialaminya, baik waktu maupun tempatnya. Tak ada lagi celah untuk berkilah.

Allah bertanya, “Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?” Dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku.”

Tak sanggup lagi dia beralasan. Karena dakwah telah sampai di telinganya, dia juga sudah tahu bagaimana seharusnya dan apa yang semestinya tidak dilakukannya. Tapi, ia cenderung mengikuti hawa nafsu yang tergiur mencicipi dosa demi dosa yang tampak menggiurkan. Seperti kita, berbagai kewajiban yang telah kita ketahui ilmunya, dan Allah memberi kita kesempatan, namun tak semua kewajiban kita tunaikan. Begitupun berbagai dosa yang telah kita ketahui keharamannya, tak serta merta kita tinggalkan semuanya. Semestinya kita banyak mengingat saat-saat seperti ini, untuk mempersiapkan jawaban di akhirat nanti.

Orang tersebut, saking takutnya dan merasa bakal celaka lantaran begitu banyaknya dosa-dosa, ia melupakan kebaikan yang pernah dilakukannya, lalu Allah mengingatkannya.

 Allah berfirman, “Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikit pun.”

Sebagaimana keburukan diperlhatkan dari yang besar hingga yang kecil, maka kebaikanpun juga ditampakkan, meskipun itu dianggap kecil. Dalam keadaan takut karena banyaknya dosa, tentu ia berharap masih punya simpanan kebaikan yang akan mengimbangi keburukannya, atau minimal mengurangi beban timbangan keburukan yang begitu berat. Bayangkan jika orang itu adalah kita, pasti akan penasaran dan harap-harap cemas, kiranya apakah gerangan kebaikan yang belum dia ingat itu. Dan ternyata terlihat hanya sebuah kartu kecil…

“Kemudian dikeluarkanlah sebuah bithaqah (kartu kecil) bertuliskan ‘asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.”

Ya, kartu yang hanya bertuliskan satu kalimat syahadatain, yang jika dilihat ketebalan dan ukurannya amatlah jauh dari tumpukan buku catatan keburukan miliknya.

 Lalu Allah berfirman, ‘Datangkan timbanganmu’.

Saat itu, ia pun pesimis pada saat didatangkan timbangan, sementara ia melihat begitu jauh perbandingan antara kebaikan dan keburukannya. Harapannya nyaris sirna setelah melihat kebaikannya hanya berupa satu kalimat yang singkat tertulis dalam satu kartu yang kecil.

Dia berkata, “Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh buku catatan keburukan itu?”

Ini menggambarkan betapa pesimisnya ia. Akan tetapi,

Allah berfirman, “Sungguh kamu tidak akan dianiaya.”

 

Selamat dengan Satu Kalimat

Allah tidak menganiaya hamba-Nya, sekecil apapun kebaikan yang dilakukan akan ditimbang, apalagi kebaikan yang memiliki nilai yang besar dan agung. Dan apa yang terjadi kemudian sangat dramatis. Nabi melanjutkan kabarnya,

فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِى كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِى كِفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَىْء

Kemudian diletakkanlah tumpukan buku catatan keburukan tersebut pada satu daun timbangan, sedangkan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka tumpukan buku catatan keburukan tersebut terangkat dan kartu (laa ilaha illallah) lebih berat. Demikianlah, tidak ada satupun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat nama Allah.” (HR. Tirmidzi, shahih)

Allahu Akbar, peristiwa yang menegangkan tersebut berakhir dengan keberuntungan orang itu. Ia akhirnya selamat dengan modal satu kalimat, yakni syahadatain. Ini menunjukkan betapa agung kalimat ini. Akan tetapi, apakah hanya dengan ucapan kosong tanpa tahu konsekuensi dan maknanya? Tentu saja tidak.

 

Syarat dan Ketentuan Berlaku

Sebagian menyangka bahwa sekedar mengucapkannya sekali seumur hidup saja, akan masuk surga. Seakan tak ada ketentuan lain kecuali ucapan. Padahal, apalah artinya ucapan jika hati dan tindakannya berseberangan dengan apa yang diucapkannya. Para munafik pun tak hanya mengucapkan syahadat, bahkan berbagai amal wajib dan sunnah dikerjakan, tapi mereka mendekam di neraka yang paling dalam. Karena apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan isi hati dan perbuatannnya.

Tepatlah apa yang dikatakan oleh Wahb bin Munabbih ketika beliau ditanya,

“Bukankah laa ilaha illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Ya, memang benar. Akan tetapi setiap kunci memiliki gerigi. Barangsiapa yang datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi yang sesuai, barulah pintu terbuka, namun jika tidak, pintu tersebut tidak akan terbuka.”

Begitupun tatkala memahami hadits yang diriwayatkan oleh Itban bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang-orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallaah” dengan ikhlas dan hanya mengharapkan ganjaran berupa (melihat) wajah Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pemaknaan hadits-hadits yang mengandung pernyataan muthlaq seperti dalam hadits pertama dan kedua tersebut haruslah dibawa kepada makna yang muqayyad, yaitu terikat dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan pantangan-pantangan yang harus dihindarkan. Sehingga tidak bertentangan dengan nash-nash yang lain.

Setidaknya orang yang mengucapkannya mengetahui makna yang terkandung di dalamnya, sekaligus konsekuensi yang harus dilakukannya. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ

 “Barangsiapa yang meninggal, dan ia mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, ia pasti masuk surga” [HR Ahmad].

Kalimat “la ilaha illallah” memiliki makna dan konsekuensi yang besar. Kalimat inilah yang menjadi poin permusuhan antara yang haq dan yang dan bathil. Karena kalimat inilah orang-orang musyrikin Arab dahulu memerangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya. Mereka tidak mengingkari bahwa Allah lah yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, bahkan mengatur alam semesta. Hanya saja mereka tak sudi mentauhidkan Allah dalam ibadah tanpa menyekutukan dengan sesuatu yang merupakan inti dan konsekuensi dari kalimat la ilaha illallah.

Jikapun seseorang pernah mengucapkan dua kalimat syahadat, atau berulangkali melantunkan kalimat thayibah la ilaha illallah menjadi tidak berfaedah jika kemudian dia melakukan kesyirikan. Bahkan teramasuk seluruh amal kebaikan yang pernah dilakukan, sebagaimana firman Allah,

“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS az-Zumar 65)

Wallahu a’lam bishawab

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muthalaah

Kala Cinta Bersalin Rupa

Setiap manusia mestinya takut menyelisihi perintah Allah. Takut kalau-kalau dirinya tertimpa fitnah atau tertimpa azab lantaran itu. Setiap kita mestinya takut bermaksiat kepada Allah. Jangan melihat kecilnya, tetapi lihatlah kebesaran Zat yang dimaksiati.

 

Baca Juga:  Cinta-Mu, Cinta Pecinta-Mu, dan Cinta Amal Kebaikan

 

Jangan menganggap remeh sekecil apapun dosa karena Rasulullah bersabda bahwa perumpamaan dosa-dosa remeh itu seperti suatu kaum yang singgah di sebuah lembah. Kemudian satu orang datang membawa sebatang kayu lalu yang lain datang membawa sebatang kayu. Begitu seterusnya hingga kayu tersebut cukup untuk memasak roti. Dan ketika dosa-dosa remeh itu ketika dilakukan akan membinasakannya.

Akibat dari maksiat yang dilakukan iblis adalah laknat di dunia dan akhirat. Ia menjadi pemuka bagi para pendosa dan membawa mereka masuk ke neraka. Padahal neraka adalah seburuk-buruk tempat yang didatangi.

Setan juga telah memaklumatkan permusuhan dengan manusia. Ia ingin mengubah fitrah lurus yang manusia diciptakan di atasnya. Membelokkan manusia dari jalan lurus yang semestinya dan menjerumuskannya ke dalam kebinasaan. “Karena Engkau telah menghukum saya sesat, saya akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka. Dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur,” begitu ia bersumpah kepada Rabbnya.

 

BACA JUGA : Ketaatan Adalah Ujian

 

Apa yang menyebabkan iblis terusir dari kerajaan langit. Yang menyebabkan batinnya lebih buruk daripada rupanya. Yang menggantikan kedekatannya dengan Allah dengan kejauhan. Rahmat dengan laknat. Ketampanan dengan keburukan. Surga dengan neraka yang menyala. Iman dengan kufur. Cinta kepada yang Maha Melindungi dengan permusuhan dan penentangan. Suara tasbih dan tahlil dengan suara kekafiran, kesyirikan, kedusataan, kepalsuan, dan kekejian.

Menggantikan pakaian iman dengan pakaian kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan? Lalu ia menjadi mahluk terhina di hadapan Rabbnya. Ia terjatuh dari rahmat-Nya sejatuh-jatuhnya dan mendapatkan kemurkaan-Nya. Allah menghinakannya dan memurkainya semurka-murkanya. Lalu menjadikannya sebagai pengendali setiap orang fasik lagi jahat. Ia lebih suka memegang kendali ini daripada ibadah dan dan kemuliaan yang ia miliki sebelumnya. Kami berlindung kepadamu ya Allah dari perbuatan menyelisihi perintah-Mu dan larangan-Mu. Demikian Ibnu Qayim al-Jauziah menuliskan renungan dalam kitabnya.

Semoga orang-orang yang hidup hatinya bisa mengambil pelajaran dan orang-orang yang lalai segera tersadar.

Dilema Klasik: Menikah atau Mengejar Obsesi?

Ada dilema klasik yang secara turun temurun dialami oleh kaum muda. Yaitu kebingungan antara menikah atau menundanya demi meraih cita-cita dan obsesi. Biasanya dilema ini muncul saat angka depan dari umur sudah berganti menjadi angka 2. Kalau sudah kepala tiga, statusnya bukan dilema lagi tapi beban.

Dua pilihan ini memang membingungkan. Di satu sisi, saat umur-umur duapuluhan ke atas keinginan untuk menikah memang mulai menguat. Secara psikis maupun fisik, seseorang memang sudah berada dalam fase menuju matang dan siap berumah tangga. Anjuran syariat untuk segera menikah berikut berkah dan anugerah yang dijanjikan semakin menguatkan keinginan. Lebih dari itu, kekhawatiran pada  fitnah lawan jenis adalah alasan utama untuk segera melaksanakannya. Fitnah yang satu ini memang seringkali membuyarkan fokus dan tujuan. Ditambah bayang-bayang romantisme saat bertemu belahan jiwa nanti, seakan-akan tidak ada lagi alasan untuk menunda.

 

Baca Juga: Katanya, Adik tak Boleh Mendahului Kakaknya Menikah?

 

Tapi di sisi lain, kegamangan juga sama kuatnya merambati pikiran. Secara kodrati seseorang pasti menyadari bahwa menikah akan membelah dirinya; waktunya, tenaganya dan pikirannya. Padahal masih ada cita-cita, target dan obsesi yang ingin dicapai. Dan menurut prediksi rasio, rasanya sulit meraih obsesi jika hanya bermodalkan kebulatan tekat tanpa kebulatan fokus, pikiran, tenaga dan waktu. Soal anjuran syariat, toh beberapa ulama menjelaskan, menikah masih boleh ditunda demi sebuah target yang membawa kemashlahatan yang nyata serta mampu bersabar.

Menghadapi kebingungan ini tidak sedikit yang akhirnya hanya bisa berujar, “Biarlah waktu yang menjawabnya.” Sebenarnya, kalau kita cermat dalam mengurai masalah, kita tidak perlu menyerahkan jawabannya kepada waktu karena pilihannya ada di tangan kita. Yang kita perlukan adalah memahami secara proporsional konsekuensi dan tuntutan yang ada pada tiap pilihan.

Kalau kita ingin memilih segera menikah, perlu diketahui bahwa prediksi rasio di atas ada benarnya. Menikah memang tidak akan menghalangi tujuan dan cita-cita sama sekali. Namun, menikah pasti menuntut waktu, tenaga, sepertiga, separuh atau bahkan lebih dari itu. Padahal secara kauniyah hanya tiga fasilitas inilah yang dapat kita jadikan alat untuk meraih target dan cita-cita. Untuk meraih cita-cita tertentu dalam menuntut ilmu misalnya, tidak sedikit para ulama yang menunda nikah atau bahkan ada yang sampai tidak menikah. Imam Ahmad menunda nikah demi ilmu hingga umur 40. Ibnu Taimiyah dan Imam ath Thabari bahkan rela membujang hingga akhir hayat, meski tidak pernah menganjurkan hal itu kepada murid-muridnya.

 

Baca Juga: Orang Tua Belum Mengizinkan Menikah

 

Sebagian orang menasehatkan, menikah tidak akan menghalangi seseorang menuntut ilmu. Bisa saja kuliah sambil menikah. Tapi kadangkala persoalaannya tidak sesimpel itu. Menikah dan berumah tangga adalah pekerjaan yang tidak mungkin dijadikan sambilan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan rumah tanggalah yang akan menjadikan urusan lain sebagai sambilan. Apalagi jika sudah punya momongan.

Silahkan saja bertanya pada yang sudah menikah, berapa persen waktu yang harus mereka berikan untuk mengurusi rumah tangga. Tentunya jangan bertanya pada yang menelantarkannya.

Namun begitu, hanya berpatokan pada logika di atas juga tidak sepenuhnya benar. Banyak juga yang mendapatkan track menuju kesuksesan justru setelah menikah. Menjadi penulis, mendapat banyak ilmu dan meraih obsesi justru bisa didapat setelah menikah. Hati yang lebih tenang, bantuan dan kerjasama dengan isteri menjadi faktor yang sangat memengaruhi. Tantangan memenuhi ma’isyah sekaligus hasrat  meraih obsesi justru melecut semangat yang menjadikan usaha dua kalipat kuatnya dari sebelum menikah. Tuntutan hidup juga semakin memupuk kedewasaan dan membuat jiwa lebih sadar akan arti hidup, cita-cita dan masa depan.

Imbang. Dua-duanya memiliki nilai kebenaran argumentatif masing-masing. Jadi sebenarnya yang menjadi persoalan dan membikin bingung bukanlah pilihannya, tapi kesiapan kita untuk meraih apa yang kita inginkan. Karena bagaimanapun kita pasti akan memilih salah satu. Bukankah kalau kita menghindari dilema ini dengan membiarkannya, dan tidak menikah, berarti kita sudah memilih?

 

Baca Juga: Berwasiat Tidak Boleh Menikah Lagi

 

Pilihan apapun tetap akan membawa kita meraih apa yang kita inginkan asal punya target yang jelas, program yang terukur dan tak kalah penting komiten untuk mencapainya. Menikah benar-benar akan ‘menghambat’ kita dalam meraih obsesi jika kita ’nekat’ nikah tapi tidak siap dengan segala tuntutannya. Tidak siap memenej waktu dan bekerja cerdas untuk memenuhi konsekuensinya. Kalau begini, jangan sesali pernikahannya kalau ternyata cita-cita tak kesampaian. Karena seperti terbukti di atas, tidak sedikit yang bisa meraih asa justru setelah menikah.

Demikian pula menunda nikah tetap tidak akan membuat kita lebih mudah meraih keinginan jika pada akhirnya, membujang hanya membuat kita santai-santai dan buang waktu. Yang akan terjadi adalah, kita tetap menjadi bujangan, tetap rawan kena godaan, tak merasakan manisnya pernikahan, dan tidak ada progres alias kemajuan dari apa yang kita cita-citakan. Jadinya nikah tidak, semakin pinter dan sukses juga tidak.

Kesimpulannya, kalau kita dihadapkan pada dilema ini, yang penting adalah kesiapan kita.  Menikah atau single masing-masing  memiliki resiko dan konsekuensi. Asal ada tekat,  target dan program serta komitmen, apapun pilihan kita insyaallah kita akan bisa meraihnya. Wallahua’lam.(aviv)

Ketika yang Tabu Dianggap Lucu

Dalam strategi pemasaran, packaging atau pengemasan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap laris tidaknya suatu produk. Kemasan yang baik dapat membentuk citra positif sebuah produk dan meningkatkan minat beli konsumen.Dengannya pula, produk yang biasa-biasa bisa menjadi sangat diminati. Lebih dari itu, kemasan dapat pula menipu, sebenarnya produk kualitas jelek, tapi tetap laku karena kemasan yang bagus.

Dalam memasarkan kemaksiatan dan produk-produk perusak iman, tipuan packaging juga menjadi strategi andalan Iblis wadyabalanya.Tazyinul ma’ashi adalah teknik mengemas maksiat agar terlihat baik atau minimal wajar hingga bisa diterima pasar.

“Iblis berkata:”Ya Rabbku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya…” (QS. Al Isra’:39)

Maksiat yang dikemas dengan unik dan cerdas akan tetap dibeli manusia, bahkan bisa laris.Tentunya, tipuan kemasan ini ditujukan untuk segmen manusia yang masih memiliki filter ruhani. Adapun pecandu maksiat, tak perlu dikemas dengan indah pun mereka akan mengais-ais dan mencarinya sendiri.Tapi bagi yang masih memiliki saringan fitrah dan iman, kemasan diperlukan untuk membiaskan persepsi dan menutupi bau busuk dosa yang sebenarnya sangat menusuk. Dengan begitu, mereka akan tertipu dan menerimanya.

 

Baca Juga:  Dusta, yang Haram dan yang Mubah

 

Ambil contoh, pornografi dan pornoaksi. Jika dijual dalam bentuk apa adanya, pasar tidak akan menerima secara luas,bahkan rawan menimbulkan kontra. Namun, hal itu tidak akan terjadi jika dibungkus dengan kemasan unik nan lucu bernama “komedi”. Komedi dapat mengaburkan kesan mesum dan menurunkan levelnya menjadi sesuatu yang akan dianggap orang sebagai “sekedar lucu-lucuan”, tidak terkesan dewasadanmengundang syahwat sertatak perlu dirating 18+.

Sebuah film misalnya. Jika diformat komedi dengan judul jenaka dan akting konyol, penampilan seronok dan adegan menjurus akan dianggap biasa dan tidak porno oleh penonton. Seakan-akan komedi mampu menumpulkan sensitivitas terhadap kepornografian. Orangtua pun anteng-anteng saja jika anak-anak menontonnya. Lain halnya jika diformat mendewasa, dengan judul yang lebih “greng” dan cover yang ‘panas’. Meskipun bisa jadi kandungan pornografi di dalamnya lebih sedikit, tapi tanggapan orang akan berbeda. Ada kemungkinan muncul protes dan kritikan, atau minimal mereka akan meng-kotak-kan film tersebut dalam daftar film yang perlu diwaspadai untuk anak-anak. Padahal dari segi isi dan substansi, keduanya sama.Namun ternyata dengan kemasan berbeda tanggapan yang diperoleh juga berbeda.

Untuk lucu-lucuan, pornoaksi bahkan mungkin pelecehan seksual secara verbal maupun tindakan,malah bisa menjadi bumbu yang membuat sajian komedi lebih gurih. Guyonan seronok ala talkshow maupun tingkah polah presenternya yang mesum justru menjadi aksi yang digemari. Alih-alih menuai kecaman, justru hadiah tepuk tangan dan sorak sorailah yang didapatkan.

 

Fenomena Banci

Contoh kedua adalah fenomena banci. Popularitas artis dengan karakter banci sepertinya kian naik daun. Dalam banyak acara mereka selalu ada dan jika jadi presenter laris manggung dimana-mana. Anehnya, ternyata banci bukan sekadar peran saat akting saja, tapi tidak sedikit artis yang tetap menjadi banci meksi tidak sedang akting. Ada beberapa kemungkinan, pertama image banci memang sengaja tetap dipasang  dalam kehidupan nyata demi pencitraan diri agar para produser tahu, ia mahir karena melakukannya saban hari. Kedua, dia mengalami disorientasi seksual dan menganggap dirinya adalah wanita, atau biasa disebut gay.Ketiga, kemayu adalah bawaannya dari lahir, artinya karakter itu muncul sejak kecil tanpa dibuat-buat.

Kemungkinan ketiga ini jarang terjadi. Kelainan ini dalam Islam disebutmukhannats, yaitu perilaku anak lelaki yang mirip seperti wanita atau kemayu yang muncul sejak kecil. Secara hukum fikih, orang yang mengalami semacam ini tidak terkena delik hukum apapun. Hanya saja ia harus berusaha sekuat tenaga menghilangkan hal tersebut dan mengganti tingkah lakunya agar lebih normal sebagaimana lelaki pada umumnya.

Tapi untuk pertama dan kedua, semuanya adalah perilaku terlaknat. Rasulullah bersabda,

لَعَنَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَالْمُتَشَبِّهِِيْنَمِنَالرِّجَالِبِالنِّسَاءِوَالْمُتَشَبِّهَاتِمِنَالنِّسَاءِبِالرِّجَالِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat laki-laki yang bertingkah laku seperti wanita dan wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki” (HR Al Bukhari 55460).

Peran banci adalah peran yang dilaknat, lebih-lebih jika dijadikan gaya hidup sehari-hari. Menjadi gay alias homo lebih terlaknat lagi. Kerasnya ancaman Allah bagi mereka berulangkali dikisahkan dalam ayat-ayat kehancuran kaum Nabi Luth.

Tapi lagi-lagi, dalam kemasan komedi, kedurhakaan semacam itu seperti tak tampak. Penonton pun sepertinya maklum-maklum saja dan menikmati. Mereka sudah terbiasa nonton TV dan sudah terbiasa berpersepsi bahwa karakter dalam TV termasuk banci itu cuma peran, bukan sungguhan. “Mereka Cuma berniat menghibur dan menghibur kan dapat pahala”, katanya. Lagi-lagi dengan komedi perbuatan terlaknat justru diminati dan bahkan dipandang layak mendapat pahala. Ironis.

Layak dicurigai bahwa pesatnya perkembangan komunitas gay (kaum homo) di negeri ini juga akibat dari diterimanya karakter banci oleh masyarakat. Jika mereka sudah terbiasa dengan peran banci, maka selanjutnya masyarakat juga tidak akan terlalu shock saat melihat keabnormalan itu wujud dalam dunia nyata. Kepekaan iman bahwa yang semacam itu adalah sebuahkemaksiatan pun lenyap. Akibatnya, kaum homo pun seperti mendapat jalan dan rekomendasi. Yang tadinya malu-malu (karena memang hal semacam itu memalukan) kini seperti dibukakan pintu.

Kuatkan Bashirah

Sebenarnya trik pengemasan alias tazyinul ma’ashi ini tergolong kuno. Dari awal, setan sudah biasa menerapkan trik ini dan al Qur`an sudah memperingatkan berkali-kali. Tapi tampaknya, trik ini selalu saja berhasil karena sifatnya yang fleksibel, kontekstual dan selalu mengikuti perkembangan. Oleh karenanya, ketajaman bashirah harus senantiasa kita asah agar tak mudah tertipu dengan trik-trik semacam ini. Dengan bashirah kita akan melihat melalui lensa syar’i, nurani dan rasio yang murni hingga mampu melihat objek secara substansi, bukan dari tampilan luar atau kemasan yang sering mengelabui. Wallahua’lam. (Abu Razin)