Enam Kaidah Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Inti dari ajaran Islam adalah mengajak ummat menuju kebaikan dan mencegah kemungkaran. Oleh karenanya, ummat ini layak menyandang gelar ummat terbaik selama menjalankan praktik amar ma’ruf nahi munkar.

Saat kemungkaran terjadi, maksiat dilakukan secara vulgar tanpa malu-malu lagi, seorang muslim tak boleh hanya diam membisu. Sebab, perbuatan maksiat apalagi yang terjadi secara berjamaah merupakan bukti penentangan atas perintah Allah. Oleh karenanya, setiap musim harus tergerak untuk mengubah kemungkaran itu menjadi kebaikan. Mulai dengan aksi fisik dengan tangan, lisan hingga batasan paling minim, dengan hati.

Namun, menghentikan kemungkaran tak boleh dilakukan secara membabi buta dan tanpa perhitungan tepat. Karena dalam hal ini objek yang dihadapai adalah manusia. Sehingga seeorang yang bermaksud mencegah kemungkaran dan menyebarkan kebaikan membutuhkan panduan ilmu agar tujuan yang diidamkan dapat terwujud. Oleh karena itu, sebagaimana yang tertulis dalam buku “Hukmu Tagyirul Munkar Bil Yad Liahadi Raiyyah.” karya syaikh Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi. Ada beberapa panduan bagi yang ingin mewujudkan kebaikan di tengah ummat dan ingin membasmi kemungkaran yang kian marak. Berikut ini beberapa pedoman yang seyogyanya diperhatikan oleh seorang muslim,

 

Enam Kaidah Amar Makruf Nahi Mungkar

Terdapat beberapa syarat yang ditentukan oleh ulama dalam menjalankan aksi amar ma’ruf nahi munkar. Syarat tersebut merupakan intisari dari pemahaman para ulama terhadap nash-nash alquran dan hadits serta maksud dari tujuan syariat. Syarat-syarat terpenting dalam mengatasi kemungkaran yaitu:

Pertama: Pelaku tertangkap basah sedang melakukan kemungkaran

Perbuatan mungkar yang yang dilakukan secara vulgar dan diketahui oleh publik harus dicegah.

Imam Ghazali merinci perbuatan kemungkaran yang sering terjadi menjadi tiga kondisi:

  • Pertama: ketika perbuatan itu menjadi dilakukan secara terang-terangan. Kewajiban ini diserahkan kepada penguasa untuk segera menghukum dengan hukuman had atau ta’ir. Sebab, hukuman tersebut ditegakkan oleh institusi kekuasaan.
  • Kedua: perbuatan maksiat terjadi di hadapan seseorang. Seperti melihat pemabuk meminum minuman keras atau melihat pria memakai sutera. Maksiat tersebut wajib dihilangkan dengan cara apa saja selama tidak menimbulkan maksiat yang sama atayu lebih besar. Tindakan ini boleh dilakukan oleh setiap orang.
  • Ketiga: ketika bibit-bibit perbuatan mungkar baru dalam tahap awal. Sehingga muncul kemungkinan perbuatan itu akan dilakukan. Seperti melihat orang menata tempat untuk kegiatan maksiat. Yang dilakukan dalam keadaan ini adalah memberi nasehat kepada pelaku dengan cara yang ma’ruf dan tepat. Tidak boleh melakukan aksi fisik kecuali jika diketahui bahwa oang itu telah terbiasa melakukan kemungkaran.
Kedua, Kemungkaran terjadi secara vulgar tanpa ada upaya memata-matai

Memata-matai orang muslim hukumnya haram. Namun, larangan ini tidak berlaku jika untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرً‌ا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Dari zaid bin wahab yang menceritakan bahwa seorang pria dibawa dibawa ke hadapan Ibnu Masud. Janggutnya masih meneteskan minuman keras. Abdullah bin masud pun mengatakan, “Kita dilarang melakukan tajassus. Namun, jika maksiat dilakukan secara terang-terangan, kita akan membabatnya.”

Larangan ini berlaku umum, kecuali dalam keterpaksaan ketika tindakan ini menjadu satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa. Imam Al-Nawawi pernah mengutip Keterangan Imam Al-Mawardi. Seseorang yang ingin mencegah kemungkaran dilarang mencari-cari kemungkaran yang tersembunyi. Jika terdapat bukti-bukti yang menunjukkan adanya perbuatan kemungkaran yang terjadi secara diam-diam maka terdapat dua kondisi:

Pertama, Kemungkaran akna menyebabkan musibah dan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Contohnya yaitu pembunuhan atau perzinahan. Dalam kondisi tersebut dibolehkan untuk memata-matai demi menggagalkan kemungkaran tersebut.

Kedua, kondisi di mana tingkat kemungkaran tidak separah yang pertama. Sehingga tindakan tajassur tidak perlu dilakukan.

Ketiga, Mengikuti tahapan yang telah ditentukan oleh syariat dalam menghilangkan kemungkaran

Tahapan mengubah dan membasmi kemungkaran diawali dengan peringatan secara lisan. Memberi tahu pelaku bahwa ia telah melakukan perbuatan mungkar yang dilarang oleh syariat. Jika kemungkaran terus berlanjut. Dilakukan tindakan atau aksi fisik dengan kekuatan.

Ibnu arabi berkata, “Mengubah kemungkaan dimulai dengan nasihat dan penjelasan. Jika tidak berhasil maka dengan tangan.”

Hal ini berdasarkan hadits nabi:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Orang yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahkan dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, ubah dengan hatinya. Dan itu adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim)

Keempat, Hanya melakukan tindakan yang diperlukan

Jika suatu kemungkaran dapat dicegah dengan cara minimal, tidak boleh berlebihan dalam membasminya. Misalnya, kemungkaran dapat dicegah dengan tangan tanpa perlu memukul pelakunya. Maka, dilarang memukul atau menggunakan kekerasan lainnya.

Imam al-jashshash mengatakan, “jika kita yakin bahwa si pelaku dapat dicegah dengan tangan tanpa senjata. Maka dilarang menghilangkan nyawanya.”

Ibnu qayyim juga menjelaskan, jika seseorang melakukan tindakan berlebihan dalam aksi babat kemungkaran sehingga menyebabkan kerusakan benda atau aset, ia harus mengganti nilainya. Sebab kita diperintahkan hanya untuk mengubah kemungkaran. Kita dilarang memukul si pelaku selama dapat dicegah tanpa pemukulan. Selama kemungkaran dapat dicegah dengan sedikit mencederai pelaku, dilarang memukuli pelaku hingga terluka parah.

Kelima, Aksi tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar

Walaupun amar makruf nahi mungkar dapat membawa maslahat dan mencegah kerusakan, namun perlu melihat efek dan dampaknya. Jika mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang lebih besar, tidak boleh dilakukna. Bahkan bisa menjadi haram hukumnya jika kerusakan yang ditimbulkannya lebih besar dari dampak positifnya.

Ibnu Taimiyah memberikan contoh untuk kaidah ini. Nabi Muhammad SAW membiarkan dan tidak menghukum Abdullah bin ubay dan para pemimpin munafik lainnya karena mereka memiliki basis masa yang besar. Menumpas kemungkaran dengan menghukum Abdullah bin Ubay berpotensi menyebabkan hilangnya kebaikan karena massa tersebut dapat marah dan tak terkendali. Demikian juga akan tersebar fitnah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad membunuh shahabatnya sendiri.

Contoh lainnya. Pada zaman penjajahan Tartar, beliau dan murid-muridnya melewati sekelompok tentara Tartar yang sedang mabuk-mabukan. Sebagian murid memarahi mereka. Tapi beliau mencegah dan mengatakan, “Allah mengharamkan khamer karena menghalangi orang dari mengingat Allah dan menegakkan shalat. Sedangkan khamer sekarang menghalangi mereka dari membunuh, menculik wanita dan merampok. Biarkan mereka meminum-minuman.”

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah merinci aksi nahi mungkar menjadi 4 tingkatan:

  • Pertama, kemungkaran hilang dan berganti menjadi kebaikan.
  • Kedua, kemungkaran berkurang meski tidak bisa hilang seratus persen.
  • Ketiga, kemungkaran hilang, tapi muncul kemungkaran baru yang sama kadarnya.
  • Keempat, kemungkaran hilang, tapi  berganti dengan kemungkaran baru yang lebih besar.

Kedua tingkatan pertama disyariatkan. Tingkatan ketiga bergantung pada ijtihad. Sedangkan yang keempat haram dilakukan. Namun harus diingat bahwa kebaikan dan kerusakan dinilai menurut ukuran syar’I bukan menurut akal dan hawa nafsu.

Keenam, Orang awam tidak diperingatkan kecuali dalam pelanggaran yang sudah jelas dan tidak memerlukan kedalaman ilmu dan ijtihad

Imam an-Nawawi mengatakan, orang yang berusaha mengajarkan yang makruf dan mencegah kemungkaran harus memahami apa itu kebaikan dan kemungkaran. Jika dalam hal ushul atau pokok seperti perbuatan wajib dan haram yang jelas dan diketahui oleh banyak orang. Seperti, shalat, shaum, zina dan khamer semua orang Islam boleh terlibat di dalamnya. Namun jika termasuk hal-hal spesifik yang sulit dan tidak dipahami oleh orang awam, maka mereka tidak boleh ikut campur dalam masalah tersebut. Karena hanya ulama yang kapabel dalam membahas hal tersebut.

Syarat ini berlaku karena orang yang belum tahu terkadang mengajak kepada kemungkaran dan melarang perbuatan baik akibat ketidaktahuannya. Allah berfirman:

قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf: 108)

Inilah syarat-syarat penting yang harus diperhatikan dalam mencegah kemungkaran dengan tangan. Syarat ini berlaku kepada siapa saja, mulai dari orang awam hingga ulama. Dari individu hingga kelompok atau penguasa. Syarat di atas tidak khusus dalam aksi nahi mungkar dengan tangan, tetapi tetap harus terpenuhi ketika mengubah kemungkaran dengan lisan.

 

Oleh: Redaksi/Biah/Sekitar Kita

Ukuran Mengangkat Tangan Saat Takbir dalam Shalat

Pertanyaan:

Assalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh Ustadz, saya anak SMA yang ingin tahu lebih tentang shalat, Takbir yang benar itu tangan diangkat sampai mana? Karena saya sering lihat banyak orang yang berbeda-beda cara takbirnya?

Demikian pertanyaan dari saya, apabila kata yang tidak berkenan saya mohon maaf sebesarnya. Atas perhatian ustadz saya ucapkan terima kasih. Wassalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Hamba Allah, Semarang

 

Jawaban:

Mengenai posisi tangan ketika takbir dalam shalat, ada perbedaan pendapat diantara para ulama. Mereka berbeda pendapat karena adanya hadits yang berbeda dalam menerangkan masalah ini. Diriwayatkan Salim dari ayahnya, Abdullah bin Umar, ia berkata,

 

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ مَنْكِبَيْهِ

Aku telah melihat Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bila memulai shalat dengan iftitah beliau mengangkat tangannya hingga berada di hadapan dua pundaknya.” (HR. Muslim)

Dan dalam riwayat Wa’il bin Hijr,

 

فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ

Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan menghadap kiblat, lalu takbir dan mengangkat kedua tangannya hingga berada di hadapan kedua telinganya.” (HR. Abu Daud)

Menyikapi kedua hadits yang zhahirnya berbeda ini, Imam An-Nawawi berkata, “Dalam madzhab kami dan kebanyakan madzhab lain, teknisnya yaitu mengangkat tangan di depan pundak, yaitu posisi ujung jari di depan telinga bagian atas, dan ibu jari berada di bawah telinga, di atas dua pundak. Ini yang disebut dengan posisi depan dua pundak. Dalam hal ini Imam Asy-Syafi’i telah mengkompromikan kedua hadits tersebut.”

Ada juga pendapat yang membenarkan keduanya, sebagaimana menurut sebagian ahli hadits, “Orang yang shalat dibolehkan memilih, boleh mengangkatnya hingga pundaknya, boleh juga mengangkat hingga kedua telinganya.” Menurut Ibnu Mundzir seperti ini adalah pendapat yang terbaik.

Dan ada juga yang lebih menguatkan riwayat dari Abdullah bin Umar. Ibnu Abdul Bar berkata, “Hadits Ibnu Umar lebih kuat dalam masalah ini, sebagaimana pendapat kebanyakan ulama tabi’in, Ahli fiqih dan Ahli hadits.” WaAllahu A’lam Bissawaab

(Lihat: Syarhu Al-Bukhari Ibnu Baththal: 3/436, Aunul Ma’bud: 2/257, Shahih fiqh sunnah: 1/343)

 

Oleh: Redaksi/Konsultasi

 

Baca Juga: 

Tak Shalat Berjamaah Karena Sibuk Bekerja

Yang Dilakukan Makmum Masbuk Saat Shaf Sudah Penuh

Hukum Menjalin Jari-jemari Saat Shalat

Perdagangan Jawa Pada Zaman Kekuasaan Portugis

Ekspansi Portugis ke Asia pada abad 16 didorong oleh beberapa faktor, seperti agama dan niaga, rasa haus akan petualangan serta ambisi kaum bangsawan yang belum tersalurkan sejak berakhirnya perang Salib. Setelah berhasil melewati Tanjung Harapan, Portugis mendapati pemandangan ramainya perdagangan di Samudra Hindia. Kapal orang Moor berlalu lalang di jalur ini. Orang Portugis dan orang Moor adalah saingan dagang. Selain itu, keduanya merupakan musuh bebuyutan yang berusaha saling menghancurkan. (B.J.O. Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 51 dan 56)   

 

Catatan Portugis Tentang Perdagangan Jawa

Pada 1511 Portugis berhasil menguasai Malaka, bandar terbesar di Nusantara saat itu. Setahun berikutnya, Portugis  tiba di Maluku. Selanjutnya, Portugis berusaha mengontrol jalur perdagangan Malaka-Maluku.

Berita dari orang Portugis pertama menceritakan bahwa orang Jawa sekitar tahun 1500 mendominasi perdagangan di perairan Nusantara, termasuk Malaka di sebelah barat dan Maluku di sebelah timur. Undang-undang Maritim Malaka disusun pada waktu itu oleh sekelompok pemilik kapal Malaka yang sebagian besar berasal dari Jawa. Kapalnya yang berbasis di Malaka dengan teratur berlayar ke Cina.

Tome Pires, orang Portugis yang mencatat perjalanannya dalam Summa Oriental, melaporkan bahwa mereka wajib berlabuh di lepas pantai karena orang Cina benar-benar khawatir jika “salah seorang anak buah jung ini menghancurkan dua puluh jung Cina”. Namun Pires juga mengemukakan bahwa perdagangan di Jawa jauh lebih besar satu abad sebelumnya –“karena mereka menyatakan bahwa pelayarannya sampai ke Aden dan bahwa perdagangan utamanya berada di Benua Keling (India Selatan), Bengala dan Pasai, ia pun menguasai seluruh perdagangan pada waktu itu”. Pada setiap “musim” di tahun 1406, 1408, 1410, 1414, 1418, dan 1432, armada Cina yang terdiri dari seratus atau lebih menghabiskan waktu yang panjang untuk perbaikannya di bandar-bandar Jawa Timur. (Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 2, hlm. 48-49)

Baca Juga: Pengaruh Islam Pada Zaman Perdagangan Jawa

Pires juga melaporkan bahwa informasi tentang jalur ke Maluku diperoleh di Malaka dari orang Islam setempat. Sementara itu, peta pelayaran ke Maluku didapat dari orang Jawa. Dalam surat Alfonso de Albuquerque kepada Raja Manuel 1 April 1512, ia mencatat, “Sehelai peta besar dari jurumudi Jawa, berisi peta Tanjung Harapan, Portugal, dan Daratan Brasilia, Laut Merah, dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, pelayaran orang Cina dan Ryukyu, dengan jalur mata angin dan jalur langsung mereka yang diikuti oleh kapal-kapal, kawasan pedalaman, dan bagaimana kerajaan-kerajaan itu saling berbatasan. Paduka, bagi saya tampaknya ini adalah hal yang paling bagus yang pernah saya lihat … Peta ini bertulisan Jawa, tetapi bersama saya ada orang Jawa yang dapat membaca dan menulis.” (Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, hlm. 55)          

 

Berpindah ke Bandar Baru

Orang Portugis berambisi untuk menjadi bangsa besar dan ingin mencari keuntungan dari perdagangan. Mereka bernafsu menjadi kaya mendadak dengan menjarah bangsa-bangsa lain. Sebagaimana diceritakan sebelumnya, pada mulanya mereka meminta bantuan orang Muslim Jawa untuk menunjukkan jalur pelayaran ke Maluku. Namun setelah berhasil tiba di Maluku, Portugis justru berbalik memerangi para pedagang Muslim Jawa dan Muslim lainnya. Saudagar-saudagar Arab dan Persia melukiskan bangsa Portugis sebagai bajak laut liar. Pada awalnya, orang-orang Portugis hanya ingin mengadakan perjanjian dagang. Kemudian dengan kerakusan, mereka menghancurkan dan memperbudak sultan-sultan yang telah mempercayai mereka ataupun memberi tempat bagi mereka di kerajaannya. (William Marsden, Sejarah Sumatra, hlm. 375 dan 376)

Baca Juga: Datangnya Si Perusak Kedamaian, Portugis

Dengan pendudukan Malaka, monopoli perdagangan dan penjarahan terhadap kapal-kapal dagang milik kaum Muslim, Portugis telah menghancurkan perdagangan Nusantara, bahkan perdagangan Asia. Selama berabad-abad, perdagangan di lautan Nusantara, dari Selat Malaka hingga kepulauan Maluku, berjalan dengan damai dan melibatkan banyak bangsa. Keadaan ini tiba-tiba berubah setelah Portugis datang. Timbullah kekacauan sistem perdagangan secara damai berubah menjadi sistem perampokan. Portugis tidak memiliki komoditi yang bisa dibarterkan di Malaka. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid I, hlm. 159)

Maka dari itu, setelah Malaka diduduki Portugis, para pedagang selain mereka berusaha menghindari jalur Selat Malaka. Mereka juga memindahkan aktivitas perdagangan mereka ke bandar-bandar lain, seperti Aceh, Banten, Tuban dan Makasar. Namun demikian, Portugis tetap menjadi ancaman di lautan dari Selat Malaka hingga kepualaun Maluku. Oleh karena itulah, terutama pedagang-pedagang Jawa menganggap orang-orang Portugis sebagai musuh. Akibatnya, tidak ada satu tempat pun di Pulau Jawa yang sempat diduduki oleh orang-orang Portugis, kecuali di Jawa Timur yang hingga akhir abad 16 masih terdapat sebuah kerajaan Hindu Jawa yang kecil. (Th. Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, hlm. 19) Upaya pendudukan terhadap bandar di Jawa, seperti Sunda Kalapa, segera membangkitkan perlawanan dari Muslim Jawa.   

 

Goyahnya Monopoli Portugis

Sejak tiba di Maluku pada 1512, Portugis berusaha mengontrol dan memonopoli perdagangan di kepulauan ini. Usaha untuk mendapatkan hak eksekutif atas rempah-rempah menjadi faktor pendorong bagi ekspansi mereka terhadap daerah-daerah penghasil cengkih. Mereka juga giat menyebarkan agama Katolik di kalangan pribumi. Akibatnya, meletuslah perlawanan rakyat Maluku dengan dibantu para pedagang Muslim Jawa. Akhirnya, monopoli rempah-rempah oleh Portugis pun goyah. Pada sekitar 1565, Portugis harus menyerahkan perdagangan di Maluku ke tangan orang Jawa. Dengan penyerahan itu, kawasan dagang orang Jawa semakin meluas, bahkan luasnya melampaui yang sudah-sudah.

Portugis terpaksa melepaskan impiannya dalam kebijakan monopoli di Maluku. Mereka tidak pernah benar-benar berkuasa atas Banda. Hitu yang merupakan perkampungan Muslim Jawa di Ambon terbukti terlalu kuat bagi Portugis. Pada 1572 Portugis meninggalkan benteng mereka di Ternate. (Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 63-64) Wallahu a‘lam.

 

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Biografi Iblis, Si Pembangkang Hingga Akhir Zaman

Kita semua tahu musuh utama seorang muslim adalah setan. Tapi seberapa tahu kita bahwa setan punya pimpinan dan setan punya standar operasi yang digencarkan oleh pimpinannya? Berikut biografi Iblis, si bos besar setan.

 

Asal Muasal

Bangsa Jin lebih dahulu menempati bumi daripada manusia. Tatkala mereka berbuat kerusakan di muka bumi, Allah mengutus sepasukan Malaikat. Para malaikat memerangi, mengusir dan mendesak mereka hingga ke lautan. Salah satu jin ditangkap dan dibawa ke langit. Di langit, Jin tersebut menjadi penjaga Jannah.

Dialah Iblis. Dahulu namanya Azazil atau al-Harits dan kuniyahnya Abu al-Kurdus. Dalam riwayat lain, Iblis pernah menjadi ketua malaikat penjaga langit dunia, memiliki empat sayap, rajin beribadah dan memiliki wawasan luas. Diciptakan dari unsur api dan

derajatnya hampir sama dengan malaikat karena sangat rajin beribadah.

 

Awal Mula Pembangkangan

Saat Allah menciptakan Adam dan menyuruh seluruh malaikat termasuk Iblis untuk bersujud, Iblis menolak perintah Allah. Dia tidak sudi melakukan sujud penghormatan tersebut semata karena sombong. Allah pun melaknatnya dan melemparkannya ke dunia.

Iblis menolak perintah ini karena memang sebagai jin, dia memiliki pilihan antara melaksanakan dan mengabaikan. Adapun malaikat, semua tercipta dengan karakter sama yaitu tidak akan pernah memaksiati perintah Allah.

Pembangkangan selanjutnya dilakukan Iblis saat memperdaya Hawa dan Adam agar memakan buah larangan yang dia sebut sebagai buah kekekalan (Khuldi). Intensitas rayuannya membuat Hawa terpedaya dan menjerumuskan diri dan juga suaminya melanggar laragan Allah. Keduanya pun memakan buah yang oleh Iblis disebut sebagai buah khuldi dan kemdian diusir oleh Allah dari surga menuju dunia.

Baca Juga: Empat Pelajaran Berharga dari Kisah Adam dan Godaan Hawa

Dan Iblis, penolakannya untuk sujud menghormati Adam sangat dimurkai Allah. Iblis pun dilaknat dan kemudian diusir ke dunia bersama Adam dan Hawa.

Iblis pun memohon kepada Allah agar dikekalkan hingga Kiamat. Tujuannya satu, balas dendam pada Adam dan anak turunnya karena membuat dirinya terlaknat. Allah menyetujui hal ini dengan segala kebaijaksanaan dan ilmu-Nya. Iblis dan bala tentaranya akan menjadi ujian bagi bani Adam.

Ada pendapat ngawur yang menyatakan bahwa iblis lebih baik dari malaikat karena hanya mau bersujud kepada Allah dan tidak mau sujud kepada Adam. Pendapat ini jelas ngawur, pertama karena sujud tersebut adalah sujud penghormatan, bukan ibadah. Kedua, Allah yang memerintahkan dan perintah-Nya mutlak, termasuk untuk sujud sekalipun. Ketiga, jika memang sujud itu hanya trik untuk menguji, maka seluruh malaikatlah yang akan dilaknat, sedang Iblis satu-satunya yang lulus. Kenyataannya tidak demikian.

 

Istana Iblis

Pasca Pengusiran dari langit, Iblis membangun kerajaannya di bumi. Dia membangun singgasananya di atas lautan. Setan-setan menjadi bala tentaranya.

Saat Ibnu Shayyad ditanya oleh Rasulullah mengenai apa yang dia lihat, Ibnu Shayyad melihat Singgasana di atas lautan yang dikelilingi ular-ular. Lalu Rasulullah mengatakan bahwa itu adalah Arsy-nya Iblis.

Dari Arsy inilah Iblis memerintah dan menerima laporan hasil kerja bala tentaranya. Dan dari sinilah segala bentuk godaan maksiat bermula. Prestasi mereka dinilai berdasar tingkat maksiat dan dosa dari manusia yang mereka goda. Dalam sebuah riwayat disebutkan, perceraian merupakan hasil godaan yang paling diapresiasi oleh Iblis. Jika ada anak buahnya yang berhasil menceraikan pasangan suami isteri, dia akan didekatkan kepada Iblis dan diberi mahkota.

Baca Juga: Imma’ah, Tukang Ikut-ikutan Mayoritas Orang

Wallahua’lam, tidak ada yang tahu letak kerajaan Iblis. Tidak sedikit yang berasumsi bahwa area lautan di Segitiga Bermuda-lah kerajaan Iblis berada. Dugaan ini didasarkan pada beragam misteri dan kecelakakaan pesawat dan kapal di area tersebut. Namun, semuanya hanyalah dugaan semata.

 

Musuh Iblis Terkuat

Musuh terkuat iblis dan bala tentaranya adalah orang-orang “mukhlas”. Siapakah orang yang mukhlas? Mukhlas adalah orang yang keikhlasannya sudah menjadi “habit” atau kebiasaan. Seakan-akan, setiap amalnya senantiasa dilingkupi keikhlasan dan sudah tidak perlu usaha lebih keras untuk ikhlas. Tingkat dibawahnya adalah mukhlis, yatu orang yang hatinya masih harus bekerja keras agar bisa ikhlas dalam beramal.

Jika seseorang telah menjadi mukhlas, akan ada dinding antara dirinya dengan setan hingga setan sulit menggoda dan mencuri keikhlasannya. Dialah yang dikecualikan Iblis dari manusia pada umumnya.

“(Iblis berkata) Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka (Qs. Shad: 82-83)

 

Dicekik Nabi Muhammad 

 

عَنْأَبِي الدَّرْدَاءِ ، قَالَ : قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَسَمِعْنَاهُ , يَقُولُ : ” أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ ، ثُمَّ قَالَ : أَلْعَنُكَ بِلَعْنَةِ اللَّهِ ثَلَاثًا وَبَسَطَ يَدَهُ كَأَنَّهُ يَتَنَاوَلُ شَيْئًا ” , فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ , قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ , قَدْ سَمِعْنَاكَ تَقُولُ فِي الصَّلَاةِ شَيْئًا لَمْ نَسْمَعْكَ تَقُولُهُ قَبْلَ ذَلِكَ , وَرَأَيْنَاكَ بَسَطْتَ يَدَكَ , قَالَ : ” إِنَّ عَدُوَّ اللَّهِ إِبْلِيسَ جَاءَ بِشِهَابٍ مِنْ نَارٍ لِيَجْعَلَهُ فِي وَجْهِي , فَقُلْتُ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ قُلْتُ : أَلْعَنُكَ بِلَعْنَةِ اللَّهِ فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَرَدْتُ أَنْ آخُذَهُ , وَاللَّهِ لَوْلَا دَعْوَةُ أَخِينَا سُلَيْمَانَ لَأَصْبَحَ مُوثَقًا بِهَا يَلْعَبُ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ” 

 

Dari Abu Darda berkata, “Rasulullah shalat dan tetiba kami mendengar Beliau mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Lantas Beliau mengucap lagi, “Aku melaknatmu dengan laknat Allah” sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membentangkan tangannya seakan-akan Beliau tengah meraih sesuatu. Usai shalat, kami bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tadi mendengar anda mengucapkan  ucapan yang belum pernah kami dengar sebelumnya dan kami melihat anda menjulurkan tangan anda.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya tadi Iblis si musuh Allah datang membawa obor dan ingin membakar mukaku dengannya. Maka aku berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu sebanyak tiga kali. Lalu Aku berkata, “Aku melaknatmu dengan laknat Allah.” Tapi Iblis masih belum mau pergi dan akupun berniat menangkapnya. Demi Allah, kalau saja bukan karena doa saudaraku Sulaiman, Iblis itu akan terikat sampai pagi dan akan menjadi mainan anak-anak Madinah.” (HR Muslim).

Dalam riwayat lain Nabi mencekik lehernya hingga beliau mampu merasakan basahnya air liur Iblis karena cekikan Beliau.

 

Dilaknat Sampai Kiamat

Kehidupan abadi yang dimiliki Iblis digunakan untuk menyesatkan manusia dan membawa mereka menuju tempat akhir si Pembangkang. Dendam ini menyeret anak-anak Adam yang terpedaya ke dalam neraka. Meski demikian, nasib akhir setiap manusia yang celaka bukanlah menjadi tanggung jawab Iblis, tapi tanggung jawab masing-masing. Kelak, manusia memang akan menyalahkan Iblis, namun Iblis akan berlepas diri dan menyatakan bahwa dia hanya memperdaya dan manusia sendirilah yang percaya. Wal iyadzu billah. Semoga Allah menyelamakan kita dari tipu daya iblis dan tentaranya.

(Taufik anwar/Al-Bidayah wa an Nihayah, Juz I Bab Ma Warada fi Khalqi Adam)

 

Menjadi Istri Penyejuk Hati

Slogan ‘rumah tangga tanpa problema’ seringkali menghipnotis pola pikir para suami dan istri. Seakan kehidupan rumah tangga itu harus selalu berjalan mulus, tanpa aral rintangan. Padahal, cuaca kehidupan keluarga memang tak selamanya cerah. Seringkali mendung-mendung problema, bahkan hujan badai masalah datang menerpa keluarga.

Suami dan istri sama-sama berkewajiban menyelesaikan persoalan. Untuk istri, ia harus mampu bermain cantik. Tatkala kekeruhan membelit keluarganya, terutama berkaitan dengan kondisi suaminya, hendaknya ia memainkan peran sebagai ‘pengimpor’ ketenangan dan ketenteraman dalam keluarganya. Bukan malah ikut mengeruhkan kondisi yang memang sudah keruh. Mencoba mencerahkan kepekatan yang menyelimuti keluarganya dan menggelayuti hati suaminya. Ingatlah firman Allah Ta’ala, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…” (QS. Ar-Rum: 21)

 

Saat Suami Dirundung Gelisah

Jangan pernah meremehkan kegelisahan suami, sekecil apa pun intensitas kegelisahan itu. Berapa banyak bermula dari kondisi hati dan pikir suami yang sedang tidak fresh, pekat, suntuk dan gelisah, beragam problema keluarga acapkali terpampang di depan mata. Dalam kondisi semacam ini, seorang istri sebisa mungkin menelusupkan sejumput sakinah dan ketenteraman di dalam hati suaminya. Bisa berupa ucapan yang menyejukkan, sikap yang santun, maupun pelayanan terbaik yang mampu mengusir kepenatan jiwa.

Baca Juga: Hukum Wanita Karir

Bukankah istri pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Khadijah Radhiyallahu ‘anha telah menjadi teladan bagi para istri dalam memerankan fungsinya sebagai pengimpor ketenteraman bagi suaminya tercinta? Tatkala datang masa pengangkatan beliau sebagai nabi dan rasul, menandai dimulainya kehidupan yang berat penuh rintangan dan masa yang sulit penuh penindasan, Khadijah berdiri kokoh membela dan memantapkan hati Rasulullah SAW. Saat wahyu pertama turun kepada beliau di gua Hira’, dan beliau pulang ke rumah dalam keadaan takut dan gelisah, maka ucapan sejuk meluncur dari lisan Khadijah, mengguyur hati Rasulullah SAW, “Demi Allah! Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena engkau senantiasa menyambung tali silaturahmi, meringankan beban orang lain, memberi kaum papa, memuliakan tamu, dan membela yang benar.” Subhanallah, kepekatan hati akibat dirundung rasa takut dan gelisah telah ‘dicerahkan’ oleh lisan santun seorang istri shalihah!

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

خَيْرُ نِسَائِهَا بِنْتُ عِمْرَانَ، وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيْجَةُ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ

Sebaik-baik wanita surga adalah putri ‘Imran (Maryam), dan sebaik-baik wanita surga adalah Khadijah binti Khuwailid.” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad)

 

Sesejuk Hati Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘anha

Kita tentu juga akan terpana menyaksikan figur istri menyejukkan yang satu ini, Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah. Di saat mendung menyelimuti atmosfir keluarganya akibat kematian putranya tercinta, Ummu Sulaim mampu memerankan diri sebagai istri yang mencerahkan dan menenteramkan hati suaminya. Sebuah prestasi keanggunan yang cukup sulit diraih oleh para istri zaman ini.

Di dalam riwayat Muslim disebutkan, bahwa anak Abu Thalhah dari Ummu Sulaim telah meninggal dunia. Maka, Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalhah tentang kondisi yang menimpanya, sampai aku sendiri nanti yang akan menceritakannya.” Saat itu Abu Thalhah baru saja pulang dari bepergian, Ummu Sulaim pun segera menyiapkan santapan makan malam. Kemudian Abu Thalhah makan, minum, dan berkumpul dengan istrinya. Ummu Sulaim memberikan pelayanan yang lebih bagus kepadanya daripada hari-hari sebelumnya.

Baca Juga: Buat Para Wanita; Awas Bidadari Marah Padamu

Tatkala Ummu Sulaim melihat suaminya telah kenyang dan puas, ia berkata, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu jikalau ada seseorang yang meminjam barang pinjaman kepada orang lain, kemudian orang itu meminta kembali barang pinjaman tersebut, apakah ia layak menolak permintaannya?” Abu Thalhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim pun berkata, “Anakmu telah meninggal. (Allah dulu telah meminjamkan anak itu kepada kita, dan Dia sekarang mengambilnya)…”

Subhanallah. Di tengah-tengah hantaman musibah yang mendera dirinya dan suaminya, Ummu Sulaim mampu berperan indah, menyuguhkan dan memberikan pelayanan yang mencerahkan dan menenteramkan hati suaminya!

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku bermimpi masuk surga. Ternyata di sana aku bertemu dengan Ar-Rumaisha’, istri Abu Thalhah.. ” (HR. Bukhari)

 

Mataku Tak Akan Terpejam Hingga Engkau Ridha

Memang tidak selayaknya seorang suami murka kepada istri tanpa sebab yang masyru’. Yang dituntut menjadi penyejuk hati juga bukan hanya istri melulu, suami juga punya kewajiban serupa. Akan tetapi jika suatu ketika hati sang suami sedang dikuasai hawa amarah, apa yang sebaiknya dilakukan istri? Membalasnya dengan luapan marah karena merasa tak bersalah dan tertindas? memberondong dengan kata-kata emosional yang semakin menambah kekeruhan itu?

Tentu jawabnya tidak, meski bukan hal yang ringan. Tapi memang, istri penyejuk hati adalah yang mampu tampil indah dalam kondisi yang tidak indah. Di dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maukah kalian aku beritahu sifat wanita kalian di surga?” Kami menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Yaitu wanita yang penuh kasih dan banyak anak. Bila ia marah, atau disakiti, atau suaminya marah, maka ia pun berkata, ‘Inilah tanganku dalam genggaman tanganmu. Engkau tak akan melihat mataku terpejam, hingga engkau ridha kepadaku’.” (HR. Thabrani)

Semoga Anda menjadi istri yang menyejukkan hati suami. Semoga Anda menjadi istri shalihah yang mencerahkan kepekatan yang menggelayuti jiwa suami Anda! Wallahuul musta’an.

 

Oleh: Redaksi/ Wanita

 


Baca juga artikel tentang wanita muslimah menarik lainnya di Majalah islam ar-risalah. Belum punya majalahnya? Segera dapatkan di keagenan terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di: 0852 2950 8085