Ucapan Selamat dari Malaikat untuk Penghuni Surga

Banyak ayat di dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang percakapan yang terjadi di akhirat kelak. Percakapan tersebut ada yang terjadi antara malaikat dan penghuni surga serta neraka, antara penghuni surga dan penghuni neraka, maupun antara sesama penghuni surga atau neraka. Allah menjelaskan percakapan di dalam surga dan neraka secara berulang-ulang. Hal ini merupakan indikasi bahwa Allah ingin agar kita memperhatikan. Oleh karena itu, tugas kita adalah memperhatikannya, dengan harapan untuk mendapatkan surga dan berusaha untuk melindungi diri dari api neraka.

 

Antara Malaikat dan penghuni Surga

Malaikat adalah makhluk yang paling taat kepada Allah, tidak pernah membangkang perintah Allah ataupun melakukan perbuatan dosa. Mereka adalah hamba yang dimuliakan,  selalu memuji Allah, bertasbih serta mengagungkan asma Allah. Mereka selalu ada bersama manusia sejak manusia masih berupa janin hingga maut menyapa. Merekalah yang diutus oleh Allah untuk meniupkan ruh ke dalam janin, mereka mencatat perbuatan baik dan buruk, dan mencabut ruh dari tubuh kita pada saat kematian. Setelah kematian pun manusia masih akan terus bersama para malaikat utusan Allah, bahkan saat itu manusia dapat berkomunikasi kepada mereka.

Salah satu ayat yang menjelaskan percakapan antara malaikat dan penghuni Surga adalah firman Allah dalam surat az-Zumar: 73-74.

 

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ (73) وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ وَأَوْرَثَنَا الأرْضَ نَتَبَوَّأُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاءُ فَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ 

“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Rabbnya dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu, sedangkan pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedangkan kamu kekal di dalamnya.” Dan mereka mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini, sedangkan kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja kami kehendaki.” Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.”

Baca Juga: Pejabat Bermartabat Karena Pemimpin Hebat

Ibnu Katsir ketika menjelaskan, ayat ini menceritakan, keadaan orang-orang yang bahagia, yaitu orang-orang mukmin, pada saat mereka digiring untuk dimasukkan ke dalam surga secara berombong-rombongan. Masing-masing rombongan digabungkan bersama orang-orang yang setara kedudukannya, yaitu para nabi dengan para nabi, kaum siddiqin bersama orang-orang yang setara dengan mereka, para syuhada bersama orang yang sejenis dengan mereka, dan para ulama bersama teman-temannya; setiap golongan bersama gelpngan yang setingkat satu sama lainnya.

Ketika mereka telah melampaui sirat, mereka diberhentikan di sebuah jembatan yang memisahkan antara surga dan neraka, kemudian dilakukanlah hukum qisas yang terjadi di antara mereka ketika di dunia. Setelah diri mereka telah dibersihkan dan diri mereka telah suci dari dosa-dosa, barulah mereka diizinkan untuk memasuki surga.

Ketika mereka telah sampai ke surga, para malaikat penjaga surga menyambut kedatangan mereka dengan berita gembira, salam, dan pujian. Sebagaimana Malaikat Zabaniyah (malaikat juru siksa) menyambut kedatangan orang-orang kafir dengan caci maki dan kecaman. Maka apabila hal itu terjadi, ahli surga merasa berbahagia, senang, gembira, dan riang; masing-masing merasakannya sesuai dengan kenikmatan yang telah disediakan baginya di dalam surga.

Baca Juga: Sukses dengan Keterbatasan

Mereka berkata, “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu!” Yakni alangkah baiknya amal perbuatan dan ucapan kalian, alangkah baiknya usaha kalian, dan alangkah baiknya balasan pahala kalian. “Maka masukilah surga ini, sedangkan kamu kekal di dalamnya.”  Tinggallah kalian di dalamnya untuk selama-lamanya, kalian tidak akan mau pindah darinya.

Orang-orang mukmin itu apabila telah menyaksikan pahala mereka yang berlimpah di dalam surga dan pemberian yang besar, nikmat yang abadi, dan kerajaan yang besar, maka pada saat itu mereka mengatakan: Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami.” Apa yang mereka dapatkan sebagaimana yang mereka harapkan dan panjatkan kepada Allah selama hidup mereka.

 

{رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ}

Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji. (Ali Imran: 194)

Dan mereka mengatakan pula dalam doanya:

 

{وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ}

dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami ke (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran” (QS. Al-A’raf: 43)

 

Oleh: Redaksi/Motivasi

Khilafah Islamiyah; Antara Sistem dan Institusi

Setelah disahkannya perppu ormas yang menyasar sebuah organisasi masa yang getol menyuarakan khilafah. Banyak media mengangkat tema tentang khilafah hingga banyak orang bertanya-tanya seperti apakah kekhilafahan dalam Islam. Dari berbagai definisi Khilafah dan Imamah yang telah disebutkan oleh para ulama, Dr. Athiyah ‘Adlan Qarah Daghi menyimpulkan bahwa Khilafah atau Imamah adalah “Sistem pemerintahan Islami, di dalam sistem tersebut pemimpin tunduk kepada kedaulatan syariat Islam, pemimpin memperoleh kekuasaannya dari (pilihan dan baiat) umat Islam, sehingga dengannya ia memiliki hak untuk melakukan tindakan yang menyeluruh terhadap seluruh umat Islam, dengannya ia melanjutkan peranan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menjaga dien dan mengatur urusan dunia dengan dien, serta membawa seluruh umat Islam di atas bimbingan syariat Islam demi mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat mereka.” (Dr. Athiyah Adlan, An-Nazhariyah Al-‘Aamah li-Nizhamil Hukmi fil Islam, Kairo: Darul Yusr, cet. 1, 1432 H, hal. 122)

Khilafah atau Imamah pada hakekatnya adalah sistem pemerintahan dalam Islam. Sistem bermakna prinsip-prinsip, aturan-aturan, dan kaedah-kaedah. Dengan demikian, pada hakekatnya Khilafah atau Imamah adalah kumpulan dari sejumlah prinsip, aturan, dan kaedah syariat Islam dalam masalah politik dan pemerintahan. Prinsip, aturan, dan kaedah syariat Islam tersebut bersifat baku dan disepakati oleh para ulama.

Hal itu juga bermakna Khilafah atau Imamah sebenarnya bukanlah bentuk, format, institusi, dan teknis pengelolaan pemerintahan Islam sendiri. Bentuk, format, institusi, dan pengelolaan pemerintahan Islam bisa saja berubah-ubah, sesuai perubahan kondisi waktu, tempat, dan manusia. Namun prinsip, aturan, dan kaedah syariat yang mengaturnya tetap senantiasa baku.

Kedaulatan tertinggi dalam sistem pemerintahan Islam berada di tangan Allah atau syariat Allah.

Pemimpin dipilih oleh rakyat, dibai’at oleh rakyat, dan atas dasar kerelaan rakyat. Teknis pemilihannya sendiri bisa diwakili oleh Ahlul Halli wal Aqdi, namun tetap harus ada kerelaan dan pembai’atan oleh kaum muslimin.

Pemimpin Islam melanjutkan tugas Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah kaum muslimin, yaitu menjaga dien Islam dan mengatur urusan kaum muslimin dengan landasan syariat Islam.

Tujuan dari kepemimpinan Islam adalah merealisasikan maslahat sebesar-besarnya bagi kaum muslimin, di dunia maupun akhirat, dalam urusan dunia maupun agama.

Kesimpulan-kesimpulan di atas merupakan bagian dari prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah utama sistem pemerintahan dalam Islam.

Dalam hal ini Prof. Dr. Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili (wafat 1436 H) menulis, “Para ulama mujtahidin belum membuat teori umum kenegaraan yang menjelasakan asas-asas teori dan praktek negara. Dahulu mereka hanya membuat solusi-solusi dan mengajukan pendapat-pendapat setiap kali terjadi peristiwa baru, seperti yang biasa terjadi pada mayoritas hukum fikih Islam. Meskipun demikian, harus dicatat bahwa mereka berjalan di atas petunjuk prinsip-prinsip dan teori-teori umum yang bersifat baku.”

“Demikianlah, sesungguhnya Daulah Islamiyah tegak di atas pilar-pilar baru yang inovatif, berbeda sama sekali dari pilar-pilar tegaknya Imperium Byzantium dan Imperium Persia. Di antara pilar-pilar tersebut adalah Islam mencambakkan paham hegemoni penguasa, dan paham ketundukan rakyat dalam urusan agama dan dunia kepada selain prinsip-prinsip Islam. Allah semata pemilik kekuasaan dalam urusan akhirat baik berupa pahala maupun siksa. Sistem pemerintahan Islam dalam perkara-perkara dunia tegak di atas kaedah-kaedah syariat dalam menjaga maslahat-maslahat dan menolak kerusakan-kerusakan, sesuai kondisi waktu dan tempat. Sistem pemerintahan Islam juga tegak di atas prinsip keadilan, musyawarah, persamaan, interaksi yang sebanding, akhlak yang mulia, dan tidak ada diskriminasi manusia atas dasar jenis kelamin, bahasa, warna kulit, dan daerah.” (Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Darul Fikr, cet. 4, 1997 M, vol VIII hal. 416.)

 

Ciri Khas Hukum Politik Islam

Sistem pemerintahan Islam tegak lebih di atas prinsip-prinsip umum yang baku, daripada sebuah institusi atau lembaga yang kaku. Hal ini bisa dimengerti karena masalah politik dan pemerintahan termasuk perkara-perkara dunia yang diatur oleh syariat Islam dengan dalil-dalil umum dan kaedah-kaedah global, yang perinciannya diserahkan kepada ijtihad kolektif para pemimpin Islam dan ulama mujtahidin sesuai situasi tempat, waktu, dan manusia.

Para ulama menjelaskan bahwa syari’at Islam memadukan dua sifat sekaligus: ats-tsabat (konsistensi, baku, paten, tetap) dan al-murunah (fleksibilitas, luwes, berubah-ubah). Ada hukum-hukum syari’at yang bersifat terperinci dan baku, tanpa pernah berubah dan menerima perubahan sedikit pun, walau terjadi perubahan tempat, zaman, dan manusia. Adapula hukum-hukum syariat yang ditetapkan secara global, sedangkan perinciannya diserahkan kepada para ulama mujtahid, sehingga ia bisa berubah dengan berubahnya tempat, zaman, situasi, dan manusia.

Hukum-hukum syari’at Islam yang bersifat baku (tsawabit, qath’iyat) ditetapkan berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah secara tegas, jelas, dan terperinci. Ia tidak bisa diubah, ditambahi, atau dikurangi oleh para ulama mujtahid sekalipun. Ia harus diyakini, diterima, dan diamalkan sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada alasan untuk membantah dan tidak ada ruang untuk berlogika dalam hal-hal yang bersifat qath’iyat ini.

Adapun hukum-hukum syari’at Islam yang bersifat fleksibel dan bisa berubah dengan terjadinya perubahan tempat, zaman, dan manusia diatur oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan nash-nash yang bersifat global dan kaedah-kaedah yang bersifat umum. Perinciannya secara detail diserahkan kepada para ulama mujtahid untuk berijtihad, dengan tetap mengacu kepada nash-nash syari’at yang global dan kaedah-kaedah umum tersebut.

Hasil ijtihad mereka tentu bisa berubah dengan perubahan kondisi tempat, zaman, manusia, dan maslahat yang lebih dominan. Di sinilah terletak keluwesan syari’at Islam, sehingga senantiasa sesuai dengan perubahan zaman. Ia mampu memberikan maslahat yang sebesar-besarnya bagi umat manusia yang taat melaksanakannya.

 

Oleh: Redaksi/ Istidlal.org

 


Ingin berlangganan Majalah Islami yang bermutu dan asyik dibaca? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

Beberapa Kiat Agar Anak Berbakti Kepada Orangtua

Fenomena durhaka kepada orang tua semakin hari semakin mengenaskan. Tak “sekadar” hardikan dan bantahan saat diperintah, bahkan seperti terjadi tak lama lalu, seorang anak tega membunuh orang tuanya hanya karena tidak dibelikan helm. Krisis bakti kepada orang tua ini harus segera dicarikan jalankeluar. Sangat penting orang tua mendidik anak-anak agar berbakti kepada orangtua sejak mereka masih kecil.

Allah memerintahkan seorang anak berbakti kepada kedua orangtua dalam surat Lukman ayat 14 dengan kalimat “wasiat” yang menunjukkan keharusan atau sesuatu yang tak boleh ditinggalkan. Allah berfirman:

 

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali” [Luqman : 14]

Lantas, apa saja yang bisa dilakukan agar anak-anak kita menjadi anak yang berbakti? Berikut beberapa caranya.

 

Menceritakan Pengorbanan Orangtua

Selain menyampaikan kewajiban, ayat tersebut mengajarkan salah satu cara mendidik anak agar berbakti kepada orangtua. Allah mengajarkan kepada orang tua untuk menceritakan pengorbanan ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuhnya hingga besar. Nasihat pada anak tentang pengorbanan seorang ibu sebaiknya berasal dari ayah. Dengan begitu ayah bisa mendramatisir cerita tanpa merasa pamrih. Hal ini merupakan cara memberi pengaruh dengan menggugah emosional anak sehingga berdampak kuat terhadap perilaku.

Allah menghendaki agar anak berbakti kepada kedua orangtua mereka dan bersifat lemah lembut kepada keduanya, itu pun masih jauh dari cukup bila dibandingkan dengan kepayahan dan kelelahan orang tua dalam mengandung, membesarkan dan mendidik sang anak hingga beranjak dewasa. Berbakti kepada orangtua merupakan salah satu tanda syukur (terimakasih) kepada kedua orang tua.

 

Memberi Teladan

Orangtua perlu memberi contoh kepada anaknya dalam hal berbakti lewat sikap mereka kepada orangtua. Apa yang sudah ia lakukan pada ibu-bapaknya dan apa yang sudah dia lakukan untuk membuat anaknya taat kepadanya. Dalam hadist disebutkan, Rasulullah bersabda,

 

بَرُّوا اَبَاءَكُمْ تَبِرُّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ

“Berbaktilah kalian kepada orangtuamu, niscaya anak kalian akan berbakti pada kalian.” (HR. Hakim).

Seperti apa perlakuan kita pada orangtua, hal itulah yang menjadi sebab perlakuan anak kita pada kita. Al-jaza’ min jinsil amal, balasan itu tergantung dengan perbuatan.
Orangtua yang membina anaknya dengan baik akan mendapatkan perlakuan yang sama dari anaknya ketika usia senja. Seorang yang durhaka kepada orang tua akan melahirkan anak yang mendurhakainya. Maka, sebelum mengharap perilaku anak menjadi baik perilaku bapak dan ibu kepada orang tuanya harus diperbaiki terlebih dahulu.

 

Menceritakan Kisah Anak-anak Yang Berbakti

Salah satu cara mengajarkan tentang bakti pada orangtua ialah menceritakan kisah indah tentang birrul walidain. Ada banyak kisah tentang hal ini, misalnya: 1. Kisah tentang tiga orang yang terjebak di dalam goa kemudian dibebaskan oleh Allah lantaran bakti salah satu dari mereka kepada orang tuanya. 2. Kisah Uwais al-qarni, seorang tabiin yanb berbakti sehingga setiap doanya dikabulkan. 3. Kisah sahabat yang tak boleh berangkat jihad karena mengurus orang tuanya, dan lainnya. Atau kisah sedih para pendurhaka, seperti kisah Juraij.

 

Menanamkan Adab

Imam an-Nawawi menyebutkan satu hadits dalam kitabnya, al-Adzkar, “Nabi melihat seseorang bersama anaknya. Maka Nabi bertanya kepada anak tersebut, ‘siapakah ini yang bersamamu?’, Ia menjawab, ‘Ayahku.’ Lalu Nabi bersabda, ‘jangan berjalan di depannya dan jangan membuatnya marah kepadamu. Jangan pula duduk di depannya dan jangan memanggil namanya langsung.”

Mengajarakan akhlak, sopan santun adalah kewajiban para orang tua. Imam bukhari menyebutkan perkataan Walid bin Numair dalam al-Adabul Mufrad bahwa dahulu orang-orang shalih berkata, “kebaikan adalah berasal dari Allah sedangkan adab atau tata krama adalah berasal dari orang tua.” Ketika orang tua tidak mengajarkan akhlak yang baik kepada anaknya besar kemungkinan sang anak akan berperilaku buruk kepada kedua orang tuanya.

 

Berdoa Agar Anaknya Menjadi Anak Yang Berbakti

Doa orang tua untuk anak-anaknya adalah doa yang mudah diijabah oleh Allah. Maka bila orang tua ingin anaknya menjadi anak yang shalih dan berbakti, doakan mereka.

Rasulullah bersabda sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah,

 

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa orang yang dizholimi.” (HR. Abu Daud no. 1536. Syaikh Al Albani katakan bahwa hadits ini hasan).

Mudah terkabulnya doa orang tua mencakup doa baik dan doa buruk. Maka ketika sesekali anak membuat tak nyaman hati orang tua, jangan sampai keluar dari lisan orang tua doa buruk pada anaknya sendiri seperti yang terjadi pada Juraij. Orang tua hendaknya selalu mendoakan anaknya istiqamah dalam kebaikan, menjadi anak yang shaleh dan berbakti. Salah satu doa yang termuat di dalam al-Qur’an adalah doa ibadurrahman yang memohon kepada Allah agar dikaruniai istri dan anak yang menyenangkan hati dengan kesalihan mereka dan kepatuhan mereka kepada orang tua. Allah berfirman,

 

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqan: 74)

Semoga Allah karuniakan kita anak yang shalih dan berbakti kepada orangtua. Anak-anak yang senantiasa istiqamah di atas kebenaran.

 

Oleh: Redaksi/Keluarga

 

Baca Juga: