3 Anak Tangga dalam Bermawas Diri

Hari demi hari kita lalui, terkadang maksiat lebih dominan kita lakukan daripada ketaatan, kadang dengan ijin Allah kita mampu menjalankan beberapa ketaatan dalam beberapa waktu. Masih banyak PR yang perlu kita introspeksi.

Muhasabah laksana pohon. Sebagian orang tidak kesulitan dalam memanjatnya, tapi sebagian yang lain teramat sulit melakukannya. Mereka yang kesulitan tak perlu risau, sebab para pendahulu yang shalih telah mewariskan “tangga” untuk memanjat pepohonan rimbun itu. Tangga tersebut sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim memiliki tiga anak tangga, yaitu;

Anak tangga pertama, timbanglah kebaikan Allah dengan kebaikan kita, lalu bandingkan antara pengabdian kita kepada Allah dengan dosa-dosa yang kita lakukan.

Dengan menimbang kebaikan Allah dengan pengabdian kita, kita akan mengerti bahwa Rabb adalah Rabb dan bahwa hamba adalah hamba. Kita akan mengetahui keagungan Allah dan Ia maha sempurna dan penuh karunia kepada hamba-Nya. setiap kenikmatan adalah anugerah dan setiap musibah adalah keadilan. Untuk memijakkan kaki pada tangga pertama, dibutuhkan tiga hal: ilmu yang dapat membedakan antara haq dan bathil, lalu suuzhan kepada diri sendiri dan yang ketiga membedakan antara nikmat dan fitnah.

Anak tangga kedua, pilahlah antara kewajiban kita untuk beribadah dan taat kepada Allah dengan hak kita. Hak kita adalah semua yang mubah secara syar’i. dengan menunaikan kewajiban, pastilah Allah akan memberikan apa yang menjadi hak kita. Banyak orang yang keliru memandang antara hak dan kewajiban seorang hamba. Sehingga berbuat semena-mena dan acuh terhadap syariat agama. Meninggalkan shalat, berzina dan lain sebagainya. Di sisi lain, ada yang memandang haknya sebagai kewajiban, sehingga larut dalam peribadatan, tapi lupa dengan urusan dunia. Sehingga urusan dunia terbengkalai dengan dalih sibuk beribadah.

Anak tangga ketiga, pahamilah bahwa setiap kebaikan yang kita rasa puas terhadapnya adalah bencana dan bahwa setiap kita menghina seseorang karena maksiat yang dia lakukan, niscaya kita akan melakukan kemaksiatan yang sama suatu hari nanti. Jadi jangan puas terhadap diri sendiri dan jangan pernah mencela orang lain.

Cukuplah sebagai pengingat, bahwa orang-orang alim dan arif senantiasa mengakhiri ibadah yang mereka lakukan dengan ‘istighfar’. Bukan lantaran ikut-ikutan atau latah, tetapi karena ia tahu bahwa ia telah kehilangan sekian persen dari seratus persen yang seharusnya mereka penuhi.

Itulah ketiga anak tangga yang memudahkan kita untuk memanjat pohon muhasabah. Sekarang bila sudah ada tangga, apa mungkin seorang muslim masih mengelak karena tidak bisa memanjatnya?

 

Pandai-pandailah Merasa Berdosa

Tersebut dalam shahihain, tatkala Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu meminta kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk mengajarkannya sebuah doa yang akan dipanjatkan di dalam shalatnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam mengajarkan, “Ucapkanlah,

اللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, dan tidak ada yang kuasa mengampuni dosa selain Engkau, maka ampunilah aku dengan pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari-Muslim)

BACA JUGA: MENGAKUI DOSA DAN MEMOHON AMPUNAN

Sejenak kita merenung, siapakah gerangan yang bertanya? Dia adalah Abu Bakar ash- Shidiq radhiyallahu anhu. Sahabat yang terdepan dalam setiap kebaikan. Satu di antara sahabat yang mendapat kabar gembira sebagai penghuni jannah. Orang yang tatkala Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya di waktu Shubuh tentang berbagai jenis amal shalih, beliau adalah orang yang sudah mengamalkan setiap jenisnya. Ia juga yang disebut Nabi shallallahu alahi wasallam sebagai ‘arhamu ummati’, yang memiliki sifat paling welas asih kepada kaum muslimin. Sangat peka akan penderitaan kaum muslimin dan bersegera menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Ringkasnya, beliau tunaikan hak Allah dan hak makhluk.

Pun begitu, doa yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam tersebut memiliki makna agar beliau mengakui dosa-dosanya, menyadari kezhalimannya yang banyak agar kemudian Allah berkenan memberikan ampunan dan pemaafan dari dosa dan kesalahan.

Lantas apalah kita dibandingkan Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu. Jaminan surga belum didapat, terhadap semua lini kebaikan juga tak segera bergegas. Pun terhadap derita kaum muslimin yang sedang prihatin dengan musibah dan bencana juga tidak segera tergerak. Pada saat yang bersamaan, merasa tanpa beban seperti tak memiliki dosa dan kesalahan.

Rasa takut terhadap dosa dan dampaknya, memang bergantung pada ketinggian ilmu seseorang. Karena itulah Allah menyebut bahwa yang takut kepada-Nya di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama. Abu Bakar ash-Shidiq memiliki ilmu yang teramat mumpuni dan karena itu pula beliau memiliki rasa takut yang tinggi.

Rasa takut yang tidak berefek pada putus asa, namun mengantarkannya untuk menjauh dari dosa, bertaubat darinya dan bermujahadah dalam segala lini kebaikan. Semangat ini yang mestinya kita tiru dan jaga. Jikalau kita belum merasa memiliki banyak salah, cobalah kita renungkan; berapa banyak jenis kewajiban yang harus kita tunaikan, kita tidak tahu persisnya, bagaimana bisa kita merasa sudah melakukan semuanya, sehingga tidak menyisakan dosa.

Begitupun dengan maksiat dan dosa, berapa item cacahnya kita tak tahu pasti, bagaimana bisa kita merasa telah menjauhi semua dosa. Belum lagi hak-hak kaum muslimin yang berada di pundak kita, lebih banyak terlantar daripada yang sudah ditunaikan. Semoga Allah menjauhkan kita dari kesalahan dan mengampuni dosa-dosa kita.

(Abu Umar Abdillah)