Beberapa Cara Pelaksanaan Puasa Asyura

Muharram adalah bulan yang mulia, hingga Allah Ta’ala menjadikan bulan tersebut sebagai salah satu bulan haram, maknanya di bulan tersebut diharamkan melakukan pertumpahan darah (perang).

Empat bulan haram itu dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabdanya:

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim )

Islam Menyebut Bulan Muharram sebagai syahrullah (bulan Allah). Rasulullah bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”(HR. Muslim)

Bulan ini betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Az Zamakhsyari mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut.”

Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda:

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.”

Maksud puasa disini adalah puasa secara mutlak. Dan minimalnya bagi kita tidak meninggalkan puasa Assyura yang merupakan kebiasaan para salaf.

Dari Ibnu Abbas ra ia berkata, “sesungguhnya Rasulullah melakukan puasa Assyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukannya”. (Muttafaq ‘alaih)

Sedangkan mengenai pahalanya termaktub dalam sebuah hadits. “Sesungguhnya Rasulullah ditanya tentang pahala puasa Assyura maka beliau bersabda ,” Akan menghapuskan dosa setahun yang lalu”. (HR. Muslim).

Adapun pelaksanaan puasa asyura ada beberapa cara antara lain:

  1. Berpuasa pada tanggal 10 Muharram dengan berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya

Rasulullah bersabda, “Berpuasalah kalian di hari asyura, dan selisihilah orang-orang yahudi dengan berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya.” (HR. Al-Haitami)

  1. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram

Rasulullah bersabda, “”Kalau saja aku hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada

9 muharram.” (HR. Muslim)

  1. Berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram

Rasulullah bersabda, “Berpuasalah kalian di hari asyura, dan selisihilah orang-orang yahudi dengan

berpuasa sehari sebelumnya dan setelahnya.” (HR. Ahmad)

  1. Berpuasa sehari saja pada tanggal 10 muharram

Rasulullah bersabda, “Puasa di hari Asyura, sungguh aku mengharap kepada Allah dapat menggugurkan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

 

Redaksi/Fikih

‘Suro’ Bulan Rahmat Bukan Keramat

Muharram, orang jawa menyebutnya bulan suro. Ia identik dengan bulan sakral, angker dan keramat. Penganut klenik mencapai puncak kegigihannya menjalani ritual di bulan ini. Menjamas keris pusaka, sedekah laut, sedekah bumi, ruwatan sampai pagelaran wayang yang bertujuan agar mendapat berkah, panen bertambah, menghindari pageblug (bencana) dan semisalnya. Tempat-tempat (yang dianggap) keramat pun ramai didatangi orang.

Di keraton Jogja misalnya, warga melakukan tirakatan mubeng benteng yaitu memutari benteng keraton Yogyakarta sebanyak tujuh kali di malam 1 Suro tanpa bicara. Hal ini dipercayai bakal mennyingkirkan marabahaya yang akan menimpa kampung mereka.

Di pantai Parangtritis yang dikenal dengan sebutan pantai selatan, manusia menyemut sehari sebelum satu muharram. Di puri parangkusumo yang dipercaya sebagai tempat pertemuan asmara panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram Islam) dengan Nyi Roro Kidul, digelar ritual khusus penganut klenik kebatinan. Ritual syirik pun digelar. Labuh Mahesa Lawung beserta ubo rampenya, menghanyutkan kepala kerbau lengkap dengan sesajinya ke laut selatan.

Nabi menyebutkan, ada seorang masuk neraka gara-gara berkorban seekor lalat untuk selain Allah. lalu bagaimana jika yang dikorbankan adalah kerbau yang jutaan kali lebih besar dari lalat?

Keraton solo melakukan kirab pusaka keraton. Berbagai benda pusaka yang dianggap keramat, ampuh dan memiliki kekuatan diarak ke luar keraton. Tak ketinggalan enam kerbau bule yang dianggap bertuah pun ikut diarak. Kerbau yang dinamakan Kyai Slamet ini pun menjadi primadona. Orang-orang bahkan yakin, kotoran kerbau ini mengandung berkah, bisa mendatangkan kekayaan atau bikin awet muda dan semisalnya. Sungguh tak beda dengan perilaku orang musyrik jahiliyyah yang mengagungkan pohon ‘Uzza, patung Latta, atau perilaku Bani Israel yang mengagungkan sapi.

Selain upacara-upacara, satu Suro juga dimanfaatkan orang untuk berziarah ke kuburan-kuburan orang yang dianggap sakti atau wali. Sebagian bersemedi, sebagian lagi ngalap (berharap) berkah, sebagian lagi –katanya- hanya menjalankan rutinitas ziarah dan berdoa di sana.

Ada petilasan joyoboyo di Kediri, makam Syaikh Abdul Muhyi serta makam-makam wali songo seperti makam sunan gunung jati di Cirebon, makam sunan Kalijaga di Demak, Sunan Kudus dan Sunan Muria di Kudus, Goa Maharani dan sunan Drajat di Lamongan, Sunan Ampel di Surabaya dan yang lainnya.

Padahal Rasulullah sendiri melarang kuburannya dijadikan ‘ied, dikunjungi secara rutin pada waktu tertentu, atau dijadikan ajang kumpul-kumpul mengadakan ritual khusus. Larangan yang disertai laknat bagi yang melaksanakannya. Jika makam Nabi, manusia paling mulia saja dilarang untuk digunakan sebagai tempat upacara, apalagi sekedar makam wali-wali, ulama, atau raja yang semasa hidupnya tak semulia beliau.

Di sisi lain, kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa enggan melakukan kegiatan yang bersifat sakral terutama hajatan pernikahan. Entah sejak kapan kepercayaan ini muncul. Namun yang jelas, sampai sekarang pun mayoritas masyarakat Jawa tidak berani menikahkan anaknya di bulan Suro. Ada sebagian mereka percaya bahwa setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul penguasa laut selatan, selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (tidak diketahui jumlah anaknya berapa). Jika ada yang punya gawe di bulan Suro ini, diyakini pengantin atau keluarganya tidak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yang jelas masyarakat Jawa turun-temurun memilih tidak menikahkan anaknya du bulan Suro. Jika tak percaya, tanyalah penyedia jasa sewa alat-alat resepsi atau sejenisnya, mereka pasti sepi orderan.

Tidakkah orang-orang tahu, menganggap bulan Muharram sebagai bulan sial untuk menikah berarti telah menyakiti Allah karena telah mencela masa?

Jika kita amati lebih cermat, apa yang dilakukan orang Jawa di bulan Suro merupakan akulturasi Syi’ah dan animisme, dinamisme dan arab jahiliyyah. Dulu, orang Quraisy jahiliyyah setiap Asyura’ selalu menggantung kiswah Ka’bah. Kini, orang jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus. Alangkah miripnya hari ini dan kemarin.

Muharram bukanlah bulan keramat. Ia adalah bulan pembuka penanggalan Hijriyah. Ia bukan bulan buruk, karena Islam tidak mengenal waktu-waktu buruk selain waktu-waktu yang diharamkan Allah untuk melakukan suatu amalan.

[bs-quote quote=”Muharram bukanlah bulan keramat. Ia adalah bulan pembuka penanggalan Hijriyah. Ia bukan bulan buruk, karena Islam tidak mengenal waktu-waktu buruk selain waktu-waktu yang diharamkan Allah untuk melakukan suatu amalan.” style=”default” align=”center” color=”#2285e8″][/bs-quote]

Rasulullah telah memberi teladan kita dalam menyambut bulan Muharram. Nabi hanya mencontohkan shaum pada tanggal 10 Muharram ditambah sehari sebelum atau sesudahnya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda, Berpuasalah pada hari Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi itu, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.”

Maka, untuk apa melebih-lebihkan amalan dengan amalan yang tidak ada tuntunannya, apalagi jika terjerumus ke dalam kesyirikan. Waliyadzubillah

Oleh: Abu Umar Abdillah/Syubhat

 

Nikah di Bulan ‘Sura’ Bakal Celaka?

Pada bulan Muharram atau yang akrab ditelinga masyarakat Indonesia terutama Jawa dengan sebutan Sura kali ini, banyak sekali mitos-mitos yang masih menjadi keyakinan dan masih mereka pegang erat-erat. Sehingga banyak dari mereka yang takut untuk melakukan kegiatan semisal; bepergian ke tempat jauh, mengadakan pesta pernikahan, membangun rumah dan semisalnya.

Tidak ada alasan ilmiyah mengapa sedemikian diyakini dan dipegang erat-erat mitos-mitos tersebut kecuali karena doktrin turun-temurun dari nenek-moyang dan para pendahulu mereka. Ada yang menyangkakan bahwa Sura adalah bulannya Nyi Roro Kidul, jadi kalau ada yang nekat mengganggu urusannya, ia akan marah dan mengganggu siapa yang mengusiknya. Adapula yang menyangka bila Sura adalah bulannya para raja Jawa terdahulu sehingga tidak sopan melakukan ritual di bulan ini.

Baca Juga: Melangkahi Kakak Menikah

Salah satu ritual yang dihindari di masyarakat pada bulan ini adalah mengadakan pesta pernikahan. Pernikahan adalah prosesi sakral yang istimewa dan bernilai ibadah. Namun ada saja yang terlalu ekstrim menyakralkan hal tersebut. Imbasnya ketika menentukan pasangan nikah dan hari pernikahan didasarkan pada primbon keyakinan yang diakui masyarakat, seperti; bila menikah di bulan Sura akan mendatangkan musibah dan pasangan suami-istri tak akan bertahan lama, bila dia tinggal di sebelah timur, maka menurut primbon dia tidak baik menikah dengan yang tinggal diarah barat atau semisalnya. Yang semua keyakinan tersebut tidak pernah diajarkan oleh Islam.

Muharram (Sura) adalah salah satu bulan mulia dalam Islam. Allah memuliakan amalan dan melipat gandakan pahala sebuah amalan seringkalinya karena ikatan waktu dan tempat pelaksanaan. Misalnya; ibadah di bulan Ramadhan pahalanya berlipat ganda, karena waktu bulan tersebut adalah bulan yang mulia. Misal lainnya, orang yang berdoa di Masjidil Haram dan shalat disana tentunya pahala dan kemuliaannya berbeda dari masjid pada umumnya, karena tempatnya bernilai mulia. Begitu juga melakukan kebaikan di bulan Muharram tentunya akan bernilai keutamaan yang lebih daripada bulan-bulan lainnya, karena kemuliaan waktu yang ada padanya. Maka, tidak elok rasanya bila bulan mulia ini justru dijadikan bulan yang menakutkan sebagaimana keyakinan masyarakat pada umumnya.

Berhubungan dengan hukum nikah di bulan Muharram, tidak ada dalil yang melarangnya dan tidak ada satupun ulama yang melarangnya berdasarkan qiyas maupun ijma’. Oleh karenanya kembali kepada hukum asal semua perbuatan, yaitu boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan perbuatan tersebut. Sebagaimana kaidahnya berbunyi:

أن الأصل في العادات والأفعال الإباحة ، ما لم يرد دليل التحريم

“Hukum asal dari kebiasaan dan perbuatan adalah mubah (boleh), selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.”

Ali Menikahi Fathimah di Awal Bulan Muharram

Bila ada sebagian orang yang masih mempercayai mitos, ada baiknya kita mencontoh Sahabat mulia Ali bin Abi Thalib.

Ali radhiyallahu ‘anhu menikahi ibunda Fathimah pada tahun ketiga setelah peristiwa hijrah. Adapun ia menikahinya pada awal-awal hari di bulan pertama tahun Hijriyah, yang bermakna bulan tersebut adalah bulan Muharram. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab ‘Al-Bidayah wan Nihayah: 3/419.

Baca Juga: Antara Adat Sura dan Keutamaan Asyura

Ali radhiyallahu ‘anhu dan sayidah Fathimah menjadi pasangan yang romantis dan bahagia hingga ajal menjemput mereka berdua, dan mereka tidak terkena sedikitpun musibah karena menikah pada bulan Sura.

Jadi tidak ada hubungan antara menikah di bulan Muharram (Sura) dengan mitos yang mengatakan bahwa akan mendatangkan musibah, bala dan kerusakan. Semua hal tersebut adalah keyakinan bathil yang harus kita jauhi. Wallahu a’lam. (Nurdin/Terkini/Syubhat)

 

Tema Terkait: Terkini, Syubhat, Pernikahan

Amalan Bid’ah vs Amalan Sunnah Di Bulan Muharram

Muharram adalah bulan yang mulia, hingga Allah Ta’ala menjadikan bulan tersebut sebagai salah satu bulan haram, maknanya di bulan tersebut diharamkan melakukan pertumpahan darah (perang).

Empat bulan haram itu dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim )

Dalam penanggalan tahun Jawa, bulan Muharram dikenal dengan sebutan bulan Sura. Sudah menjadi ‘keyakinan’ bagi sebagian masyarakat Indonesia -Jawa khususnya- bahwa bulan Muharram atau bulan Sura adalah bulan keramat. Masih ada keyakinan-keyakinan serta ritual atau amalan-amalan ‘nyleneh’ yang dilakukan menjelang dan selama bulan Sura, diantaranya:

   1.Siraman malam 1 Sura, yaitu mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman.

   2.Tapa Mbisu, yaitu tidak bicara ketika berjalan mengelilingi kraton.

   3.Jamasan (mencuci) pusaka dan mengaraknya mengelilingi kraton.

   4.Ruwatan, yang berarti pembersihan dari sukerta atau kekotoran.

   5.Juga berziarah ke beberapa makam yang dianggap keramat.

Pada Bulan itu mereka tidak berani mengadakan acara pernikahan. Karena menurut klaim mereka, pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Muharram kerap mendatangkan sial bagi pasangan, seperti perceraian, kematian, tidak harmonis, dililit hutang dan sebagainya. Bahkan, banyak yang menyampaikan alasan yang tidak masuk akal. Misalnya, pada bulan Surolah penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, melangsungkan hajat pernikahan.

Semua keyakinan dan amalan tersebut tidak ada satupun dalilnya dari Al-Quran dan Sunnah juga salaf shalih, sehingga akan menyebabkan terjerumus dalam lobang kebidahan dan kesyirikan.

 

Kemuliaan Bulan Muharram

Islam Menyebut Bulan Muharram sebagai syahrullah (bulan Allah). Rasulullah bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”(HR. Muslim)

Bulan ini betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Az Zamakhsyari mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut.”

Hasan al-Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah membuka awal tahun dengan bulan haram, dan menutup akhir tahun dengan bulan haram pula. Tidak ada bulan yang lebih agung di sisi Allah setelah Ramadhan dibandingkan bulan Muharram” ‘Baitullah‘ (rumah Allah) atau ‘Alullah‘ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy.

Abu Utsman An-Nahdi mengatakan: “Para salaf mengagungkan tiga waktu dari sepuluh hari yang utama: Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram”.

Mendapati bulan Muharram merupakan kenikmatan tersendiri bagi seorang mukmin. Karena bulan ini sarat dengan pahala dan ladang beramal bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan hari esoknya

Berikut ini amalan-amalan sunnah yang dianjurkan pada bulan ini:

 

Perbanyak Amalan Shalih dan Jauhi Maksiat

Ibnu Abbas ra berkata tentang tafsir firman Allah Ta’ala dalam Surat At Taubah ayat 36: “…maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian…”; Allah telah mengkhususkan empat bulan dari kedua belas bulan tersebut. Dan Allah menjadikannya sebagai bulan yang suci, mengagungkan kemulian-kemuliannya, menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) serta memberikan pahala (yang lebih besar) dengan amalan-amalan shalih.”

Baca Juga: Antara Adat Suro & Keutamaan Asy-syuro

Mengingat besarnya pahala yang diberikan oleh Allah melebihi bulan selainnya, hendaknya kita perbanyak amalan-amalan ketaatan kepada Allah pada bulan Muharram ini dengan membaca Al Qur’an, berdzikir, shadaqah, puasa, dan lainnya.

Selain memperbanyak amalan ketaatan, tak lupa untuk berusaha menjauhi maksiat kepada Allah dikarenakan dosa pada bulan-bulan haram lebih besar dibanding dengan dosa-dosa selain bulan haram.

Qatadah rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya kezhaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada kezaliman yang dilakukan di luar bulan-bulan haram tersebut. Meskipun kezhaliman pada setiap kondisi adalah perkara yang besar, akan tetapi Allah Ta’ala menjadikan sebagian dari perkara menjadi agung sesuai dengan kehendaknya.”

 

Melaksanakan Puasa

Rasulullah bersabda:

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.”

Maksud puasa disini adalah puasa secara mutlak. Dan minimalnya bagi kita tidak meninggalkan puasa Assyura yang merupakan kebiasaan para salaf.

Dari Ibnu Abbas ra ia berkata, “sesungguhnya Rasulullah melakukan puasa Assyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukannya”. (Muttafaq ‘alaih)

Sedangkan mengenai pahalanya termaktub dalam sebuah hadits. “Sesungguhnya Rasulullah ditanya tentang pahala puasa Assyura maka beliau bersabda ,” Akan menghapuskan dosa setahun yang lalu”. (HR. Muslim).

Baca Juga: Berpuasa Setelah Hari Asy-Syuro

Cara melaksanakannya sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Utsaimin, beliau  menyebutkan bahwa para ulama diantaranya Ibnul Qayyim membagi puasa ke dalam tiga tingkatan :

  1.Berpuasa tgl. 9 &10 Muharam dan ini yang paling utama. Karena Nabi Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Kalau aku masih hidup tahun depan niscaya aku akan berpuasa pada tanggal 9 (Muharam).” (HR. Muslim).

   2.Puasa tgl. 10 & 11 Muharam, agar menyelisihi puasanya orang-orang Yahudi.

   3.Puasa pada tgl. 10 Muharam saja, dan ini hukumnya makruh menurut sebagian ulama karena akan menyerupai puasanya orang Yahudi. Tapi ada ulama lain yang membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya (tanggal 9 Muharram).

Semoga kita semua dapat memuliakan bulan Muharram dengan rangkaian ibadah sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. 

 

Tema Terkait: Muharram, Bid’ah, Sunnah