Sungkan, Penghalang Banyak Kebaikan

Keinginan untuk mengaplikasikan ilmu syar’i yang telah kita pelajari, seringkali  terganjal dengan situasi masyarakat yang mengitari. Terlebih jika kita tinggal di daerah yang masih kental nuansa adat daerah, atau masih minim dari sentuhan dakwah Islam yang ‘serius’.

Gambaran kesulitan selalu terbayang, karena konsekuensinya adalah harus berani tampil beda, siap dianggap nyleneh dan menjadi sorotan atau pusat perhatian. Belum lagi jika harus menolak undangan acara yang tidak ‘nyar’i‘, tradisi bid’ah atau terkadang berbau syirik. Tuduhan kurang bermasyarakat, dicurigai aliran sesat dan aneka kekhawatiran lain tergambar kuat di benak kita.

 

Sungkan, Menghalangi Banyak Kebaikan

Rasa sungkan memang menghalangi banyak kebaikan. Baik sungkan dalam pengertian malu untuk berbuat baik, maupun takut orang lain tidak berkenan dengan perbuatan baik yang dilakukan.

Dari permulaan, menuntut ilmu yang merupakan gerbang seluruh kebaikan kerap terganjal karena sungkan. Mungkin karena umur telah lanjut, malu memulai dari awal, harus berguru kepada yang lebih muda, tak enak bergabung dengan majlis-majlis ta’lim dan berbagai alasan lain yang intinya adalah sungkan. Padahal, menuntut ilmu bukanlah cela, karenanya tak ada alasan untuk malu. Kalaupun harus menahan rasa malu, itu jauh lebih baik dan lebih ringan akibatnya daripada seumur hidup menelan pahitnya kebodohan. Adalah suatu keutamaan jika seseorang tidak terhalangi rasa malu atau sungkan dalam menuntut ilmu. Inilah kelebihan wanita Anshar yang dipuji oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha,

نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّين

“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk menuntut ilmu agama.” (HR. Muslim)

Rasa sungkan juga menghalangi seseorang untuk tampil sesuai dengan tuntutan syar’iat. Apa kata orang nanti? Pertanyaan ini seakan menjadi tembok besar yang menghalangi seseorang untuk ‘hijrah’ dari maksiat menuju ketaatan.

Rasa sungkan juga menghalangi seseorang untuk tampil sesuai dengan tuntutan syar’iat. Apa kata orang nanti? Pertanyaan ini seakan menjadi tembok besar yang menghalangi seseorang untuk ‘hijrah’ dari maksiat menuju ketaatan.

Sekedar sampel, seorang muslimah merasa sungkan berjilbab di sekolah atau di kampungnya karena belum ada yang mendahului, tidak enak kalau harus melakukan seorang diri.

Untuk menghidupkan sunnah pun seringkali terganjal oleh rasa sungkan kepada orang lain. Mungkin karena belum ada yang menjalankan, atau khawatir dianggap aneh, takut dikatakan pamer atau riya’. Padahal, cukuplah seseorang dianggap riya’, jika ia meninggalkan amal karena manusia. Fudhail bin Iyadh berkata,

تَرْكُ اْلعَمَلِ لِأَجْلِ الناَّسِ هُوَ الرِّياَءُ، وَاْلعَمَلُ لِأَجْلِ الناَّسِ هُوَ الشِّرْكُ

Meninggalkan amal karena manusia, itulah riya, dan beramal karena manusia, itulah yang disebut syirik.

Justru, ketika belum ada orang lain yang memulai menghidupkan suatu sunnah atau kebaikan, mestinya lebih termotivasi untuk menjalankan. Karena orang yang mempelopori suatu kebaikan, akan mendapatkan pahala orang-orang yang mengikuti jejaknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang mempelopori suatu sunnah yang baik dalam Islam, makanya dia mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang mengamalkan setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (HR Muslim)

Alangkah sayangnya bila keutamaan itu luput dari kita hanya karena rasa sungkan.

Bantuk kebaikan yang paling sering terhalang untuk dilakukan karena sungkan adalah kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar. Takut menyinggung perasaan orang, tak enak mencampuri urusan orang atau khawatir dianggap sok suci. Apalagi jika kemungkaran atau kesalahan itu dilakukan oleh orang yang lebih pintar, lebih senior, atau orang yang disegani. Sikap seperti ini, sesungguhnya merupakan bentuk menghinakan dirinya sendiri. Ibnu Katsier rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah,

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. al-Maidah: 79)

Beliau menampilkan sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا يَحْقِرْ أَحَدُكُمْ نَفْسَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَحْقِرُ أَحَدُنَا نَفْسَهُ قَالَ يَرَى أَمْرًا لِلَّهِ عَلَيْهِ فِيهِ مَقَالٌ ثُمَّ لَا يَقُولُ فِيهِ فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَقُولَ فِي كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ خَشْيَةُ النَّاسِ فَيَقُولُ فَإِيَّايَ كُنْتَ أَحَقَّ أَنْ تَخْشَى

“Janganlah sekali-kali salah seorang di anatara kalian menghinakan dirinya sendiri.” Para sahabat bertanya, “Bagaiamana maksud salah seorang di antara kami menghinakan diri sendiri?” Beliau bersabda, “Ketika ia melihat suatu urusan yang mestinya ia berbicara karena Allah, namun ia tidak menyampaikannya, lalu Allah Azza wa Jalla akan berkata kepadanya pada Hari Kiamat, “Apa yang menghalangimu untuk menyampaikan ini dan itu?” Ia menjawab, “Takut kepada manusia.” Maka Allah berfirman, “Semestinya Aku lebih berhak untuk ditakuti.” (HR Ibnu Majah dan al-Baihaqi). Al-Bushiri dalam az-Zawa’id mengatakan, “ini isnadnya shahih.”

Adapun Imam Ahmad, memberikan penjelasan terhadap hadits tersebut, “Ini berlaku bagi orang yang tidak mau menyampaikan kebenaran karena takut celaan orang, padahal sebenarnya dia mampu untuk menyampaikan.”

Cobalah kita renungkan, betapa banyak kemungkaran merajalela, lantaran banyak orang-orang yang sungkan atau takut untuk mencegahnya. Padahal, Allah memuji suatu kaum yang memiliki karakter, “walaa yakhaafuuna lau mata laa’im”, dan tidak takut celaan dari orang yang suka mencela.

 

Sungkan, Sebab Banyaknya Pelanggaran

Rasa sungkan bukan saja menghalangi banyak kebaikan, tapi juga menjadi sebab terjadinya banyak pelanggaran. Banyak orang yang secara ilmu sudah paham haramnya sesuatu, tapi belum bisa meninggalkannya karena sungkan, takut menyinggung perasaan orang, atau khawatir penghargaan orang kepadanya menjadi berkurang.

Menghadiri pesta yang menggelar kemungkaran, berpartisipasi dalam tradisi kesyirikan, berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram dan masih banyak kasus lain yang hampir kita jumpai setiap hari. Sebagian orang melakukannya bukan karena tidak tahu, tapi karena rasa sungkan untuk mengatakan “tidak!” terhadap kemaksiatan. Beralasan ‘menjaga perasaan orang’ tidaklah tepat dalam konteks ini. Karena resiko yang dihadapi terlalu besar dari sekedar menjaga perasaan orang. Adalah suatu kebodohan, jika seseorang mencari ridha manusia dengan cara mengundang murka ar-Rahman. Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan dalam Kitab Tauhid, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha,

 مَنْ اِلْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسُخْطِ الناَّسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى الناَّسَ عَنْهُ وَمَنْ اِلْتَمَسَ رِضاَ الناَّسِ بِسُخْطِ اللهِ سَخَطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ الناَّسَ

“Barangsiapa yang berupaya meraih ridha Allah hingga membuat manusia marah, maka Allah akan meridhainya, dan akan membuat manusia ridha terhadapnya. Dan barangsiapa yang ingin mendapatkan ridha manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, maka Allah akan murka kepadanya, dan akan membuat orang-orang marah kepadanya.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya dengan sanad hasan).

Begitu banyak kebaikan yang hilang karena sungkan, demikian banyak pula pelanggaran dialukan karena sungkan. Karenanya, sudah saatnya kita enyahkan rasa sungkan dalam melakukan kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Wallahul muwaffiq.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdilllah/Telaah

Ciri Orang yang Mudah Berdusta, Mudah Mencari Alasan

Alasan atau “kilah” dalam bahasa lainnya;  siapa yang belum pernah memakainya? Rasanya siapapun kita niscaya pernah memanfaatkannya. Ya, terutama ketika kita harus menghadapi situasi yang boleh jadi memang bukan seperti yang kita kehendaki. Misalnya saja ketika harus telambat masuk kantor, terlambat membayar hutang, kurang dalam menunaikan kewajiban, dan situasi yang semacamnya.

Adakah yang pernah kesulitan untuk beralasan? Mustahil, karena ternyata tersedia ribuan atau bahkan jutaan alasan yang siapa saja bisa menggunakannya. Tapi hati-hati, jika Anda termasuk yang terampil membuatnya, itu justru merupakan wujud kekurangan terbesar yang ada dalam diri Anda. Mahir membuat alasan sama sekali bukan merupakan kelebihan! Mengapa?

 

Baca Juga: Muslim Itu Haruslah Multi Talenta

 

Begini jawabannya: Alasan yang dipaksakan atau dibuat-buat sama sebangun dengan dusta. Perkara ini jelas tercela menurut ukuran agama dan terhina di mata sesama manusia. Andai ini saja urusannya, maka sungguh celaka orang yang hobi beralasan. Sungguh, karena dusta sama sekali bukan perkara yang pantas disandang dan menjadi tabiat seorang yang beriman. Rasulullah bersabda, “Seorang mukmin  itu ditabiatkan pada semua sifat selain sifat  khianat dan dusta.” (HR. Imam Ahmad).

Adanya kedustaan menandakan tiadanya keimanan. Barangsiapa yang berdusta, apalagi membiasakan diri denganya, sesungguhnya ia telah melampaui batas dan menganiaya dirinya sendiri. Oleh karenannya Allah pun mengutuknya, “Terkutuklah orang-orang  yang dusta.” (QS. Adz-Dzariyat: 10).

Alasan yang mengada-mengada sendiri merupakan cermin atas pribadi yang lemah yang tak mampu mengendalikan dirinya sendiri dan tak kuasa me-manage-nya dengan baik, hingga selalu terjerumus pada kelonggaran-kelongaran yang dibuatnya sendiri. Menurutnya baik-baik saja dan tak ada masalah, padahal sangat mematikan. Dalam kasus ini, memang alasan apapun bisa diciptakan! Tetapi ketahuilah bahwa orang lain, baik yang memiliki urusan secara langsung maupun yang tidak terkait sama sekali, juga tahu sejatinya alasan itu.

 

Baca Juga: Sering Berkeluh Kesah, Tanda Jiwa Yang Lemah

 

Karena itu, lebih baik bicara apa adanya secara terbuka ketika memang kondisi yang memaksa dan diluar kemampuan kita. Siap menanggung resiko kejujuran adalah sifat orang yang masih punya harga diri.

Selain itu, jangan pernah memberikan kelonggaran pada diri sendiri untuk melanggar! Disiplin itu hanya bisa dijaga oleh orang-orang yang benar-benar mau meneggakkanya. Sekali Anda mengambil kelonggaran untuk tidak disiplin, makan Anda adalah orang yang tidak disiplin.

Sekali Anda memberi kelonggaran pada diri Anda sendiri untuk menyeleweng, maka Anda adalah penyeleweng. Dan jika Anda berpikir masih bisa memolesnya dengan alasan yang Anda reka-reka, ketahuilah orang diluar Anda tidak membutuhkannya.  Semakin kreatif Anda membuat alasan,  semakin orang lain tidak menghargai Anda. Wallahu A’lam

 

Oleh: Redaksi

Berkeluh Kesah, Tanda Jiwa Yang Lemah

Keluh kesah, mungkin bagi sebagian orang merupakan cara untuk membebaskan diri dari tekanan persoalan. Atau juga sekedar mengurangi beban jiwa karena masalah yang sedang mendera. Karenanya, bagi yang menjadikan itu semua sebagai alasan pembenaran, keluh kesah pun bisa menjadi kebiasaan. Di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja, bicaranya adalah keluh kesah semata.

Konon curhat, katanya! Seolah ia adalah orang yang paling besar beban hidupnya, sepertinya hanya dia sendiri yang mempunyai permasalahan hidup. Ia nampak merana dan tidak beruntung, nikmat yang Allah karuniakan yang demikian banyak dan tak terhitung seperti tidak berarti dan tanpa nilai apa-apa. Sungguh naif!

Baca Juga: Seorang Muslim Haruslah Multi Talenta

Siapa sih, di dunia ini yang bebas dari persoalan? Pasti tidak ada! Tiada yang seratus persen nihil dari kesulitan. Setiap orang niscaya punya masalah, masing-masing pasti dihadapkan pada probelamatika pribadinya. Karena memang demikian kehidupan, ia pada hakikatnya adalah ujian, di dalamnya ada pergiliran susah-senang, duka-gembira, pendapatan-kehilangan, kelapangan-kesempitan, dan seterusnya. Allah berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)

Sungguh, keluh kesah adalah tanda kelemahan hati dan kerdilnya jiwa. Ia melihat persoalan dengan asumsi “pasti tidak terselesaikan”, memandang beban sebagi “yang tidak tertanggungkan”, dan menatap jalan keluar dengan kebuntuan. Padahal setiap masalah niscaya ada solusinya, setiap persolan pasti ada jalan keluarnya, dan Allah tidak mungkin memberikan beban diluar kemampuan hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Maka, pribadi yang tangguh dan memiliki izzah adalah pribadi yang berjiwa besar dan berhati kokoh. Karena ujian itu pasti, maka dia harus memenangkannya. Keluh kesah tidak pantas disandanganya sama sekali.

Baca Juga: Agar Menghafal Quran Mudah & Ringan

Selain itu, keluh kesah adalah cermin lemahnya tawakal yang sekaligus proyeksi dari kelemahan iman seseorang. Ia merasa sendiri dan tidak ada yang layak dijadikan sandaran untuk dimintai pertolongan, ia juga tidak ingat bahwa takdir Allah meliputi segala sesuatu. Padahal Allah adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong. Allah berfirman, “Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”  (QS. Ali Imran: 173)

Dihadapan manusia, orang yang suka berkeluh kesah adalah sesosok pribadi yang rapuh yang niscaya akan dianggap lemah. Citranya, hanya butuh dikasihani dan diberikan rasa iba.Wallahu A’lam (Redaksi/Motivasi)

Sesama Muslim Kok Saling Nge-Bully Di Medsos

 

Ustadz akhir-akhir ini banyak saya temui fenomena bullying di media sosial, bahkan sesama saudara mulsim saling nge-Bully. Bagaimana nasihat ustadz?

……………

Saudari yang baik, Rasulullah mengajarkan kita untuk bisa berbicara baik atau diam. Sebab di akhirat kelak, ucapan (sekarang bisa tulisan) akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah dan menjadi saksi bagi pengucapnya. Jangan sampai karena sedikit kesalahan saudara kita lantas kita obral keburukannya di media sosial yang memungkinkan semua orang mengonsumsinya.

Bila melihat saudara kita melakukan kesalahan nasihatilah secara pribadi. Karena kita sedang berusaha memperbaiki kesalahannya dan menghindarkannya dari keburukan bukan bermaksud mempermalukannya. Nasihat yang baik dilakukan saat kita hanya berdua dengannnya.

Sebagaimana perkataan Imam asy-Syafi’i di dalam syairnya, “Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri, jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.

Menasihati secara pribadi bisa menuliskan pesan via jalur pribadi, menelpon, atau mendatanginya secara langsung.

Gunakan kata-kata yang baik saat menasihatinya. Tidak selayaknya menggunakan kata-kata kasar yang akan menyakiti atau melukai hatinya. Apalagi memfonisnya dengan sebutan-sebutan yang justru akan menjauhkannya dari kebenaran.

Selain itu, doakan saudara kita agar mendapat petunjuk. Jangan terus menyalahkan dan mengumbar kesalahannya padahal kita belum pernah menegurnya baik-baik dan mendoakannya. Bisa jadi saudara kita melakukan kesalahan karena tidak mengerti bahwa yang ia lakukan adalah kesalahan atau dia tahu tapi tak tahu bagaimana cara memperbaiki diri. (Redaksi/Konsultasi)

 

Tema Konsultasi Lainnya: