Bijak Menasihati Tidak ‘Menelanjangi’

Kita sering menjumpai seseorang menasihati saudaranya, baik secara langsung maupun melalui sarana media. Sayangnya, caranya menasihati justru terkesan mengkritik, menghina, atau ‘menelanjangi’ kesalahan saudaranya. Ia tidak sungkan menyatakannya di depan umum, atau dibeberkan melalui media sosial yang bisa dilihat banyak orang. Niatnya ingin menasihati, tetapi hati justru tersakiti. Bukan cinta yang ia dapat, tetapi benci yang kemudian melekat.

Nasihat seharusnya menghadirkan kebaikan kepada orang yang diberi nasihat, bukan malah mendatangkan keburukan. Al Khaththabi mengingatkan, “Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna memberikan kebaikan kepada yang dinasihati.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1:219).

 

Mengikat Hati dalam Menasihati

Setiap insan bisa berbuat kekeliruan, kesalahan, atau tersesat karena salah jalan. Hal ini senada dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertaubat dari kesalahannya.” (HR. At Tirmidzi no. 2499, Hasan)

Kesalahan adalah keniscayaan, dan bertaubat darinya merupakan keharusan. Proses itu mungkin butuh nasihat, perlu diingatkan agar tidak bermaksiat. Memberi nasihat bukan sekedar memberikan penjelasan mengenai aturan dan konsekuensinya. Bukan pula menyatakan bahwa ia harus begini dan begitu, tidak boleh ini atau itu.

Ia harus dilakukan dengan cara yang bijak, sehingga hati bisa menerima dengan baik. Cara yang bijak akan memperindah nasihat itu sendiri. Tersebut dalam atsar, “Barangsiapa memerintahkan kebaikan, hendaklah memerintahkannya dengan cara yang baik.”

Ada dua cara menasihati dengan bijak.

Pertama, menasihati dengan perkataan yang lembut. Dari Abdurrahman bin Abi Uqbah, dari ayahnya yang pernah menjadi budak orang Persia bahwa ia berkata, “Aku turut berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud, lalu aku memukul seseorang dari kalangan kaum musyrikin. Aku katakan kepada orang musyrik itu, ‘Ayo kalau berani, aku adalah seorang pemuda Persia!’ Rasulullah kemudian menoleh kepadaku dan berkata, “Mengapa tidak kamu katakan saja, aku adalah seorang Anshar, putra dari saudari mereka?” (HR. Abu Dawud)

Inilah nasihat yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak langsung menghardik, tetapi justru memberikan nasihat yang menarik. Sebuah cara yang indah, namun tetap terkesan gagah. Cara yang tidak menyalahkan, tetapi mengarahkan.

Kedua, menasihati dengan memberikan teladan melalui perbuatan. Dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertemu dengan seorang anak yang sedang menguliti seekor kambing, namun keliru dalam melakukannya. Beliau bersabda, “Menyingkirlah dulu, akan aku perlihatkan kepadamu cara menguliti yang benar.” Beliau kemudian memasukkan tangan di antara kulit dan daging lalu menyusupkannya hingga masuk ke bagian ketiak. Sesudah itu beliau berlalu untuk melaksanakan shalat bersama para sahabat tanpa berwudhu lagi.” (HR. Abu Dawud)

Cara menasihati ala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan cara yang cukup efektif. Lembut dan tidak menyakiti, namun justru mengikat hati. Beliau juga memilih bahasa yang bisa diterima, susunan kata yang tepat untuk diungkap. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah engkau berbicara dengan suatu kaum dengan bahasa yang tak terjangkau akal pikiran mereka kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (HR. Muslim)

 

Menasihati Bukan ‘Menelanjangi’

Sebagian orang merasa tidak bersabar ketika menjumpai orang lain melakukan kesalahan atau kelalaian dalam berucap dan bersikap. Dengan spontan mereka langsung menghina, mencaci dan menghakimi. Hal semacam ini merupakan kesalahan dalam menasihati.

Menasihati tidak dilakukan dengan menghina dan mencaci. Tidak perlu pula mengungkapkan kesalahan itu di depan orang lain, karena seharusnya kita menutupinya. Membuka kesalahannya di depan orang sama seperti ‘menelanjangi’ saudara kita, membuka aib yang semestinya kita tutupi.

Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Seorang mukmin itu biasa menutupi aib saudaranya dan menasehatinya. Sedangkan orang fajir biasa membuka aib dan menjelek-jelekkan saudaranya.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 225).

Imam Syafii rahimahullah mengajarkan agar kita tidak menasihati seseorang di depan umum. Ia berkata, “Tutuplah kesalahanku dengan menasihatiku seorang diri dan janganlah menasihatiku di depan banyak orang. Karena sesungguhnya menasihatiku di hadapan banyak orang adalah bagian dari menjelekkanku. Aku tidak ridha mendengar seperti itu. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka jangan marah jika nasihatmu tak kuikuti.”

Baca Juga: Kesempatan Berharga Bersama Orang Tua

Menyalahkan bukan sikap yang baik untuk memberi nasihat. Apalagi jika dilakukan dengan membuka aib saudara kita di depan orang lain, hakikatnya sama dengan menelanjanginya. Jika hal itu dijadikan kebiasaan, maka nasihat yang diberikan tidak akan menjadi kebaikan, bahkan cenderung menyebabkan kebencian. Maksud hati hendak merangkul, tetapi justru memukul, dan pada akhirnya nasihat menjadi tumpul.

Ikutilah teladan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberikan nasihat. Beliau pernah mengingatkan Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang pada saat itu masih kecil dan tidak menjaga pandangannya. Beliau bersabda kepadanya, “Nak, sesunggunya pada hari ini (Arafah), siapa saja yang bisa memelihara pandangannya, maka ia akan mendapatkan ampunan.”

Betapa indahnya cara yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meluruskan kesalahan. Beliau menunjukkan kesalahan tersebut dengan nasihat, sehingga anak yang mendapat teguran dapat langsung memperbaiki kesalahannya. Begitulah seharusnya kita, menasihati dengan mengikat hati, bukan dengan membuka aib saudara sendiri.

Oleh: Ust. Asadullah al-Faruq/Fadhilah Amal

 

Ketika yang Tabu Dianggap Lucu

Dalam strategi pemasaran, packaging atau pengemasan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap laris tidaknya suatu produk. Kemasan yang baik dapat membentuk citra positif sebuah produk dan meningkatkan minat beli konsumen.Dengannya pula, produk yang biasa-biasa bisa menjadi sangat diminati. Lebih dari itu, kemasan dapat pula menipu, sebenarnya produk kualitas jelek, tapi tetap laku karena kemasan yang bagus.

Dalam memasarkan kemaksiatan dan produk-produk perusak iman, tipuan packaging juga menjadi strategi andalan Iblis wadyabalanya.Tazyinul ma’ashi adalah teknik mengemas maksiat agar terlihat baik atau minimal wajar hingga bisa diterima pasar.

“Iblis berkata:”Ya Rabbku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya…” (QS. Al Isra’:39)

Maksiat yang dikemas dengan unik dan cerdas akan tetap dibeli manusia, bahkan bisa laris.Tentunya, tipuan kemasan ini ditujukan untuk segmen manusia yang masih memiliki filter ruhani. Adapun pecandu maksiat, tak perlu dikemas dengan indah pun mereka akan mengais-ais dan mencarinya sendiri.Tapi bagi yang masih memiliki saringan fitrah dan iman, kemasan diperlukan untuk membiaskan persepsi dan menutupi bau busuk dosa yang sebenarnya sangat menusuk. Dengan begitu, mereka akan tertipu dan menerimanya.

 

Baca Juga:  Dusta, yang Haram dan yang Mubah

 

Ambil contoh, pornografi dan pornoaksi. Jika dijual dalam bentuk apa adanya, pasar tidak akan menerima secara luas,bahkan rawan menimbulkan kontra. Namun, hal itu tidak akan terjadi jika dibungkus dengan kemasan unik nan lucu bernama “komedi”. Komedi dapat mengaburkan kesan mesum dan menurunkan levelnya menjadi sesuatu yang akan dianggap orang sebagai “sekedar lucu-lucuan”, tidak terkesan dewasadanmengundang syahwat sertatak perlu dirating 18+.

Sebuah film misalnya. Jika diformat komedi dengan judul jenaka dan akting konyol, penampilan seronok dan adegan menjurus akan dianggap biasa dan tidak porno oleh penonton. Seakan-akan komedi mampu menumpulkan sensitivitas terhadap kepornografian. Orangtua pun anteng-anteng saja jika anak-anak menontonnya. Lain halnya jika diformat mendewasa, dengan judul yang lebih “greng” dan cover yang ‘panas’. Meskipun bisa jadi kandungan pornografi di dalamnya lebih sedikit, tapi tanggapan orang akan berbeda. Ada kemungkinan muncul protes dan kritikan, atau minimal mereka akan meng-kotak-kan film tersebut dalam daftar film yang perlu diwaspadai untuk anak-anak. Padahal dari segi isi dan substansi, keduanya sama.Namun ternyata dengan kemasan berbeda tanggapan yang diperoleh juga berbeda.

Untuk lucu-lucuan, pornoaksi bahkan mungkin pelecehan seksual secara verbal maupun tindakan,malah bisa menjadi bumbu yang membuat sajian komedi lebih gurih. Guyonan seronok ala talkshow maupun tingkah polah presenternya yang mesum justru menjadi aksi yang digemari. Alih-alih menuai kecaman, justru hadiah tepuk tangan dan sorak sorailah yang didapatkan.

 

Fenomena Banci

Contoh kedua adalah fenomena banci. Popularitas artis dengan karakter banci sepertinya kian naik daun. Dalam banyak acara mereka selalu ada dan jika jadi presenter laris manggung dimana-mana. Anehnya, ternyata banci bukan sekadar peran saat akting saja, tapi tidak sedikit artis yang tetap menjadi banci meksi tidak sedang akting. Ada beberapa kemungkinan, pertama image banci memang sengaja tetap dipasang  dalam kehidupan nyata demi pencitraan diri agar para produser tahu, ia mahir karena melakukannya saban hari. Kedua, dia mengalami disorientasi seksual dan menganggap dirinya adalah wanita, atau biasa disebut gay.Ketiga, kemayu adalah bawaannya dari lahir, artinya karakter itu muncul sejak kecil tanpa dibuat-buat.

Kemungkinan ketiga ini jarang terjadi. Kelainan ini dalam Islam disebutmukhannats, yaitu perilaku anak lelaki yang mirip seperti wanita atau kemayu yang muncul sejak kecil. Secara hukum fikih, orang yang mengalami semacam ini tidak terkena delik hukum apapun. Hanya saja ia harus berusaha sekuat tenaga menghilangkan hal tersebut dan mengganti tingkah lakunya agar lebih normal sebagaimana lelaki pada umumnya.

Tapi untuk pertama dan kedua, semuanya adalah perilaku terlaknat. Rasulullah bersabda,

لَعَنَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَالْمُتَشَبِّهِِيْنَمِنَالرِّجَالِبِالنِّسَاءِوَالْمُتَشَبِّهَاتِمِنَالنِّسَاءِبِالرِّجَالِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat laki-laki yang bertingkah laku seperti wanita dan wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki” (HR Al Bukhari 55460).

Peran banci adalah peran yang dilaknat, lebih-lebih jika dijadikan gaya hidup sehari-hari. Menjadi gay alias homo lebih terlaknat lagi. Kerasnya ancaman Allah bagi mereka berulangkali dikisahkan dalam ayat-ayat kehancuran kaum Nabi Luth.

Tapi lagi-lagi, dalam kemasan komedi, kedurhakaan semacam itu seperti tak tampak. Penonton pun sepertinya maklum-maklum saja dan menikmati. Mereka sudah terbiasa nonton TV dan sudah terbiasa berpersepsi bahwa karakter dalam TV termasuk banci itu cuma peran, bukan sungguhan. “Mereka Cuma berniat menghibur dan menghibur kan dapat pahala”, katanya. Lagi-lagi dengan komedi perbuatan terlaknat justru diminati dan bahkan dipandang layak mendapat pahala. Ironis.

Layak dicurigai bahwa pesatnya perkembangan komunitas gay (kaum homo) di negeri ini juga akibat dari diterimanya karakter banci oleh masyarakat. Jika mereka sudah terbiasa dengan peran banci, maka selanjutnya masyarakat juga tidak akan terlalu shock saat melihat keabnormalan itu wujud dalam dunia nyata. Kepekaan iman bahwa yang semacam itu adalah sebuahkemaksiatan pun lenyap. Akibatnya, kaum homo pun seperti mendapat jalan dan rekomendasi. Yang tadinya malu-malu (karena memang hal semacam itu memalukan) kini seperti dibukakan pintu.

Kuatkan Bashirah

Sebenarnya trik pengemasan alias tazyinul ma’ashi ini tergolong kuno. Dari awal, setan sudah biasa menerapkan trik ini dan al Qur`an sudah memperingatkan berkali-kali. Tapi tampaknya, trik ini selalu saja berhasil karena sifatnya yang fleksibel, kontekstual dan selalu mengikuti perkembangan. Oleh karenanya, ketajaman bashirah harus senantiasa kita asah agar tak mudah tertipu dengan trik-trik semacam ini. Dengan bashirah kita akan melihat melalui lensa syar’i, nurani dan rasio yang murni hingga mampu melihat objek secara substansi, bukan dari tampilan luar atau kemasan yang sering mengelabui. Wallahua’lam. (Abu Razin)