Khutbah Jumat: Nikmat Hilang, Tak Patah Arang

اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَالدِّيْنِ الْحَقِّ، لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا

أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُّهُ مِنْ خَلْقِهِ، أَرْسَلَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا، بَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَأَدَّى الْأَمَانَةَ وَنَصَحَ الْأُمَّةَ وَكَشَفَ اللهُ بِهِ الْغُمَّة، وَتَرَكَنَا عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لَا يَزِيْغُ عَنْهَا إِلَّا هَالِكٌ

اَللَّهُمَّ فَصَلِّي وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى حَبِيْبِكَ وَصَفِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

فَقَالَ عَزَّ مِنْ قَائْلٍ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

وقال: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Jamaah jumat rahimakumullah

Puji syukur alhamdulillah kita panjatkan kepada Allah atas karunia dan nikmat-nikmatnya. Segala karunia tersebut pada hakikatnya merupakan ujian keimanan. Hamba yang bersyukur akan menggunakan nikmat tersebut untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Semoga kita termasuk golongan hamba tersebut dan bukan termasuk golongan manusia yang kufur nikmat.

Shalawat dan salam semoga selalu terhaturkan kepada rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada keluarga, para shabat dan segenap pengikutnya yang komitmen dengan sunnahnya hingga akhir masa. Amin ya rabbal alamin.

Selaku khatib, perkenankan saya menyampaikan pesan takwa kepada diri saya pribadi, dan kepada jamaah pada umumnya. Marilah kita bertakwa kepada Allah, dengan takwa yang sebenar-benarnya; yaitu dengan menjauhi setiap larangan Allah, dan mengamalkan segala perintah Allah, baik berupa ibadah fardhu maupun sunnah.

 

Jamaah jumat rahimakumullah

Sebuah ungkapan mengatakan, “Cintailah seseorang sekedarnya saja, karena bisa jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu benci, dan bencilah seseorang sekedarnya saja, karena bisa jadi suatu hari nanti ia menjadi orang yang kamu cinta.”

Begitulah nasihat dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Karena orang yang meluapkan rasa cinta, atau suka ria yang melampaui kadar yang semestinya, berpotensi menimbulkan penyesalan dan kebencian yang dalam, jika ternyata yang terjadi berkebalikan dengan apa yang diharapkan.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Nafsu manusia memang penuh dengan keinginan. Pikiran pun juga sarat dengan pengharapan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan, angan-angan manusia melampaui batas ajal yang ditetapkan. Keinginan yang diidamkan, lebih banyak dari bilangan waktu yang disediakan. Hingga setiap hari, selalu ada target-target yang berusaha diraih.

Sementara, ketentuan berlaku sesuai dengan kehendak Allah, bukan keinginan manusia. Selalu saja ada target yang tidak tercapai, keinginan yang tak terwujud, dan harapan yang luput dari genggaman. Sayangnya, kebanyakan manusia hanya siap menikmati keberhasilan. Pengharapan yang berlebihan, membuat mereka tak siap menerima keadaan yang berlawanan; kegagalan. Saking tingginya harapan, seakan keinginan itu telah berada dalam genggamannya. Sehingga, ketika Allah berkehendak lain, mereka pun merasa kehilangan dan lalu berputus asa.

Allah berfirman,

لاَيَسْئَمُ اْلإِنسَانُ مِن دُعَآءِ الْخَيْرِ وَإِن مَّسَّهُ الشَّرُّ فَيَئُوسٌ قَنُوطٌ

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fuhsilat : 49).

Itu karena dia hanya melihat, bahwa nikmat itu sebatas jika dia memiliki apa yang diinginkan, memperoleh hasil persis seperti yang direncanakan. Selebihnya, bukan lagi dianggap nikmat yang layak disyukuri.

Seperti seorang siswa sekolah yang hanya memandang kelulusan sebagai satu-satunya nikmat. Andai dia tidak lulus, maka seolah hilang semua nikmatnya; nikmat yang lain serasa tak berguna. Atau, seorang pelamar kerja, yang menganggap bahwa nikmat itu hanya dimiliki jika ia diterima kerja di perusahaan yang dilamarnya. Juga seorang pemuda yang menganggap bahwa nikmat itu adalah apabila ia berhasil menikahi wanita yang dicintainya. Maka, ketika mereka tak mendapatkan apa yang diharapkan, niscaya mereka lupa akan nikmat sebesar apapun yang telah mereka miliki. Akibatnya, mereka patah arang dan putus harapan. Tidak diragukan, bahwa ini merupakan bentuk kekufuran atas nikmat yang telah Allah berikan. Itulah sebabnya, Allah menyematkan sikap putus asa sebagai karakter dari orang-orang yang kafir. Allah berfirman,

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87).

Banyak orang lupa, bahwa nikmat yang datang, meski berbeda bentuk dari yang dibayangkan, seringkali lebih berfaedah dibandingkan kenikmatan yang luput dari angan-angan. Allah lebih tahu apa yang baik bagi hamba-Nya. Andai saja mereka ber-husnuzhan kepada Allah, kelak mereka akan tahu, bahwa Allah telah merencanakan sesuatu yang lebih baik dari apa yang pernah mereka rencanakan.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Hal lain yang membuat orang berputus asa adalah hilangnya sebentuk kenikmatan yang pernah mampir dalam hidupnya. Bisa berupa orang yang disayang, harta yang ditimang-timang, lapangan kerja yang diperolehnya dengan susah payah, atau apa pun yang keberadaannya sangat berarti dalam hidupnya. Banyak orang lupa akan karakter dunia yang memang fana. Semuanya datang dan pergi silih berganti. Allah yang menjadi Pemilik Hakiki berhak menitipkan apa pun, kepada siapa pun, dan kapan pun menurut kehendak-Nya. Saat menerima karunia dari Allah, manusia akan merasa gembira. Mereka mendapatkan kemanfaatan dan kebahagiaan dengan hadirnya ‘titipan’ Allah tersebut. Tapi, anehnya, saat Sang Pemilik itu mengambil titipan-Nya, tiba-tiba manusia merasa terzhalimi. Mereka pun mengingkari nikmat yang pernah Allah berikan kepada mereka.

Allah berfirman,

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih” (QS. Hud: 9).

Bukankah semestinya manusia bersyukur karena telah diberi kenikmatan dan kemanfaatan? Seandainya manusia mau bersabar seraya mengharap pahala karenanya, serta bersyukur atas nikmat yang telah Allah limpahkan, niscaya Allah akan memberi ganti yang lebih baik dari nikmat yang hilang darinya. Dia akan memberikan tambahan nikmat, melebihi dari apa yang pernah didapat sebelumnya. Bisa jadi Allah hendak mengambil nikmat, namun untuk digantikan dengan sesuatu yang lebih baik lagi.

Jika mau jujur, sebenarnya nikmat yang tersisa jauh lebih banyak dari yang diambil oleh Allah. Tapi, ketika fokus seseorang tertuju pada nikmat yang hilang, maka nikmat lain yang lebih banyak seakan turut lenyap tak tersisa. Dari sisi ini, maka orang yang berputus asa saat tertimpa musibah, berarti dia telah kufur terhadap banyaknya nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Dia hanya melihat yang hilang, bukan yang masih ada. Akibatnya, hatinya akan kecewa dan tersiksa.

Padahal, andai saja dia lebih banyak mengingat nikmat, maka ia tetap akan merasa bahagia. Karena kebahagiaan terletak pada banyaknya nikmat yang diingat, bukan banyaknya nikmat yang didapat. Sikap ini tidak saja meringankan beban musibah, bahkan pada batas tertentu bisa menumbuhkan rasa syukur. Seperti yang dialami oleh Urwah bin Zubeir, tabi’in agung, putera sahabat Zubeir bin Awwam. Ketika beliau harus kehilangan satu kakinya yang diamputasi, juga seorang puteranya yang meninggal karena ditendang seekor kuda, beliau tetap tegar. Bahkan ketika beliau pulang, sementara kerabatnya menyambutnya dengan raut kesedihan, beliau berkata, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu, maka masih tersisa tiga, puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai empat kekuatan (dua kaki dan dua tangan), lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lebih lama darinya. “

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Berputus asa dari rahmat Allah dapat dianggap sebagai sebuah kekufuran, karena seolah pelakunya melihat dunia sebagai negeri balasan, bukan negeri beramal. Seakan dunia adalah akhir dari segalanya.

Berbeda dengan orang yang beriman. Baginya, kehidupan dunia bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Penderitaan yang paling berat di dunia itu belum seberapa dibandingkan dengan kesengsaraan akhirat yang paling ringan. Kenikmatan yang paling besar di dunia juga tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat.

Seorang mukmin menyadari, musibah apapun akan menjadi penghapus dosa-dosanya, atau bertambah catatan kebaikan karenanya. Maka dia tak ingin menghapus peluang itu dengan putus asa,

 

مَا مِنْ شَىْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ حَتَّى الشَّوْكَةِ تُصِيبُهُ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً أَوْ حُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ

“Tiada menimpa seorang mukmin, meski hanya terkena duri, melainkan Allah akan mencatat baginya satu kebaikan, atau menghapus darinya satu dosa karenanya.” (HR. Bukhari)

Jikalau dia banyak mengalami penderitaan dan cobaan di dunia, dia tetap optimis, bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal. Baginya, dunia tak lebih sebagaimana yang digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

 

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

“Demi Allah, perumpamaan dunia dibandingkan akhirat hanyalah seperti seseorang yang mencelupkan jari-jarinya ke samudera yang luas, maka lihatlah, seberapa banyak air yang menempel (dibandingkan dengan air seluas samudera)?” (HR. Muslim)

Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia sebagai orientasi kami, dan jangan pula Engkau jadikan dunia sebagai cita-cita kami tertinggi. Amien.

 

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ .

 

KHUTBAH KEDUA

 

اَلْحَمْدُ للهِ حمدا طيبا مباركا كثيرا فيه كما أمر، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللَّهُمَّ فَصَلِّي وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى حَبِيْبِكَ وَصَفِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ

 

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِي، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا وّالدِّيْنِ

اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُوَّاتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا

اللَّهُمَّ إِخْوَانِنَا الْمُجَاهِدِيْنَ فِي سَبِيْلِكَ فِي كُلِّ مَكَانٍ،

اللَّهُمَّ وَحِّدْ صُفُوْفَهُمْ وَسَدِّدْ رَمْيَهُمْ وَثَبِّتْ أَقْدَامَهُمْ وَاجْمَعْ كَلِمَاتِهِمْ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ

اللَّهُمَّ أَفْرِغْ فِي قُلٌوْبِهِمْ صَبْرًا، يَا إِلَهَ الْحَقُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

اللَّهُمَّ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ مَزِّقْ صُفُوْفَهُمْ، وَشَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْ، وَمَزِّقْهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ، يَا عَزِيْزُ ذُو انْتِقَامٍ

اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ نِسَائَهُمْ وَصِبْيَانَ هُمْ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ ضُعَفَاءَ هُمْ، اللَّهُمَّ دَاوِ جَرْحَهُمْ وَاشْفِ مَرْضَاهُمْ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

وَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ، وَأَقِمِ الصَّلَاة

Oleh: Redaksi/Khutbah Jumat

Materi Khutbah Jumat Lainnya:  Minder Taat Akhirnya MaksiatKandas Karena Malas,Pejabat; Orang yang Paling Butuh Nasihat

Ini Dia Rahasia Mengapa Ketika Bersin Disunnahkan Mengucap Hamdallah

Siapa tak pernah bersin? Pasti tak ada orang yang selama hidupnya tak pernah melakukannya. Namun tahukah Anda, ternyata ada rahasia besar dibalik bersin kita.

Bersin atau dalam bahasa jawa lebih akrab dengan wahing dan ada juga yang menggunakan nama bangkis, adalah salah satu mekanisme perlindungan tubuh dari masuknya benda asing, seperti debu, bakteri, atau bau-bauan ke dalam tubuh kita. Wahing merupakan keluarnya udara semi otonom yang terjadi dengan keras lewat hidung dan mulut. Udara tersebut keluar sebagai respon yang dilakukan oleh membran hidung ketika mendeteksi adanya bakteri dan kelebihan cairan yang masuk ke dalam hidung.

 

Baca Juga: Lupa, Nikmat Allah yang Sering Terlupa

 

Uniknya, saat seseorang mengalaminya, secara refleks maka otot-otot yang ada di muka kita menegang, dan jantung kita akan berhenti berdetak untuk sekejap, selama proses ini. Setelah selesai, jantung akan kembali lagi berdenyut alias berdetak kembali.

Berapa lama durasinya? Karena bersin adalah pengeluaran udara, maka lama prosesnya akan sama dengan kecepatan udara tersebut keluar dari hidung, yaitu sekitar 70 meter/detik. Saat bersin, kita mengeluarkan butir-butir air yang terinfeksi oleh bakteri yang ingin dikeluarkan dari hidung/mulut. Dan Anda tentu tidak menyadari bahwa dalam satu kali wahing, kita mampu mengeluarkan sekitar 40.000 butir air!

Itulah mengapa saat bersin kita disunnahkan mengucap syukur dengan berucap, “Alhamdulillah…!” Sebab, setidaknya kita terhindar dari penyakit yang akan masuk ke dalam tubuh.

 

Baca Juga: Nikmat Allah Dalam Mengunyah Makanan

 

Dan tahukah Anda, ungkapan senada juga diucapkan dalam berbagai bahasa dan bangsa. Di negara-negara berbahasa Inggris ada kebiasaan untuk mengatakan “God bless you” (Semoga Tuhan memberkati Anda). Tradisi ini berasal dari Abad Pertengahan, ketika diyakini bahwa ketika seseorang bersin, jantungnya berhenti berdenyut, jiwanya meninggalkan tubuhnya, dan dapat direnggut oleh roh jahat. Dalam bahasa Italia, ada jawaban bagi yang mendengar “Salute” (sehat). Dalam budaya Portugis, diikuti oleh jawaban Saúde, (sehat), dan yang bersin kemudian menjawab Obrigado atau Obrigada (terima kasih).  Dalam Bahasa Jerman, diikuti oleh ucapan, Gesundheit (yang artinya “Sehat [bagimu]”). 

Hal ini demikian terlihat sepele, tapi setelah mengetahui rahasinya, kita wajib bersyukur dan selalu mengucap hamdallah kepada Allah.  Segala puji bagi Allah atas segenap kenikmatannya yang tidak mampu kita perhitungkan sebelumnya.

 

Oleh: Redaksi/Kauniyah

Syukur, tak Hanya kepada Allah

Ibnu Abbas RA mengatakan bahwa ada tiga ayat yang harus diamalkan dengan sempurna. Seseorang tidak dianggap mengamalkannya jika hanya mengamalkan satu bagian saja. Ayat-ayat tersebut yaitu, pertama, taat kepada Allah SWT belum sempurna tanpa taat kepada Rasulullah SAW (QS.  An-Nisa: 59). Kedua, mendirikan shalat dan membayar zakat (QS. Al-Baqarah: 43). Ketiga, Syukur kepada Allah SWT dan syukur kepada kedua orang tua (Al-Isra: 23).

Masing-masing merupakan dua pasangan perintah yang saling terkaitdan tak bisa dielakkan.Alias satu paket perintah yang bisa ditawar salah satunya. Menurut beliau, tidak dikatakan taat kepada Allah SWT jika tidak mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Begitu pula, shalat tidak diterima jika tidak mau membayar zakat. Dan, belum disebut hamba yang bersyukur jika tidak ‘bersyukur’ kepada kebaikan orang tua.

Antara syukur kepada Allah SWT dan kepada orang tua memang berbeda. Syukur kepada Allah SWT, berarti mengakui segala nikmatnya yang nampak dan tidak nampak. Lalu, mengucapkan kalimat syukur dengan lisan dan menggunakannya untuk menjalankan ketaatan.

Syukur kepada orang tua bermakna berterima kasih atas budi baik mereka. Lalu membuktikannya dengan berbakti dan menjaga adab sopan-santun. Tentunya, manusia yang paling berjasa dan berhak mendapatkan pengakuan terima kasih yaitu ayah dan bunda.  Sebab, pengorbanan dan kasih sayang yang mereka curahkan tidak akanbisa diukur dengan materi. Tidak salah jika Rasulullah SAW mengatakan bahwa ridha Allah SWT terletak pada ridha kedua orang tua. Begitu pula, Allah SWT murka dan langsung menurunkan hukumannya bagi anak yang durhaka kepada orang tuanya.Hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT mengaitkan antara syukur kepada-Nya dengan syukur kepada ibu dan bapak.

Selain itu, berterima kasih kepada orang yang berbuat baik juga termasuk akhlak mulia. Misalnya, syukur kepada orang yang memberi nasehat atau pengajaran ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan kita. Atau kepada orang yang sekadar memberi hadiah sesuatu yang murah dan bukan barang mewah. Sudah selayaknya mereka mendapat balasan meski dengan kata, jazakumullah khairan atau terima kasih.Kebalikannya, melupakan kebaikan orang lain adalah satu sifat tercela dalam Islam.

Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah SAW  yang bersabda:

لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرِ الناَّسَ

“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah SWT.” (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad)

Ibnu Atsir mengatakan, hadits di atas bermakna bahwa Allah SWT tidak menerima syukur manusia jika hamba tersebut tidak mau berterima kasih kepada manusia.Kedua hal tersebut saling terkait satu dengan yang lain.Karena itu, manusia yang terbiasa menganggap biasa kebaikan orang lain, berarti kurang bersyukur kepada nikmat Allah SWT.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda.

مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفاً فَكاَفِئُوْهُ، فَإِنْ لَمْ تُكاَفِئُوْنَهُ فَادْعُوْا لَهُ حَتىَّ تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَئْتُمُوْهُ

“Barang siapa yang berbuat baik kepada kalian hendaknya kalian membalasnya.Jika tidak tidak bisa membalasnya doakan dia hingga kalian merasa bahwa kalian sudah bisa membalasnya. “ (HR. An-Nasai dan Abu Daud)

Dalam hadits lain disebutkan:

مَنْ مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ فَإِنَّ مَنْ أَثْنَى فَقَدْ شَكَرَ وَمَنْ كَتَمَ فَقَدْ كَفَرَ

“Siapa saja yang menerima pemberian, hendaklah dia membalasnya dengan itu pula. Kalau tidak,hendaklah ia memberi pujian, sebab dengan memuji berarti telah berterimakasih dan siapa yang menyembunyikan (kebaikan orang padanya) berarti dia telah kufur nikmat.” (HR. At-Tirmidzi)

Para ulama zaman dahulu telah mengajarkan bagaimana mengenang para guru yang telah berjasa mendidik dan mengajarkan ilmu agama. Misalnya, Imam Ahmad bin Hambal yang selalu mengenang jasa gurunya, Imam Syafi’i. Beliau mengatakan, “Setiap malam, sejak tiga puluh tahun lalu, aku tidak pernah lupa mendoakan Imam Syafi’i dan aku selalu memohonkan agar Allah SWT berkenan mengampuni kesalahan-kesalahannya.”

Imam Ahmad juga bangga dan selalu memuji gurunya tersebut. Suatu ketika, putra beliau yang bernama Abdullah bertanya, “Seperti apakah Muhamad Bin Idris As Syafi’i. Karena sering sekali aku mendengar doa ayah untuknya?”Imam Ahmad menjawab, “Beliau ibarat matahari bagi bumi ini dan kesehatan bagi manusia. apakah ada yang bisa menggantikan kedua hal itu?”

Pada dasarnya, semua kemudahan dan kebaikan yang datang kepada manusia merupakan nikmat dari Allah SWT. Baik langsung dari Allah SWT atau lewat perantaraan manusia. Sebab takdir merupakan misteri yang tak mudah ditebak dan tak terduga. Allahlah yang menentukan. Sedangkan manusia merupakan alat yang digerakkan-Nya. Saat si penghantar nikmat memberi hadiah atau kebaikan, sebenarnya sedang bermuamalah kepada Allah SWT. Karena itu, hendaknya menjalan amanat tersebut dengan ikhlas dan bukan untuk mencari terima kasih. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 9)

Sedangkan bagi si penerima, jangan lupakan jasa si pemberi. Jika anda mampu, balaslah dengan memberi hadiah yang sewajarnya. Jika tidak, tampilkanlah raut muka manisdan ucapkanterima kasih. Jangan lupa pula doa untuknya, meski tak harus di hadapannya. Bukankah doa yang mustajab adalah doa untuk orang lain tanpa sepengetahuah orang tersebut? Wallahu A’lam.