Taubat Adalah Obat yang Khasiatnya Bertingkat-tingkat

Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu– ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh Allah lebih bahagia dengan taubat seorang hamba ketika dia bertaubat dari (bahagianya) seorang diantara kalian, yang suatu saat mengendarai hewan tunggangannya di padang pasir yang luas. Tiba-tiba hewan tunggangannya itu hilang darinya. Padahal disana ada perbekalan makan dan minumannya. Hingga ia putus asa. Lalu ia menghampiri sebuah pohon dan berbaring di bawah naungannya. Sungguh ia telah putus asa dapat kembali menemukan hewan tunggangannya. Kemudian dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba hewan tunggangan itu sudah berada di sisinya. Maka ia segera meraih tali kekangnya seraya berkata karena sangat bahagianya, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.” Ia keliru bicara karena saking bahagia. (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah menegaskan kecintaannya kepada para hamba-Nya yang bertaubat dalam firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-baqarah: 222)

Karena kecintaan-Nya maka Allah mengampuni seluruh dosa yang telah lalu. Pun begitu, taubat adalah obat bagi dosa. Khasiatnya bertingkat-tingkat sesuai kondisi.

Ada obat yang tidak menyembuhkan, baik karena obatnya yang abal-abal atau tidak sesuai dengan penyakit yang diderita. Begitupun dengan taubat yang tidak diterima, karena taubatnya abal-abal atau pura-pura. Memohon ampunan namun tak ada sesal dan tak pula berhenti mengerjakannya. Atau seseorang yang bertaubat setelah nyawa di tenggorokan.

Ada pula obat yang hanya mengurangi penyakit. Seperti orang yang berobat, namun tidak konsisten dengan seluruh aturan pengobatan. Berobat tapi masih juga mengkonsumsi sebagian pantangan.

Seperti orang yang bertaubat, atau bahkan masuk Islam dari kekafiran, namun tidak seluruh dosa-dosa dia tinggalkan.

Baca Juga: Dua Ayat Penyebab Taubat Seorang Begal

Seseorang bertanya kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum karena perbuatan yang telah kami lakukan semasa Jahiliyah?” Beliau ﷺ menjawab:

أَمَّا مَنْ أَحْسَنَ مِنْكُمْ فِي الْإِسْلَامِ فَلَا يُؤَاخَذُ بِهَا وَمَنْ أَسَاءَ أُخِذَ بِعَمَلِهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَالْإِسْلَامِ

“Barangsiapa di antara kamu yang berbuat baik setelah Islam, maka dia tidak akan dikenakan hukuman karena perbuatannya di masa Jahiliyah. Tetapi barangsiapa yang berbuat kejahatan, maka dia akan dihukum karena perbuatannya di masa Jahiliyah maupun Islam.” (HR. Muslim)

Adapun tingkatan berikutnya adalah taubat yang mampu menghapus seluruh dosa yang telah lalu. Ini seperti obat yang menyembuhkan secara total. Karena obatnya mencocoki dan dikonsumsi dengan dosis yang pas.

Yakni taubat yang memenuhi syarat-syaratnya; berhenti dari dosa, menyesal atas dosanya, bertekad untuk tidak mengulanginya, beristighfar kepada Allah dan mengembalikan hak sesama jika berhubungan dengan manusia. Itulah syarat taubat yang dijelaskan para ulama yang disimpulkan dari nash-nash yang ada.

[bs-quote quote=”Yakni taubat yang memenuhi syarat-syaratnya; berhenti dari dosa, menyesal atas dosanya, bertekad untuk tidak mengulanginya, beristighfar kepada Allah dan mengembalikan hak sesama jika berhubungan dengan manusia. Itulah syarat taubat yang dijelaskan para ulama yang disimpulkan dari nash-nash yang ada.” style=”style-4″ align=”left” color=”#1e73be”][/bs-quote]

Ini adalah bentuk kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Allah menganggap orang yang bertaubat itu seperti orang yang tidak pernah melakukan dosa. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
“Orang yang telah bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa.” [HR. Ibnu Majah]

Lalu apakah kemudian hitungan bagi orang yang bertaubat dimulai dari nol?

Amru bin Ash radhiyallahu anhu bercerita, “Pada saat Allah menganugerahkan hidayah Islam di hatiku, aku mendatangi Rasulullah ﷺ.

Aku mengatakan, ‘ulurkanlah tangan Anda, aku ingun membaiat Anda (masuk Islam). Rasulullah pun mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Lalu mendadak kutahan tanganku hingga Rasulullah bertanya, ‘Ada apa wahai Amru?”

Kujawab, “Saya ingin mengajukan syarat.” Rasulullah ﷺ bertanya, “Syarat apa yang kamu minta?” Aku menjawab, “Agar dosa-dosaku diampuni.”

Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidakkah engkau tahu, bahwa keislaman menghapuskan dosa-dosa sebelumnya? Demikian juga hijrah menghapus kesalahan-kesalahan yang telah lalu?” (HR. Muslim)

Namun tidak cukup di sini anugerah Allah bagi orang yang bertaubat. Bisa jadi seseorang yang bertaubat telah memiliki berbagai jenis kebaikan yang pernah ia lakukan. Sehingga seorang berandai jika berbuat baik di masa lalu itu bisa bernilai sebagai amal yang dikakukan di masa Islam atau setelah taubatnya.

Ini seperti yang dirasakan oleh Hakim bin Hizam, keponakan Sayyidah Khadijah radhiyallahu anha. Meski dekat dengan Nabi sejak kecilnya, dan dikenal baik perilakunya, namun 20 tahun setelah kenabian beliau baru menyatakan keislamannya. Ia pun gelisah dan menyesal kenapa tertinggal. Hingga beliau bertanya perihal kebaikan-kebaikannya di masa jahiliyah dahulu, adakah pahala baginya. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Keislamanmu turut mengislamkan pula kebaikan yang telah engkau lakukan (sebelumnya).” (HR. Bukhari)

Artinya bahwa taubat seperti ini tak hanya menjadikan seseorang memulai dari nol dosa, namun langsung membawa poin pahala atas suatu kebaikan yang pernah dilakukan sebelum taubatnya. Siapa lagi yang lebih pemurah daripada Allah.

Baca Juga: Taubat Yang Batal & Hijrah Yang Gagal

Masih ada lagi taubat yang membawa khasiat lebih dahsyat, seperti obat yang tak hanya menyembuhkan dari penyakit, namun juga memperbaiki stamina dan imunitas setelah sembuh dari sakitnya.

Ada taubat yang mengubah keburukan dan dosa di masa lalu menjadi kebaikan dan pahala. Sesuatu yang diawal masuk ditimbangan keburukan, dipindah posisinya ke timbangan kebaikan, Allahu Akbar. Siapa mereka? Allah berfirman,

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan.” (QS. Al-Furqan: 70)

 Mereka tidak hanya berhenti dari dosa lalu berdiam, akan tetapi dia menggantikan aktivitas keburukan dengan perilaku kebaikan. Sehingga ia mendapatkan pahala kebaikan sekaligus memindah posisi keburukan di masa lalu menjadi kebaikan yang berpahala. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

Khutbah Jumat- Mendulang Manfaat Kala Sakit dan Sehat

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Puji Syukur kepada Allah yang telah mengaruniakan nikmat iman dan Islam. nikmat yang dengannya, kita akan selamat di dunia dan akhirat. Karenanya, nikmat ini harus kita jaga, sampai ajal tiba.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, para shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunah beliau hingga hari Kiamat.

Kemudian, kami wasiyatkan kepada khatib pribadi dan kepada para hadirin sekalian agar meningkatkan takwa kepada Allah Ta’ala. Takwa adalah penentu arah kehidupan manusia. Arah yang akan menentukan nasibnya; bahagia atau sengsara, selamat atau celaka.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Bagaikan siang dan malam, begitulah warna hidup manusia. Tak ada manusia yang mencapai segala yang diinginkan, atau terhindar dari segala yang dibenci. Ada kalanya senang, tapi juga pernah bersedih, ada kalanya sehat, tapi pasti juga pernah merasakan sakit.

Allah memang menguji manusia dengan dua hal, sesuatu yang menyenangkan dan sesuatu yang menyedihkan,

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.” (QS al-Anbiya’ 35)

Yakni Allah menguji  manusia, sesekali dengan musibah, sesekali dengan nikmat, agar terbukti siapa yang bersyukur, siapa pula yang kufur, siapa yang bersabar, siapa pula yang berputus asa, sebagaimana disebutkan Ibnu Katsier dalam tafsirnya.
Ibnu Abbas menafsirkan ayat tersebut, “Yakni menguji dengan kesempitan dan kelapangan, kesehatan dan rasa sakit, kaya dan miskin, halal dan haram, taat dan maksiat, hidayah dan kesesatan.”

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Sehat dan sakit sama-sama bermakna ujian, maka keduanya berpotensi mendatangkan selaksa manfaat, tapi juga tak jarang membuat orang menjadi sesat, yakni ketika salah dalam mengelola dan mengambil sikap.

Adalah keliru orang yang memandang bahwa ujian bagi jasad hanya saat terjangkit penyakit saja. Kesehatan hakikatnya adalah ujian yang berupa kenikmatan, yang hasil akhirnya ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.

Siapapun mengakui, meskipun kerap tidak menyadari, bahwa sehat adalah nikmat yang agung. Bahkan ia adalah sayyidu na’imid dunya, nikmat paling besar bagi kemasalahatan hidup di dunia, sebagaimana Islam adalah sayyidu na’imil akhirah, nikmat yang paling agung bagi akhirat. Sebagai bukti, manusia berani mengorbankan harta berapapun demi kesembuhannya, dan tak ada yang berani menjual kesehatannya meski dengan imbalan yang tinggi.

Suatu kali, seseorang mendatangi Yunus bin Ubaid rahimahullah, ulama di kalangan tabi’in. Dia mengeluhkan perihal kesempitan yang dialaminya. Seakan dia tidak memiliki apa-apa. Lalu Yunus bertanya, “Relakah kamu tukar penglihatanmu dengan seratus ribu dirham?” Ia menjawab, “Tidak.” Yunus, “Bagaimana dengan tanganmu, bolehkah ditukar dengan seratus ribu dirham?” Ia menjawab, “Tidak rela.” Yunus, “Bagaimana dengan kedua kakimu?” Ia menjawab, “tidak juga.” Lalu Yunus berkata, “Perbanyaklah mengingat nikmat Allah, aku melihat kamu memiliki ratusan ribu dirham, tapi masih juga banyak mengeluh?”

Namun sayang, agungnya nikmat kesehatan tak banyak disadari oleh umumnya orang. Karena kesadaran akan tingginya nilai nikmat itu biasanya lebih terasa justru di saat nikmat tersebut telah lenyap dari genggamannya. Seperti orang yang akhirnya menyandang kebutaan, barangkali dia amat sadar betapa nikmat mata adalah karunia yang sangat besar. Namun kesadaran ini jarang hadir dalam benak manusia saat nikmat masih melekat. Kebanyakan manusia seperti yang digambarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

 

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Dua nikmat yang dilupakan oleh kebanyakan manusia, yakni sehat dan waktu luang.” (HR Al-Bukhari )

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Hasil positif ujian berupa sehat adalah syukur. Tanda mensyukuri nikmat sehat adalah dengan mengakui dan mengingat bahwa kesehatan yang dirasakannya adalah semata-mata karena karunia Allah, dan tidak menganggapnya sebagai suatu pemberian yang remeh. Karena faktanya, dengan sehat  manusia bisa melakukan banyak maslahat, dengannya pula sesuatu yang enak dan nikmat akan terasa enak dan nikmat, berbeda dengan orang sakit yang tidak merasakan nikmatnya sesuatu yang nikmat.

Selain mengingat, mengakui nikmat dan juga memuji Allah atas nikmat sehat, yang tidak kalah pentingnya adalah syukur dengan anggota badan, yakni menggunakan sehat sesuai dengan kehendak Allah, memanfaatkan badan yang sehat untuk taat dan hal-hal yang bermanfaat. Di antara salaf berkata, asy-syukru tarkul ma’ashi, tanda syukur adalah dengan meninggalkan maksiat. Maka barangsiapa yang bermaksiat dengan anggota badannya yang sehat, maka dia telah mengkufuri nikmat Allah.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Hadirnya penyakit adalah ujian yang tidak diingini oleh kebanyakan manusia. Pun begitu, tak ada orang yang sehat sepanjang masa. Setiap orang pasti pernah mengalami sakit. Beragam cara orang menyikapi musibah sakit. Namun secara garis besar, ada empat  macam sikap, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,

Pertama, orang yang marah dan jengkel. Baik rasa jengkel yang dipendam dalam hati, maupun dilampiaskan dengan lisan dan anggota badan. Misalnya berburuk sangka kepada Allah, merasa dizhalimi oleh Allah dan semisalnya. Atau yang diungkapkan dengan lisan seperti keluhan yang mengindikasikan putus asa dan mencela takdir. Apalagi jika ditunjukkan dengan anggota badan, seperti dengan sengaja bermaksiat, meninggalkan perintah padahal mampu menjalankan dan tingkah laku lain sebagai pelampiasan atas kekesalannya. Dia adalah orang yang gagal dalam menjalani ujian. Dia juga mendapatkan dua musibah, musibah dunia dan musibah agama sekaligus.

Kedua, orang yang bersabar terhadap penyakit yang dideritanya. Ia tidak menyukai sakit, tapi ia menahan diri dari segala sesuatu yang diharamkan, demi mendapatkan pahala dari Allah. Tidak mengucapkan apa-apa yang dimurkai oleh Allah,  tidak pula anggota badannya melakukan sesuatu yang dibenci oleh Allah, bahkan hatinya tidak menaruh kebencian atau kejengkelan terhadap Allah sedikitpun.

Sikap ketiga adalah ridha dalam menghadapi musibah sakit. Ini masih masih dalam bingkai kesabaran, namun lebih tinggi dari sekedar bersabar untuk tidak berprasangka buruk kepada Allah, mengeluh atau melampiaskan dengan anggota badannya. Dia merasa ridha dengan ketetapan Allah atas dirinya. Dia memahami, bahwa ujian adalah tanda cinta Allah atas hamba-Nya, selagi hamba itu ridha atas ujian yang menimpanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 

 

 وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, Dia akan mengujinya dengan musibah, maka barangsiapa ridha, maka Allah ridha kepadanya, dan barangsiapa marah, maka Allahpun marah kepadanya.” (HR Tirmidzi, beliau berkata, hadits hasan gharib)

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Tingkatan paling tinggi dalam menghadapi musibah sakit adalah sikap keempat, yaitu tingkat syukur. Dia bukan saja sabar dan ridha, bahkan dia bersyukur lantaran diberi sakit. Karena baginya, sakit adalah wahana penghapus dosa dan meninggikan derajat di sisi-Nya. Dia yakin akan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلاَّ كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ

“Tiada seorang muslim yang tertusuk duri atau musibah yang lebih berat dari itu, melainkan dicatat baginya satu derajat, dan dihapus dengannya satu kesalahan.” (HR Muslim)

Minimal ada empat alasan menurut Syuraih al-Qadhi, mengapa musibah bisa membuahkan rasa syukur, bahkan beliau bertahmid empat kali karenanya. Pertama karena Allah memberikan taufik kepadanya untuk membaca istirja’ (bacaan inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un) yang dengannya dia mengharap pahala dari Allah.

Kedua, karena Allah memberi karunia kesabaran, padahal Allah melimpahkan pahala tanpa hitungan bagi orang yang wafat dalam keadaan bersabar. Apalagi, Allah juga memberikan 3 hal bagi orang yang bersabar, dan masing-masing lebih baik dari pada dunia dan seisinya, yakni shalawat dari Allah, rahmat dan hidayah-Nya, seperti disebut dalam QS. al-Baqarah 155-157.

Yang terakhir, selayaknya dia bersyukur karena rasa sakit yang dialami tidak lebih berat dari itu. Masih banyak orang lain yang mengalami sakit lebih berat. Keempat, bersyukur karena musibah sakit hanyalah musibah duniawi, bukan ukhrawi. Sehingga akibatnya tidak seberapa bila dibandingkan dengan musibah akhirat. Inilah tingkatan paling tinggi dalam menyikapi rasa sakit. Pun begitu, bukanlah kebaikan jika seseorang berdoa supaya dijangkiti suatu penyalit, tidak pula berobat itu mengurangi nilai sabar, ridha dan syukurnya.

Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan, semga bermanfaat. kita berdoa semoga Allah menganugerahkan kita sabar dan syukur. Amien.

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ 

 

Khutbah Kedua

 

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

 

Oleh: Redaksi/Khutbah Jumat

Materi Khutbah Lainnya: 

Sabar dan Syukur; Dua Tali Pengikat Nikmat

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Islam Akan menang Bersama Atau Tanpa Kita