Kultum Ramadhan: Kebakhilan yang Menyebabkan Kebangkrutan

Kultum Ramadhan

Kebakhilan yang Menyebabkan Kebangkrutan

 

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ وَلَا يَسْتَثْنُونَ فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ

  “Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan in syaaAllah, lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari. Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya. Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun yang masuk ke dalam kebunmu”.

 (QS. al-Qalam: 17-24)

 

Ibnu katsier menyebutkan dari Sa’id bin Jabir rahimahullah bahwa para pemilik kebun yang dikisahkan dalam ayat tersebut tinggal di desa Dhurwan yang jaraknya 6 mil dari Shana’a. Ada pula yang berpendapat mereka adalah penduduk negeri Habasyah. Yang jelas bapak mereka adalah seorang petani yang mewariskan kebun itu untuk mereka. Mereka termasuk kalangan ahlul kitab (Sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam).

Bapak mereka adalah orang yang memiliki rekam jejak yang baik dalam hidupnya. Dia menggunakan hasil kebunnya untuk modal perawatan kebunnya, sebagiannya lagi disimpan untuk kebutuhan makan keluarganya selama setahun, dan sisanya untuk di sedekahkan.

Kemudian, tatkala dia telah wafat, maka kebunnya diwariskan kepada mereka selaku ahli warisnya. Namun mereka memiliki sikap berbeda dengan ayahnya. Bahkan mereka berkata, “Bapak kita telah berbuat bodoh dan keliru karena telah memberikan sisa panen kebun untuk disedekahkan kepada orang-orang fakir. Sekiranya kita tidak memberikan sisa panen kebun kita kepada orang-orang fakir tentunya harta kita akan melimpah.”

Dengan sifat tamak tersebut, mereka bertekad untuk tidak memberikan sisa panen kebun kepada orang-orang fakir.

Mereka lupa bahwa anugerah yang Allah berikan kepada orangtua mereka itu lantaran sedekah yang ditunaikannya. Ketika kebiasaan baik orangtua mereka yang suka berderma itu diganti dengan kebakhilan, maka dicabutlah anugerah tersebut.

Maka Allah azza wa jalla menggagalkan maksud dan rencana mereka. Allah lenyapkan semua hasil panen yang sudah hampir di tangan dan di depan mata.

Apa yang Allah kisahkan dalam al-Qur’an, bukan sekedar untuk dinikmati alurnya. Akan tetapi mengandung peringatan bagi orang-orang yang bertindak semisal yang tersebut dalam kisah, maka akan mengalami akibat yang serupa.

Sisi cela yang dimiliki oleh para pemilik kebun itu adalah kelalaian mereka terhadap kehendak dan kekuasaan Allah. Seakan penentu rejeki adalah hasil kerja kerasnya semata. Hingga ketika dalam perhitungan mereka masa panen telah datang, merekapun berencana dengan perencanaan seakan tak ada apa atau siapapun yang menghalangi panen raya. Merekapun tidak mengucapkan kata ‘in syaAllah’ (jika Allah menghendaki). Mereka lupa bahwa sehebat apapun perhitungan, perencanaan maupun ikhtiar manusia takkan terwujud jika Allah tak menghendaki. Allah Ta’ala berfirman,

 

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّـهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS at-Takwir 29)

Karena kelalaian terhadap kehendak dan kekuasaan Allah, mereka juga mengandalkan perhitungan logis semata, bahwa dengan menahan pemberian kepada si fakir maka hitungan hasilnya lebih banyak daripada jika dikurangi dengan sedekah. Padahal, Allah telah menjadikan sedekah sebagai salah satu wasilah untuk datangnya rejeki dan karunia. Dan bahwa sifat tamak tak akan menambah kekayaan dan bahkan kebakhilan menjadi penyebab kebangkrutan. Sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam,

 

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيهِ، إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا “

“Tiada datang pagi hari atas manusia melainkan ada dua malaikat turun, di mana salah dari keduanya berdoa, “Ya Allah berilah ganti (yang lebih baik) bagi orang yang berinfak,  dan yang kedua berdoa, “Ya Allah buatlah bangkrut  orang yang menahan pemberian.” (HR. Bukhari)

Baca Juga: Kultum Ramadhan, Takkan Mati Sebelum Habis Jatah Rezeki

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, “Ketika seorang laki-laki berada di tempat yang sunyi, dia mendengar suara awan, ‘Siramilah kebun fulan.’ Lalu awan itu berjalan dan menumpahkan airnya di tanah yang banyak bebatuan hitam. Ternyata ada saluran air yang telah dipenuhi oleh air hujan. Laki-laki itu menelusuri jalannya air. Ternyata ada seorang laki-laki yang berdiri di kebunnya, dia mengalirkan air dengan cangkulnya. Dia bertanya, “ Wahai hamba Allah, siapa namamu?” Dia menjawab, “Fulan.” Nama itulah yang didengarnya dari suara awan.

Petani itu balik bertanya, “Wahai hamba Allah, mengapa kamu bertanya tentang namaku?” Dia menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang telah tumpah airnya di sini. Suara itu berkata, “Siramilah kebun Fulan!” Apa sebenarnya yang Anda  lakukan?”

Dia menjawab, “Tentang pertanyaan Anda itu, saya memiliki kebiasaan ketika panen hasil kebunku. Sepertiganya aku sedekahkan, sepertiganya lagi aku makan bersama keluargaku, dan sepertiga siasanya aku kembalikan kembali (untuk menanam).” (HR. Muslim)

Maka tak ada cara mendatangkan keberkahan rejeki melebihi tawakal kepada Allah dan menggunakan cara-cara yang Allah kehendaki semisal sedekah. Semoga Allah memudahkan rejeki kita dan memberkahinya. Aamiin.

 

Kultum Ramadhan/Majalah ar-risalah/Ust. Abu Umar Abdillah

Tabiat Kikir, Bisakah Tersingkir?

Al-Qur’an menyebutkan bahwa di antara tabiat dasar manusia adalah kikir, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذًا لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفَاقِ ۚ وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا

“Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya, dan adalah manusia itu sangat kikir.” (QS al-Isra’: 100)

Ibnu Abbas dan Qatadah berkata, “Yakni manusia takut miskin. Ia takut perbendaharaan itu akan lenyap,” Sedangkan Qatur ialah sangat kikir.” Seandainya mereka mempunyai bagian dalam menjalankan kekuasaan, niscaya mereka tidak akan memberi sedikitpun kepada orang lain.”

Inilah tabiat kebanyakan manusia, kecuali yang dirahmati oleh Allah. Jika suatu kali memperoleh suatu nikmat, kesenangan atau harta, maka ia menyangka bahwa semua itu diperoleh semata-mata karena kepandaian ilmu dan gigihnya usaha. Karena ia berusaha, maka ia memperolehnya, bukan karena pertolongan dan anugerah Allah kepadanya.

Kemudian setan membisikkan ke telinganya bahwa ia adalah orang yang kuat dan mampu mandiri, tidak butuh pertolongan orang lain. Hal ini membuatnya merasa tidak perlu memberikan perhatian kepada orang lain. Jika ia memberi dan mengindahkan orang lain ia akan menjadi miskin.

Padahal hakikatnya, segala apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah, diberikan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya sebagai anugerah, tapi juga sebagai titipan dan ujian. Sewaktu-waktu bisa diambil untuk dipindahkan ke tangan orang lain atau mungkin dimusnahkan jika Dia menghendaki.

Orang kikir itu lupa bahwa ketika Allah menitipkan kepadanya rezeki, lalu menghasungnya untuk mengeluarkan sebagiannya untuk kemanfaatan manusia atau untuk menegakkan agamanya, Allah Kuasa untuk memberikan ganti yang lebih baik untuknya.

Seakan ia menyangka, ketika ia mendermakan hartanya, maka akan berkuranglah miliknya, lalu habis. Seakan Allah tidak memiliki stok lain sebagai pengganti dari yang telah dikeluarkannya. Bukankah sudah sekian lama dan panjang kehidupan alam berlangsung dan Allah terus Kuasa menghidupi seluruh makhluk di alam semesta?.

Disebutkan dalam Shahihain, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّ يَمِينَ اللَّهِ مَلأَى لاَ يَغِيضُهَا نَفَقَةٌ سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ، أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ مُنْذُ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ فَإِنَّهُ لَمْ يَنْقُصْ مَا فِى يَمِينِهِ

“Tangan Allah penuh dengan kekayaan, yang tidak akan berkurang oleh nafkah para dermawan pada malam dan siang hari. Tidakkah kalian mengetahui, apa yang Dia nafkahkan sejak penciptaan langit dan bumi, sama sekali tidak mengurangi apa yang ada di tangan kanan-Nya?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal lain yang membuat seseorang pelit untuk mengeluarkan hartanya adalah, karena ia menyangka dengan cara seperti itu akan mebawa keuntungan baginya. Hartanya akan menumpuk dan dikenal sebagai orang kaya. Padahal, seandainya ia mau berpikir sehat, apalah manfaat harta jika tidak dimanfaatkan, ia kumpulkan sebanyak mungkin lalu ia mati tanpa sempat menikmati semua yang pernah dikumpulkannya. Jika pun seseorang ingin langsung menikmati hartanya secara boros, tetap saja rugi.

Keinginannya mungkin tak terbatas, tapi kemampuan untuk menikmati sangat terbatas. Makan, sanggup berapa porsi sekali? Minum, sanggup berapa gelas sehari? Atau jika dibelikan berbagai macam properti maupun kendaraan dengan berbagai model dan teknologi terkini, apakah ia bisa menikmati semua dalam satu waktu? Kenapa ia tidak mau berbagi sedikit saja dari banyaknya hartanya yang menganggur?

Jika orang bakhil mengira bahwa dengan kekayaannya membuat orang lain terpana dan memuja, maka ia salah besar. Kekayaan di tangan orang kikir itu justru menumbuhkan sikap dengki orang lain terhadapnya. Rasa dengki itu membawa kebencian hingga yang paling fatal adalah perlakuan buruk orang akan tertuju kepadanya.

Itu semua belum seberapa, derita yang tragis akan dialami oleh orang yang bakhil terhadap hartanya. Karena harta yang tidak dinafkahkan itu akan dikalungkan di leher mereka kelak di hari kiamat sebagai azab dan siksaan yang amat berat, sebab harta benda yang dikalungkan itu akan berubah menjadi ular yang melilit mereka dengan kuat. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

من أتاه الله مالا فلم يؤد زكاته مثل له شجاع أقرع له زبيبتان يطوقه يوم القيامة فيأخذ بلهزمتيه (شد قيه) يقول: أنا مالك أنا كنزك ثم تلا هذه الأية

“Barang siapa yang telah diberi Allah harta, kemudian tidak mengeluarkan zakatnya, akan diperlihatkan hartanya berupa ular sawah yang botak, mempunyai dua bintik hitam di atas kedua matanya, lalu dikalungkan kepadanya di hari kiamat nanti. Ular itu membuka rahangnya dan berkata: “Saya ini adalah hartamu saya ini adalah simpananmu”. (HR. Imam Bukhari dan Nasa’i)

Meski kikir menjadi tabiat dasar manusia, bukan berarti menjadi harga mati yang tak bisa berubah.  Allah Ta’ala berfirman,

Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hashr: 9)

Ayat ini menunjukkan bahwa kikir bisa tersingkir, sekaligus menunjukkan bahwa siapa yang terhindar dari sifat kikir dan bakhil, maka orang-orang itulah orang-orang yang beruntung.

Jika pun seseorang ingin langsung menikmati hartanya secara boros, tetap saja rugi. Keinginannya mungkin tak terbatas, tapi kemampuan untuk menikmati sangat terbatas. Makan, sanggup berapa porsi sekali? Minum, sanggup berapa gelas sehari? Atau jika dibelikan berbagai macam properti maupun kendaraan dengan berbagai model dan teknologi terkini, apakah ia bisa menikmati semua dalam satu waktu? 

Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bakhil adalah penyakit, maka tersedia obat untuknya. Allah tidaklah menurunkan penyakit, kecuali ada obatnya. Penyakit ini muncul dari dua sebab. Sebab pertama adalah keinginan memperturutkan keinginan syahwat, yang tidak terwujud kecuali dengan harta dan angan-angan panjang. Sedangkan sebab kedua adalah cinta berlebihan terhadap harta.”

Beliau juga menjelaskan obatnya, bahwa untuk mengobati keinginan memperturutkan syahwat, adalah qana’ah dengan sesuatu yang sedikit tentu disertai kesabaran. Adapun untuk mengobati angan-angan panjang adalah dengan memperbanyak mengingat kematian, juga mengingat kematian teman-temannya. Melihat kepada panjang dan lamanya rasa letih yang mereka alami demi mengumpulkan harta (semasa hidupnya). Kemudian setelah meninggal, harta yang mereka kumpulkan, yang melupakan dari sekian banyak maksud dan tujuan tidak memberi manfaat bagi mereka. Semoga Allah hilangkan sifat kikir dari jiwa kita, aamiin.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Adab Islam

 

Pailit Karena Pelit

Allah mengisahkan tentang pemilik-pemilik kebun yang bakhil dan tidak sudi mendermakan sebagian rejekinya kepada fakir miskin dan bagaimana kesudahan mereka dalam surat Al-Qalam ayat 17-33.

Allah kisahkan,  “Ketika mereka bersumpah”, yakni berjanji diantara mereka, “Bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik hasilnya pada pagi hari”. Niatan mereka melakukan supaya orang-orang fakir dan orang yang membutuhkan tidak melihat mereka panen sehingga tidak perlu memberikan sebagian hasil kebun itu kepadanya. Atas rencana yang didasari oleh kebakhilan ini, Allah pun menggagalkannya. Allah menurunkan bencana kepada mereka, di mana tiba-tiba kebun itu menjadi hangus, tak ada sisa yang bisa dipanen dan tidak bisa diambil manfaatnya sedikit pun. “Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur, sebagian dari mereka memanggil sebagian yang lain, seraya berkata, “Pergilah pada waktu pagi ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya”. Yakni, berangkatlah pagi-pagi ke kebunmu lalu petiklah hasilnya sebelum datang waktu siang dan sebelum datang pula orang yang meminta-minta.

Baca Juga: Itsar, Akhlak yang Mulai Pudar 

“Maka, pergilah mereka saling berbisik.” Mereka saling berkata di antara mereka dengan cara rahasia. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Mereka berjalan pergi ke kebun itu dengan niat buruk, padahal sebenarnya mereka mampu memberikan sebagian hasilnya kepada orang miskin. Ikrimah dan asy-Sya’bi mengatakan, “Dan berangkatlah mereka pada pagi hari dengan niat menghalangi orang-orang miskin.” Artinya mereka tidak menyukai kedatangan orang-orang miskin. “Tatkala mereka melihat kebun itu”, yakni sebelumnya mereka melihat kebun itu dengan penuh suka cita; buah-buahan yang banyak dan bagus, lalu ternyata kebun itu berubah drastis, disebabkan jeleknya niat mereka. “Kemudian mereka berkata, Sesungguhnya, kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan) bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).”

Pailit Karena Pelit

Terdapat peringatan bagi siapapun yang pelit atau bahkan baru berniat untuk menahan pemberian kepada yang membutuhkan, Allah akan gagalkan apa yang mereka inginkan.

Hakikatnya, orang pelit itu menganggap bahwa apa yang didapatkan itu semata karena jerih payahnya, karenanya ia bisa menggunakan semua hasilnya untuk apa yang dia suka. Dia lupa, bahwa segala yang ia dapatkan itu adalah karunia dari Allah, yang semestinya dikelola sesuai dengan kehendak Yang Memberinya.

Dia juga lupa, sebagaimana Allah kuasa memberikan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki, maka Dia juga kuasa untuk mencabut kapan saja dari tangan siapapun. Apalagi dari orang yang telah menyalahgunakan pemberian-Nya dan tidak menunaikan sebagaimana mestinya.

Karena balasan itu setimpal perbuatan, maka orang yang berlaku pelit akan Allah ganjar dengan pailit dan kerugian. Maksud si pelit dengan menyimpan dan menumpuk hartanya tanpa menunaikan kepada yang berhak adalah untuk mendapat keberuntungan, maka yang didapatkan adalah kerugian. Allah Ta’ala berfirman,

“dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap diri nya sendiri. Dan Allahlah yang Maha kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya). Dan Allahlah yang Maha kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya); dan jika kamu berpaling , niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).” (QS. Muhammad: 38)

Maknanya siapapun yang kikir, tidak mau mengeluarkan infak di jalan Allah, maka kerugian yang diakibatkan kebakhilan itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Karena ia sendiri yang menghalangi pahala dan balasan dari Allah. Allah sama sekali tidak membutuhkan  infak yang ia keluarkan. Bahkan dirinyalah yang butuh terhadap kemanfaatan harta tersebut. Maka tatkala seseornag berpaling dari taat kepada Allah dan tidak mengikuti perintah-perintah-Nya, Allah akan gantikan ia dengan kaum lain yang akan mendapatkan manfaat lantaran lebih taat kepada Allah daripada dirinya.

Orang yang membahagiakan dirinya dengan jalan kikir terhadap hartanya, justru hartanya menjadi sebab tersiksanya batin dengan akutnya kekhawatiran sebagian hartanya akan berpindah ke orang lain. Padahal perpindahan itu pasti, cepat ataupun lambat.

Allah juga menjanjikan kesulitan hidup yang akan dialami oleh orang yang bakhil,

Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (al Lail : 7-9)

Allah menyandingkan antara sifat bakhil dengan istighna’ (merasa tidak butuh) dan juga mendustakan pahala. Karena ketika seseorang terjangkiti sifat bakhil, maka mereka tidak butuh kemurahan Allah, tidak butuh arahan dan petunjuk-Nya. Ia merasa bahwa rejeki itu karena usahanya, ia merasa mampu menentukan nasib sendiri tanpa pertolongan Allah. Ia juga disifati dengan mendustakan pahala yang terbaik, karena seandainya ia membenarkan, tentulah dia akan bersedekah dan menunaikan hak harta agar bermanfaat baginya di akhirat. Itulah sebabnya Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan ‘wash shadaqatu burhan’, dan sedekah adalah bukti, yakni burhan ‘ala shidqi iimaanihi, bukti akan ketulusan dan kejujuran imannya.

Baca Juga: Sedekah Terbaik Tak Harus Banyak 

Lalu Allah membalas sikap mereka yang merasa mampu menentukan nasib sendiri tanpa pertolongan Allah itu dengan kesulitan. Ibnu Abbas menjelaskan ayat tersebut, “Bakhil terhadap hartanya dan tidak sudi menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta tidak percaya adanya surga dan nikmatNya, maka akan Kami persiapkan untuknya nasib yang menjadikannya senantiasa dalam kesusahan, baik di dunia maupun di akhirat.”

Itulah serentetan kerugian ‘maknawi’ yang diderita oleh orang bakhil selagi masih di dunia sebagaimana mereka juga akan mengalami pailit secara materi. Bagaimana akan beruntung orang yang setiap harinya didoakan malaikat supaya pailit dan bangkrut? Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Nabi bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُوْلُ اْلآخَرُ: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

”Tiada datang pagi hari yang dilalui hamba Allah, melainkan ada dua malaikat turun. Salah satunya berdoa, ”Ya Allah berilah ganti (yang lebih baik) baik orang yang berderma.” Sedangkan satu malaikat lagi berdoa, ”Ya Allah, timpakanlah kebangkrutan atas orang yang menahan pemberian.” (HR. Bukhari)

Pailit di Akhirat

Sifat kikir menyebabkan seseorang menjadi fakir terhadap kebaikan, dan kaya akan dosa dan kesalahan. Karena sifat ini mendorong seseorang untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta, lalu berpaling dari apa yang diperintahkan kepadanya. Hasratnya hanya tertuju untuk dunia yang fana. Maka kelak, sebagai balasannya, harta yang merka tumpuk itu menjadi malapetaka bagi mereka,

Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. at-Taubah: 35)

Kabar yang mengerikan disebutkan juga oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa diberi harta oleh Allah namun dia tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat harta itu akan diserupakan untuknya berupa ular botak yang memiliki bisa di kedua sisi mulutnya. ia akan melilitnya pada hari kiamat kemudian mematok dengan rahangnya seraya berkata, ‘Aku adalah hartamu, aku adalah harta yang kamu tumpuk-tumpuk, Kemudian beliau membaca, ‘Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil mengira ..hingga firman-Nya, “ harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat..”  (Ali Imran : 180)

Semoga Allah menjauhkan diri kita dari sifat kikir; baik yang berkaitan dengan harta, tenaga, pikiran dan berbagai kemudahan yang Allah anugerahkan kepada kita, aamiin. (Abu Umar Abdillah/Kajian/Muthalaah)

 

Tema Terkait: Sedekah, Akhlak, Penata Hati