Cinta Kekuasaan, Lelah Berujung Penderitaan

Tak perlu heran bila melihat para penguasa saling bongkar dan sebar aib lawannya. Perang aib ini akan menjadi adegan wajib dalam setiap perseteruan antar penguasa atau penguasa dengan musuhnya. Jika tak temukan aib yang nyata, bikin aib rekayasa. Di jaman yang serba manipulatif seperti jaman ini, apa yang tidak bisa? Bukti aib seseorang dapat dibuat semirip dan senyata mungkin. Jangankan sekadar foto, gambar bergerak pun dapat diedit sedemikian rupa hingga mampu memastikan, ketokan palu hakim berpihak padanya.

Mengapa perang aib? Karena dalam kekuasaan, citra adalah tiang penopang utama selain dukungan. Rusaknya citra akan merusak dukungan. Dan itu berarti alarm darurat runtuhnya kekuasaan. Penguasa yang lihai membangun citra diri, mampu merebut hati dan dukungan. Dan yang paling licik dalam menjatuhkan citra lawannya, berpotensi panjang umur kuasanya.inilah salah petaka cinta kekuasaan.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Para pecinta kekuasaan akan mudah iri, bersikap berlebihan, suka bongkar dan sebar aib orang, dan dan tidak suka kebaikan orang lain disebut.”

Kekuasaan, seharusnya tidak menjadi sesuatu yang diburu dan dicintai. Kekuasaan ada karena keniscayaan. Ia ada dan dibutuhkan seperti dua saudara fitnahnya; harta dan wanita, namun bukan untuk menjadi obsesi. Kekuasaan adalah amanah, jika dibebankan harus dijalankan dengan kejujuran dan keadilan dan jika dijauhkan tak perlu dikejar mati-matian.

Mencintai kekuasaan dan memburunya ibarat mengoleksi anjing-anjing penjaga. Satu anjing akan memberikan manfaat. Tapi jika terlalu banyak dan tak adil dalam memberi makan dan merawat, anjing-anjing itu bisa berbalik menyerang.

Kapan seseorang dikatakan cinta kekuasaan dan bukan sekadar melaksanakan beban kewajiban?

Pertama,

manakala ia  ngotot mempertahankannya padahal sebenarnya sudah tak layak menjabatnya. Hal yang akan terjadi seperti yang kita saksikan hari ini. Apapun konsekuensinya, segala cara akan ditempuh demi mempertahankan kekuasaan. Siapapun yang berani merongrongnya, ia akan merasakan akibatnya.

Kedua,

sebagaimana disebutkan Syaikh Shalih al-Munajid dalam kitabnya, Mafsadatu Hubbur Ri’asah, pecinta kekuasaan adalah orang yang akan dengan mudah menentang Allah demi kekuasaanya. Seperti Firaun atau Iblis. Ia ingin tetap di atas dan sulit tunduk di bawah aturan Allah. Ukurannya adalah mendukung dan melanggengkan kuasanya, soal itu aturan Allah atau manusia, tak ada bedanya. Jika memang dengan sedikit membiarkan manusia mengikuti syariat mampu mendukung kekuasaannya, akan ia turuti. Tapi jika tidak, ia tak akan bersusah payah berusaha menegakkanya.

Ketiga,

seseorang dikatakan cinta kekuasaan manakala ia tak lagi mampu berbuat ikhlas dalam beramal. Semua kebaikan yang dilakukan hanyalah modus untuk menarik perhatian dan pencitraan. Buah yang ingin dipetik dari setiap kebaikan yang ditanam hanyalah buah yang bermanfaat untuk kuasanya, bukan yang bermanfaat di lam baka.

Ia selalu mengejar dan memburu pujian. Bahkan meski terhadap sesuatu yang sebenarnya bukan dia yang melakukan. Sangat berbeda sikapnya dengan penguasa tapi hatinya tak mecintai kekuasaan, seperti Umar bin Abdul Aziz. Usai mengentaskan penduduk Muassam dari kezhaliman dan memerintahkan rakyat agar berbuat baik kepada mereka, Beliau menulis surat yang dibacakan kepada seluruh penduduk. “Kalian tak perlu memuji semua itu kecuali kepada Allah. Karena sesungguhnya, andai saja Allah membiarkan hal itu terjadi dari diriku saja tanpa pertolongan-Nya, niscaya aku tak akan ada bedanya dengan yang lain.”

Kempat,

seperti yang dikatakan al-Fudhail di atas, saat seseorang mencintai kekuasaan, ia akan dengan mudah menelisik lalu mengumbar aib orang lain. Aib seseorang, apalagi lawannya, adalah kartu AS yang akan selalu ia cari atau rekayasa untuk menjatuhkan lawan atau digunakan saat terdesak.

Kelima,

meletakkan harga dirinya dalam kekuasaanya. Menurutnya, ia layak dihormati dengan kuasanya. Ia pun menjadi sombong dan sering bersikap arogan.

Tentu kita tak asing dengan arogansi oknum-oknum pejabat saat berhadapan dengan publik. Ada yang marah-marah karena dilarang main handphone saat di pesawat, ada yang main pukul dan damprat saat tak sabar dengan suatu pelayanan, dan sebagainya. Saat mobil pejabat lewat, semua pengguna jalan harus menyingkir. Ketergesaan kendaraan-kendaraan itu, bahkan kadang cenderung ngawur, melebihi ambulan pembawa pasien sakit jantung yang sekarat. Padahal belum tentu urusan mereka benar-benar penting dan tak bisa ditunda.

Kelima hal di atas, selain merupakan indikasi dari cinta yang berlebihan kepada kekuasaan, juga merupakan petaka cinta jabatan. kekuasaan memang menjanjikan kenikmatan, harta, kehormatan, dan kemasyhuran. Namun dibaliknya ada bahaya, lelah, takut, derita dan sesal di akhirat.

Dari Auf bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda,

“Kalau kalian mau, akan aku beritahukan sesuatu tentang apa itu kekuasaan” Aku (Auf) pun berseru, “Apa itu kekuasaan wahai Rasulullah” Beliau menjawab,

أَوَّلُهَا مَلاَمَةٌ وَثَانِيْهَا نَدَامَةٌ وَثَالِثُهَا عَذَابٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ عَدِلَ فَكَيْفَ يَعْدِلُ مَعَ أَقاَرِبِيْهِ

“Kekuasaan itu, permulaannya adalah celaan, pertengahannya adalah penyesalan dan akhirnya adalah azab di hari kiamat kecuali yang bersikap adil. Tapi bagaimana dia akan adil terhadap kerabatnya?” (HR. al-Bzzar dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani).

Berat. Saat berkuasa, selain pujian, anda juga bakal panen celaan dan hujan kritik. Rakyat atau masyarakat akan mengawasi dan mengomentari semua anda lakukan. Sebagian mungkin memuji, tapi akan lebih banyak yang mencela sesuka hati.

Dan di akhirat, cinta pada kuasa hanya akan berujung pada penderitaan. Hidup yang seharusnya digunakan mengumpulkan bekal di hari kiamat, habis untuk berpikir bagaimana caranya mempertahankan kekuasaan.

Wallahulmusta’an. Jika kita diuji dengan kekuasaan, hendaknya jalankan dengan penuh keadilan dan hanya mengharap ridha Allah. Jadikan kekuasan untuk mengakkan syariat-Nya, bukan menggantinya dengan aturan buatan manusia. Biarkan kekuasaan ada di tangan, bukan di hati.

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Muhasabah

Khutbah Jumat: Ketika Amanah Bertemu Pundaknya

:Khutbah Jumat
Ketika Amanah Bertemu Pundaknya

Oleh: Majalah ar-risalah

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَيْثُ قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

 

JAMAAH JUMAT YANG DIMULIAKAN OLEH ALLAH,

Menjadi kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur kepada Allah, atas segala limpahan dan karunia yang tak terhingga. Sungguh, kenikmatan itu datang karena syukur, dan syukur itu akan mengundang hadirnya  tambahan nikmat. Tambahan karunia dari Allah tak akan berhenti, kecuali jika hamba itu menghentikan syukurnya.

Di antara ulama mengartikan syukur dengan tarkul ma’aashi, meninggalkan maksiat. Maka barang siapa yang bermaksiat kepada Allah, dia telah menanggalkan syukurnya kepada Allah, sesuai dengan tingkat dosa yang dilakukannya. Namun, dengan kasih sayang Allah atas hamba-Nya, Dia memberikan kesempatan kepada setiap orang yang berdosa untuk bertaubat. Taubat yang sempurna tak hanya menghapus dosa, bahkan bisa jadi keadaan orang yang bertaubat lebih baik dari keadaannya sebelum berbuat dosa.

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Abdullah bin Mubarak pernah bercerita tentang kejadian yang ia alami, “Di Syam aku meminjam pena. Aku berniat mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya, tapi pena tersebut terbawa saat perjalananku sudah berada jauh di kota lain, yakni kota Marwu. Akhirnya akupun kembali ke Syam untuk mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya.” Begitulah penghayatan beliau terhadap amanah yang harus ditunaikannya.

Sebagaimana firman Allah,

إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,” (QS. an-Nisa’: 58)

Jika dalam urusan pena saja amanah harus dijaga, apalagi amanah lain yang lebih besar dan penting. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Amanah yang tersebut dalam ayat ini bersifat umum, meliputi semua amanah yang wajib ditunaikan oleh manusia. Macamnya ada dua; yang terkait dengan hak-hak Allah seperti shalat, shaum dan lainnya, dan yang kedua berkaitan dengan hak-hak makhluk seperti titipan dan yang lain.”

Amanah adalah beban tanggung jawab yang harus dijaga hingga aman berada pada posisi yang seharusnya. Sedangkan lawan dari sifat amanah adalah khiyanat. Begitu krusial sifat amanah ini hingga menjadi sifat wajib yang harus ada pada diri Rasulullah. Beliau digelari al-amiin (orang yang amanah) sebelum diangkat menjadi nabi, dan sifat khiyanat adalah mustahil saat beliau menjadi nabi dan rasul. Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda,

“Apakah kalian tidak mempercayai aku padahal aku adalah orang yang paling amanah di kolong langit, di mana berita langit mendatangiku di waktu pagi dan sore hari.” (HR. Bukhari).

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Tak hanya Nabi yang diperintahkan untuk menjaga amanah, namun umat manusia juga memiliki kewajiban untuk menunaikan amanah. Dari sekian banyak amanah, tak ada yang lebih agung dari amanah berupa agama (Islam) dan syariatnya. Sehingga para ulama mengistilahkannya dengan amanah al-‘uzhma, amanah yang agung.

Allah berfirman,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ﴿٧٢

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab: 72)

Imam al-Qurthubi berkata ketika menafsirkan ayat tersebut, “Amanah yang tersebut dalam ayat ini meliputi seluruh tugas-tugas yang berhubungan dengan agama ini.” Maka tugas manusia adalah menegakkan syariat yang telah Allah gariskan untuk manusia.

Termasuk di dalamnya amanah dakwah yang menjadi keniscayaan. Sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wasallam telah memerintahkan umatnya,

“Sampaikanlah apa-apa yang datang dariku, meskipun hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Termasuk amanah yang harus dijaga adalah segala nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita. Mata adalah amanah, telinga juga amanah. Begitu juga dengan kaki, lisan dan harta adalah amanah yang wajib dijaga dan dipergunakan sesuai kehendak Yang Memberi amanah. Termasuk kehormatan dan kesucian kemaluan juga merupakan amanah.

Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Termasuk amanah yang harus dijaga adalah amanah bagi wanita untuk menjaga kemaluannya agar tidak terjerumus kepada zina.”

Maka alangkah pentingnya kewajiban amanah ini diingatkan kepada umat di segala lininya. Terlebih saat kebanyakan manusia menggunakan amanah untuk kepentingan pemuas nafsu, bukan sesuai kehendak yang menitipkan amanah kepadanya. Banyak amanah yang wajib ditunaikan terlantar. Pun begitu masih berambisi untuk memburu amanah yang sebenarnya tidak wajib atas dirinya. Bisa jadi pula, bukan dirinya yang berhak untuk mengemban amanah ini. Yakni amanah jabatan dan kekuasaan.

Hari ini, betapa amanah itu diperebutkan laksana roti kecil yang diperebutkan banyak anak-anak. Dan karena ambisinya, merasa dirinyalah yang paling berhak mendudukinya. Sementara di sudut lain ada yang memiliki keinginan lain. Bukan untuk menjalankan amanah, tapi menggunakan amanah sebagai kendaraan untuk memburu popularitas diri, atau demi mengenyam lebih banyak lagi kenikmatan duniawi.

Karena itulah, amanah kepemimpinan di dalam Islam tidak didasarkan atas pengajuan dan pencalonan diri. Karena berpotensi membuka peluang menyimpangnya maksud dan tujuan sebuah amanah diemban. Hingga, ketika sahabat Abu Dzar yang memiliki kedekatan dengan Nabi shalallahu alaihi wasallam meminta beliau supaya mengangkatnya menjadi gubernur, beliau bersabda,

“(Jabatan) itu adalah amanah. Ia hanya menjadi kehinaan dan penyesalan pada Hari Kiamat, kecuali orang yang benar-benar mengambilnya dengan cara yang benar dan menunaikan amanahnya.” (HR. Ahmad).

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Tampaknya Kiamat memang sudah semakin dekat. Banyak orang memuji diri sendiri untuk dipilih sebagai pemimpin. Banyak pula acara yang tidak benar dilakukan demi mendapatkan amanah yang dilirik sebagai lahan basah untuk kenikmatan duniawi. Hingga kepemimpinan jatuh pada orang-orang yang bukan ahlinya. Persis seperti gambaran Nabi, “Apabila amanah telah ditelantarkan, maka tunggulah saatnya Kiamat.” Lalu beliau ditanya, “Bagaimana amanah itu ditelantarkan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ketika amanah dipikul oleh orang yang bukan ahlinya, maka tungguhlah saat datangnya Hari Kiamat.” (HR. Bukhari)

Sungguh indah tatkala amanah itu jatuh kepada orang semisal Umar bin Abdul Aziz, yang tidak berambisi menjadi khalifah dari awalnya. Namun tatkala beliau diangkat, ia benar-benar menjaga amanah itu sesuai dengan haknya. Itulah amanah tatkala menemukan pundaknya.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

KHUTBAH KEDUA

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

اللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُجَاهِدِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ،

اللَّهُمَّ وَحِّدْ صُفُوْفَهُمْ وَسَدِّدْ رَمْيَهُمْ وَثَبِّتْ أَقْدَامَهُمْ وَاجْمَعْ كَلِمَاتِهِمْ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ

اللَّهُمَّ أَفْرِغْ فِي قُلٌوْبِهِمْ صَبْرًا، يَا إِلَهَ الْحَقُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

اللَّهُمَّ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ مَزِّقْ صُفُوْفَهُمْ، وَشَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْ، وَمَزِّقْهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ، يَا عَزِيْزُ ذُو انْتِقَامٍ

اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ نِسَائَهُمْ وَصِبْيَانَ هُمْ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ ضُعَفَاءَ هُمْ، اللَّهُمَّ دَاوِ جَرْحَهُمْ وَاشْفِ مَرْضَاهُمْ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

وَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ، وَأَقِمِ الصَّلَاة

Khutbah Jumat: Pejabat, Orang yang Paling Butuh Nasehat

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji milik Allah Rabb semesta Alam. Kita bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunahnya sampai hari kiamat.

 

Jamaah Jumat rahimakulullah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bertakwalah kamu di manapun kamu berada. Ikutilah perbuatan buruk dengan amal shalih niscaya akan menghapus dosanya, dan berakhlaklah yang baik dalam bergaul dengan masyarakat.” Takwa di mana pun kita berada. Takwa di masjid adalah beribadah dengan ikhlas dan benar, takwa di tempat kerja adalah bekerja dengan penuh amanah dan tidak membuang-buang waktu, takwa di pasar adalah melakukan transaksi dengan jujur sesuai syariat, takwa di sekolah adalah belajar dengan baik dan meniatkan ilmunya kelak bisa memberi kontribusi untuk Islam.

Takwa memang harus ada di segala tempat. Senantiasa menemani kita, bahkan saat kita sendiri sekalipun. Oleh karenanya, Rasulullah senantiasa menasehatkan takwa dalam setiap khutbahnya.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah.

Nasehat takwa adalah kebutuhan pokok bagi seorang mukmin. Siapapun membutuhkan nasehat ini, agar selalu ingat bahwa takwa adalah jati diri kita di hadapan Allah, nilai kita di hadapan Allah. Namun, kata Shahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu, ada orang yang paling butuh terhadap nasehat takwa melebihi seluruh kaum muslimin. Siapakah dia?

Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai raja, kamu adalah manusia yang posisinya paling tinggi dibanding umat manusia, oleh karena itu, kamu adalah manusia yang paling dituntut untuk bertakwa kepada Allah.”

Perkataan ini dinukil oleh Imam al-Mawardi dalam kitabnya Nashihatul Muluk. Lebih lanjut, dalam kitab yang sama, al-Imam al-Mawardi memberikan penegasan bahwa orang yang paling butuh nasehat adalah para pejabat negara. Mengapa? Ada enam alasan yang beliau sebutkan.

Pertama, Pemimpin negara harus senantiasa menaikkan derajat diri dan tidak boleh menyamai perilaku orang-orang bodoh dan manusia yang rendah moralitasnya.

Pejabat haruslah menjaga martabat. Jauh dari perilaku rendah tapi juga tidak sombong. Jaga image dalam arti positif harus  diilakukan, tapi jaga image atau Jaim dalam arti angkuh dan sok, harus dihindari. Perbuatan-perbuatan yang bisa merendahkan martabat juga harus dihindari. Misalnya, ikut berjoget saat menghadiri acara yang menyuguhkan musik merupakan perbuatan yang tak patut dilakukan pemimpin. Nah, untuk ini, mereka membutuhkan banyak nasihat dan arahan dari para ulama.

Kedua, nasihat kebaikan adalah hal penting dalam menentukan sikap yang tepat. Seorang pemimpin harus membawa rakyatnya agar selamat dunia akhirat. Bukan sejahtera dunia saja, tapi akhiratnya sengsara. Dan untuk mewujudkannya, mereka benar-benar membutuhkan nasihat dari para shalihin dan orang-orang mukmin.

Ketiga,  jabatan akan menyibukkan diri dan memberi banyak tekanan pada jiwa. Hal ini sering membuat seorang pejabat sulit menilai diri sendiri dengan jujur. Berat mengakui kesalahan dan meminta maaf saat salah. Jabatan dapat membuat seseorang merasa benar dan sulit diarahkan, kecuali oleh orang yang jabatannya lebih tinggi. Padahal, ada kalanya rakyat lebih memahami realita daripada pejabat. Oleh karenanya, para khalifah di Zaman dahulu sering mengunjungi ulama untuk meminta arahan dan nasehat.

Kejernihan hati para ulama dapat membuka tabir kesombongan yang menyelimuti hati hingga mampu melihat diri sendiri dengan jujur.

Keempat, mereka adalah orang yang paling jarang hadir di majelis pengajian, bermajelis bersama ulama dan forum tausiyah. Sebuah jabatan, jika dilaksanakan dengan benar, amanah dan jujur, pastilah akan menguras waktu dan tenaga. Oleh itulah mereka jadi sering absen dari majelis-majelis ilmu. Jika seorang pejabat menyadari hal ini dan merasa butuh terhadap ilmu dan nasehat, tentulah ia akan mengusahakan beragam cara agar bisa tetap mendapat nasehat meski sedang bekerja. Namun jika tidak sadar, maka kehidupan mereka akan kosong dari ilmu dan sepi dari nasehat.

Kelima, mereka adalah orang yang paling sulit mengamalkan nasehat saat nasehat tersebut bertentangan dengan nafsu. Status, harta, keamanan yang didapatkan, kewenangan, kebahagiaan dan kenikmatan hidup membuat hati mereka keras.

Semakin tinggi jabatan, semakin wah fasilitas yang didapatkan. Materi dunia akan memanjakan nafsu dalam diri dan membuatnya kuat dan mendominasi. Akibatnya, nasehat-nasehat yang berusaha mengekang nafsu akan diabaikan. Di sinilah titik paling kritisnya. Jika nafsu sudah berkuasa, nasehat kebaikan akan diabaikan begitu saja.

Keenam, mereka adalah orang yang paling kering dari nasihat. Bodiguard, menteri, dan bawahan mereka tidak ada yang berani berbicara kecuali yang sesuai hawa nafsu pemimpinnya, demi keselamatan jabatan dan pekerjaan masing-masing. Orang-orang yang mendatangi mereka pun kebanyakan adalah pemburu dunia dan penjual harga diri.

Beginilah yang sering terjadi. Para pejabat dikelilingi oleh para pejabat bawahan yang mencari makan di bawah jabatannya. Siap berebut jabatannya saat dia tinggakan. Maka wajar jika Imam al-Mawardi berkata bahwa bawahan hampir mustahil berani memberi nasihat yang jujur. Kebanyakan hanya akan diam melihat kemaksiatan atasannya dengan alasan tidak mampu melawan. Dan inilah yang membuat seorang pejabat menjadi kering dari nasehat. (diringkas dari Nasihatul Muluk, Imam al Mawardi, hal. 39-40)

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

berangkat dari nasehat Ali bin Abi Thalib dan juga Imam al-Mawardi ini, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Marilah kita belajar menerima nasehat dan masukan. Apapun jabatan kita di dunia, semuanya pastilah membutuhkan masukan dan nasehat dari orang lain. Bahkan jabatan kita sebagai ayah dalam rumah tangga pun tetap membutuhkan nasehat dari siapapun, bahkan kadangkala nasehat dan teguran itu datang dari anak kita yang masih kecil.

Harus senantiasa kita ingat, menerima nashet adalah ciri khas orang mukmin. Alah berfirman,

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan ingatkanlah karena peringatan itu bermanfaat bagi orang mukmin.” (QS. adz Dzariyat: 55).

 

 

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

 

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Khutbah Jumat

 

Materi Khutbah Lainnya: 

Sabar dan Syukur; Dua Tali Pengikat Nikmat

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Mendulang Manfaat Kala Sakit dan Sehat

 

 

 

 

 

 

 

 

Tindak Korupsi Tiada Henti, Apa Akar Masalahnya?

Ketua MPR Zulkifli Hasan di sela-sela perhelatan pernikahan putrinya di Grand Ballroom hotel Raffles, Kuningan, Jaksel, Ahad 24 September 2017 mengungkapkan kesedihannya dengan banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus korupsi kepala daerah di banyak tempat akhir-akhir ini. Dari kalangan kepala daerah dari Adriansyah (Tanah Laut), Atty Suharti (Cimahi), Ratu Atut Chosiyah (gub, Banten), Fuad Amin (Bangkalan), Sri Hartini (Klaten), Tubagus Imam Ariyadi (Cilegon), Edy Rumpoko (Batu, Malang), Ridwan Mukti (Bengkulu), Siti Masitha (Tegal), terbaru Rita Widyasari (bupati Kutai Kartanegara).

Belum lagi mereka yang ditangkap dari kalangan penegak hukum seperti Dewi Suryana (PN Bengkulu) yang disangkakan dagang perkara, atau sebelumnya seperti Akil Mukhtar (mantan ketua MK), Patrialis Akbar, kasus panitera PN Jaksel Tarmizi, dll. Dari kalangan anggota dewan (pusat maupun daerah), seperti Musa Zainuddin (PKB), Andi Taufan Tiro (PAN), I Putu Sudiartana (Demokrat), Miryam S Haryani, Markus Nari (dalam kasus E-KTP) dll.

Itu semua hanya bagian kecil dari deretan kasus-kasus penyalahgunaan wewenang oleh para penyelenggara negara dalam masalah penggunaan uang. Belum kasus lain yang menjerat mereka seperti pesta narkoba, plagiasi karya ilmiah, pelanggaran norma susila dll.

 

Politik Uang

Zulkifli Hasan sedih karena parpol akan kehabisan kader bila OTT KPK terus-terusan terjadi. [detikNews, Minggu, 24 September 2017]. Menurutnya, akar dari masalah ini adalah politik uang. Segala sesuatu dari mulai ‘mahar’ untuk menjadi calon yang diusung oleh parpol dalam pilkada, biaya kampanye, mengamankan kemenangan dari gugatan pihak lawan (seperti kasus yang menjerat Akil Mukhtar) juga mesti dengan uang. Akibatnya, para kepala daerah tersebut berusaha agar selama masa menjabat dapat sesegera mungkin memperoleh ganti atas ‘modal’ yang diinvestasikan untuk meraih jabatan tersebut, dan jika mungkin, mengamankan peluang untuk meraih jabatan periode kedua.

Cara berpikir ini yang mengantarkan terciptanya budaya korupsi di dalam struktur pemerintahan. Kewenangan yang dimiliki akan digunakan semaksimal mungkin untuk mengamankan kepentingan politiknya, belum lagi (jika) ada desakan halus ‘balas budi’ dari partai yang mengusungnya. Dalam beberapa kasus yang muncul, proyek pembangunan infrastruktur merupakan bagian paling subur praktek korupsi, dengan dalih apapun; pemenangan tender, fee, hadiah, dll. Bahkan dalam kasus bupati Klaten, promosi jabatan dalam birokrasi yang seharusnya bebas dari campur tangan politik pun tidak aman dari praktek korupsi.

 

Baca Juga: Memahami Khilafah dan Syariat Islam

 

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan bahwa selama ini OTT tidak dilakukan pada pemberian pertama. Selalu yang kedua, kesekian, ketiga, ujarnya di gedung DPR, Senayan, Selasa 26/9/2017. [detikNews, Rabu, 27 September 2017]. Proses OTT, menurut Agus Rahardja bermula dari laporan warga masyarakat. Di saat penggunaan teknologi komunikasi yang sudah flat saat ini, memungkinkan warga masyarakat menyampaikan laporan indikasi terjadinya tindak pidana korupsi secara cepat kepada KPK. Di sisi lain, sebagian anggota DPR mengatakan bahwa penyadapan itu menyalahi HAM. Anggota pansus KPK Masinton Pasaribu bahkan menginginkan penyadapan yang dilakukan oleh KPK harus diatur dengan undang-undang. Publik yang terdidik tentu bisa membaca kemana arah yang diinginkan dari usulan itu.

 

Apa Akar Masalahnya?

Benarkah politik uang merupakan akar masalah dari berbagai problem korupsi, jual beli jabatan, dagang perkara, penyalahgunaan wewenang, dll, oleh para penyelenggara negara? Ataukah masih ada bottom problem yang lebih mendasar? Ketua MPR Zulkifli Hasan menyimpulkan bahwa akar masalah dari semua persoalan tersebut ada pada politik uang, “sistem yang ada di Indonesia semua tergantung uang”.

Dalam lingkup kausalitas-administratif, pernyataan ketua MPR tersebut mungkin benar. Jika penjaringan calon kepala daerah, atau pejabat publik apapun, apabila bersih dari penggunaan uang pada seluruh levelnya, dari mulai penjaringan bakal calon hingga proses pemilihan oleh rakyat bersih dari sembako dan amplop ‘serangan fajar’, dan jika ada sengketa pilkada MK sebagai pengadil juga bebas dari praktik politik uang, dengan kata lain dari hulu sampai hilir bersih, maka diharapkan tidak akan ada praktik korupsi.

Praktik korupsi yang disebabkan cacat proses administrasi akan dapat ditekan. Tinggal pembinaan dan pengawasan para pelayan publik tersebut agar menjauhi praktik korupsi dan menghindari pengangkatan pejabat dari kroni atau tidak berdasarkan uji kelayakan sehingga memberi ruang munculnya praktek korupsi. Kemudian dilengkapi dengan tindakan hukum yang keras terhadap siapa pun yang terjebak kasus korupsi, untuk memaksimalkan efek jera.

 

Hedonis, Gaya Hidup Pemicu Korupsi

Ada statement menarik, menurut gubernur Jatim Soekarwo, gaya hidup dan perilaku korupsi sangat berkaitan erat dengan kehidupan hedonis para pejabat.”Jelas ada kaitan antara gaya hidup dan perilaku korupsi. Gaya hidup yang hedon, konsumtif, memerlukan biaya tinggi, padahal gajinya (pejabat) rendah, ya dicuri kemudian uang rakyat” [detikNews, 27 September 2017]. Sebagai gebernur, Soekarwo, untuk menghindari terjadinya korupsi tersebut, maka dia memilih untuk melakukan antisipasi secara administratif yakni dengan cara mutasi; memindahkan pejabatnya dari satu jabatan struktural tertentu kepada jabatan yang lain, menaikkan, menurunkan, bahkan mencopotnya.

Hanya saja, pilihan sistem hidup yang diambil oleh bangsa muslim terbesar ini memang berorientasi kepada paham sekuler-materialistik. Para pemimpin politik hari ini, jika dia termasuk pemimpin yang baik, dia hanya bisa mencegah praktik penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri dan kelompoknya secara administratif. Di luar itu, sumber penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat, berasal dari style gaya hidup hariannya, dia dan keluarganya. Jika gaya hidup yang dijalaninya sederhana, tidak berlebih-lebihan dan konsumtif, maka peluang untuk tidak tergiur oleh rayuan dan kesempatan yang terbuka untuk melakukan penyalahgunaan wewenang dan korupsi dapat diantisipasi.

 

Baca Juga: Keadilan, Barang Langka Yang Sulit Ditemukan

 

Sebaliknya, jika pilihan gaya hidup yang ditempuh oleh para pejabat tersebut hedonis dan konsumtif, penyalahgunaan wewenang dan korupsi selalu mengintai, bahkan ketika peluang tidak ada pun, pejabat seperti itu akan berusaha menciptakan kesempatan. Niat dan kesempatan, ketika sendiri-sendiri, hanya menjadikan kejahatan itu bersifat potensial,… berpeluang untuk terjadi. Tetapi ketika ada niat, kesempatan dan kemampuan telah terkumpul, maka kejahatan itu menjadi aktual.

Gaya hidup hedonis dan konsumtif adalah bentuk nyata dari seorang yang mengejar dan mengutamakan kehidupan di dunia, lebih dari memikirkan keselamatan nasibnya di dalam kehidupan setelah kematiannya. Gaya hidup hedonis dan konsumtif kadang juga berselimut jubah kesalehan, bermantel kedermawanan. Namun sejatinya kesalehan dan kedermawanan yang diperagakan bercorak ‘pemutihan amal’. Waliyadzubillahi.

 

Oleh: Redaksi/Berita/Fikrah

Pejabat Bermartabat Karena Pemimpin Hebat

Memilih kriteria pemimpin dan orang yang diberi amanah jabatan memang tidak mudah. Tidak seperti kebanyakan manusia hari ini yang menggunakan sistem voting, mana yang mendapat suara terbanyak ialah yang akan menang. Entah ia orang yang amanat, bijaksana lagi wibawa atau justru ia orang yang hanya bermodalkan OMDO (omong doang) sangat bisa terpilih menjadi pejabat.

Lain ceritanya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia meniru jejak kakek buyutnya Umar bin Khattab dalam memilih seseorang yang pantas untuk dijadikan pejabatnya. Ia mengangkat orang-orang yang tidak menginginkan kekuasaan dan kekayaan dari jabatannya, tidak pula ingin sambutan yang wah dalam pelantikannya. Tapi Ia lebih memilih pengemban jabatan yang santun, rendah hati, bersosial dengan sesame manusia dan tidak memiliki keistimewaan diantara manusia kecuali amalannya.

Baca Juga: Apa Enaknya Jadi Pejabat? 

Dari sekian orang yang akan dipilih Umar bin Abdul Aziz tersebutlah nama Bilal bin Abu Burdah. Umar bin Abdul Aziz melihat dirinya sebagai orang yang selalu dekat dengan masjid tiap waktu shalat dan senantiasa membaca al-Quran di siang dan malam harinya. 

Umar bin Abdul Aziz ingin mengangkatnya sebagai gubernur Iraq,ia berkata pada al-A’la bin Mughirah sebagai pejabat yang diserahi tugas ini, “Jika yang ada di batinnya sebagaimana yang Nampak pada lahirnya, ia adalah orang yang patut mengemban amanah, karena tidak menginginkan keutamaan.”

Pejabat tersebut pergi menjalankan tugasnya guna mendatangi Bilal, adapun Bilal saat itu sedang menunaikan Shalat antara waktu Magrib dan Isya’. Usai shalat Al’-A’la bin Mughirah berkata kepadanya, “Kamu mengetahui kedudukan dan kedekatanku dengan Amirul Mukminin. Jika aku mengusulkan kepadanya untuk mengangkatmu menjadi gubernur Iraq, Apa yang kamu sampaikan padaku?” “Gajiku setahun” jawab Bilal bin Abu Burdah. “Maksudmu 120 ribu dirham?” Tanya al’A’la. “Ya” Jawab bilal. Lalu al’A’la berkata, “Catat itu untukku diatas kertas sebagai bukti.”

Bilal bin Abu burdah bergegas menulisnya. Al-A’la pun membawa tulisan tersebut kepada Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Setelah membacanya Ia menulis surat kepada gubernur Kufah  yang intinya bahwa Bilal mengelabuhi kaum muslimin dengan ibadahnya, dan hampir kita semua terperdaya olehnya. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata ada penyakit dalam dirinya, ia tidak layak untuk menjabat.

Akhirnya Umar bin Abdul Aziz mengasingkan Bilal bin Abu Burdah dan mengusirnya dari Iraq. Ia berkata,” Wahai penduduk Iraq, pemuka kalian ini hanya mengobral kata-kata bukan fakta yang dapat diterima, dan memang kefasihannya dalam bicara bertambah,namun kezuhudan dalam dirinya berkurang.”

Baca Juga: Pemerintah Sumber Fitnah? 

Demikian proses pengangkatan pejabat dan pemegang amanat dari seorang tokoh pemimpin terbaik sepanjang masa. Hendaknya bila kita memang menghendaki kebaikan, utamakan Iman dan ketawadhu’an dalam memilih pemimpin atau pejabat lainnya, bukan karena banyaknya suara, bukan lantaran hartanya, bukan juga karena bualan-bualan palsu lainnya. Semoga bermanfaat (Nurdin/Motifasi/Pejabat

 

Tema Terkait: Pemerintah, Khilafah, Pemimpin