Jangan Menjilat Karena Ingin Mendekat

Ada yang berebut kekuasaan, ada yang berebut pengaruh supaya dekat dengan pemilik jabatan. Tak jarang untuk meraih kedekatan itu harus mengorbankan keyakinan, atau harus berhadapan melawan kebenaran. Ini karena manusia memandang bahwa kemuliaan terdapat pada jabatan dan kekuasaan, dan kedekatan dengan penguasa dianggapnya numpang mulia.

Di zaman Nabi Musa alaihissalam, mereka yang berani menghadapi mukjizat Nabi Musa alaihissalam dari pihak Fir’aun itu punya pamrih. Dan Fir’aun tahu apa pamrih mereka itu, maka ia pun menjadikannya sebagai iming-iming dan hadiah yang dijanjikan. Dan pamrih itu adalah beruapa kedekatan posisinya dengan Fir’aun. Allah kisahkan tentang hal ini,

Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, mereka bertanya kepada Fir’aun: “Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?” (QS. Asy Syu’araa’: 41)

Fir’aun menjawab: “Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku).” (QS. Asy Syu’araa’: 42)

Maka sepanjang sejarah ketika ada penguasa yang tidak pro kepada kebenaran, berseberangan dan berhadapan dengan Islam dan kaum muslimin, maka ia akan memberikan tawaran yang sama bagi siapapun yang dipandang mampu menahan arus dakwah kebenaran. Tak peduli dari pihak manapun asalnya. Inilah yang menarik orang-orang munafik untuk tampil menyambut tawaran. Yang dalam bahasa kasarnya adalah penjilat. Disebut penjilat karena kehinaannya mengorbankan prinsip demi kemengan orang lain, sementara ia hanya sekedar dekat dengannya. Bahkan ada yang rela menjilat hanya demi sekedar dekat atau dianggap kenal dekat dengan seseorang yang punya nama atau wibawa.

Orang-orang munafik mengira menjadi mulia dengan itu, padahal hakikatnya itu adalah kehinaan yang paling hina.

Ketika Imam Malik ditanya, “Siapakah orang yang hina itu?” Beliau menjawab, “Yakni orang yang mencari makan dengan menjual (mengorbankan) agamanya.” Beliau ditanya lagi, “Lantas siapakah orang yang paling hina di antara yang hina?” Beliau menjawab, “Orang yang mengorbankan agamanya demi dunia orang lain.”

[bs-quote quote=”Ketika Imam Malik ditanya, “Siapakah orang yang hina itu?” Beliau menjawab, “Yakni orang yang mencari makan dengan menjual (mengorbankan) agamanya.” Beliau ditanya lagi, “Lantas siapakah orang yang paling hina di antara yang hina?” Beliau menjawab, “Orang yang mengorbankan agamanya demi dunia orang lain.”” style=”default” align=”center” color=”#2878bf”][/bs-quote]

Sedang kemuliaan sesungguhnya adalah ketika seseorang berada di pihak Allah, Rasulullah dan membela orang-orang yang beriman. Firman Allah Ta’ala,

“Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang Mukmin.” (QS. Al-Munafiqun: 8)

Jika orang-orang munafik berlomba mendekat kepada para raja dengan menghalalkan segala cara, maka orang beriman berusaha mendekat kepada Pencipta para raja yang Mahakuasa lagi Mahamulia. Jika ada orang yang berbangga menjadi keluarga para raja, maka ahlul Qur’an berlomba menjadi keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya. Ahlul Qur’an hum ahlullah wa khaashatuh, sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muhasabah

Khutbah Jumat: Pejabat, Orang yang Paling Butuh Nasehat

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji milik Allah Rabb semesta Alam. Kita bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunahnya sampai hari kiamat.

 

Jamaah Jumat rahimakulullah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bertakwalah kamu di manapun kamu berada. Ikutilah perbuatan buruk dengan amal shalih niscaya akan menghapus dosanya, dan berakhlaklah yang baik dalam bergaul dengan masyarakat.” Takwa di mana pun kita berada. Takwa di masjid adalah beribadah dengan ikhlas dan benar, takwa di tempat kerja adalah bekerja dengan penuh amanah dan tidak membuang-buang waktu, takwa di pasar adalah melakukan transaksi dengan jujur sesuai syariat, takwa di sekolah adalah belajar dengan baik dan meniatkan ilmunya kelak bisa memberi kontribusi untuk Islam.

Takwa memang harus ada di segala tempat. Senantiasa menemani kita, bahkan saat kita sendiri sekalipun. Oleh karenanya, Rasulullah senantiasa menasehatkan takwa dalam setiap khutbahnya.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah.

Nasehat takwa adalah kebutuhan pokok bagi seorang mukmin. Siapapun membutuhkan nasehat ini, agar selalu ingat bahwa takwa adalah jati diri kita di hadapan Allah, nilai kita di hadapan Allah. Namun, kata Shahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu, ada orang yang paling butuh terhadap nasehat takwa melebihi seluruh kaum muslimin. Siapakah dia?

Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai raja, kamu adalah manusia yang posisinya paling tinggi dibanding umat manusia, oleh karena itu, kamu adalah manusia yang paling dituntut untuk bertakwa kepada Allah.”

Perkataan ini dinukil oleh Imam al-Mawardi dalam kitabnya Nashihatul Muluk. Lebih lanjut, dalam kitab yang sama, al-Imam al-Mawardi memberikan penegasan bahwa orang yang paling butuh nasehat adalah para pejabat negara. Mengapa? Ada enam alasan yang beliau sebutkan.

Pertama, Pemimpin negara harus senantiasa menaikkan derajat diri dan tidak boleh menyamai perilaku orang-orang bodoh dan manusia yang rendah moralitasnya.

Pejabat haruslah menjaga martabat. Jauh dari perilaku rendah tapi juga tidak sombong. Jaga image dalam arti positif harus  diilakukan, tapi jaga image atau Jaim dalam arti angkuh dan sok, harus dihindari. Perbuatan-perbuatan yang bisa merendahkan martabat juga harus dihindari. Misalnya, ikut berjoget saat menghadiri acara yang menyuguhkan musik merupakan perbuatan yang tak patut dilakukan pemimpin. Nah, untuk ini, mereka membutuhkan banyak nasihat dan arahan dari para ulama.

Kedua, nasihat kebaikan adalah hal penting dalam menentukan sikap yang tepat. Seorang pemimpin harus membawa rakyatnya agar selamat dunia akhirat. Bukan sejahtera dunia saja, tapi akhiratnya sengsara. Dan untuk mewujudkannya, mereka benar-benar membutuhkan nasihat dari para shalihin dan orang-orang mukmin.

Ketiga,  jabatan akan menyibukkan diri dan memberi banyak tekanan pada jiwa. Hal ini sering membuat seorang pejabat sulit menilai diri sendiri dengan jujur. Berat mengakui kesalahan dan meminta maaf saat salah. Jabatan dapat membuat seseorang merasa benar dan sulit diarahkan, kecuali oleh orang yang jabatannya lebih tinggi. Padahal, ada kalanya rakyat lebih memahami realita daripada pejabat. Oleh karenanya, para khalifah di Zaman dahulu sering mengunjungi ulama untuk meminta arahan dan nasehat.

Kejernihan hati para ulama dapat membuka tabir kesombongan yang menyelimuti hati hingga mampu melihat diri sendiri dengan jujur.

Keempat, mereka adalah orang yang paling jarang hadir di majelis pengajian, bermajelis bersama ulama dan forum tausiyah. Sebuah jabatan, jika dilaksanakan dengan benar, amanah dan jujur, pastilah akan menguras waktu dan tenaga. Oleh itulah mereka jadi sering absen dari majelis-majelis ilmu. Jika seorang pejabat menyadari hal ini dan merasa butuh terhadap ilmu dan nasehat, tentulah ia akan mengusahakan beragam cara agar bisa tetap mendapat nasehat meski sedang bekerja. Namun jika tidak sadar, maka kehidupan mereka akan kosong dari ilmu dan sepi dari nasehat.

Kelima, mereka adalah orang yang paling sulit mengamalkan nasehat saat nasehat tersebut bertentangan dengan nafsu. Status, harta, keamanan yang didapatkan, kewenangan, kebahagiaan dan kenikmatan hidup membuat hati mereka keras.

Semakin tinggi jabatan, semakin wah fasilitas yang didapatkan. Materi dunia akan memanjakan nafsu dalam diri dan membuatnya kuat dan mendominasi. Akibatnya, nasehat-nasehat yang berusaha mengekang nafsu akan diabaikan. Di sinilah titik paling kritisnya. Jika nafsu sudah berkuasa, nasehat kebaikan akan diabaikan begitu saja.

Keenam, mereka adalah orang yang paling kering dari nasihat. Bodiguard, menteri, dan bawahan mereka tidak ada yang berani berbicara kecuali yang sesuai hawa nafsu pemimpinnya, demi keselamatan jabatan dan pekerjaan masing-masing. Orang-orang yang mendatangi mereka pun kebanyakan adalah pemburu dunia dan penjual harga diri.

Beginilah yang sering terjadi. Para pejabat dikelilingi oleh para pejabat bawahan yang mencari makan di bawah jabatannya. Siap berebut jabatannya saat dia tinggakan. Maka wajar jika Imam al-Mawardi berkata bahwa bawahan hampir mustahil berani memberi nasihat yang jujur. Kebanyakan hanya akan diam melihat kemaksiatan atasannya dengan alasan tidak mampu melawan. Dan inilah yang membuat seorang pejabat menjadi kering dari nasehat. (diringkas dari Nasihatul Muluk, Imam al Mawardi, hal. 39-40)

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

berangkat dari nasehat Ali bin Abi Thalib dan juga Imam al-Mawardi ini, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Marilah kita belajar menerima nasehat dan masukan. Apapun jabatan kita di dunia, semuanya pastilah membutuhkan masukan dan nasehat dari orang lain. Bahkan jabatan kita sebagai ayah dalam rumah tangga pun tetap membutuhkan nasehat dari siapapun, bahkan kadangkala nasehat dan teguran itu datang dari anak kita yang masih kecil.

Harus senantiasa kita ingat, menerima nashet adalah ciri khas orang mukmin. Alah berfirman,

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan ingatkanlah karena peringatan itu bermanfaat bagi orang mukmin.” (QS. adz Dzariyat: 55).

 

 

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

 

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Khutbah Jumat

 

Materi Khutbah Lainnya: 

Sabar dan Syukur; Dua Tali Pengikat Nikmat

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Mendulang Manfaat Kala Sakit dan Sehat

 

 

 

 

 

 

 

 

Tindak Korupsi Tiada Henti, Apa Akar Masalahnya?

Ketua MPR Zulkifli Hasan di sela-sela perhelatan pernikahan putrinya di Grand Ballroom hotel Raffles, Kuningan, Jaksel, Ahad 24 September 2017 mengungkapkan kesedihannya dengan banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus korupsi kepala daerah di banyak tempat akhir-akhir ini. Dari kalangan kepala daerah dari Adriansyah (Tanah Laut), Atty Suharti (Cimahi), Ratu Atut Chosiyah (gub, Banten), Fuad Amin (Bangkalan), Sri Hartini (Klaten), Tubagus Imam Ariyadi (Cilegon), Edy Rumpoko (Batu, Malang), Ridwan Mukti (Bengkulu), Siti Masitha (Tegal), terbaru Rita Widyasari (bupati Kutai Kartanegara).

Belum lagi mereka yang ditangkap dari kalangan penegak hukum seperti Dewi Suryana (PN Bengkulu) yang disangkakan dagang perkara, atau sebelumnya seperti Akil Mukhtar (mantan ketua MK), Patrialis Akbar, kasus panitera PN Jaksel Tarmizi, dll. Dari kalangan anggota dewan (pusat maupun daerah), seperti Musa Zainuddin (PKB), Andi Taufan Tiro (PAN), I Putu Sudiartana (Demokrat), Miryam S Haryani, Markus Nari (dalam kasus E-KTP) dll.

Itu semua hanya bagian kecil dari deretan kasus-kasus penyalahgunaan wewenang oleh para penyelenggara negara dalam masalah penggunaan uang. Belum kasus lain yang menjerat mereka seperti pesta narkoba, plagiasi karya ilmiah, pelanggaran norma susila dll.

 

Politik Uang

Zulkifli Hasan sedih karena parpol akan kehabisan kader bila OTT KPK terus-terusan terjadi. [detikNews, Minggu, 24 September 2017]. Menurutnya, akar dari masalah ini adalah politik uang. Segala sesuatu dari mulai ‘mahar’ untuk menjadi calon yang diusung oleh parpol dalam pilkada, biaya kampanye, mengamankan kemenangan dari gugatan pihak lawan (seperti kasus yang menjerat Akil Mukhtar) juga mesti dengan uang. Akibatnya, para kepala daerah tersebut berusaha agar selama masa menjabat dapat sesegera mungkin memperoleh ganti atas ‘modal’ yang diinvestasikan untuk meraih jabatan tersebut, dan jika mungkin, mengamankan peluang untuk meraih jabatan periode kedua.

Cara berpikir ini yang mengantarkan terciptanya budaya korupsi di dalam struktur pemerintahan. Kewenangan yang dimiliki akan digunakan semaksimal mungkin untuk mengamankan kepentingan politiknya, belum lagi (jika) ada desakan halus ‘balas budi’ dari partai yang mengusungnya. Dalam beberapa kasus yang muncul, proyek pembangunan infrastruktur merupakan bagian paling subur praktek korupsi, dengan dalih apapun; pemenangan tender, fee, hadiah, dll. Bahkan dalam kasus bupati Klaten, promosi jabatan dalam birokrasi yang seharusnya bebas dari campur tangan politik pun tidak aman dari praktek korupsi.

 

Baca Juga: Memahami Khilafah dan Syariat Islam

 

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan bahwa selama ini OTT tidak dilakukan pada pemberian pertama. Selalu yang kedua, kesekian, ketiga, ujarnya di gedung DPR, Senayan, Selasa 26/9/2017. [detikNews, Rabu, 27 September 2017]. Proses OTT, menurut Agus Rahardja bermula dari laporan warga masyarakat. Di saat penggunaan teknologi komunikasi yang sudah flat saat ini, memungkinkan warga masyarakat menyampaikan laporan indikasi terjadinya tindak pidana korupsi secara cepat kepada KPK. Di sisi lain, sebagian anggota DPR mengatakan bahwa penyadapan itu menyalahi HAM. Anggota pansus KPK Masinton Pasaribu bahkan menginginkan penyadapan yang dilakukan oleh KPK harus diatur dengan undang-undang. Publik yang terdidik tentu bisa membaca kemana arah yang diinginkan dari usulan itu.

 

Apa Akar Masalahnya?

Benarkah politik uang merupakan akar masalah dari berbagai problem korupsi, jual beli jabatan, dagang perkara, penyalahgunaan wewenang, dll, oleh para penyelenggara negara? Ataukah masih ada bottom problem yang lebih mendasar? Ketua MPR Zulkifli Hasan menyimpulkan bahwa akar masalah dari semua persoalan tersebut ada pada politik uang, “sistem yang ada di Indonesia semua tergantung uang”.

Dalam lingkup kausalitas-administratif, pernyataan ketua MPR tersebut mungkin benar. Jika penjaringan calon kepala daerah, atau pejabat publik apapun, apabila bersih dari penggunaan uang pada seluruh levelnya, dari mulai penjaringan bakal calon hingga proses pemilihan oleh rakyat bersih dari sembako dan amplop ‘serangan fajar’, dan jika ada sengketa pilkada MK sebagai pengadil juga bebas dari praktik politik uang, dengan kata lain dari hulu sampai hilir bersih, maka diharapkan tidak akan ada praktik korupsi.

Praktik korupsi yang disebabkan cacat proses administrasi akan dapat ditekan. Tinggal pembinaan dan pengawasan para pelayan publik tersebut agar menjauhi praktik korupsi dan menghindari pengangkatan pejabat dari kroni atau tidak berdasarkan uji kelayakan sehingga memberi ruang munculnya praktek korupsi. Kemudian dilengkapi dengan tindakan hukum yang keras terhadap siapa pun yang terjebak kasus korupsi, untuk memaksimalkan efek jera.

 

Hedonis, Gaya Hidup Pemicu Korupsi

Ada statement menarik, menurut gubernur Jatim Soekarwo, gaya hidup dan perilaku korupsi sangat berkaitan erat dengan kehidupan hedonis para pejabat.”Jelas ada kaitan antara gaya hidup dan perilaku korupsi. Gaya hidup yang hedon, konsumtif, memerlukan biaya tinggi, padahal gajinya (pejabat) rendah, ya dicuri kemudian uang rakyat” [detikNews, 27 September 2017]. Sebagai gebernur, Soekarwo, untuk menghindari terjadinya korupsi tersebut, maka dia memilih untuk melakukan antisipasi secara administratif yakni dengan cara mutasi; memindahkan pejabatnya dari satu jabatan struktural tertentu kepada jabatan yang lain, menaikkan, menurunkan, bahkan mencopotnya.

Hanya saja, pilihan sistem hidup yang diambil oleh bangsa muslim terbesar ini memang berorientasi kepada paham sekuler-materialistik. Para pemimpin politik hari ini, jika dia termasuk pemimpin yang baik, dia hanya bisa mencegah praktik penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri dan kelompoknya secara administratif. Di luar itu, sumber penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat, berasal dari style gaya hidup hariannya, dia dan keluarganya. Jika gaya hidup yang dijalaninya sederhana, tidak berlebih-lebihan dan konsumtif, maka peluang untuk tidak tergiur oleh rayuan dan kesempatan yang terbuka untuk melakukan penyalahgunaan wewenang dan korupsi dapat diantisipasi.

 

Baca Juga: Keadilan, Barang Langka Yang Sulit Ditemukan

 

Sebaliknya, jika pilihan gaya hidup yang ditempuh oleh para pejabat tersebut hedonis dan konsumtif, penyalahgunaan wewenang dan korupsi selalu mengintai, bahkan ketika peluang tidak ada pun, pejabat seperti itu akan berusaha menciptakan kesempatan. Niat dan kesempatan, ketika sendiri-sendiri, hanya menjadikan kejahatan itu bersifat potensial,… berpeluang untuk terjadi. Tetapi ketika ada niat, kesempatan dan kemampuan telah terkumpul, maka kejahatan itu menjadi aktual.

Gaya hidup hedonis dan konsumtif adalah bentuk nyata dari seorang yang mengejar dan mengutamakan kehidupan di dunia, lebih dari memikirkan keselamatan nasibnya di dalam kehidupan setelah kematiannya. Gaya hidup hedonis dan konsumtif kadang juga berselimut jubah kesalehan, bermantel kedermawanan. Namun sejatinya kesalehan dan kedermawanan yang diperagakan bercorak ‘pemutihan amal’. Waliyadzubillahi.

 

Oleh: Redaksi/Berita/Fikrah

Tanda Akhir Zaman, Aparat Berbuat Sewenang-wenang

Dalam pembahasan ini, dimulai dengan sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ وَأَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالاَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيَأْتِيَنَّ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءٌ يُقَرِّبُوْنَ شِرَارَ النَّاسِ  وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ مَوَاقِيْتِهَا فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَلاَ يَكُوْنَنَّ عَرِيْفًاوَلاَ شُرْطِيًّا وَلاَ جَابِيًاوَلاَ خَازِناً

Dari Abu Said al Khudri dan Abu Hurairah berkata, “Rasulullah bersabda, “Sungguh akan datang suatu zaman di saat mana para penguasa menjadikan orang-orang jahat sebagai kaki-tangan dan menunda-nunda pelaksanaan shalat dari awal waktunya. Barangsiapa mendapati mereka maka janganlah ia menjadi penasehat, polisi, penarik pajak atau bendahara bagi mereka.” (HR. Ibnu Hibban dinilai shahih oleh Syaikh al Albani).

Hadits ini dikategorikan para ulama sebagai hadits yang memberitakan tanda kiamat shugra. Artinya, fenomena yang diceritakan dalam hadits terjadi sebelum tanda-tanda kiamat kubro muncul. Jadi, jika mengukur dari zaman Nabi SAW, hal mana wafatnya beliau juga merupakan awal mula tanda kiamat kecil, zaman kita masuk dalam rentang waktu kemunculan tanda ini. Dan terbukti, setelah runtuhnya Khilafah Islam, yang ada tinggal para penguasa yang zhalim.

Baca Juga: Negara Gagal

Zhalim dalam arti suka berbuat sewenang-wenang dan menzhalimi rakyat, atau zhalim dalam arti mengabaikan syariat Allah dan sunah Rasul-Nya. Boleh jadi mereka peduli kepada rakyat, menyejahterakan dan memajukan perekonomian rakyat. Namun disamping itu mereka juga melegalkan kemaksiatan; zina, homoseksual, minuman keras dan membuang jauh-jauh syariat Islam. Ini juga penguasa yang zhalim. Yang paling zhalim adalah penguasa yang tidak menegakkan syariat sekaligus menyengsarakan rakyat, korup, tidak amanah dan sewenang-wenang.

Nah, dalam hadits di atas, Nabi SAW menganjurkan agar manakala kita menjumpai penguasa seperti ini, jangan sampai kita menjadi kaki tangannya. Sebab, menjadi kaki-tangan penguasa zhalim berarti ta’awun alal itsmi wal ‘udwan, tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Nabi SAW melarang kita membantu penguasa zhalim, khususnya pada jabatan-jabatan yang Beliau sebutkan. Hanya saja, wallahua’lam, penyebutan ini bukan batasan. Posisi lain yang strategis untuk membantu kekuasaan pemimpin zhalim tentunya juga terlarang.

Barangkali ada yang bertanya, bagaimana jika maksudnya untuk berdakwah dan memperbaiki dari dalam?

Wallahua’lam. Dalam dakwah, strategi apapun asal tidak menyelisihi syar’i dapat digunakan untuk memperbaiki umat. Hanya saja, nilai efektifitas dan resiko perlu dipertimbangkan. Perlu diingat, kekuasaan merupakan sebuah sistem. Seperti sistem komputer, apabila ada ada program-program yang tak sesuai, pasti tak akan bisa dijalankan, salah-salah justru dianggap virus dan dimusnahkan . Kekuasaan zhalim pun demikian, jika ada personal-personal yang tidak sesuai dengan pola sistemnya, pasti akan didepak atau diformat agar sesuai dengan pola yang berlaku.

Kalau jalan itu yang akan dipilih, hendaknya seorang dai membekali dirinya dengan bekal yang cukup. Resikonya terlalu besar. Sudah terlalu banyak para da’i yang mencoba melakukan hal ini, namun pada akhirnya gagal. Ia justru hanyut dalam lingkaran ombak kekuasaan yang dipenuhi nafsu dunia. Pola pikirnya berubah dan tindakannya melenceng dari visi-misi semula. Pilihan yang lebih selamat adalah berusaha memperbaiki dari luar. Memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Jalan dakwah dan ishlah yang bersih dan sesuai syar’i memang biasanya tidak mudah.

Nah, kembali ke hadits di atas. Dari beberapa jabatan tersebut, ada satu jabatan yang perlu kita garis bawahi, yaitu jangan sampai menjadi tentara atau polisi mereka. Mengapa hal ini perlu ditekankan? Sebab, faktor utama yang bisa membuat penguasa berbuat zhalim dan sewenang-wenang adalah loyalitas tentaranya. Tanpa mereka, apalah artinya seorang penguasa? Mereka kuat karena tentaranya banyak dan bersenjata. Kalau murni kekuatan sendiri, boleh jadi seorang presiden tak akan menang berduel lawan tukang becak.

Menjadi tentara mereka, selain membantu mereka dalam dosa, kita juga akan terkena hadits berikut;

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ، يَقُولُ:”سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ شَرَطَةٌ، يَغْدُونَ فِي غَضِبِ اللَّهِ، وَيَرُوحُونَ فِي سَخَطِ اللَّهِ، فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ بِطَانَتِهِمْ”

Dari Abu Umamah berkata, Aku mendegar Rasulullah bersabda, “Akan datang di akhir zaman polisi-polisi yang berangkat pagi-pagi dalam keadaan dimurkai Allah dan pulang sore hari juga dimurkai oleh-Nya, maka janganlah kalian menjadi teman dekat mereka.” (HR. Thabrani dinilai shahih oleh Syaikh al Albani.)

Juga hadits berikut;

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ

 “Dua macam manusia dari ahli neraka yang aku belum melihatnya sekarang, yaitu: (salah satunya) kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor-ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya; …” (HR Muslim, dan Ahmad dari Abi Hurairah, Shahih).

Di dalam kitab Faidhul Qadir dijelaskan, orang-orang tersebut bukan lain adalah para algojo dan polisi bawahan penguasa yang dikenal sebagai “Jalladin” alias tukang cambuk. Jika mereka disuruh memukul, mereka melakukannya secara berlebihan dari batasan hukuman yang diberlakukan syariat. Mereka juga sering terbawa nafsu saat menghukum. Ditambah sifat bawaan mereka yang zhalim, orang-orang yang terhukum pun sering celaka karena ulah mereka. Ada juga yang berkata bahwa mereka adalah para pengawal penguasa zhalim yang membawa cambuk untuk menghalau manusia. (Faidhul Qadir IV/275).

Baca Juga: Tanda Kiamat, Pengkhianat Diberi Amanat

Nah, itulah nasihat dari Rasulullah SAW. Kita berharap semoga kita bisa melaksanakannya. Dan kalau ada yang merasa sudah terlanjur melanggar pesan Rasulullah SAW di atas dengan menjadi pembantu para penguasa zhalim, lalu bertanya apakah saya harus berhenti? Tentunya pertanyaan itu tak ubahnya orang yang bajunya kena kotoran kemudian bertanya, apakah saya harus ganti baju? Wallahua’lam. (Taufik Anwar/Akhir Zaman)

 

Tema Terkait: Akhir Zaman, Kiamat, Aparat