Lelah dalam Memaknai Syahrun Mubaarak ‘Ramadhan’

Ataakum syahrun mubaarak, telah Adatang kepada kalian bulan yang diberkahi, demikian ucapan selamat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika datang bulan Ramadhan.

Ini memang perkara yang sudah dimaklumi dan disepakati. Sekaligus paling mewakili tentang sifat Ramadhan. Juga lebih tepat daripada menyifati ramadhan sebagai bulan suci, karena masih butuh dalil tentang penyifatan ini. Berbeda dengan syahrun mubaarak yang telah jelas nash dan dalilnya.

Tapi, mari kita selami lebih jauh lagi akan makna keberkahan yang berhubungan dengan Ramadhan. Di antara makna keberkahan adalah an nama’ wa ziyadah, bertumbuh dan bertambah. Keberkahan itu ketika mengenai yang sedikit maka akan berlipat menjadi banyak. Dan jika mengenai yang banyak akan tampak manfaatnya. Indikator yang paling nyata akan keberkahan sesuatu adalah istl’maluhaa alaa tha’atillah, ketika digunakan untuk ketaatan kepada Allah.

Ramadhan kita akan berkah ketika semakin banyak kita gunakan untuk ketaatan. Jelas pula kita pahami bahwa keberkahan bulan Ramadhan menjadikan pahala amal shalih menjadi berlipat ganda.

Namun tak hanya keberkahan yang berupa pahala semata. Bahkan setiap usaha, karya kebaikan dan amal shalih itu akan dilipatkan hasilnya di bulan Ramadhan.

Omset sedekah di bulan Ramadhan biasanya selalu meningkat drastis, pun begitu tak pernah ada laporan atau berita tentang bertambahnya angka kemiskinan disebabkan banyaknya orang yang bersedekah. Meskipun kita dapati bahwa orang yang bersedekah di bulan Ramadhan termasuk juga kalangan ekonomi menengah ke bawah. Ini di antara yang bisa dilihat dan dirasakan keberkahan sedekah di bulan ramadhan.

Ikhtiar untuk mencari ilmu, di bulan Ramadhan juga akan dilipatkan hasilnya dari pemahaman dan atau hafalannya. Sedikit usaha membuahkan hasil yang berlipat di hari biasa.

Baca Juga: Kultum Ramadhan, Indahnya Nostalgia Penghuni Surga

Keberkahan Ramadhan juga bermakna bagi orang yang berupaya menghafal aI-Qur’an, kemudahan juga akan lebih dirasakan jauh dibandingkan hari biasa. Pengalaman ini juga banyak disaksikan dan dialami oleh para penghafal al-Qur’an. Begitulah makna keberkahan Ramadhan bagi para penghafal aI-Qur’an.

Bagi para da’i di jalan Allah, ajakan dan seruan mereka lebih banyak didengar dan diterima oleh masyarakat, dibanding waktu-waktu yang lain. Nyatanya, event-event pengajian lebih banyak dihadiri meski secara intensitas juga lebih sering dari bulan selainnya.

Intinya, Ramadhan menjanjikan hasil yang berlipat ganda dan istimewa bagi siapapun yang mengisinya dengan kebaikan. Maka selayaknya kita tak canggung dan tanggung untuk merencanakan program-program di bulan Ramadhan. Baik yang berhubungan dengan target diri sendiri, keluarga maupun masyarakat secara umum. Mari lihat kembali, sedahsyat apa program kita di bulan Ramadhan tahun ini.

Apakah program yang terencaa sudah terealisasi? Sementara Ramadhan hanya tersisa beberapa hari lagi.

Semoga Allah menerima ibadah puasa kita tahun ini.

 

Muhasabah/Ust. Abu Umar Abdillah

Kultum Ramadhan: Berjaya di Atas Takwa

Kutum Ramadhan: Berjaya di Atas Takwa

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”.

(QS. al-A’raf: 128)

Selalu ada bisikan setan yang menakut-nakuti dengan resiko duniawi ketika seseorang hendak menjalani konsekuensi iman. Tak sepi pula halangan dan rintangan yang mengganggu jalan, hingga ancaman dari musuh-musuh dari kalangan setan jin dan setan manusia. Akan tetapi, ada kaidah qur’aniyah yang membuat orang mukmin memilih untuk melaju dan tegar berada di jalan takwa. Kaidah yang menenangkan jiwa dan mengusir rasa was-was, kekhawatiran dan ketakutan. Yakni kaidah yang berbunyi “wal ‘aaqibatu lil muttaqiin,”  dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-A’raf 128)

Kalimat ini pernah diucapkan oleh Nabi Musa alaihissallam pada saat memberikan motivasi dan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman bersama beliau. Bahwa kemenangan akan didapat orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat selagi mereka mau melazimi takwa.

Kalimat yang serupa ditujukan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, dengan kalimat ‘wal ‘aqibatu lit taqwa.”

Disebutkan pula kaidah ini setelah Allah mengisahkan kisah tentang Qarun di akhir surat al-Qashash.

Al-Qur’an juga banyak mengisahkan, bagaimana kesungguhan para Nabi dan Rasul dalam merealisasikan takwa, meski apa yang diperintahkan Allah kepada mereka itu secara dhahir bertentangan dengan jalan pikiran dan perasaan umumnya manusia.

Pada saat Ibrahim alaihissalam diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih puteranya, beliau tidak tahu sebelumnya, bahwa nantinya Ismail akan digantikan dengan seekor domba. Yang beliau tahu bahwa beliau harus menjalankan perintah Rabbya, lalu Allah memberikan kejutan yang membahagiakannya, sebagai balasan atas kesetiaan beliau terhadap perintah Rabbnya, maka kesudahan yang baik adalah bagi orang yang bertakwa.

Baca Juga: Kultum Ramadhan: Buta Hati di Dunia, Buta Mata di Akhirat

Sebagiamana juga Nabi Musa alaihissalam juga tidak tahu sebelumnya, bahwa nantinya laut akan terbelah setelah tongkat beliau dipukulkan ke lautan. Yang beliau tahu bahwa itu adalah perintah Allah, dan pasti Allah memberikan jalan keluar baginya.

Nabi Nuh alaihissalam juga tidak tahu bahwa akan terjadi banjir bandang, saat beliau membuat kapal di musim kemarau hingga ditertawakan kaumnya. Beliau hanya menjalankan perintah, lalu Allah memberikan kesudahan yang baik bagi beliau dan orang-orang yang mengimaninya.

Kaidah ini berlaku tak hanya di akhirat, tapi juga di dunia, baik secara fardi maupun jama’i. Yakni selagi seseorang atau kaum muslimin konsisten dengan takwa, maka Allah akan memberikan kesudahan yang baik kepada mereka.

Memang sepantasnya Allah memenangkan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, berpihak di pihak mereka, dan membahagiakan mereka.

Seorang mukmin merasa yakin dengan ketentuan Allah, karena Hanya Allahlah yang maha mengetahui segala sesuatu. Maka, jika Allah mensyari’atkan kepadanya tentang sesuatu, pastilah Dia itu mensyari’atkan atas dasar ilmu-Nya, yang meliputi segala sebab yang dapat menghilangkan mafsadat dan mendatangkan maslahat bagi orang yang melaksanakan syari’at-Nya. Dan untuk segala problem dan masalah, selalu ada jalan keluar untuk mereka.

Bagaimana mungkin orang yang mengikuti aturan Allah akan menemui jalan buntu, sedangkan Allah yang kuasa memberikan petunjuk dan menyesatkan jalan. Bagaimana mungkin seseorang akan kelaparan, sedangkan dia menjaga batasan-batasan yang Allah gariskan dalam mencari rizki.

Ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. ath Thalaq: 2-3)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa bertakwa, sementara rezkinya menyempit karena terputusnya berbagai hubungan, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar berupa kecukupan.”

Dan alangkah bagusnya penafsiran Umar bin Utsman Ash Shadafi rahimahullah tentang ayat ini, “Barangsiapa yang mengikuti ketentuan-ketentuan Allah dan menjauhi maksiat kepada-Nya, Allah akan mengeluarkannya dari haram menuju halal, dari kesempitan menuju kelapangan, dan menghindarkan dari neraka menuju surga.”

Bahkan, tak ada sesuatu yang lebih menjamin kesejahteraan anak keturunan dibandingkan takwa. Allah Ta’ala berfirman,

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّـهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

 “Dan hendaklah bertakwa kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.” (QS. An Nisa’: 9)

Al-Qasimi rahimahullah berkata, “Di dalam ayat ini Allah menunjukkan, bahwa karena rasa takutnya meninggalkan keturunan yang lemah, para orang tua membimbing anak-anak mereka dengan takwa dalam semua perkara mereka, sehingga terpeliharalah mereka dan mendapat pertolongan dari-Nya. Ayat tersebut juga menunjukkan sisi bahaya yang mengancam anak-anak mereka, jika takwa kepada Allah sirna dari diri mereka. Ini sesuai dengan kaidah, “Dengan memelihara yang ushul (pokok) maka terpelihara pula yang  furu’ (cabang).”

Hal senada dikatakan oleh Muhammad bin Munkadir, “Sesungguhnya Allah akan memelihara seorang anak melalui seorang ayah yang shalih, seoran cucu melalui anak yang shalih pula, dan memelihara negeri di mana mereka tinggal di dalamnya serta wilayah yang mengelilinginya. Dan mereka semua senantiasa berada dalam pemeliharaan dan perlindungan Allah.” Dan gelar shalih hanya diperuntukkan bagi seseorang yang bertakwa.

Maka, selagi kita menjalankan konsekuensi takwa dalam menjalankan segala bentuk perintah Allah, juga dalam hal meninggalkan segala bentuk larangannya, tak perlu takut akan resiko dunia. Berbesar hati dan bergembiralah dengan kemudahan yang akan didapatkan, tercapainya tujuan dan terhindar dari berbagai hal yang ditakutkan. Wallahu a’lam bishawab.

 

Kultum Ramadhan/Majalah ar-risalah/Ust. Abu Umar Abdillah

 

kultum Ramadhan: Takkan Mati Sebelum Habis Jatah Rezeki

Syaikh Shalih al-Maghamisi dalam sebuah ceramahnya menceritakan, ada seorang lelaki jatuh ke dalam sumur. Ia pun berteriak minta tolong. Orang-orang mendengar teriakannya, lalu berhasil mengeluarkan orang itu dari sumur dalam keadaan selamat. Seseorang menyodorkan kepadanya segelas susu untuk diminumnya dan menenangkan keadaannya.

Setelah tenang, orang-orang bertanya,  “Bagaimana bisa Anda jatuh ke dalam sumur?”

Mulailah orang itu bercerita, lalu ia berdiri di bibir sumur untuk mempraktikkan kronologi saat ia terjatuh ke dalam sumur. Qadarullah, tanpa sengaja orang itu terjatuh lagi ke dalam sumur dan akhirnya mati.

 

Begitulah, orang itu diselamatkan oleh Allah karena masih tersisa jatah rezekinya di dunia, yakni satu gelas susu untuknya. Maka setelah jatah rezeki disempurnakan untuknya, ia terjatuh di tempat yang sama kemudian mati.

Pesan dari kisah ini adalah bahwa manusia telah ditetapkan rezekinya dengan kadar tertentu. Maka tidak pantas seseorang merisaukan rezekinya di dunia. Karena tidak akan terkurangi sedikitpun jatah rezekinya, tidak pula akan tertukar dengan orang lain. Cukup bagi seseorang untuk mengoptimalkan ikhtiar dan sebab, sedangkan Pemberi rezeki adalah Allah. Tak ada rezeki yang akan tercecer, dan seseorang tidak akan mati sebelum menghabiskan jatah rezekinya di dunia.

Allah memberikan jaminan atas rezeki manusia, sebagaimana Allah telah menjamin rezeki bagi makhluk hidup lain seperti hewan. Tersedia rezeki bagi mereka dari sejak lahir hingga mati. Sebagaimana Allah berfirman:

 

{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ} [هود: 6]

“Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Hud: 6).

Tak ada sesuatu apa yang mampu menghalangi sampainya rezeki kepada seseorang jika memang itu menjadi jatahnya. Begitupun tak ada suatu usaha atau pertolongan seorang pun yang mampu menyampaikan rezeki kepada seseorang jika memang bukan menjadi bagiannya. Karena Allah yang memiliki kuasa dan kewenangan untuk membagi rezeki kepada semua makhluknya. Inilah di antara makna dari firman Allah:

مَّا يَفْتَحِ اللَّـهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2).

Keyakinan ini akan membuat orang-orang yang beriman menghindarkan diri dari cara-cara haram untuk mendapatkan rezekinya. Karena toh, usaha haramnya tak menambah sedikit pun dari total rezeki yang Allah tetapkan untuknya. Sedangkan ia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya di dunia. Berarti, usaha yang haram tidak menambah selain dosa dan penderitaan di akhirat.

Baca Juga: Kultum Ramadhan: Kenyang di Dunia, Lapar di Akhirat

Karena hanya Allah yang berhak menetapkan kadar rezeki manusia, maka Allah hanya memerintahkan manusia untuk mencari karunia Allah dan mengelola apa yang Allah anugerahkan sesuai dengan kehendak-Nya. Dan kelak, seseorang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat; dari mana ia mendapatkan harta dan untuk apa ia pergunakan hartanya. Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ» هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Tidak akan beranjak kedua kaki anak Adam pada hari Kiamat, hingga ia ditanya; tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang jasadnya untuk apa ia pergunakan.” (HR. Tirmidzi).

Allah tidak akan menyoal berapa harta yang mampu didapatkan atau berapa uang yang berhasil dikumpulkan oleh manusia. Karena hal itu di luar kemampuan manusia dan mutlak menjadi kewenangan Allah semata.

Meski telah ada jaminan rejeki dari Allah, bukan berarti manusia boleh berpangku tangan, lalu menanti datangnya rezeki yang kita ingikan. Tugas kita adalah memperbagus cara mengambil rezeki, dan padanya terdapat pahala ibadah. Allah memerintahkan pada banyak ayat, baik tersurat maupun tersirat agar manusia bekerja mencari karunia-Nya, wabtaghu min fadhlillah, dan hendaknya kalian mencari karunia dari Allah.

Perintah tawakal kepada Allah, sama sekali juga tidak menghilangkan keharusan ikhtiar, karena ikhtiar adalah bagian yang tak terpisahkan dari tawakal. Sebagaimana pelajaran yang bisa diambil dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:

 

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, dimana ia keluar pada pagi hari dalam keadaan lapar lalu di sore harinya pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi, shahih).

Imam Ahmad menjelaskan hadits tersebut, “hadits ini tidak menunjukkan bolehnya berpangku tangan tanpa berusaha. Bahkan padanya terdapat perintah mencari rezeki. Karena burung tatkala keluar dari sarangnya di pagi hari itu demi mencari rezeki.” Wallahu a’lam.

 

Kultum Ramadhan/Majalah ar-risalah/Ust. Abu Umar Abdillah