Nur Muhammad, Makhluk Pertama?

Seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan Rabiul Awwal tampak ramai dengan geliat peringatan Maulud Nabi. Tapi bukan masalah Maulud Nabi pembahasan kita kali ini. Melainkan konten yang sering disampaikan oleh penceramah, khathib maupun yang menulis tentang kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam. Salah satu konten yang berseliweran di mata dan telinga adalah tema Nur Muhammad. Segolongan kaum muslimin ada yang meyakini bahwa pertama yang dicipatakan Allah sebelum segala sesuatu ada adalah Nur Muhammad. Selanjutnya, penafsiran tentang Nur Muhammad berikut cerita tentangnya sangat banyak versi disebutkan oleh orang-orang yang meyakininya.

Ada yang menyebutkan bahwa segala sesuatu diciptakan dari nur (cahaya) Muhammad. Ada lagi yang mengatakan bahwa Muhammad diciptakan dari nur Allah. Sebagian lagi mengatakan, “Kalaulah tidak ada dia (Muhammad), matahari, bulan, bintang, lauh, dan Qolam tidak akan pernah diciptakan.”Bahkan ada lagi yang berkata bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah nyawa suci yang merupakan penampakan dzat Tuhan. Serta pendapat-pendapat lain yang sebagiannya kelewat batas dalam mengagungkan Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Asal Penciptaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam

Riwayat paling pokok yang dijadikan alasan meyakini nur Muhammad adalah,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قاَلَ، قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ، بأبى أنت وأمى! أَخْبِرْنِى عَنْ أَوَّلِ شيْئٍ خَلَقَهُ الله ُقَبْلَ ْالاَشْيَاءِ؟ قَالَ يَا جَابِرُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ قَبْلَ ْالاَشْيَاءَ نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ  (رواه عبد الرزاق بسنده.)

Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, Aku berkata, wahai Rasulullah, Ceritakanlah tentang awal perkara yang Allah ciptakan sebelum segala sesuatu ! Maka Rasul berkata, “Wahai Jabir, Sesungguhnya Allah Taala sebelum segala sesuatu, Ia menciptakan Nur Nabimu, yang berasal dari Nur-Nya.

Riwayatkan ini disandarkan pada Abdur Rozzaq, hanya saja banyak peneliti yang mengatakan tidak menemukan riwayat tersebut dalam mushannafnya, sehingga sulit untuk dilacak jalur sanadnya hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Padahal ini menyangkut keyakinan yang sangat krusial. Dan konsekuensi dari keyakinan yang dilandasi riwayat tersebut bertentangan dengan banyak ayat dan hadits, baik yang tersirat maupun tersurat.

Paham yang meyeakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diciptakan dari cahaya, bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang shahih,

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api dan Adam tercipta dari apa yang disifatkan untuk kalian.” (HR. Muslim: 2996)

Syaikh al-Albani dalam Ash Shahihah setelah menyebutkan keshahihan hadits tersebut berkata, “Dalam hadits ini terdapat isyarat atas kebatilan sebuah riwayat yang populer di kalangan orang-orang yaitu, “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah nur Nabimu wahai Jabir.” Dan riwayat-riwayat semisalnya yang menyatakan bahwa Rasulullah tercipta dari cahaya. Sementara, hadits yang shahih ini menjadi dalil yang sangat jelas bahwa hanya para malaikat saja yang tercipta dari cahaya, bukan Adam dan bukan pula anak keturunannya.”

 

Baca Juga: Nabi Muhammad Keturunan Jawa?

 

Al-Qur’an juga dengan jelas menyebutkan bahwa secara penciptaan, Nabi Muhammad adalah manusia sebagaimana rasul-rasul sebelumnya dan juga manusia pada umumnya. Allah berfirman,
“Katakanlah, “Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul” (QS al-Isra’ 93)

Makhluk yang Pertama Diciptakan
Adapun tentang awal penciptaan, riwayat tentang nur Muhammad tersebut juga bertentangan dengan hadits yang jelas shahih secara sanad dan lebih sharih secara makna,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman, “Tulislah!” Pena berkata, “Wahai Rabbi, apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah ketetapan segala sesuatu hingga tegaknya hari Kiamat.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi)

Keyakinan bahwa semua yang di alam ini diciptakana karena Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, juga berlebihan. Tak ada dalil shahih yang menunjukkan hal ini. Yang pasti, diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
(QS. ad-Dzariyat/51:56)

Dan Allah menciptakan langit, bumi dan yang lain agar manusia menyadari dan mengakui kekuasaan Allah. Allah Ta’ala berfirman,

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu- Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalâq/65:12)

Kecintaan yang tulus kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak membutuhkan tambahan-tambahan kedustaan, atau sikap pengagungan yang melewati batas. Kemuliaan Nabi shallallahu alaihi wasallam tetaplah tinggi dan agung sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits yang shahih, dan tidak berkurang sedikitpun penghormatan kita dengan menampik riwayat-riwayat yang tidak jelas keshahihannya. Wallahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Abu Umar Abdillah

Tiga Wasiat Singkat Nan Padat Dari Rasulullah Kepada Seorang Shahabat

Allah mengutus Rasululullah sebagai seorang mu’allim (guru). Beliau bersabda, “Dan sesungguhnya aku diutus sebagai seorang guru.” (HR. Ibnu Majah).

Beliau menunaikan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya sebagimana sahabat Muawiyah bin al-Hakam berkata,  “Aku belum pernah bertemu dengan seorang pendidik yang lebih baik pengajarannya daripada beliau.” (HR. Muslim)

 

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ قَالَ إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعْ الْيَأْسَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

Dari Abu Ayyub dia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku (ilmu) yang singkat padat.” Beliau bersabda, “Apabila kamu (hendak) mendirikan shalat maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah. Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan kamu sesali. Berputus asalah dari apa yang dimiliki manusia.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan Al-Albany)

Allah memberikan jawami’ul kalim (perkataan yang singkat tapi padat maknanya) kepada Rasulullah, sehingga kalimatnya ringkas dan mudah dihapal. Ketika ada laki-laki yang datang kepada Nabi dan meminta diajarkan ilmu yang singkat dan padat, Rasulullah memberikan tiga wasiat kepadanya.

 

Wasiat Pertama: Shalatlah Sebagaimana Orang yang Hendak Berpisah

Orang yang hendak berpisah, meninggalkan satu tempat menuju tempat yang lain, akan membawa sesuatu yang bermanfaat untuk bekal perjalanannya dan tentunya meninggalkan kebaikan kepada siapa saja yang ditinggalinya.

Bila kita tahu seandainya shalat kita adalah yang terakhir dan setelah itu kita mati, tentu kita akan membaguskan shalat tersebut. Kita akan berusaha untuk khusyu’ dan berharap shalat kita diterima oleh Allah. Khusyu’ ketika rukuk, tunduk dan menghina ketika sujud, serta tidak tergesa-gesa dalam shalat.

Rasulullah menjadikan shalat sebagai qurratu ‘aini. Sebagaimana sabdanya, “Dan dijadikan penyejuk mata hatiku dalam shalat.” (HR. Ahmad dan Nasa’i)

Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, (kumandangkan iqamah) untuk shalat. Dan buatlah kami istirahat dengannya.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Baca Juga: 
Mereka yang Mendapatkan Pahala Tanpa Beramal

Itulah shalat bagi orang mukmin, istirahat dari kepenatan, kesusahan dan kesempitan dunia, menuju keluasan, kenyamanan dan kelapangan dalam shalat bermunajat kepada Allah.

Ia akan hidup dalam setiap detik yang dilalaui dalam shalatnya, menghayati setiap doa yang dibaca dan ayat yang didengar, merinding kulitnya ikut merasakan getaran iman. Bersegera kepada kebaikan dan takut serta lari dari tindak keji dan kemungkaran.

Jika shalat kita bagus maka kebahagiaan dan keselamatan yang didapat, Rasulullah bersabda, “Yang pertama kali dihisab (dihitung) dari perbuatan seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat; jika shalatnya baik maka dia beruntung dan selamat, dan jika shalatnya rusak maka dia merugi. Apabila ada sesuatu yang kurang dari shalat wajibnya, Allah berfirman; maka lihatlah apakah hamba-Ku mempunyai shalat sunnah?” Lalu kekurangannya dalam shalat fardhu disempurnakan dengannya. Kemudian semua amalan ibadahnya juga seperti itu.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai)

 

Wasiat Kedua: Jagalah Lisan dan Jangan Mengatakan Suatu Perkataan yang Menyesalkan

Sebagaimana perkatan orang kafir, yang mengatakan, “Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak.”

“Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, Karena mereka mendakwakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS. Maryam: 88-91)

Langit bumi dan gunung hampir pecah, terbelah dan runtuh gara gara perkataan yang batil tersebut. Begitu ngerinya akibat perkataan mungkar yang terucap.

Baca Juga: 
Ziarah Kubur, Mengingat Mati Melembutkan Hati

Orang yang lahirnya Islam juga bisa keluar dari keislamannya gegara kalimat yang diucapkan, meskipun hanya candaan. Kisah orang-orang munafik di Tabuk perlu menjadi pelajaran. Mereka berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang perutnya lebih besar (rakus terhadap makanan), lebih suka berbohong serta pengecut ketika bertemu musuh dalam perang dari pada ahli qiro’ah kami (yang dia maksudkan adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum).” Maka turunlah ayat,

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…” (QS. At Taubah: 65-66).

Setiap perkataan ada yang mencatat, tidak akan luput perhurufnya. Bila jahat dan buruk perkataannya maka bisa menghantarkan kejurang neraka. Bila baik dan benar perkataannya maka akan mendapat keridhaan-Nya.

 

Wasiat Ketiga: Berputus asalah dari apa yang dimiliki manusia

‘Iffah (menjaga kehormatan), qonaah (menerima pemberian Allah), dan zuhud dari apa yang dimiliki manusia.

Jika manusia melihat seseorang yang Allah berikan kenikmatan yang lebih maka jiwanya akan meminta dan menuntut kenikmatan tersebut dan memandang kecil nikmat Allah yang sudah ada ditangannya. Ia menjadi rakus dan tamak untuk mendekati atau mendapatkan apa yang dimiliki orang lain. Bila tidak mendapatkannya dan justru upaya keras mengejar dunia itu malah menghancurkannya ia akan meminta-minta kepada manusia, sehingga hidup dalam kehinaan, dan  orang tidak suka padanya.

Seorang muslim harusnya berputus asa dari apa yang dimiliki manusia. Merasa tidak butuh terhadap apa yang dimiliki manusia, tapi hendaknya ia menggantungkan kebutuhan dan permintaannya hanya kepada Allah Azza wa Jalla.

Orang yang tidak meminta-minta dan menjaga kehormatannya, maka manusia akan mencitainya. Bila telah merasa cukup dengan pemberian Allah maka ia akan tercukupi dan merasa kaya. Bila jiwanya kaya dan terjaga kehormatannya maka ia hidup dengan mulia.

 

Oleh: Ust. Taufik al-Hakim/Fadhilah Amal

 

Ibunda Rasulullah Didatangi Maryam Saat Mengandung?

Pertanyaan:

Apakah benar ketika ibunda Nabi Muhammad mengandung di datangi Maryam (ruhnya) dan Rasulullah ketika terlahir dalam keadaan sujud?

Jawaban:

Alhamdulillah wassholatu wassalamu’ala Rasulillah wa’ala aalihi wa shahbihi waman tabi’a hudah, wa ba’du

Disebutkan dalam beberapa kita ulama seperti dalail an nubuwah oleh Abu Nu’aim, khosois al kubra oleh as suyuthi, almawahib alladuniyah oleh al qostholani, dan al bidayah wan nihayah oleh Ibnu katsir, sebuah hadits mauquf (hadits yang disandarkan kepada salah satu sahabat, baik bersambung sanadnya kepada nabi atupun tidak bersambung sanadnya kepada Nabi), yang mengkisahkan bertemunya Ibunda Nabi dengan Asiyah istri Fir’aun dan Maryam bintu Imran dan perihal Nabi terlahir dalam keadaan sujud.

Sanad dari Abu Nu’aim :

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ ثنا عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ قَالَ: ثنا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي مَرْيَم عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيِّ ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ

Berkata Abu Nu’aim, “telah berkata kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad,” telah berkata kepada kami Amru bin muhammad ibnul shobbah, berkata kepada kami Yahya bin Abdillah, berkata kepada kami Abu bakar bin Abi Maryam dari Sa’iid bin Amru al Anshary dari bapaknya, berkata ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, “termasuk tanda tanda yang menunjukkan Nabi sedang dikandung oleh ibunya adalah seluruh hewan ternak yang dimiliki qurays mempercakapkan pada malam tersebut..(hadisnya panjang), sampai aminah berkata tentang dirinya : kemudian aku melihat beberapa wanita yang tingginya seperti pohon kurma, sepertinya putri putri Abdu manaf, mereka memandangiku, ta’jublah aku dan aku berkata, waa ghiitsaah..dari mana kalian tahu keberadaanku, maka mereka berkata, “kami asiyah istri fir’aun dan maryam bintu imran, mereka ini adalah bidadari surga…(haditsnya panjang), “ketika keluar dari perutku, maka aku melihatnya dalam keadaan sujud dan mengangkat jarinya seperti berdoa..”

Hadits mauquf ini mendapat kritikan dari ulama hadits, perawi dalam sanad hadits ini lemah, misalnya Amru bn Muhammad ibnul shobbah tidak diketahui terjemahnya, Yahya bin Abdillah haditsnya lemah dilemahkan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim, begitu pula Abu bakar bin Abi maryam lemah haditsnya. Orang tua Sa’iid bin Amru al anshari juga tidak diketahui terjemahnya. Ibnu katsir berkata : hadits ghoribun jiddan (sangat asing).

Sehingga meski disebutkan oleh para ulama dalam kitab kitab mereka tidak serta merta menjadi khabar yang shahih, akan tetapi perlu dilihat komentar mereka tentang apa yang mereka nukilkan dalam kitab mereka, sehingga bila ada yang ingin menyampaikan khabar ini hendaknya dilengkapi dengan derajat haditsnya, yaitu lemah (tidak valid penyandarannya dari Ibnu Abbas). Wallahua’alam bis shawab.

 

Diampu oleh: Taufik Al-Hakim, Lc 

 

Pertanyaan Lainnya: 

Berapa Kali Rasulullah Berkurban?

Sangat disayangkan bila ada seorang muslim yang mampu dan memilki kelapangan harta di bulan ini untuk membeli hewan kurban dan menyembelihnya nanti tanggal di 10 Dzulhijjah, namun ia enggan untuk melakukannya. Mungkin karena ‘eman’ (sayang) atau karena pelit, atau bahkan memang belum mengetahui pahala dari ibadah kurban itu sendiri.

Padahal Allah Ta’ala memberikan ganjaran yang tidak terkira. Karena tiap-tiap bulu dari hewan kurban tersebut bernilai pahala dan kebaikan. Bayangkan saja bila seekor kambing memiliki seratus juta bulu (hanya sekedar mengira) maka berapa banyak kebaikan yang akan kita dapatkan. Selain itu, tetesan darah kurban tersebut akan sampai kepada Allah sebelum menetes ke tanah, dan akan datang pada hari kiamat beserta tanduk, kuku dan bulu-bulunya sebagai saksi yang akan meringankan kita.  

Baca Juga: Mengapa Dilarang Memotong Rambut & Kuku Bagi Yang Hendak Kurban


Mungkin ada yang bertanya, berapa kali Nabi Muhammad berkurban selama masa hidupnya? Apakah beliau berkurban dengan unta, sapi atau kambing? Maka jawabannya adalah sebagaimana tertera dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berikut,

أَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالمَدِينَةِ عَشْرَ سِنِينَ، يُضَحِّي كُلَّ سَنَةٍ

“Rasulullah tinggal di Madinah selama 10 tahun, dan beliau berkurban setiap tahun.” (HR. Ahmad & Tirmidzi) 

Dalam hadits diatas terlihat betapa antusiasnya Rasulullah dalam berkurban. Beliau melakukannya setiap tahun, bahkan saat beliau sedang bersafar pun beliau masih sempat menjalankan ibadah udhiyyah tersebut. Sebagaimana diceritakan oleh sahabat Tsauban dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi menyembelih hewan kurban dan memerintahkan sahabat Tsauban untuk memasaknya dan menikmatinya hingga mereka sampai di Kota Madinah.

Dengan dalih hadits ini, berkurban tidak terbatas pada orang yang muqim saja tapi juga disyariatkan bagi mereka yang sedang bepergian (safar). Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Imam Nawawi rahimahullah dan Jumhur Ulama’.

Adapun Rasulullah setiap tahunnya menyembelih 2 domba besar yang diatas namakan beliau sendiri dan keluarganya dan yang satu lagi beliau atas namakan orang-orang yang beriman dari umatnya.

Beliau pernah absen satu kali tidak menyembelih hewan kurban yaitu saat menjalankan Haji Wada’ di tahun ke 10 Hijriyah. Kendati demikian, beliau menggantinya dengan Hadyu (menyembelih hewan saat haji) sejumlah 100 ekor unta. Yang mana 63 ekornya beliau nahar (cara menyembelih unta) sendiri dan sisanya Ia berikan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu untuk melakukannya.

Dngan demikian, maka Rasulullah berkurban setiap tahunnya selama 9 tahun dan di tahun ke 10 Hijriyah beliau tidak berkurban akan tetapi menyembelih hewan saat menjalankan ibadah Haji Wada’.

Baca Juga: Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah


Demikian antusiasnya Rasulullah dalam menjalankan satu peribadatan agung ini. Ibadah yang paling dicintai Allah di hari ke-10 Dzulhijjah. Bagi beberapa orang yang masih ragu dan terlalu banyak alasan untuk tidak berkurban, hendaknya mencontoh semangat Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila masih pelit dan enggan, malu rasanya menjadikan Nabi Muhammad sebagai idola dan panutan.

Bagi yang belum memiliki kelapangan rejeki untuk berkurban tahun ini, semoga Allah permudahkan jalan untuk melaksanakannya tahun depan. Tentunya bukan hanya berharap, tapi juga dengan doa dan berusaha. Wallahu a’lam (Nurdin AJ/Arrisalah/Kurban)

 

Tema Terkait: Udhiyyah, Dzulhijjah, Idul Adha

 

 

Niat

            Sepulangnya pasukan Quraisy dari bukit Uhud, Rasulullah memerintahkan pasukan Muslim untuk memeriksa dan mencari orang-orang yang terluka dan terbunuh. Zaid bin Tsabit diperintahkan Rasulullah untuk mencari Sa’d bin ar-Rabi’. Rasulullah berpesan kepada Zaid, “Jika sudah kau temukan, sampaikan salamku kepadanya, katakan juga Rasulullah bertanya kepadamu bagaimana yang kau rasakan?”

            Kemudian Zaid bin Tsabit berputar-putar diantara jasad-jasad yang telah gugur mencari Sa’d bin ar-Rabi’, hingga ditemukannya Sa’d dengan tombak yang menancap di tubuhnya dan penuh luka di sekujur tubuhnya. Zaid berkata padanya, “Wahai Sa’d, sesungguhnya Rasulullah menyampaikan salam untukmu dan menanyakan apa yang kau rasakan?”

“Jadi Rasulullah menyampaikan salam kepadaku? Sampaikan pada Beliau aku mencium bau surga. Sampaikan pula kepada kaumku (kaum Anshar) kalian tak perlu lagi mencari alasan di sisi Allah jika memang Rasulullah sudah selamat dan ada mata yang melihatnya.” Jawab Sa’d. seketika itu pula Sa’d menghembuskan nafasnya yang terakhir.

            Di antara orang-orang yang terluka, kaum Muslim menemukan Ushairim bin al-Asyhal, dan di badannya masih menancap tombak bekas peperangan. Mereka berkata, “Demi Allah! Sesungguhnya lelaki ini adalah Ushairim. Apakah yang menyebabkan ia datang kemari? Kami telah meninggalkannya dan ia tidak mau memeluk Islam.” 

Mereka pun menanyakan kepada Ushairim mengenai dirinya, “Apakah yang menyebabkan engkau kemari hai Ushairim? Apakah karena kasihan terhadap kaummu atau karena rasa cintamu kepada Islam?”

Jawab Ushairim, “Karena rasa cinta kepada Islam. Aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan aku telah memeluk Islam. Lalu aku mengambil pedangku dan berangkat menyertai Rasulullah. Selanjutnya aku berperang hingga terjadi keadaan seperti ini.” 

Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia di pangkuan mereka. Kemudian mereka menceritakan apa yang telah terjadi kepada Rasulullah. Beliau menjawab, “Dia termasuk penghuni surga.” Abu Hurairah berkata, “Padahal Ushairim belum pernah sekali pun shalat kepada Allah.”

Di antara orang-orang yang terluka itu, kaum Muslim juga menemukan Quzman. Quzman adalah seorang yang dikenal para sahabat namun asal usulnya tidak diketahui secara umum kecuali oleh Rasulullah. Quzman memiliki keberanian dan fisik serta kelincahan yang cepat, dalam pertempuran Uhud ia bahkan dapat membunuh tujuh hingga delapan personil dari pasukan Quraisy. Kaum Muslim mendapati Quzman sedang menahan rasa sakit karena luka yang didapatkannya, kemudian mereka membawanya ke perkampungan bani Zhafr untuk dirawat. Kaum Muslim berusaha menghibur Quzman, namun ia menjawab, “Apa yang harus aku gembirakan? sesungguhnya aku bertempur bukan untuk siapa siapa, aku bertempur karena ingin mengangkat harkat keberanian suku dan kaumku.” Setelah itu lukanya semakin parah, karena merasa tak tahan lagi dengan sakit yang dideritanya, dia pun bunuh diri. Setelah kabar tentang Quzman sampai pada Rasulullah, Rasulullah berkata, “Jika dia berkata seperti itu, maka dia termasuk penghuni neraka.”

Begitulah akhir perjalanan orang-orang yang ikut berperang bersama Rasulullah dengan niat yang berbeda. Sekalipun berperang di bawah bendera Islam dan bergabung bersama Rasulullah dan para sahabat, jika niatnya untuk membela suku bukan untuk membela agama Allah, maka Allah tidak menulisnya sebagai penghuni surga.

Nabi Muhammad Keturunan Jawa?

Mungkin judul di atas terlalu aneh. Tapi begitulah, ternyata ramai tulisan di blog, web dan jejaring sosial membahas tentang ini.

Salah satu lini masa dari akun @SufiKota milik seorang penulis Chandra Malik memaparkan pandangan Cak Nun tentang garis keturunan Nabi Muhammad, yang mengarah pada dugaan bahwa Nabi Muhammad bukan berasal dari Arab asli, melainkan ada darah Jawanya. Di antara saduran dari tulisan tersebut adalah kalimat, “Muhammad SAW layak diduga sebagai seorang Arab-Jawa. Bukan Arab tulen.”

Ciri fisik Nabi Shallallahu alaihiwasallam

Entah ini hanya lucu-lucuan saja atau mencari sensasi, meskipun terlalu sembrono menjadikan Nabi Muhammad shallallahu sebagai bahan lelucon atau mencari sensasi. Memang belum sampai pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah keturunan Arab Jawa dan statemen hanya mencapai ‘layak diduga seorang Arab-Jawa’, namun analisa-analisa yang dikemukakan cukup membahayakan fikrah dan keyakinan. Terlebih pada beberapa bagian sangat rawan dengan unsur buruk sangka terhadap Nabi dan sebagiannya ada unsur-unsur penodaan diri beliau.
Di antara yang dijadikan bahan analisa adalah seperti yang tertulis, “Muhammad SAW menolak digambar wajahnya demi menghindari kontroversi pada masa setelah ia wafat. Kontroversi itu terutama mengenai ciri fisik Muhammad SAW yang layak diduga tidak persis Arab tulen.”

Ungkapan ini mengandung sangkaan buruk terhadap beliau. Seakan beliau menyembunyikan nasab beliau yang asli atau ingin menyembunyikan jati dirinya yang diduga bukan keturunan Arab tulen. Untuk tujuan itu lalu Nabi menutupi dengan cara melarang umatnya menggambar fisik beliau.

Faktanya, meskipun ada larangan menggambar wajah dan fisik beliau tapi tak ada larangan untuk menggambarkan dengan kata-kata. Imam at-Tirmidzi bahkan mengumpulkan secara khusus hadits-hadits tentang karakter Nabi secara khalqiyah (fisik) maupun secara khuluqiyah secara detil. Yakni dalam kitabnya Syama’il Muhammadiyah, intinya bahwa secara fisik beliau adalah sebagus-bagus fisik orang Arab.

Nasab Nabi Shallallahi alaihiwasallam MemangArab Asli

Adapun tentang nasab beliau, alhamdulillah, telah beliau jelaskan sendiri asal usulnya, sehingga tidak perlu mengada-ada atau memaksakan diri. Jelas disebutkan dalam hadits yang shahih, bahwa beliau berasal dar Arab tulen. Sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam,

إنَّ اللهَ اصطفَى كِنانةَ من ولدِ إسماعيلَ . واصطفَى قريشًا من كنانةَ . واصطفَى من قريشٍ بني هاشمَ . واصطفاني من بني هاشمَ

“Allah telah memilih Kinanah dari keturunan Isma’il, dan memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan memilih aku dari keturunan Bani Hasyim” (HR. Muslim 2276)

Jika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diklaim sebagai Arab keturunan Jawa, kenapa tidak sekalian seluruh orang Arab atau seluruh orang Quraisy diklaim sebagai keturunan Jawa, termasuk di dalamnya Abu Jahal.
Alasan yang sangat tidak ilmiah juga dikemukakan dalam tulisan itu, “Mn Kamba mengkonfirmasi bahwa tidak ada nama Siti di masyarakat Arab tulen. Siti bukan Bahasa Arab. Muhammad SAW berasal dari garis silsilah Ibrahim AS dari Siti Hajar. Hajar juga bukan Bahasa Arab. Siti Hajar layak diduga bukan araab tulen, melainkan imigran. “Kalau bukan dari Klaten, ya dari Solo.

” Siti Hajar didatangkan untuk diperistri dan penghibur atas hati Ibrahim yg gundah. Bukan Arab tulen. Siti dan Hajar adalah Bahasa Jawa. Siti = tanah = bumi. Hajar = ajar = mengajar. Tulen Jawa.”

Ini argumen yang menggelikan. Karena tidak ada satupun dalil dan nash yang menyebut kata “Siti”. Tambahan itu hanya dikenal oleh masyarakat Jawa, yang menambahi orang Jawa, lantas kenapa kemudian ibu beliau Aminah dan Hajar diklaim sebagai keturuan Jawa. Tafsiran yang lebih dekat adalah, kata “siti” berasal dari kata “sayyidah” (puan, yang dimuliakan), yang kemudian diucapkan oleh lidah Jawa dengan sebutan Siti.

Perilaku dan Kebiasaan Nabi

Lebih lanjut tulisan itu menggiring opini pembaca dengan kalimat, “Muhammad SAW suka bertapa [khalwat]. Bangsa Arab tulen tak punya tradisi ini. Bertapa itu khas Jawa.”

Padahal, cara semedi atau bertapanya orang Jawa itu mengadopsi dari tradisi Hindu di India, atau setidaknya lebih mirip dengan perilaku penganut Hindu di India, kenapa orang-orang India tidak diklaim sekalian sebagai keturunan Jawa. Adapun tahannuts (mengasingkan diri dari orang banyak) yang dilakukan oleh Nabi adalah hal yang dilakukan oleh kaum-kaum terdahulu non Jawa, seperti banyak disebutan kisah-kisah tentang kaum Bani Israel. Kisah Ashhabul Ukhdud yang mengasingkan diri dari kaumnya juga menjadi salah satu contoh.

Pada paragraf yang lain disebutkan juga,

“Tutur kata Muhammad SAW lemah-lembut. Mana ada orang Arab [tulen] yang begitu, terutama pada masa itu? Tutur kata lemah-lembut ini khas Jawa, berbeda jauh dari style Arab yang suka bicara kasar dan meledak-ledak. Gesture dan tutur kata Muhammad SAW ini menjadi magnet sehingga kehadirannya menyedot perhatian Arab-Arab tulen.”

Baca Juga: Nur Muhammad, Makhluk Pertama?

Ini adalah analisa orang yang Arab phobia dan terlalu membanggakan kejawennya. Padahal faktanya, saat di mana Nabi diutus, di sana banyak para penyair, sastrawan dan ahli bahasa. Kelembutan tutur kata juga telah menjadi nilai plus di kalangan orang Arab. Dan sayangnya, sisi ketegasan Nabi tidak ditampakkan dalam tulisan itu, karakter yang lebih dekat dimiliki kebanyakan orang-orang Arab dibanding orang-orang Jawa.

Walhasil, untuk memuliakan kaum, tak perlu menyeret paksa nasab Nabi supaya pantas menjadi keturunan Jawa, sehingga Pulau Jawa terangkat namanya. Cukup dengan mengusahakan takwa untuk mewujudkannya. Karena tak ada bedanya antara kemuliaan orang Arab maupun non Arab, yang menentukan kemuliaan antara satu dengan yang lain adalah tingkatan takwanya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى

“Ketahuilah, tak ada keutamaan orang Arab di atas non Arab, atau orang non Arab di atas orang Arab, yang berkulit merah di atas orang yang berkulit hitam, yang berkulit hitam di atas orang yang berkulit merah, melainkan dengan takwa. “ (HR Ahmad dengan sanad yang shahih)

Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah