Hukum Menjadikan Bekam dan Ruqyah Sebagai Pekerjaan Tetap

Tanya:

Assalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Ustadz mau nanya, apakah diperbolehkan menjadikan bekam dan ruqyah sebagai aktifitas tetap untuk mencari maisyah? Demikian, dan Jazaakumullah atas jawabannya. Wassalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Hamba Allah

 

Jawab:

Tentang bekam, mengambil upah atau mencari ma’isyah darinya, kebanyakan para ulama menghukuminya halal. Hal demikian didasari karena berobat dengan bekam itu sunnah, Nabi shallallau ‘alaihi wasallam juga pernah bekam lalu memberi upah pada shahabat yang sudah membekamnya sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik. Ibnu Abbas juga pernah bercerita, bahwa Nabi shallallau ‘alaihi wasallam pernah bekam lalu memberi upah kepada orang yang membekamnya. Seandainya haram tidak mungkin beliau memberi upah padanya.

Al-Laits bin Sa’ad bercerita, aku pernah bertanya pada Rabi’ah tentang upah al-Hajjaam (tukang bekam), “Tidak mengapa, bahkan dahulu di zaman Umar bin Khattab ada pasar khusus tukang bekam.” Jawabnya. Imam Malik berkata, “Upah tukang bekam bukan amalan yang dibenci, aku berpendapat tidak apa-apa.” Yahya bin Sa’id juga berkata, “Kaum muslimin tidak pernah melarang upah tukang bekam, mereka membolehkannya.”

Baca Juga: Hukum Mengucapkan “Al-Marhum” Bagi Orang Meninggal

Walau demikian, diantara para ulama, yaitu sebagian dari ahlu hadits ada yang mengharamkan upah dari bekam. Hal demikian karena tidak sedikit hadits yang secara jelas mencelanya. Diantaranya hadits dari Rafi’ bin Khadij, bahwa Nabi shallallau ‘alaihi wasallam bersabda:

 

كَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ، وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ، وَثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ

Upah tukang bekam itu buruk, upah pezina itu buruk dan jual beli anjing itu buruk.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

Kesimpulan yang lebih tengah-tengah dalam hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Abdullah Faqih dalam fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyah, bahwa bagi mereka yang membutuhkan upah dari jasa bekamnya maka tidak mengapa mengambil dan mensyaratkannya. Tapi bagi mereka yang tidak membutuhkannya dan hal demikian ia lakukan sebagai bentuk bantuan pada sesama kaum muslimin maka baginya pahala dan kebaikan di sisi Allah ta’ala, bahkan sebagian ulama Syafi’iyyah mengkategorikan pengobatan bekam dengan fardhu kifayah.

Demikian Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang upah tukang bekam, beliau menyitir ayat An-Nisa: 6, “Barangsiapa mampu, maka hendaklah ia menahan diri dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” Lalu berkata, “Demikian dalam permasalahan ini (upah tukang bekam), karena syari’at dibangun di atas landasan mengambil kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan.”

Adapun ruqyah, juga tidak mengapa mengambil upah darinya. Nabi shallallau ‘alaihi wasallam bersabda:

 

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

Sesungguhnya sesuatu yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah kitabullah.” (HR. Bukhari)

Dari Nabi saw juga menyetujui perbuatan para shahabat yang mengambil upah atas ruqyahnya, sebagaimana riwayat Bukhari Muslim dari shahabat Abi Sa’id Al-Khudri. Dan kedudukannya seperti seorang yang mengobati orang sakit, dia membacakannya pada orang yang sakit agar mendatangkan manfaat padanya yaitu kesembuhan, demikian menurut Syeikh Shalih al-Utsaimin.

Imam An-Nawawi ketika mengomentari hadits persetujuan Nabi shallallau ‘alaihi wasallam atas tindakan shahabatnya yang mengambil upah dari jasa ruqyah, ia berkata, “Ini jelas menunjukkan kebolehan mengambil upah dari jasa ruqyah dengan surat al-Fatihah dan dzikir lainnya. Ia adalah halal tidak dibenci sama sekali, sebagaimana upah pengajaran al-Qur’an, demikian menurut madzhab Syafi’i, Malik, Ahmad, Isahq, Abu Tsur dan ulama salaf lainnya, adapun Abu Hanifah melarang upah pengajaran al-Qur’an dan membolehkan upah dari jasa ruqyah.”

Baca Juga: Hukum Berobat dan Menjual Obat yang Haram

Menurut Ibnu Taimiyah, tidak mengapa mengambil upah dari jasa ruqyah sebagaimana pendapat imam Ahmad. Menurut syeikh Fauzan, mengambil upah dari jasa ruqyah adalah halal, karena Nabi shallallau ‘alaihi wasallam pun menyetujui atas perbuatan shahabatnya yang berbuat demikian. Demikian menurut Syeikh Abdullah bin Baz.

Yang perlu ditekankan dalam hal ini, -sebagaimana perkataan Syeikh Abdullah bin Jibrin- bagi orang yang melakukan ruqyah agar lebih mengedepankan manfaat bagi kaum muslimin, memohon pahala Allah ta’ala agar disembuhkan dari penyakitnya, dan menjauhkan bahaya darinya. Lalu tidak meminta upah atas jasa ruqyahnya, tapi biarlah urusannya dikembalikan pada yang sakit, bila memberinya dan dianggap berlebihan maka dikembalikan sebagiannya. Sikap seperti ini merupakan penyebab terbesar atas kesembuhan penyakit tersebut.

Bahkan menurut Syeikh Utsaimin, dibolehkan bagi yang sakit ketika akan diruqyah mensyaratkan kesembuhan yang dengannya ia memberi upah, tapi bila tidak sembuh maka ia tidak memberi apa-apa.

(Lihat: Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyah:2/3624, Al-Muhalla:13/24, Liqaa’at Al-Bab Al-Maftuh:8/34, Aunul Al-Ma’bud: 7/406)

 

Oleh: Redaksi/Fatwa


Ingin berlangganan Majalah Islami yang menyajikan bacaan bagus untuk keluarga dan wanita? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

Ruqyah, dengan Teknik Jin Catcher

Patut disyukuri bahwa istilah ruqyah, syar’iyyah telah dikenal oleh masyarakat dan dipercaya sebagai solusi yang bisa mengalihkan dari kecenderungan berobat ke dukun. Dan yang jelas, umat mengerti bahwa ada cara syar’i untuk mengatasi gangguan jin maupun sihir, hal yang membuat umat semakin yakin terhadap kesempurnaan Islam.

Hati-hati Tawassu’ dalam Ruqyah

Pun begitu, sebagaimana dalam persoalan lain setan senantiasa mencari celah masuk untuk merusak kebaikan. Modusnya dengan dua sisi ekstrim; aagar ada yang antipati dan yang lain kelewat dan berlebih-lebihan dalam meyakini maupun beraksi. Tak terkecuali dalam hal ruqyah syar’iyyah. Kita tahu bahwa tatkala istilah dan praktik ruqyah syar’iyyah mulai semarak, para dukun yang ingin laku mulai numpang tenar dengan memakai istilah itu dalam penanganan terhadap pasien yang berobat kepadanya. Cukup dengan memoles dan mengemas cara yang biasa dilakukan dengan bacaan ayat-ayat al-Qur’an.

BACA JUGA: Pertolongan Pertama Dengan Ruqyah

Kemudian di sisi lain, para aktifis ruqyah syar’iyyah tak sedikit yang tergoda untuk tawassu’ (memperlebar) dalam hal cara dan teknik ruqyah yang begitu banyak kreasinya. Hingga masing-masing peruqyah mengklaim menemukan jurus tertentu, teknik mujarab dan klaim-klaim lain yang perlu diuji secara syar’i, di samping berpotensi menimbulkan ujub dan syuhrah (gila popularitas).

Dan tak sedikit klaim-klaim tersebut muncul berdasarkan pengakuan jin atas pengaruh ruqyah yang dilakuka oleh peruqyah. Padahal, karakter dasar mereka adalah ‘kadzuub’, pembohong. Sementara kita tidak bisa konfirmasi, atau mendatangkan saksi yang bisa dipercaya. Sedangkan kita bergaul dengan manusia yang tampak fisiknya, lebih mudah dikonfirmasi, pun masih sering tertipu.

Ketika peruqyah melakukan kreasi dalam hal ruqyah, mendasarkan pada hadits,

لاَ بَـأْسَ بِالرُّقْيَةِ مَالَمْ تَكُنْ شِرْكـاً

“Tidak mengapa ruqyah yang tidak ada unsur kesyirikan di dalamnya.” (HR Muslim)

Sementara, awal dari hadits tersebut kurang mendapat perhatian, yakni kalimat,

أَعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ

“Perlihatkan kepadaku (Nabi) seperti apa ruqyah yang kamu lakukan…!” (HR Muslim)

Maknanya, Nabi merasa perlu untuk mengecek, di antara sekian ruqyah yang biasa dilakukan oleh orang Arab mana yang masuk dalam kategori boleh, dan mana yang masuk dalam kategori larangan. Dalam konteks kekinian, tunjukkan cara ruqyah tersebut kepada para ulama yang paham syariat, adakah sisi-sisi penyimpangan padacara ruqyah tersebut. Jika tidak, maka semua orang bisa berkreasi sesuai kehendaknya. Meskipun hadits tersebut kemudian diakhiri dengan kalimat penutup, “tidak mengapa ruqyah yang tidak ada unsur kesyirikan.”

Tapi setidaknya peruqyah membatasi cara-cara ruqyah yang telah dikenali sebagai cara ruqyah, tidak terlalu tawassu’ hingga cara yang dilakukannya keluar dari karakter ruqyah yang masyru’(yang disyariatkan). Ukuran “tidak mengandung kesyirikan” yang dimaksud juga masuk di dalamnya perkara-perkara yang mengantarkan kepada kesyirikan maupun perkara yang bertentangan dengan syariat dan akidah Islam.

Sekarang ini saking kreatifnya sebagian peruqyah, hingga cara-cara yang dilakukan mendekati kemiripannya dengan cara para dukun. Pada saat yang sama para dukun dalam penampakannya semakin mendekati cara-cara yang dilakukan oleh peruqyah. Akhirnya, makin kaburlah batas-batas ruqyah syar’iyyah (ruqyah yang syar’i) dan ruqyah ghairu syar’iyyah (ruqyah yang tidak syar’i)

Fenomena Jin Catcher

Satu di antara sekian kasus ruqyah yang membingungkan umat adalah apa yang disitilahkan dengan metode ruqyah Jin Catcher. Di mana aksi yang dilakukannya adalah memindahkan si jin pengganggu pada tubuh pasien yang disebut sebagai Jin Catcher. Yakni jasad tempat memindahkan jin yang mengganggu. Kalau dalam dunia supranatural, teknik Jin Catcher, prinsipnya sama dengan Teknik Mediumisasi yang biasa kita saksikan di salah satu acara di televisi.

Ada seorang ibu-ibu pasien ditanya tentang teknik ruqyah seperti ini, “Ustadznya tidak sendirian Pak, berdua sama temannya. Alhamdulillah, saya seneng Pak, Ustadznya pinter, jin itu dipindahkan ke tubuh temannya, terus dihajar ditubuh temennya tersebut , Jin itu cerita panjang lebar tentang sakit yang saya alami, masa lalu saya, dan semuanya persis dengan apa yang saya alami. Jin itu didakwahi dan disuruh tobat tapi gak mau, akhirnya dibunuh, Pak.”

Tapi anehnya, selepas itu si pasien tidak merasakan adanya perubahan apapun dari keluhannya. Tak ada pembuktian valid ketika itu; apakah benar-benar ada jin di tubuh pasien, apakah jin benar-benar berpindah ke jin cacther, dan apakah benar-benar jin tersebut sudah terbunuh? Adakah jaminan bahwa orang itu tidak menipu, atau jinnya tidak menipu dengan pasang aksi dian seakan telah terbakar atau terbunuh?

Sekilas cara seperti ini tidak ada unsur kesyirikan, tapi memindahkan jin ke tubuh orang lain buanlah cara yang dikenal secara masyru’ maupun ma’quul, baik secara sya’i maupun secara logis tidak masuk, dan inilah karakter perdukunan. Anehnya lagi, jika dia bisa mengeluarkan dari tubuh pasien, kenapa pula harus dimasukkan ke tubuh temannya? Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan yang tersembunyi dan terang-terangan, aamiin. (Abu Umar Abdillah)

Pertolongan Pertama dengan Ruqyah

أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

“Aku berlindung kepada Allah dan kekuatan-Nya, dari keburukan rasa sakit yang aku rasakan dan –akibat buruk- yang aku khawatirkan.”

Ini adalah salah satu ta’awudzat yang diajarkan oleh Nabi. Fungsinya sebagai ruqyah jika ada bagian tubuh yang terasa sakit. karena ruqyah bukan hanya berfungsi untuk mengusir jin (kesurupan) tapi juga sebagai obat ilahiyah untuk mengobati penyakit. Dalam riwayat yang masyhur, saat disengat kalajengking, seorang shahabat memberikan pertolongan pertama (first aid) dengan ruqyah surat al fatihah.

Nah, doa ini diajarkan Nabi kepada shahabat Utsman untuk meruqyah rasa sakit yang dikeluhkan. Kita simak riwayat lengkapnya;

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِى الْعَاصِ الثَّقَفِىِّ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَجَعًا يَجِدُهُ فِى جَسَدِهِ مُنْذُ أَسْلَمَ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِى تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ بِاسْمِ اللَّهِ. ثَلاَثًا. وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ ».

Dari Utsman bin Abu al Ash ats Tsaqafi, beliau mengadukan kepada Rasulullah rasa sakit yang ia rasakan semenjak masuk Islam. Nabi pun bersabda, “Letakkan tanganmu di atas bagian tubuhmu yang sakit lalu ucapkan “Bismillah” tiga kali lalu ucapkan sebanyak tujuh kali “Audzubillahi wa qudratihi min syarri ma ajidu wa uhadziru.” (Aku berlindung kepada Allah dan kekuatan-Nya dari keburukan rasa sakit yang aku rasakan dan –akibat buruk- yang aku khawatirkan.” (HR. Muslim) –dalam riwayat lain Utsman menambahkan, “lalu aku laksanakan dan Allahpun menyembuhkanku, seterusnya aku selalu menghimbau keluargaku dan orang-orang yang mengikutiku untuk mengamalkannya. (HR.at Tirmidzi)

Di dalam Kitab Faidhul Qadir, I/366 dijelaskan, mengapa disuruh meletakkan tangan di atas bagian yang sakit? penulis menjelaskan itu menandakan sunahnya membaca kalimat tersebut meski sakit yang dirasakan tidak parah. Al alam atau rasa sakit, seperti yang dijelaskan Imam ar Raghib memang bermakna “sakit parah”. Tapi jika makna itu yang dimaksud, maka ada pembatasan bahwa doa ini hanya disyariatkan untuk sakit yang parah, bukan yang ringan.

Jadi saat merasa sakit pada suatu bagian tubuh, kita baca basmalah, lalu usap bagian tubuh yang sakit sambil membaca doa ini. Caranya, tempelkan telapak tangan –sebaiknya tangan kanan- atau usapkan pada bagian yang sakit sembari membaca doa ini  sebanyak tujuh kali. Jadi, tujuh kali doa dengan tujuh kali usapan, sebagai mana dijelaskan dalam referensi diatas. Dan, doa ini bisa juga digunakan untuk meruqyah anak kecil yang belum mampu menghafal doa.

Masih dalam kitab yang sama dijelaskan, doa ini adalah ath thib al ilahi, pengobatan ilahiyah. Ampuh tidaknya sangat dipengaruhi keyakinan dan kejujuran hati untuk benar-benar bergantung pada Allah. Keyakinan akan membuahkan keikhlasan dalam mengharap pertolongan dari Allah. Dan keikhlasan akan memudahkan turunya pertolongan. Allah maha berkuasa untuk menghilangkan sakit, sebagaimana Allah juga berkuasa untuk mendatangkannya. Sangat mudah bagi Allah untuk menghilangkan sakit yang kita rasakan, dengan atau tanpa perantara obat atau pijat.

Kandungan makna

Dari segi lafadz, doa ini cukup simple hingga mudah dihafal. Tapi dari sisi makna, doa yang diajarkan Nabi senantiasa mengandung makna yang sangat mendalam. Coba kita telisik lebih detail.

Dalam hadits di atas, Nabi memerintahkan untuk memulai dengan basmalah sebanyak tiga kali. Ucapan basmalah disunahkan dalam berbagai urusan. Nabi bersabda, “ Segala hal yang baik, yang tidak dimuali dengan basmalah akan menjadi tak bernilai.” (HR.)

“Aku berlindung kepada Allah” merupakan kalimat ta’awudz, permohonan perlindungan kepada Allah. Memohon perlindungan kepada sesuatu berarti menganggap atau meyakini sesuatu tersebut mampu melindungi dan jauh lebih kuat dari ancaman yang ada. Berlindung kepada Allah berarti meyakini bahwa kekuasaan Allah ada di atas segalanya. Dibanding kebesaran-Nya, sakit yang kita rasakan sangatlah remeh.

“Min syarri ma ajidu” secara makna artinya “dari keburukan –rasa sakit- yang aku rasakan”. Dalam gramatika Arab (nahwu), syarrun merupakan isim nakirah, yaitu bentuk kata yang menunjukkan makna general, umum. Sehingga, makna dari kata syarrun tersebut mencakup seluruh keburukan dari apa yang dirasa. Karena seringnya kita tidak mampu mengidentifikasi secara akurat apa sebenarnya rasa sakit yang muncul. Apakah cuma rasa sakit biasa atau gejala penyakit parah? Gejalanya mungkin cuma sakit pinggang, padahal ada gangguan pada ginjal, yang terasa cuma sedikit ngilu, padahal penyakit asam urat tengah mengancam.

Sedangkan kalimat “wa uhadzir” artinya “dan –akibat buruk- yang aku khawatirkan”. Saat merasakan sakit, pikiran akan menerka-terka, sakit apakah gerangan? kekhawatiran yang ‘tidak-tidak’ pun mucul. Adakah ini merupakan gejala awal penyakit ganas dengan segala dampak buruknya?

Saat merasakan sakit di telinga, muncul kekhawatiran, apakah akan berdampak buruk pada pendengaran? Atau seorang wanita misalnya, saat merasakan sakit di daerah dada, muncul kekhawatiran, adakah ini adalah gejala kanker payudara? Padahal kanekr adalah salah satu penyakit ganas yang sulit disembuhkan. Berbagai kekhawatiran akan muncul dan akan menguat jika sakit yang dirasakan semakin mengarah pada indikasi suatu penyakit.

Nah, dengan lafadz pilihan Nabi, ruqyah ini menjadi doa yang mencakup permohonan yang menyeluruh. Tidak hanya memohon perlindungan dan pertolongan dari keburukan rasa sakit yang diderita, tapi juga dari berbagai kekhawatiran dan dampak buruk yang dikhawatirkan terjadi.

Pemenuhan sunah kauniyah berupa obat atau pijat, memang tidak boleh dilupakan. Tapi sekali lagi, ruqyah ini bisa menjadi pertolongan pertama yang kita berikan saat sakit. Dengan begitu, kita akan terbiasa untuk langsung kembali kepada Allah jika merasakan sakit. Allahlah yang pertama kita ingat, baru kemudian obat atau pijat. Wallahua’lam. (anwar)