Para Pemula Dalam Sejarah Islam

Para shahabat adalah orang-orang yang sangat antusias dalam berburu keutamaan, bersemangat untuk mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka ingin hadir dalam setiap momen kebaikan, terus bergerak menyusuri jalan menuju ridha Allah. Mereka saling berlomba untuk menjadi pertama. Mereka adalah teladan, maka lihatlah semangat kita terhadap setiap jenis kebaikan, apakah juga sudah sejalan dengan jejak para teladan. Di sini kita hendak membaca siapakah para pemula, orang-orang yang pertama melakukan aktivitas yang kemudian ditulis dalam sejarah.  Semoga Allah memudahkan langkah kita dalam kebaikan.

  1. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan laki-laki yang merdeka Abu Bakr as-Shidq RA
  2. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak Ali bin Abi Thalib RA
  3. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan pelayan Zaid Bin Haritsah RA
  4. Orang yang pertama kali masuk islam dari kalangan budak Bilal bin Rabbah RA
  5. Orang yang pertama kali diutus Nabi sebagai komandan Sariyah (jihad tanpa terjadi pertempuran dan tidak dipimpin oleh Rasulullah) Hamzah bin Abdul Muthalib RA
  6. Orang Yang pertama kali menjadi pemegang panji Islam dalam perang Hamzah bin Abdul Muthalib
  7. Orang yang pertama kali membunuh kaum musyrikin dalam perang Badar Hamzah bin Abdul Muthalib
  8. Orang yang pertama kali diberikan jatah ghanimah dan menyalurkan seperlimanya Abdullah bin Jahsy RA
  9. Orang yang pertama kali diberikan gelar Amirul Mukminin dari para Khalifah Islam Umar bin Khatab RA
  10. Orang yang pertama kali hijrah ke Habasyah Abdullah bin Abdul Asad (Abu Salamah) RA
  11. Orang yang pertama kali mengumpulkan manusia untuk shalat tarawih? Umar bin Khatab RA
  12. Orang yang pertama kali dijuluki Amirul Umara’ dari sahabat (pemimpin dari para pemimpin) Abu Ubaidah bin Jarah RA
  13. Orang yang pertama kali Allah tertawa padanya Saad bi Muadz RA
  14. Orang yang pertama kali membaca alQuran dengan jahr (suara keras) Abdullah bin Mas’ud RA
  15. Orang yang pertama kali di muka bumi masuk kota Mekah dengan bertalbiyah Tsamamah bin Utsal RA
  16. Orang yang pertama kali dikubur di pemakaman Baqi’ Utsman bin Madh’un RA
  17. Orang yang pertama kali mengucapkan salam pada Nabi SAW Abu Dzar al-Ghifari RA
  18. Orang yang pertama kali menulis lafadz Basmallah (Bismillahirrahmanirrahim) Khalid bin Said bin al-Ash RA
  19. Orang yang pertama kali mengadakan penanggalan hijriyah Umar bin Khatab RA
  20. Orang yang pertama kali mati Syahid dalam Islam Al-Harits bin Abi Halah RA
  21. Orang yang pertama kali mati Syahid di perang Uhud Zur’ah bin ‘Amir al-Aslami RA
  22. Orang yang pertama kali mati syahid dari kaum Anshar ‘Umair bin al-Hamam RA
  23. Orang yang pertama kali dilahirkan dari golongan Bani Hasyim di mulut kakbah Ali bin Abi Thalib
  24. Orang yang pertama kali menjadi komandan dalam perang gerilya Abu Bashir ats-Tsaqafi
  25. Orang yang pertama kali menjadi Khatib (pengkhutbah) dalam Islam Abu Bakr ash-Shidiq RA
  26. Orang yang pertama kali menjadi pemimpin Kufah setelah ditakhlukan Saad bin Abi Waqash Ra
  27. Orang yang pertama kali menjadi pemimpin di Azerbaijan Hudzaifah bin Yaman RA
  28. Orang yang pertama kali mati syahid di perang Badar Mahja’ Maula Umar RA
  29. Orang yang pertama kali membebaskan/ menakhlukan negeri Mesir Umar bin Khatab Ra
  30. Orang yang pertama kali menghidupkan malam untuk meninjau keadaan rakyatnya Umar bin Khatab RA
  31. Orang yang pertama kali menetapkan perhakiman Umar bin Khatab
  32. Orang yang pertama kali mendirikan tempat persinggahan bagi musafir di antara kota Mekah dan Madinah Umar bin Khatab RA
  33. Orang yang pertama kali mengadakan pengarsipan/pencacatan data dalam Islam Umar bin Khatab RA
  34. Orang yang pertama kali mengadakan perangkat keamanan/penjaga dari khalifah Utsman bin Affan RA
  35. Orang yang pertama kali mengadakan tempat untuk peradilan Utsman bin Affan RA
  36. Orang yang pertama kali berbaiat di Baiat Ridwan Sinan bin Sinan al-Asadi RA
  37. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan Bani Khathamah Al-Harits bin ‘Adi RA
  38. Orang Anshar pertama yang membaiat Abu bakr ash-Shidq dari suku Khazraj Basyir bin Saad RA
  39. Orang Badui yang pertama kali mengikuti Sariyah Uyainah bin hishn al-Fazari RA
  40. Orang yang pertama kali menyerang imperium Persia dan menghujamnya dari dalam Mutsana bin Haritsah RA
  41. Orang yang pertama kali berbaiat kepada Nabi SAW Basyir bin Bara’ bin Ma’rur RA
  42. Orang yang pertama kali diberikan wasiat untuk mensedekahkan sepertiga hartanya Basyir bin Bara’ bin Ma’rur RA
  43. Orang yang pertama kali menghadap kiblat Basyir bin Bara’ bin Ma’rur RA
  44. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan kaum Anshar menurut Ibnu Ishaq Uqbah bin Wahb RA
  45. Orang yang pertama kali di tawari Nabi untuk mewariskan jatah Ghanimahnya kepada beliau Khilad bin Suwaid RA
  46. Orang yang pertama kali dinamai dengan nama Muhammad Muhammad bin Khatib al-Jamhi RA
  47. Orang yang pertama kali mati Syahid di peperangan Nahawan An-Nu’man bin Maqran al-Muzanni
  48. Orang yang pertama kali memimpin Haji dalam Islam Abu Bakr ash-Shidiq RA
  49. Orang yang pertama kali melemparkan tombak di jalan Allah Saad bin Abi Waqash RA
  50. Orang yang pertama kali menghunuskan pedangnya di jalan Allah Zubair bin Awam RA
  51. Orang yang pertama kali bereperang dengan kudanya di jalan Allah Miqdad bin ‘Amru al-Kindi RA
  52. Orang yang pertama kali menjalankan shalat sunnah 2 rekaat saat perang Khubaib bin ‘Adi RA
  53. Orang yang pertama kali hijrah ke Madinah Abdullah bin Abdul Asad RA
  54. Orang yang pertama kali rumahnya digunakan untuk dakwah dalam Islam Al-Arqam bin Abil Arqam RA
  55. Orang yang pertama kali dilahirkan dan diberikan air liur Nabi SAW Abdullah bin Zubair RA
  56. Orang yang pertama kali terbunuh di atas kudanya Miqdad bin ‘Amru RA
  57. Orang yang pertama kali berbaiat kepada Nabi SAW pada Baiat Aqabah kedua Al-Bara’ bin Ma’rur RA
  58. Orang yang pertama kali dilahirkan setelah peristiwa hijrah Abdullah bin Zubair RA
  59. Orang yang pertama kali terluka saat perang Yamamah dan akhirnya mati syahid Abu Uqail Abdurrahman bin Abdullah bin Tsa’labah RA
  60. Orang yang pertama kali meninggal setelah peristiwa hijrah As’ad bin Zararah RA
  61. Orang yang pertama kali meninggal dari pemuka kaum Al-Bara’ bin Ma’rur RA
  62. Orang yang pertama kali dishalati jenazahnya oleh Nabi SAW As’ad bin Zararah RA
  63. Orang yang pertama kali menusuk kudanya sendiri karena takut menjadi ghanimah orang kafir Ja’far bin Abi Thalib RA
  64. Orang yang pertama kali datang dari Hijaz menemui Nabi SAW dan memberikan harta dari kaumnya Hamzah bin Nu’man al-Udzri RA
  65. Orang yang pertama kali melakukan dhihar (suami menyerupakan istri dengan ibunya) dalam Islam Aush bin Shamit RA
  66. Orang yang pertama kali menumpahkan darah dalam Islam Saad bin Abi Waqash RA
  67. Orang yang pertama kali menulis untuk Nabi SAW Ubai bin Kaab RA
  68. Orang yang pertama kali menulis di akhir kitab (sepeti menulis; Fulan bin Fulan) Ubai bin Kaab RA
  69. Orang yang pertama kali lahir dari kaum Anshar Nu’man bin Basyir RA
  70. Orang yang pertama kali berangkat ke medan perang dan paling akhir pulangnya Abdullah bin Ruwahah RA
  71. Orang yang pertama kali meluaskan Masjid Nabawi Utsman Bin Affan
  72. Orang yang pertama kali memberikan penerangan/memberikan penghiasan dalam masjid Tamim ad-Dari RA
  73. Orang yang pertama kali berbaiat kepada Nabi SAW di Darul Arqam Aqil bin al-Bakir RA Amir bin al-Bakir RA Iyas bin al-Bakir RA Khalid bin al-Bakir RA

 

Oleh: Redaksi/Tsaqafah Islam

Abdullah bin Ummi Maktum, Mujahid buta Pemegang Bendera Islam

Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tengah berhadapan dan berdialog dengan para pembesar Quraisy. Beliau sangat berharap para tokoh tersebut bisa mendapat hidayah Islam, sehingga bisa mengajak kaumnya untuk turut masuk Islam.

Saat pembicaraan menghangat, tiba-tiba muncullah seorang buta dan menyeru, “Muhammad, Muhammad, ajarkanlah padaku apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.”

Ada rona ketidaksukaan pada wajah beliau. Beliau pun berpaling dari lelaki buta tersebut. Ya, kesempatan emas mendakwahi para pentolan Quraisy ini jangan sampai terganggu. Beliau pun terus berbicara dengan para tokoh tersebut.

Setelah selesai berbicara dengan para tokoh tersebut, beliau hendak untuk pulang ke rumah. Tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang memberatkan kepala beliau. Ternyata turunlah enam belas ayat dari surat ‘Abasa.

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya…”. (QS. ‘Abasa [80]: 16).

Siapakah lelaki buta yang karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam langsung mendapat teguran dari langit? Ia tidak lain adalah Abdullah bin Qais, yang masih sepupu Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. Ibunya, Atikah binti Abdullah lebih dikenal dengan sebutan Ummi Maktum, karena telah melahirkan anak yang buta sejak lahir. Maka Abdullah bin Qais lebih dikenal dengan sebutan Abdullah bin Ummi Maktum.

Kebutaan matanya ternyata tidak menghalanginya untuk menerima hidayah Islam. Bahkan hatinya melihat kebenaran dan bersemangat meraihnya, sehingga beliau mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendapat pengajaran Al Qur’an. Sedangkan pentolan-pentolan Quraiys yang diharapkan masuk Islam ternyata telah buta hatinya tidak bisa melihat kebenaran Islam. Makanya Allah memperingatkan Nabi-Nya untuk mengutamakan para pencari kebenaran meskipun dari kalangan orang biasa, daripada tokoh-tokoh  kaum yang tidak peduli dengan Islam.

Sejak peristiwa itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semakin memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum, mendekatkan tempat duduknya dengan beliau, menanyakan tentang kebutuhannya dan memenuhinya.

Ketika penindasan Quraisy kepada kaum muslimin di Makkah semakin menjadi-jadi, Allah mengijinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Dan orang yang paling dahulu meninggalkan tanah airnya menuju bumi hijrah adalah Mush’ab bin Umair dan Abdullah bin Ummi Maktum. Sesampainya di Madinah, mereka berdua berpencar dan mulai mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk Madinah.

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, Abdullah bin Ummi Maktum mendapat kehormatan bersama Bilal bin Rabbah untuk mengumandangkan panggilan shalat menyeru manusia menuju keberuntungan selama lima kali sehari semalam. Kebutaan matanya tidak menghalangi beliau untuk selalu melazimi shalat berjama’ah yang diperintahkan Rasul untuk selalu menghadirinya.

Kehormatan lain dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdullah bin Ummi Maktum adalah pernah beberapa kali ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari Madinah untuk menyerang musuh, maka kepemimpinan kota Madinah diserahkan kepada Abdullah bin Ummi Maktum.

Suatu ketika selepas perang Badar, turunlah ayat yang memuji mujahidin. Firman-Nya:

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah …”(QS. An-Nisa: 95)

Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menuliskannya. Abdullah bin Ummu Maktum lantas bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, lalu bagaimana halnya dengan orang yang tidak mampu berjihad?”

Tidak lama berselang dari pertanyaan tersebut, Rasulullah langsung mendapat wahyu yang melengkapi ayat tersebut, sehingga menjadi:

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. (QS. An-Nisa: 95)

Ayat tersebut menjadi hujjah bagi orang semisal Abdullah bin Ummi Maktum untuk tidak ikut berjihad karena udzur yang mereka miliki.

Namun jiwa yang besar tidak rela kecuali untuk meraih pahala yang besar. Meskipun sudah mendapat udzur dari Allah, tetapi Abdullah bin Ummi Maktum tidak tinggal diam. Justru sejak saat itu beliau bertekad untuk mengikuti pertempuran melawan musuh-musuh Allah. Beliau berkata: “Tempatkanlah saya diantara dua barisan pasukan, berikan bendera kepada saya, maka saya akan membawanya untuk kalian dan akan menjaganya…saya adalah lelaki buta yang tidak akan bisa lari dari medan tempur..” Sungguh, satu keberanian yang luar biasa. Tetapi memang begitulah para lelaki tempaan Rasulullah, yang hatinya terpaut dengan akhirat, sehingga tidak ada yang ditakutinya di dunia ini selain Allah dan siksa-Nya.

[bs-quote quote=”Abdullah bin Ummi Maktum berkata: “Tempatkanlah saya diantara dua barisan pasukan, berikan bendera kepada saya, maka saya akan membawanya untuk kalian dan akan menjaganya…saya adalah lelaki buta yang tidak akan bisa lari dari medan tempur..” ” style=”default” align=”center” color=”#2a79bf”][/bs-quote]

Sepeninggal Rasulullah, Abdullah bin Ummi Maktum tetap tegar dalam perjuangan Islam bersama kaum muslimin lainnya. Bahkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau mengikuti ekspedisi jihad yang cukup menantang. Pergi ke tanah Persia dengan satu tekad, taklukkan negeri adidaya penyembah api tersebut.

Di bawah kepemimpinan panglima Sa’ad bin Abi Waqash, kaum muslimin pergi ke Qadisiyah untuk memberangus kekuatan durjana. Dan perang besar pun berkecamuk. Pertempuran antara pemegang panji tauhid dengan kaum musyrikin. Dan di tengah-tengah medan pertempuran, bendera kaum muslimin berkibar dengan teguh dipegang seorang lelaki yang tidak mungkin lari dari medan perang. Ya, tidak lain ialah Abdullah bin Ummi Maktum.

Setelah tiga hari pertempuran berjalan, akhirnya kemenangan diraih pasukan penegak tauhid. Salah satu negeri super power dunia pada masa itu, takluk kepada kaum muslimin setelah melalui perjuangan dan pertempuran dahsyat, serta melalui syahidnya ratusan mujahidin. Salah satunya adalah Abdullah bin Ummi Maktum, yang didapati tubuhnya bersimbah darah dengan tetap memeluk bendera kaum muslimin.

Wahai Abdullah bin Ummi Maktum, selamat atas prestasimu meraih puncak ketinggian Islam. Berjihad dan mati syahid, padahal seandainya engkau tidak ikut berjihad dan diam di rumah, tidak ada yang mencelamu. Namun bersihnya mata hatimu tak rela kecuali mendapat puncak ketinggian Islam. Semoga kami dapat meniti jejak kebaikanmu. Wallahu a’lam.

Oleh: Redaksi/Teladan Islam

Muslihat Sempurna Nuaim bin Masud Pada Sekutu Ahzab

Terbunuhnya Amr bin Abdi wad tak lantas membuat pasukan ahzab menyerah. Mereka tetap melakukan pengepungan Madinah, bahkan sebuah strategi telah disiapkan untuk mengalahkan Rasulullah dan pasukannya. Pasukan ahzab berencana membujuk bani Quraizhah (salah satu kabilah Yahudi Madinah) untuk melanggar perjanjian dengan Rasulullah.

Strategi tersebut segera dijalankan dengan mengirimkan Huyyai bin Akhthab untuk menemui pimpinan bani Quraizhah dan membujuk supaya bergabung dengan pasukan ahzab. Bani Quraizhah pun setuju untuk menghianati perjanjian damai dengan Rasulullah dan bergabung dengan pasukan ahzab.

Kabar penghianatan tersebut pun sampai kepada Rasulullah. Beliau lalu menugaskan Zubair bin Awwam untuk memastikan kebenaran kabar tersebut. Tak berapa lama Zubair kembali dan membenarkan kabar penghianatan bani Quraizhah.

Baca Juga: Dia Ingin Memilki Nyawa Sebanyak Jumlah Rambutnya

Mengetahui hal tersebut, Rasulullah langsung mengambil dua keputusan penting. Pertama Beliau mengutus Maslamah bin Aslam bersama dengan 500 prajurit untuk menjaga wanita dan anak-anak muslim yang diungsikan di perkampungan bani Haritsah di bagian selatan Madinah. Ketika itu semua pasukan muslim berada di sebelah utara Madinah, sedangkan perkampungan bani Quraizhah berada di sebelah selatan. Sehingga dengan penghianatan tersebut, bani Quraizhah bisa dengan mudah menghabisi wanita dan anak-anak muslim.

Kedua, Rasulullah mengutus Saad bin Muadz, Saad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah, dan Ibnu Jubair mendatangi bani Quraizhah. Keempatnya diutus untuk mengadakan pembicaraan dengan bani Quraizhah. Alangkah terkejut keempatnya ketika bani Quraizhah menolak pembicaraan dan merobek kertas perjanjian seraya mencela Rasulullah.

“Adhl dan Qarah.” Kata keempatnya kepada Rasulullah ketika menemui Rasulullah kembali. Maksudnya adalah bani Quraizhah melakukan penghianatan sebagaimana yang dilakukan Adhl dan Qarah ketika tragedy Raji’.

Mendengar kabar penghianatan bani Quraizhah membuat orang-orang munafik berbalik ke belakang dan keluar dari pasukan muslim. Mereka beralasan bahwa rumah mereka akan menjadi sasaran pasukan ahzab karena berada di selatan Madinah.

Di tengah situasi yang semakin genting tersebut, Nuaim bin Masud datang menghadap Rasulullah. Nuaim berasal dari suku ghatafan, suku yang ikut bergabung dengan pasukan ahzab.

Kemudian ia melanjutkan kata-katanya, “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah benar-benar masuk Islam. Dan kaumku tidak mengetahui bahwa aku telah masuk Islam. Perintahkanlah kepadaku perintah apa saja yang dapat aku laksanakan!”

Rasulullah menjawab, “Engkau hanya seorang dari pihak kami, kembalilah kepada kaummu! Dan jika kamu sanggup, takut-takutilah mereka bahwa sesungguhnya mereka lemah dan kami kuat. Sesungguhnya perang itu adalah tipu daya.”

Baca Juga: Duel Menegangkan Antara Dua Ahli Pedang

“Saya siap, wahai  Rasulullah. Insya Allah engkau akan segera melihat sesuatu yang menggembirakan,” janji Nu’aim.

Setelah itu, Nu’aim segera berangkat menuju ke kubu Bani Quraidzah, yang telah menjadi sahabat baiknya sampai saat ini. Ia berhasil meyakinkan mereka untuk tidak dalam pertempuran melawan Rasulullah SAW.

“Jangan kalian bantu mereka (Quraiys) memerangi Muhammad sebelum kalian minta jaminan kepada kedua sekutu kalian itu, yakni pemuka-pemuka atau bangsawan-bangsawan terpandang dari mereka sebagai jaminan atas peperangan ini. Sampai kalian memenangkan peperangan ini dan menguasai negeri ini, atau kalian mati bersama-sama dengan mereka,” saran Nu’aim. Bani Quraizhah pun menerima saran itu.

Setelah itu, Nu’aim segera beranjak menuju kubu Quraisy dan Ghathafan di luar Kota Madinah. Ia segera menemui pimpinan Quraisy, Abu Sufyan bin Harb, yang saat itu dikelilingi para pembesar Quraiys. Ia berhasil merayu mereka agar tidak melanjutkan serangan bersama. Nu’aim mengatakan bahwa Bani Quraizhah menyesal memutusan perjanjian dengan Muhammad SAW, dan malah mereka akan membantu Rasulullah menghadapi pasukan Ahzab.

Mendengar penjelasan Nu’aim, Abu Sufyan berkata, “Kau adalah sekutu kami yang baik. Semoga kamu mendapat balasan yang baik pula.”

Hal yang sama dilakukan juga oleh Nu’aim kepada Kaumnya, yakni Bani Ghathafan. Dan setelah yakin bahwa Pasukan Ahzab tidak akan melancarkan serangan apa pun kepada kaum Muslimin. Diam-diam Nu’aim pergi ke Madinah dan bergabung dengan pasukan Rasulullah.

 

Oleh: Redaksi/Tarikh Sahabat

Duel Menegangkan Antara Dua Ahli Pedang

Penggalian parit akhirnya selesai dalam waktu enam hari. Kondisi Madinah makin mencekam, anak-anak dan wanita diungsikan ke benteng milik Bani Haritsah, benteng paling kokoh saat itu. Pasukan Muslim mulai menyiapkan fisik dan mental mereka untuk menyambut pasukan Quraisy dan sekutu yang mulai tampak di kejauhan.

Pasukan musuh mulai berdatangan bak air bah. Dari arah selatan Madinah terdiri dari pasukan Quraisy, Kinanah, dan sekutu mereka dari penduduk Tihamah. Jumlah mereka sebanyak 4000 prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan. Sedangkan dari arah timur, pasukan dari kabilah-kabilah Ghatafan. Total jumlah mereka mencapai 10 ribu prajurit. Jumlah ini melebihi jumlah pasukan Muslim yang hanya 3000 prajurit, bahkan melebihi jumlah seluruh penduduk Madinah termasuk wanita dan anak-anak.

Tidak berapa lama pasukan gabungan (Ahzab) tiba, mereka ingin segera bertempur dan melumat pasukan Muslim. Seketika itu mereka dikejutkan dengan parit yang menghadang dan memisahkan mereka dari pasukan Muslim. Mereka bingung karena belum pernah menjumpai siasat pertahanan seperti itu. Karenanya mereka hanya berputar-putar dekat parit dengan amarah yang memuncak tanpa bias melakukan apapun.

Dengan terpaksa, pasukan Ahzab memutuskan untuk berkemah mengepung Madinah. Keputusan ini diambil meski mereka tak memiliki persiapan untuk berkemah dalam waktu yang lama. Ketika itu cuaca sangat dingin di tengah terpaan badai yang terus menerus. Lambat laun keputus asaan mulai merasuk kedalam hati mereka. Banyak di antara mereka yang memilih untuk kembali ke rumah masing-masing.

Pasukan Ahzab terus bergerilya mencari celah untuk melompati parit. Hingga sejumlah ahli berkuda Quraisy, di antaranya Amr bin Abdi Wadd, Ikrimah dan lainnya berhasil melompati jarak lompat yang lebih sempit. Beberapa orang berhasil menyeberangi parit, Merekapun menantang pasukan Muslim untuk perang tanding.

Amr bin Abdi Wadd, seseorang yang dikenal berani dan tak pernah sekalipun kalah dalam duel satu lawan satu, dengan sombongnya menantang pasukan Muslim, “Siapa yang berani melawanku? Apakah kalian semua takut padaku?”

Ali bin Abi Thalib menjawab tantangan tersebut, keduanya kini saling berhadapan. “Siapakah  engkau?” Tanya Amr.

“Aku adalah Ali bin Abi Thalib.”

“Wahai anak saudaraku… Sesungguhnya ayahmu adalah teman dekatku, maka kembalilah! Aku tak ingin membunuhmu,” kata Amr.

Ali pun berujar, “Hai Amr, aku mendengar bahwa kau telah bersumpah. Kalau kau diberi dua pilihan, maka kau akan memilih salah satunya.”
“Benar.”

“Maka aku akan memberikan dua pilihan padamu, pilih salah satunya, Pertama, engkau mengucapkan dua kalimat syahadat.”

“Aku datang untuk memerangi Muhammad, bukan untuk masuk Islam.”

“Kalau begitu, pilihan yang kedua, aku akan membunuhmu.”

Perkataan Ali membuat Amr naik pitam, selama hidupnya tidak pernah ada yang menantangnya. Dengan cepat, Amr turun dari kuda dan menyerang Ali. Hantaman pedang Amr berhasil ditangkis dengan perisai, namun perisai Ali langsung terbelah.

Semua pasukan Muslim tegang, mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi, tertutup oleh debu-debu dan pasir yang beterbangan di sekitar dua orang yang sedang duel tersebut. Setelah lama berselang, dari balik tebalnya gumpalan debu terdengar teriakan takbir, “Allahu Akbar!”

Teriakan itu didengar Rasulullah sehingga beliau tahu bahwa Ali bin Abi Thalib telah membunuh lawannya. Rasulullah langsung menyambut dengan pekikan takbir Para sahabat pun turut bertakbir. Tubuh Amr roboh di balik gumpalan debu. Terbunuhnya Amr membuat pasukan Ahzab panik. Mereka ketakutan. Ikrimah bin Abi Jahal lari tunggang langgang meninggalkan tombaknya.

 

Oleh: Redaksi/Kisah Sahabat

 

Baca Kisah yang Ini Juga: Milyarder Mulsim yang Membuat Iri Kaum Muslimin, Dia Ingin Memiliki Nyawa Sebanyak Jumlah Rambutnya

 


Ingin berlangganan Majalah Islami yang bermutu dan nyaman dibaca? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

Jadilah yang Pertama dalam Kebaikan

Abu Thalhah adalah sahabat Anshar yang kaya di Madinah. Aset terbesar dan yang paling ia sukai adalah Kebun Bairaha’ yang terletak di depan masjid. Nabi SAW biasa masuk dan minum air di dalamnya. Ketika turun ayat Allah,

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)

Seakan tak ingin didahului orang lain, Abu Thalhah segera menyambut tawaran tersebut, “Wahai Rasulullah, telah turun wahyu kepada Anda “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai”, Sedangkan harta yang paling aku cintai adalah Bairaha’, maka kebun itu aku sedekahkan untuk Allah, saya mengharap kebaikan dan pahalanya di sisi Allah Ta’ala. Maka kelolalah sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepada Anda wahai Rasulullah.”

Begitulah karakter para sahabat. Mereka paling bersegera dalam merespon tawaran kebaikan. Karena mereka tahu, ada nilai lebih bagi orang yang menyegerakan kebaikan.

 

Lebih Dahulu, Lebih Utama

Semangat untuk menjadi orang pertama dalam kebaikan telah membawa keuntungan bagi sahabat Ukasyah bin Mihshan, hingga didoakan Nabi termasuk 70.000 orang yang masuk jannah tanpa hisab. Suatu kali Nabi SAW bersabda,

 

يَدْخُلُ اْلجَنَةَ مِنْ أُمَّتِي زُمْرَةٌ هِيَ سَبْعُوْنَ أَلْفاً تَضِيْءُ وُجُوْهُهُمْ إِضاَءَةَ اْلقَمَرِ

“Akan masuk jannah segolongan umatku yang berjumlah 70.000, wajah mereka bersinar laksana bulan.” (HR Bukhari)

Seketika Ukasyah bin Mihshan berdiri sembari berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku, agar aku termasuk dalam gologan mereka.” Nabi pun mendoakannya, “Ya Allah, jadikanlah ia termasuk golongan mereka.” Menyaksikan kejadian itu, seorang Anshar ikut berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakan pula untukku agar aku termasuk ke dalam golongan mereka.” Rasulullah SAW bersabda, “Ukasyah telah mendahuluimu.” (HR Bukhari)

Begitulah, peluang kebaikan, kadang tak terulang kedua kali. Selayaknya kita bersegera mengambil peluang kebaikan, sebelum orang lain mendahului.

 

Baca Juga: Hiburan-hiburan Islami yang Berpahala

 

Dalam banyak amal shalih, Allah dan Rasul-Nya telah menyebutkan dalam banyak tempat tentang keutamaan orang yang lebih dahulu beramal shalih. namun Allah melebihkan pahala orang yang lebih dahulu melakukan kebaikan. Dalam hal sedekah dan berjihad, Allah berfirman,

“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.” (QS. al-Hadid: 10)

Dalam hal shalat, Allah melebihkan keutamaan shaf pertama dibanding shaf berikutnya. Begitupun dalam hal mendatangi shalat Jum’at, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa yang mandi di hari Jum’at seperti mandi janabah, kemudian berangkat pagi ke masjid, maka seakan ia berkurban unta besar, dan barangsiapa berangkat di waktu kedua, seakan ia berkurban sapi, barangsiapa yang berangkat di waktu ketiga seakan berkurban domba yang telah bertanduk, barangsiapa yang datang di waktu yang keempat seakan ia berkurban ayam, dan barangsiapa yang berangkat di waktu yang kelima, seakan ia berkurban telur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Mendapat Pahala dari Orang yang Mengikuti Jejaknya

Bukan saja dari sisi keutamaan yang lebih, orang yang mempelopori suatu kebaikan akan mendapatkan pahala setiap ada orang yang mengikuti jejaknya dalam berbuat baik. Rasulullah SAW bersabda,

 

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْء

“Barangsiapa yang mempelopori suatu sunnah yang baik, ia mendapat pahala amalnya dan pahala orang yang mengikuti setelahnya, tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya.” (HR Muslim)

Sudah semestinya pelopor kebaikan mendapat nilai lebih, bahkan mendapatkan pahala orang yang mengikutinya. Karena pelopor menuntut pengorbanan dan resiko. Mungkin dipandang aneh, menyalahi kebiasaan umum, menentang arus, menyelisihi adat dan berjuang sendiri.

Ini jelas berbeda nilainya dengan orang yang menjalankan suatu syariat setelah ada orang lain yang melakukannya. Belum berani berjilbab sebelum ada yang mendahului, belum berani meninggalkan bid’ah sebelum ada yang memulai, begitupun dalam hal urusan lain. Meskipun orang yang mengikuti itu mendapatkan pahala, namun orang yang memelopori lebih utama, dan lebih banyak pahalanya.

 

Kemudahan di Akhirat

Para pelopor kebaikan, yang bersegera dalam ketaatan, akan mendapat kemudahan di akhirat, setelah kemudahan di dunia. Di barzakh, akan didatangi amal shalihnya yang berwujud laki-laki tampan, bagus pakaiannya dan harum baunya, lalu berkata, “Aku adalah amal shalihmu, demi Allah, Anda adalah orang yang bersegera dalam ketaatan kepada Allah, lamban untuk bermaksiat kepada-Nya, semoga Allah membalas kebaikan untukmu.” (HR. Ahmad)

 

Baca Juga: Seorang Muslim Haruslah Multi Talenta

 

Mereka juga mendapat kemudahan dalam hisab, bahkan Ibnu Abbas menyebutkan bahwa “saabiqun bil khairaat“, orang yang berlomba dalam kebaikan dalam Surat Fathir: 32 adalah orang yang masuk Jannah tanpa hisab, seperti disebutkan oleh Ibnu Katsier dalam tafsirnya.

Begitupun ketika meniti shirath, orang yang paling bersegera dalam ketaatan adalah orang yang paling cepat meniti shirath, dan merekalah yang lebih dahulu masuk jannah. Wa fii dzaalika, fal yatanaafasil mutanaafisuun, dan untuk yang demikian itu, hendaknya mereka berlomba-lomba. Wallau a’lam

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

Dia Ingin Memiliki Nyawa Sebanyak Jumlah Rambutnya

Suatu hari, Umar mengirimkan pasukan ke Romawi. Pasukan Romawi berhasil menawan Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Mereka membawanya kepada kaisar mereka, Heraklius. “Ini adalah salah satu sahabat Muhammad”, kata mereka. Lantas Heraklius membujuk Abdullah, “Maukah Anda masuk agama Nashrani, dan sebagai gantinya aku akan menghadiahimu dengan separuh kerajaanku?”

Dengan tegas Abdullah menjawab, “Andai kau berikan kepadaku semua kerajaanmu, ditambah lagi dengan semua kerajaanmu, kemudian seluruh kerajaan Arab, sekali-kali saya tidak akan mundur dari Islam, meskipun sekejap mata.” Heraklius menimpali, “Jika begitu, aku akan membunuhmu!”

Dengan tenang Abdullah menyahut, “Silakan.”

Sebagai gertakan, Heraklius memerintahkan tentaranya untuk menyalibnya, dan menyuruh ahli panahnya, “Arahkan panah dekat sekali dengan badannya.” Lagi-lagi, beliau tetap menolak untuk murtad. Hingga akhirnya beliau diturunkan dari tiang salib.

Baca Juga: Shofiyah binti Huyay Putri Tercantik Khaibar

 

Kemudian Heraklius menyuruh tentaranya untuk menyiapkan tungku besar, lalu diisi air, dibakar hingga mendidih. Lalu didatangkan dua tawanan muslim yang lain, dan seorang dari keduanya dimasukkan ke dalamnya hingga mendidih.

Untuk ke sekian kalinya Abdullah dipaksa masuk Nashrani, tapi beliau tetap menolaknya. Ketika beliau sudah di bibir kuali dan menyaksikan jasad saudaranya yang terpanggang, beliau menangis. Hingga Heraklius mengira beliau gentar.

Lalu beliau ditanya, “Apa yang menyebabkan kamu menangis?”

Beliau menjawab, “Ia (temannya) hanya memiliki satu nyawa yang dimasukkan ke dalam kuali. Sedangkan aku sangat ingin memiliki nyawa sebanyak bilangan rambutku, yang kesemuanya dimasukkan ke dalam api karena Allah.”

Karena telah putus asa, Kaisar berkata, “Maukah kamu mencium jidatku, lalu aku bebaskan kamu?” Abdullah berkata, “Bagaimana jika semua tawanan dibebaskan?” “Baik.” Jawab Heraklius.

Abdullah mencium jidatnya lalu seluruh pasukan yang tertawan dibebaskan. Ketika mereka menghadap Umar radhiyallahu ‘anhu dan menceritakan kejadian itu, Umar berkata, “Hendaknya yang hadir mencium jidat Ibnu Hudzafah, dan saya yang akan memulainya.” (Siyaru A’lamin Nubala’, Imam Adz-Dzahabi, II/16) 

 

Oleh: Redaksi/Motivasi

 

Ancaman Kaum Quraisy

Orang kafir Quraisy sangat marah ketika Kaum Muslim pergi berhijrah dan mendapatkan tempat yang aman di Madinah. Sehingga mereka mengirimkan surat kepada Abdullah Bin Ubay Bin Salul. Ketika itu Abdullah Bin Ubay masih merupakan orang musyrik dan menyimpan kebencian kepada Rasulullah dan Kaum Muslimin dikarenakan ia hampir menjadi pemimpin tertinggi andaikan Kaum Muslim tidak hijrah ke Madinah.
Surat kepada Abdullah bin Ubay tersebut berisi : “Kalian telah melindungi kawan kami (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Demi Allah, kami meminta kalian memerangi Muhammad, atau mengusirnya atau kami akan menyerang kalian dengan seluruh kemampuan kami dan kami akan menghalalkan (menawan) wanita-wanita kalian.”
Setelah membaca surat tersebut, Abdullah bin Ubay segera mengumpulkan orang-orang untuk melakukan penyerangan dan pengusiran kepada kaum Muslimin. Tetapi sebelum sempat bergerak, Rasulullah mengetahui maksud tersebut. Segera Rasulullah mendatangi mereka dan berkata, “Ternyata orang-orang Quraisy telah mengancam kalian. Ketahuilah, sesungguhnya mereka hanya ingin memperdayai kalian, lebih banyak daripada tipu daya yang akan kalian timpakan kepada diri kalian sendiri. Sebenarnya kalian sendiri sajalah yang menghendaki membunuhi anak-anak dan saudara-saudara kalian!”12
Saat itu Rasulullah hanya ditemani beberapa sahabat saja, sementara kaum musyrikin Madinah telah berkumpul cukup banyak dengan persenjataan yang lengkap. Terpergok niat mereka seperti itu, semangat dan nyali mereka langsung turun. Abdullah bin Ubay membatalkan niatnya dan memerintahkan mereka untuk bubar, Tetapi kebencian dan kedengkian Abdullah bin Ubay kepada Rasulullah tidak sirna begitu saja. Ia tetap saja berhubungan dengan kaum Quraisy dan mencari-cari kesempatan agar bisa menyerang Rasulullah suatu saat nanti.
Beberapa waktu kemudian Sa’d bin Mu’ad, salah satu tokoh Madinah yang telah memeluk Islam, melakukan ibadah umrah ke Makkah. Ia tinggal di rumah tokoh Quraisy yang juga sahabatnya, Umayyah bin Khalaf. Ketika mereka berdua tengah thawaf, mereka bertemu Abu Jahal yang langsung berkata, “Wahai Abu Shafwan, siapakah orang ini??”
“Dia sahabatku, Sa’d bin Mu’adz dari Yatsrib,” jawab Umayyah bin Khalaf
Seketika itu Abu Jahal berkata, “Bukankah engkau thawaf dengan aman di sini? Tetapi mengapa kalian melindungi orang-orang yang murtad (dari agama jahiliyah), bahkan kalian bertekad akan membantu mereka. Demi Allah, andaikata engkau tidak sedang bersama Abu Shafwan, tentu engkau tidak akan bisa kembali kepada keluargamu dengan selamat.”
Dengan suara lantang, Sa’d bin Mu’ad menanggapi, “Demi Allah, jika engkau menghalangiku saat ini, pasti aku akan menghalangimu dengan cara yang lebih keras terhadap perjalananmu melewati Madinah.”
Ketika pulang ke Madinah, Sa’d bin Mu’ad menceritakan pengalamannya tersebut kepada Rasulullah. Maka Beliau memerintahkan untuk tidak berkunjung ke Makkah untuk sementara waktu.
Tak lama setelah itu, datang utusan dari kaum kafir Quraisy menyampaikan pesan kepada Rasulullah dan kaum Muslimin lainnya, khususnya kaum Muhajirin, “Janganlah kalian senang terlebih dahulu karena berhasil meninggalkan kami ke Yatsrib. Sungguh kami akan mendatangi kalian, lalu merenggut dan membenamkan kalian di antara tanaman di halaman rumah kalian.”
Ini bukan ancaman di mulut semata. Rasulullah menyadari bahwa kaum Quraisy tidak main-main dengan keputusannya memusuhi kaum muslimin. Tak pelak terjadi kegelisahan pada kaum Muslimin, karena bagaimanapun juga kaum musyrikin di Madinah dan kaum Yahudi tidak mungkin dipegang janjinya walau mereka telah terikat perjanjian damai di dalam Piagam Madinah. Pada hari itu Nabi SAW tidak bisa langsung tidur, ada kegelisahan dan kekhawatiran yang menghantui. Bahkan beliau sempat berkata, “Andaikata saja  mala mini ada seseorang yang shalih dari sahabatku yang mau menjagaku.”
Tiba-tiba Rasul mendengar suara gemerincing senjata di depan pintu rumah. Beliau bertanya, “Siapa itu??”
“Saya Sa’d bin Abi Waqqash”
“Apa yang mendorongmu datang ke sini?”
“Saya khawatir akan keselamatan engkau, ya Rasulullah, karena itu saya datang untuk menjaga engkau,” jawab Sa’d bin Abi Waqqash.
Maka Beliau langsung menoakannya, setelah itu Beliau bisa tidur.
Hari-hari berikutnya para sahabat lainnya mengikuti jejak Sa’d untuk menjaga keselamatan Rasulullah, baik malam atau siang harinya. Ke manapun Beliau pergi, selalu saja ada sahabat yang mengikuti beliau dan bersiaga. Mereka bergiliran melakukan tugas tersebut tanpa diberikan jadwal secara khusus. Hingga turun sebuah ayat “Dan, Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia.”(Al-Maidah:67)
Kemudian Rasulullah melongokkan kepala dari lubang jendela seraya berkata, “Wahai semua orang, menyingkirlah dari tempatku ini karena Allah telah menjagaku.”
Setelah itu tidak ada lagi penjagaan khusus terhadap Rasulullah, dan beliau juga cukup tenang dan yakin dengan penjagaan Allah. Namun demikian, tetap saja para sahabat ada yang bersiaga di sekitar Nabi SAW walau tidak tampak secara khusus menjaga beliau.

BACA JUGA : Serangan Balik Tentara Allah

Khalid bin Said

Khalid bin Said, namanya memang tak sepopuler Khalid bin Walid. Namun, di balik sikap tawadhu’nya, sahabat muhajirin ini termasuk assabiqun al-awwalun, seorang pemimpin dan mujahid.

Khalid berasal dari dari keluarga terpandang di Makkah. Ayahnya bernama Said bin Ash. Dari nama kakeknya bisa ditebak jika Khalid adalah keponakan Amru bin Ash. Ayah Khalid sangat dihormati di kabilah Quraisy. Konon, setiap Said hadir di majelis, jika ia memakai `imamah, orang-orang akan melepas `imamahnya karena segan.

Kisah Khalid menemukan Islam begitu unik. Sebelum Muhammad SAW diutus sebagai Rasul, Khalid kerap melihat hal-hal aneh dalam mimpi. Suatu malam, Khalid bermimpi melihat Makkah diselimuti kegelapan. Begitu pekatnya hingga ia tidak bisa melihat telapak tangannya sendiri. Lalu tiba-tiba muncul cahaya dari sumur Zam-zam. Cahaya itu naik ke langit menerangi Ka’bah dan sekitarnya. Kegelapan akhirnya sirna, cahaya terang menerangi seantero Makkah. Kemudian cahaya itu melesat ke Yatsrib. Begitu terang sinarnya. Hingga Khalid bisa melihat pepohonan kurma di Yatsrib yang sedang berbuah.

Esok malamnya Khalid kembali bermimpi aneh. Kali ini dia melihat neraka. Dari pinggir neraka ia menyaksikan beragam siksaan mengerikan. Lalu, tiba-tiba ayahnya mendorongnya dari belakang. Hampir saja ia terperosok. Namun Rasulullah muncul dan berusaha menyelamatkannya.

Khalid yakin mimpi-mimpi tersebut bukan sekadar bunga tidur, pasti ada isyarat tertentu di baliknya. Karena itu, ia meminta Amru bin Said, saudara kandungnya, untuk mentakwilkannya. Berdasar mimpi itu Amru bin Said meramalkan bahwa dari Bani Abdul Muthallib akan lahir tokoh besar yang menyelamatkan umat manusia. Sumur Zam-zam adalah isyarat untuk Bani Abdul Muthallib, karena Abdul Muthallib menemukan kembali sumur itu setelah lama terkubur.

BACA JUGA: 5 Alasan Mengapa Negeri Palestina Begitu Mulia dan Harus Dibela

Khalid langsung teringat nama Muhammad. Semua orang di Makkah mengenalnya, karena cucu Abdul Muthallib tersebut sangat jujur dan bisa dipercaya. Khalid menemui Abu Bakar sahabat dekat Rasulullah. Setelah berbicara panjang lebar, Abu Bakar mengantarkannya menemui Rasulullah.

“Ajaran apa yang anda bawa?” tanya Khalid.

“Aku mengajak orang menyembah Allah. Tiada sekutu baginya. Muhammad adalah hamba dan utusannya. Tinggalkan ajaran menyembah batu yang tidak bisa mendengar, melihat, memberi manfaat dan petaka,” jawab Rasulullah mengenalkan Islam kepadanya.

Jawaban itu menghilangkan keraguan khalid. Ia langsung memeluk Islam dan tersadar bahwa inilah ajaran yang benar.

Menurut ahli tarikh Islam, Khalid adalah pria kelima yang masuk Islam. Ia bersyahadat setelah Ali bin Thalib, Abu Bakar, Zaid bin Haritsah dan Saad bin Abi Waqqash. Meski demikian, Khalid merahasiakan agama Islam dari keluarga besarnya untuk menghindari risiko-risiko buruk. Terutama dari ayahnya yang sangat fanatik dengan ajaran syirik.

Ketika Rasulullah mulai berdakwah dengan terang-terangan. Identitas orang yang masuk Islam ikut terkuak satu persatu. Sebagaimana tokoh quraisy lainnya, amarah Said bin Ash meledak-ledak ketika tahu darah dagingnya telah meninggalkan agama nenek moyang. Said sangat murka hingga ia hantam kepala Khalid dengan tongkat sampai patah.

“Berani-beraninya kamu mengikuti Muhammad! Padahal dia menentang kaumnya. Ajarannya menghina tuhan-tuhan kami dan menista ajaran nenek moyang kami,” bentak said dengan mata memerah.

Said mengancam tidak tidak akan memberinya makan. Tapi khalid tidak menganggapnya sebagai masalah besar, “Jika engkau tidak memberiku makan, maka Allah yang akan memberiku rezeki. Dengan karunianya aku bisa terus hidup.”

Said pun mengusir Khalid dari rumah. Bahkan mengancam anaknya yang lain akan mendapat perlakuan serupa jika berani berbicara dengan Khalid. Meski harus kehilangan banyak fasilitas dan kenyamanan hidup, Khalid tetap tabah dan istiqomah.

Rasulullah SAW lalu menampung Khalid yang tinggal sebatang kara. Namun, ketika gangguan orang Quraisy semakin keras, Rasulullah SAW menghimbau Khalid dan beberapa sahabat lain untuk hijrah ke Habasyah. Rombongan muhajirin tersebut dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib.

Sebagai tokoh yang disegani di Makkah, Said bin Ash sangat malu sekaligus geram karena anaknya memeluk Islam. Ia pun memutuskan pindah ke Dharibah untuk menenangkan diri. Namun, ia justru semakin tertekan ketika putranya yang lain, Amru bin Said, mengikuti jejak Khalid. Tak hanya itu, Amru mengajak Aban dan Al-Hakam hijrah bersama-sama ke Habasyah.

Beban pikiran bertubi-tubi membuat Said jatuh sakit. Dalam kondisi terpuruk itu sempat keluar omongan, “jika aku sembuh, maka tuhan anakku tidak akan disembah orang-orang Makkah selamanya.”

Khalid mendengar berita tersebut. Karena itu, ia berdoa agar ayahnya tidak diberi kesembuhan. Doanya pun terkabul karena akhirnya Said meninggal akibat sakit yang dideritanya.

Khalid dan Amru hidup bahagia di Habasyah. Di bumi hijrah Khalid diberi satu anak lelaki dan satu perempuan. Mereka diberi nama Said dan Amah.

Rombongan muhajirin di Habasyah baru kembali pada tahun 7 H. Saat itu Rasulullah berada di Khaibar mengepung orang yahudi yang berkhianat. Rombongan tersebut langsung menyusul Rasulullah membawa termasuk istri dan anak-anak mereka. Rasulullah begitu bahagia menerima kedatangan muhajirin, bahkan memberi mereka bagian ghanimah meski tidak ikut bertempur.

Dalam suatu kesempatan, Khalid mengungkapkan kesedihannya tidak bisa membantu Rasulullah berjihad.

“Kenapa kamu tidak bahagia? Jika sahabat-sahabatmu hanya berhijrah sekali. Kalian sudah berhijrah dua kali.” Rasulullah membesarkan hati Khalid.

“Aku bahagaia dengan hal itu, Rasulullah.”

“Nah, itulah keutamaan kalian.”

Setelah berada di Madinah, Rasulullah benar-benar memaksimalkan potensi yang dimiliki Khalid. Beliau menugaskannya sebagai sekretaris yang menulis surat dan dokumen penting. Khalid adalah sahabat yang menulis teks perjanjian antara Rasulullah dengan warga Thaif. Khalid pula yang menulis surat balasan Rasulullah untuk Musailamah yang mengikrarkan diri sebagai nabi palsu. Khalid pula yang dipilih untuk menulis surat-surat Rasulullah kepada para raja dan pemimpin kabilah di jazirah Arab.

Yang mengejutkan, cincin yang dipakai Rasulullah sebenarnya milik Khalid bin Said. Rasulullah pernah melihat cincin unik melingkar di jari Khalid.

“Apa ukiran dalam cincin ini?”

“Muhammad rasul Allah.”

Rasulullah lalu meminta cincin itu dan memakainya sebagai cincin kenegaraan hingga wafat. Setelah itu, cincin tersebut diwariskan kepada Abu Bakar, Umar hingga Utsman. Sayangnya, pada masa Utsman cincin legendaris itu hilang.

Selain sebagai sekretaris, Rasulullah pernah mengangkat Khalid sebagai petugas pengumpul zakat untuk wilayah Yaman. Dia dikirim bersama Muad bin Jabal yang bertugas sebagai dai. Kedua sahabat senior itu tinggal di Yaman hingga tersiar berita Rasullullah telah wafat. Akhirnya, mereka berdua kembali ke Madinah dan memulai peran baru di bawah kepemimpinan Abu Bakar As-Shiddiq. (*)

Ujian Keimanan Pasangan Beriman

 

Kasak-kusuk tentang ajaran baru yang dibawa Muhammad telah menyebar seantero Makkah. Meski mayoritas penduduknya tak peduli berita itu, tapi para tetua Quraisy mulai mencium benih-benih ancaman. Bagi beberapa orang, di saat hukum adat jahiliyah mengakar erat di Jazirah Arab, kehadiran Islam serasa oase di tengah padang pasir tandus. Itu pula yang dirasakan oleh Ayyas bin Abi Rabiah.

Ayyas adalah putra Abu Rabiah atau Amru bin Mughirah, tokoh Quraisy dari Bani Makhzum. Ibunya bernama Asma binti Makhramah, tapi orang Quraisy lebih mengenalnya dengan nama Ummu Julas. Ummu Julas juga ibu kandung Abu Jahal, paman Rasulullah. Ayyas masih terhitung saudara seibu Abu Jahal namun beda ayah.

Ayyas tahu betul bahwa keluarga bersarnya dari Bani Makhzum benci setengah mati terhadap Muhammad dan Islam. Ia juga sadar banyak mata-mata Quraisy di sekitar rumah nabi mengamati siapa saja yang menjadi pengikut Rasulullah. Tak mau ambil risiko, Ayyas pun menemui Abu Bakar yang telah lebih dahulu masuk Islam.

Ayyas banyak bertanya tentang Islam. Abu Bakar yang sudah lama bersahabat dengan Rasulullah menerangkan betapa indahnya ajaran tauhid. Dibacakannya pula ayat-ayat Al-Quran yang lebih indah dari syair yang pernah digubah sastrawan Arab.
Sepulang ke rumah, Asma bin Salamah, istri Ayyas menceritakan pertemuannya dengan Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah. Muslimah pertama tersebut mengajak Asma memeluk Islam dan mentauhidkan Allah. Kebetulan itu membuat pasangan Ayyas-Asma’ tak sabar bertemu nabi untuk mengikrarkan syahadat.

Memeluk Islam menjadi karunia yang disyukuri Ayyas. Apalagi setelah istrinya bermimpi tentang hari Akhirat. Asma melihat dirinya dicampakkan ke neraka, ia berusaha lari menjauh ke sebuah lembah hijau yang dipenuhi rerumputan dan terdapat mata air. Ayyas mengatakan kepada istrinya bahwa mimpi itu adalah isyarat. Asma turut bergembira karena Islam telah menyelamatkannya dari neraka.

Lama kelamaan, Ayyas tak bisa lagi menutupi keIslamannya dari bani Mahzum. Mereka memang marah besar, terutama Ummu Julas. Wanita itu tidak terima jika darah dagingnya meninggalkan agama nenek moyang. Baginya, adat dan tradisi adalah harga mati yang tak bisa ditawar.

“Sungguh, muhammad datang membawa kebaikan dunia akhirat,” kata Asma’ suatu hari kepada ibu mertuanya.
“Jadi kamu ingin mengulang apa yang dikatakan Muhammad mengenai kebangkitan dan perhitungan Amal?” sahut Ummu Julas.

Ayyas lalu angkat bicara, “Allah telah berfirman bahwa manusia akan memetik apa yang diusahakan. Hasilnya akan diperlihatkan kepadanya.”
“Sudah, sudah,” kata ummu Julas menghentikan Nasihat putranya.

Satu persatu ancaman dan intimidasi mulai dirasakan keluarga Ayyas. Ibunya pun tak lagi peduli bahkan jika sewaktu-waktu Bani Mahzum membuhnya. Demi mempertahankan keyakinan, Ayyas memilih hijrah ke Habasyah bersama puluhan kaum muslimin lainnya. Ia baru pulang ke Makkah setelah mendengar Rasulullah berhijrah ke Madiah. Kepulangan Ayyas tiada lain untuk menyusul Rasulullah.

Hijrah yang gagal
Umar bin Khattab mengajak Ayyas dan Hisyam bin Ash hijrah bersama-sama, agar tak ada orang Quraisy berani menggangu perjalanan mereka. Ketiganya sepakat bertemu di Bani Ghiffar. Esok harinya, hanya Ayyas dan Umar yang sampai di lokasi. Hisyam bin Ash tak bisa datang karena disekap oleh kakaknya, Amru bin Ash.

Keduanya pun melanjutkan perjalanan hingga sampai di Quba. Ternyata Abu Jahl dan al-Harits bin Hisyam, menyusul mereka hingga tempat tersebut. Kedatangan mereka tiada lain untuk mengajak saudaranya pulang. Abu Jahal bercerita bahwa Ummu Julas telah bersumpah untuk tidak menyisir rambut, berdiri di bawah terik matahari dan terus menyiksa diri hingga Ayyas pulang. Tentu saja, omongan ini hanya bualan Abu Jahal untuk memperdaya Ayyas.

Melihat Ayyas mulai terbujuk omongan Abu Jahal, Umar mengingatkan, “Kedua orang ini menipumu. Hati-hatilah. Jika ibumu merasa gerah, ia pasti akan menyisir rambutnya. Jika ia kepanasan, ia akan berteduh.”
Abu Jahal tak mau kalah dengan Umar. Ia terus merayu adiknya pulang ke Makkah. Lama kelamaan Ayyas tak lagi curiga kepadanya. Ia mantap ingin kembali menjenguk ibunya sekaligus mengambil harta yang tak sempat ia bawa. Umar tak putus asa, ia menawarkan separuh hartanya agar Ayyas mengurungkan niatnya. Ia tak ingin saudara seimannya itu diperdaya saudara kandungnya yang masih musyrik.

Tekad Ayyas sudah bulat, Umar tak bisa mencegah, tapi ia tak patah arang. “Ayyas, jika seperti itu keinginanmu, bawalah untaku ini. Unta ini jinak, gesit dan cepat. Jangan pernah turun dari unta ini. Jika kamu melihat gelagat mencurigakan dari kedua orang itu, segera paculah unta ini.”
Kata Umar sembari mendoakan Ayyas dilindungi Allah.

Di tengah perjalanan, apa yang dicemaskan Umar terjadi, Abu Jahal pura-pura menumpang unta Ayyas. Ayyas tak menaruh curiga sama sekali sehingga Abu Jahal dengan mudah meringkus dan mengikatnya. Keduanya menyeret Ayyas hingga ke Makkah. Sesampai di kota kelahirannya, Ayyas menjadi bulan-bulanan algojo bani Makhzum. Tak orang Quraisy yang mau melindungi orang yang mereka anggap pengkhianat. Termasuk Ummu Julas sekalipun.
“Siksalah dia akan tetapi jangan kalian bunuh. Aku hampir tidak ingat bahwa aku memiliki anak yang bernama Ayyas,” kata ummu Julas.

Ayyas ditempatkan di tahanan bersama Hisyam bin Ash. Mereka terus disiksa hingga tersiar isu keduanya telah murtad. Namun, Rasulullah di Madinah tak pernah melupakan mereka. Beliau terus berdoa agar Allah menyelamatkan Ayyas, Hisyam dan seluruh kaum muslimin yang tak bisa berhijrah. Pada akhirnya, Allah menurunkan surat Az-Zumar: 53-55 terkait kondisi Ayyas dan sahabat-sahabatnya. Lewat Ayat itu Allah memerintahkan mereka agar tidak putus asa dari Rahmat-Nya.

Setelah perang Badar, Rasulullah memerintahkan Walid saudara kandung Khalid bin Walid yang telah masuk Islam untuk menyelamatkan Ayyas dan Hisyam. Walid segera menjalankan misi tersebut secara rahasia. Setibanya di Makkah, Walid langsung menemui Asma istri Ayays saat hari sudah malam. Asma lalu mengatarkannya ke tempat suaminya disekap.
Sambil mengendap-endap, Walid memanjat dinding, menyusup ke dalam tahanan. Ia putus belenggu yang merantai Ayyas dan Hisyam menggunakan pedangnya. Tanpa menunggu waktu, mereka bertiga melarikan diri.

Asma sudah menunggu mereka di luar Makkah sambil berharap-cemas. Akhirnya sosok yang ia tunggu tiba. Namun, tak ada waktu bagi Asma melepas rindu dengan suaminya. Mereka langsung memacu kendaraan menuju Madinah. Satu-satunya tempat aman bagi mereka untuk menjaga iman. [ali]

Dalam Dirinya Terkumpul Semua Keistimewaan

Abdullah bin Qais bukan orang Quraisy, melainkan dari suku Asy’ar yang berasal dari Yaman. Antara kampung ia tinggal dengan kota Makkah terbentang jarak ratusan mil. Namun, itu bukan halangan untuk menjemput hidayah.

Nama Abdullah bin Qais memang sedikit asing, karena orang lebih mengenalnya dari nama kunyahnya, Abu Musa Al-Asy’ari. Beliau termasuk assabiqunal awwalun atau generasi awal pemeluk Islam. Beliau mendengar tentang risalah Islam dan Muhammad sang nabi terakhir melalui berita yang dibawa jemaah haji dan para pedagang lintas negara. Ia tertarik dengan cerita tentang muhammad serta agama yang mengajarkan tauhid dan meninggalkan penyembahan berhala.

Akhirnya, ia putuskan untuk menemui sang Nabi di Makkah. Perjumpaan itu memantapkan dirinya untuk mengucap dua kalimat syahadat. Rasulullah mengajarkan semua hal tentang Islam kepadanya, khususnya hafalan Al-Quran. Setelah ilmu yang ia kuasai dirasa cukup, Rasulullah memerintahkannya pulang untuk menjadi dai bagi kaumnya, Bani Asy’ar. Tugas utamanya ialah mengajak orang memeluk Islam dan meninggalkan kesyirikan. Tak banyak kendala ditemui Abu Musa dalam berdakwah. Bani Asy’ar menerima Islam dengan mudah karena ajaran Islam sesuai dengan karakter dan kepribadian mereka yang lembut.

Beberapa tahun kemudian, Bani Asy’ar mendengar berita bahwa Rasulullah telah berada di Madinah. Mereka terpanggil untuk turut berhijrah dan membela Rasulullah. Sekitar 50-an anggota bani Asy’ar berangkat ke Madinah melalui jalur laut. Abu Musa ikut dalam perjalanan ini bersama kedua kakaknya, Abu Ruhm dan Abu Amir. Namun, Allah menentukan takdir lain, kapal yang mereka tumpangi terhalang badai dan hanyut hingga ke Habasyah. Niat hijrah ke Madinah berubah menjadi hijrah ke Habasyah.

Di negara tanduk Afrika tersebut, rombongan Bani Asy’ar berjumpa dengan kelompok muhajirin yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib. Ja’far menyarankan mereka menetap karena keberadaannya di negeri raja Najasyi atas perintah Nabi. Barulah pada tahun ke-7 H, rombongan muhajirin tersebut dapat berhijrah ke Madinah.

Sehari sebelum mereka sampai di tujuan, Rasulullah mengabarkan kepada para shahabat, “Besok sekelompok orang akan datang menemui kalian. Hati mereka lebih halus kepada Islam daripada kalian.”
Sementara itu, muhajirin Bani Asy’ar tak kalah bahagia. Sepanjang jalan mereka mendendangkan syair suka-cita:
Ghadan naltaqi al-ahibbah. Muhammad wa hizbah.

Besok kita kan bersua orang tercinta. Muhammad dan golongannya.
Sesampai di madinah, golongan muhajirin dan ashar bertemu. Rasa rindu yang tertahan bertahun-tahun akhirnya terluapkan. Bani Asy’ar menjabat tangan Rasulullah dan para shahabat. Hal itu merupakan bentuk ramah tamah yang berlaku di tempat mereka, namun menjadi sesuatu yang baru bagi penduduk Madinah. Sejak saat itu, Rasul menetapkan bersalaman tangan sebagai adab dan sunnah saat bertemu saudara sesama muslim.

Abu Musa sadar bahwa dirinya terlambat dalam melayani Nabi dibanding shahabat lain. Ia juga merasa bahwa kesempatan yang tersisa tidak banyak. Karenanya setiap momen bersama Rasulullah ia maksimalkan dengan banyak belajar. Dalam waktu singkat, shahabat bertubuh kurus ini menjadi salah satu dari 6 ulama shahabat. Mereka semua yaitu: Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit dan Abu Musa Al-Asy’ari. Bahkan, di saat nabi masih hidup, Abu Musa kerap memberi fatwa bagi para sahabat lain tentang hukum-hukum Islam.

Selain itu, Abu Musa memiliki suara merdu yang tak dimiliki orang lain. Kala ia membaca Al-Quran, orang yang mendengarnya larut dalam lantunannya. Mereka benar-benar menikmati indahnya tilawah sembari menyelami makna dan arti kalamullah tersebut. Rasulullah bahkan menyanjungnya dengan pujian, “Sungguh, lelaki ini telah diberi suara yang bagus seperti suara Nabi Daud.”
Nabi Daud memang seorang nabi yang dikaruniai Allah SWT suara yang luar biasa indahnya. Ketika beliau melantunkan bacaan Zabur atau sedang berdzikir, pastilah burung-burung, gunung-gunung dan berbagai binatang ikut mendengarkan seraya bertasbih mengiringi alunan suara beliau.

Suatu malam Abu Musa membaca Al-Quran di masjid Nabawi. Istri-istri Nabi SAW yang tinggal di dekat masjid terbangun, lalu mendengarkan bacaannya. Ketika tiba waktu Subuh, dia diberitahu tentang hal itu, Abu Musa berkata, “Andaikan aku tahu, aku pasti lebih memperindahnya sehingga membuat pendengarnya semakin merindukan bacaanku.”

Keistimewaan itu membuat para shahabat hormat kepadanya. Ketika Umar bin Khattab bersama Abu Musa , ia kerap memintanya melantunkan bacaan Al-Quran. Bacaan Abu Musa membuaat para shahabat kembali mengingat Allah setelah disibukkan dengan urusan duniawi. Ini pula yang dilakukan Muawiyah saat Abu Musa mengunjungi Damaskus. Setiap malam, Muawiyah pergi ke rumah tempat Abu Musa singgah, tiada lain untuk mendengarkan bacaannya.

Abu Musa juga turut andil dalam kancah jihad dan perjuangan bersenjata. Rasulullah pernah mengirimnya dalam satuan regu yang dipimpin oleh Abu Amir Al Asy’ari. Mereka mengejar sisa-sisa pelarian Perang Hunain yang bersembunyi di Authas. Mereka berhasil menyusul Duraid bin Ash-Shimmah. Ia adalah salah satu penyair bani Jusyum yang piawai berperang. Namun, Abu Amir berhasil melumpuhkannya. Beberapa pasukannya juga berhasil diringkus. Tiba-tiba salah satu pasukan musyrik memanah Abu Amir dan mengenai lututnya.

“Paman, siapa yang memanahmu?” tanya Abu Musa. Tak ada kata keluar dari mulut Abu Amir. Ia hanya menunjuk ke arah laki-laki tersebut.
Abu Musa langsung mengejarnya. Laki-laki itu reflek berlari melarikan diri. Abu Musa lantas berteriak lantang, “Apakah kamu tidak malu? Bukankah kamu orang Arab? Apakah kamu tidak berani?”
Orang musyrik itu berhenti. “Cukup!” ujarnya.

Tanpa babibu, kedua pria itu langsung berjibaku dan beradu senjata. Abu Musa mampu mengatas perlawan musuhnya. Dengan dua kali sabetan pedang, musuhnya tersungkur di tanah. Setelah itu Abu Musa kembali. “Allah telah membunuh orang yang melukaimu,” katanya menghibur Abu Amir.

Dunia jihad inilah yang dipilih Abu Musa setelah pensiun dari jabatan Gubernur Kufah dan Bashrah. Sebelumnya, hari-hari ia lalui dengan melayani ummat dan mengajarkan Al-Quran. Kini, Abu Musa menyibukkan diri dengan perjuangan. Di malam harinya, waktu yang tersisa ia gunakan untuk beribadah. Dalam shalat ia temukan tempat melepas penat dan lelah.

Salah satu tabiin bernama Masruq bin Al-Ajda’ bercerita bahwa ia pernah bersama Abu Musa dalam satu pertempuran. Menjelang malam mereka singgah di rumah yang separuhnya runtuh. Saat para serdadu tidur karena kelelahan, Abu Musa shalat malam, ia melantunkan bacaan dengan suara yang bagus. Seusai shalat, munajannya berlanjut dengan berdzikir dan berdoa.

Menurut pengakuan para sahabatnya, Abu Musa berjihad dengan maksimal. Bahkan cenderung memaksakan diri. Beberapa hari sebelum ia meninggal, salah satu serdadu muda mengingatkan, “Alangkah baiknya jika engkau tidak terlalu memaksakan diri. Sayangilah diri sendiri?”

Abu Musa tersenyum. “Jika seekor kuda berlari dan sudah mendekati garis finish, dia akan mengeluarkan seluruh kemampuannya. Sementara sisa umurku lebih sedikit dari itu,” jawabnya singkat. []

HABIB BIN ZAID, Sekokoh Karang Sekuat Baja

Saat iman menghujam di dada, segala ujian dan cobaan akan terasa ringan. Tiap rasa sakit dan kesulitan akan dilihat sebagai ujian. Kala menghadapinya, bukan kesedihan yang dirasa, melainkan bahagia karena berhasil melewatinya dan membuktikan ketulusan dan kekuatan imannya kepada Allah. Inilah yang terjadi pada Habib bin Zaid, untuk mempertahankan imannya, ia rela mempertaruhkan nyawa.

Habib bin Zaid termasuk generasi awal shahabat Anshar. Sebelum berhijrah ke Madinah, Rasulullah mengirim Musab bin Umair sebagai juru dakwah. Lewat dakwah Mushab bin Umair inilah Zaid memeluk Agama Islam. Pertemuan pertamanya dengan Nabi terjadi pada peristiwa Ba’iat Aqabah kedua. Kala itu, Nabi mengumpulkan 73 shahabat dan 2 shahabiyah anshar dari kabilah Aus dan Khazraj di bukit Aqabah untuk bersumpah setia menjadi pembela dan penyebar risalah Islam.

Habib bin Zaid baktikan hidupnya untuk Islam. Ia ikut terjun dalam pertempuran-pertempuran penting. Pada perang Uhud, bersama ibunya, Ummu Umarah, Habib menjadi bagian dari pasukan Islam yang bertahan melawan pasukan kafir Quraisy. Namun, kisahnya yang paling menarik adalah saat Nabi memilihnya sebagai utusan Rasulullah kepada Musailamah al-Kadzdzab sang Nabi palsu.
Sebelum Musailamah mendeklarasikan diri sebagai Nabi, Bani Hanifiah dipimpin oleh Haudzah bin Ali. Nabi Muhammad n pernah mengirimkan shahabat Salith bin al-Amiry menyampaikan surat dakwah kepadanya. Ajakan ini diterima dengan baik dan ramah oleh Haudzah. Ia bersedia memeluk Islam sesuai ajakan Nabi n, tetapi mengajukan syarat untuk berbagi kekuasaan. Ia mengirim surat balasan tersebut dan memberikan berbagai macam hadiah bagi Nabi n, tetapi beliau tidak menanggapi syarat Haudzah.
Ketika Nabi n dalam perjalanan pulang dari Fathul Makkah, beliau mendengar kabar kematian Haudzah dari Malaikat Jibril. Beliau umumkan berita duka itu kepada para shahabat. Setelah itu beliau sampaikan sebuah ancaman baru akan terjadi.
“Akan muncul seorang pendusta yang mengaku sebagai nabi dari Yamamah. Setelah aku tiada, dia akan menjadi penjagal.”
Shahabat bertanya siapa yang akan dibunuh oleh Musailamah dan siapakah yang menjadi korbannya. Beliau menjawab, “Kalian dan teman-teman kalian.”

Prediksi Nabi di atas benar-benar terbukti. Musailamah mengangkat dirinya sebagai Nabi. Ia mendapat dukungan hingga jumlah pengikut terus bertambah besar. Khususnya dari Bani Hanifah dan penduduk Yamamah. Keberadaan mereka menjadi ancaman baru. Bahkan Musailamah berani meminta hak kenabian kepada Rasulullah saat beliau masih hidup. Dengan lancang ia mengawali suratnya, “Dari Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah.”
Nabi n mengirim balasan surat kepada Musailamah untuk membongkar kesesatannya dan menghentikan provokasinya kepada masyarakat Arab. Untuk menjalankan misi penting tersebut, Nabi n memilih Habib bin Zaid.

Habib sadar risiko yang akan dihadapinya. Misi tersebut mempertaruhkan nyawa. Namun ia siap menghadapinya. Baginya, hal itu tidak ada bedanya bertempur di medan perang melawan musuh-musuh Islam. Andai ia gugur, ia mati sebagai syahid.
Kala itu, telah menjadi etika umum bahwa seorang utusan tak boleh diganggu, dilukai apalagi dibunuh. Namun, Nabi palsu Musailamah tak mengindahkan etika tersebut. Ia perintahkan anak buahnya menangkap Habib dan menyiksanya tanpa peri kemanusiaan.
Esok harinya, Musailamah kumpulkan rakyatnya. Ia ingin menunjukkan seorang shahabat Anshar akan menjadi pendukung barunya dan murtad dari agama Islam. Jika itu terjadi, para pendukungnya akan semakin patuh dan percaya kepadanya. Wibawanya akan semakin tinggi.

Habib dibawa ke tengah kerumunan. Terlihat jelas bekas siksaan berat di sekujur tubuhnya. Setelah menghujani Habib dengan berbagai siksaan, Musailamah shahabat Anshar itu akan berubah haluan.
Musailamah bertanya dengan angkuh kepada Habib bin Zaid, “Apakah engkau mengakui Muhammad itu sebagai utusan Allah?”
“Ya, benar. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah,” kata Habib.
Musailamah mulai geram, “Apakah engkau mengakui aku juga utusan Allah?”
“Apa? Apa yang kamu katakan? Aku tidak mendengar apapun,” kata Habib pura-pura tuli.
Amarah Musailamah langsung meledak hingga ke ubun-ubun. Ia bertanya sekali lagi, “Apakah engkau mengakui Muhammad itu sebagai utusan Allah?”
“Benar, saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah!” Jawab Habib mantap.
“Apakah engkau juga mengakui aku sebagai utusan Allah?”
Habib kembali pura-pura tak mendengar, “Apa yang kamu katakan. Aku tidak mendengar apa-apa.”

Kemarahan Musailamah tak terbendung lagi. Ia memerintahkan algojo memberinya pelajaran. Sang algojo menusukkan pedang ke tubuh Habib perlahan-lahan supaya ia merasakan sensasi kepedihan tak terperikan. Musailamah seakan tak puas melihat penderitaan Habib tersebut. Ia lalu perintahkan menyayat dan mengiris tubuh Habib sedikit demi sedikit dan sepotong demi sepotong.
Tak bisa dibayangkan rasa sakit yang menjadi penderitaan Habib bin Zaid. Siksaan berat itu benar-benar menguji keimanannya. Tapi, bukan teriakan ampun yang keluar dari mulut shahabat mulia tersebut, melainkan kalimat tauhid La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Ia bertekad menjaga keimanannya hingga hembusan nafas terakhir.

Habib bin Zaid lebih memilih mati dalam keimanan. Meski dalam kondisi tersebut ia mendapat ruhsah berpura-pura kafir. Ancaman maut yang dihadapinya benar-benar nyata. Ia dibiarkan hidup hanya jika mengaku beriman kepada Musailamah. Ia akan dibunuh jika masih beriman dan mengakui Muhammad sebagai Rasulullah. Tiada pilihan lain. Karena kondisi itulah, ia dibolehkan mengucapkan kalimat kufur, sedang hatinya mengingkari dan masih tetap beriman.
Kendati demikian, Habib lebih memilih mati syahid daripada harus bertaqiyah. Pilihan ini memang tidak ringan. Namun ia menjalaninya dengan tabah karena yakin pahala yang lebih besar dari Allah. [ali]