Muslim Maluku Melawan Portugis

Di Maluku, umat Islam dengan sengit melawan Portugis selama 85 tahun (1520—1605). Portugis pertama datang ke Maluku pada 1512. Tiga tahun berikutnya, Portugis diizinkan mendirikan loji di Hitu sebagai tempat tinggal dan tempat penampungan rempah-rempah sehingga terjalinlah hubungan perdagangan antara Hitu dan Portugis.

LATAR BELAKANG PERLAWANAN

Namun demikian, hubungan ini tidak berlangsung lama karena ulah Portugis sendiri. Pada 1516 orang Portugis membawa minuman keras dari kapal untuk dijual. Malah orang Portugis sendiri yang minum sampai mabuk serta membuat kekacauan dalam pasar cengkeh di Hitu. Kejadian ini menimbulkan kemarahan masyarakat Hitu terhadap orang Portugis. Mereka menuntut penguasa Hitu, yaitu Empat Perdana, agar menghukum orang Portugis karena telah melanggar adat dan agama. Akhirnya orang Portugis disuruh pindah ke bagian selatan Hitu. (Maryam RL Lestaluhu, Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam Terhadap Imperialisme di Daerah Maluku, hlm. 39-40)

Atas tindakan ini, pada 1520 Portugis menyerang Hitu dengan mempengaruhi penduduk di bagian selatan jazirah itu untuk membantu mereka. Menghadapi situasi itu, Empat Perdana Menteri tidak tinggal diam. Mereka memerintahkan seluruh rakyat turun ke pantai menghadapi musuh yang akan mendarat. Rakyat Hitu tidak gentar menghadapi serangan Portugis karena mati bagi mereka saat itu adalah mati syahid. Pertempuran satu lawan satu berlangsung dengan seru sampai petang, namun tidak ada kemenangan yang diraih oleh salah satu pihak. Pasukan Portugis mundur karena sudah malam, lalu berlayar pulang ke pangkalannya. Serangan pertama pihak Portugis ini merupakan awal permusuhan antara Hitu dan Portugis yang berlangsung selama ± 85 tahun. (hlm. 43-44)

PERLAWANAN MUSLIM HITU

Pertempuran kembali terjadi antara rakyat muslim Hitu dan orang Portugis pada 1525. Banyak orang Portugis mati terbunuh. Penduduk Hitu Selatan yang dulu membantu penyerangan Portugis pada 1520 juga mendapatkan balasan sehingga mereka lari menyelamatkan diri. Rakyat Hitu memperoleh kemenangan yang gemilang. Delapan tahun berikutnya (tahun 1533), Portugis mencoba mempengaruhi negeri Hatiwe, yaitu salah satu negeri Islam di jazirah Hitu bagian selatan, agar membantu mereka menyerang Hitu dari laut dan darat. Sebelum rencana penyerangan Portugis itu terlaksana, pasukan Hitu bersama pasukan bantuan dari Jepara menyerang Hatiwe terlebih dahulu. Pasukan Hitu tidak hanya menunggu Portugis di tempat, tapi diperintahkan untuk menghadang pasukan musuh dalam perjalanan sebelum tiba di Hitu. Dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi sepanjang perjalanan ke Hitu, pasukan Portugis banyak menderita kerugian karena banyak yang mati. Senjata mereka banyak pula yang jatuh ke tangan pasukan Hitu. Pasukan Portugis mengundurkan diri ke Hatiwe sambil menunggu bantuan dari Goa. Namun bantuan yang ditunggu baru tiba pada 1537 dan terjadilah pertempuran antara pasukan Hitu dan pasukan Portugis.

Pada 1570 Portugis kembali menyerang Hitu di bawah pimpinan Sancho. Karena serangan ini, Empat Perdana Menteri bersama rakyat Hitu sampai harus berpindah ke Seram Barat. Melihat keberangkatan mereka, Portugis merasa puas karena musuhnya di jazirah Hitu sudah tidak ada lagi. Namun demikian, pada 1574 Empat Perdana Menteri bersama rakyat Hitu ditambah bantuan penduduk Seram Barat melakukan penyerangan dan berhasil mengusir Portugis dari Hitu. Keadaan pun menjadi tenang kembali. Namun, hal ini hanya bertahan selama 6 tahun. Pada 1580 pasukan Portugis di bawah pimpinan Panglima Paul Dirk Kastanya kembali datang dan membuat kekacauan. Dua tahun berikutnya, Portugis menyerang Mamala. Dalam pertempuran yang berlangsung 2 hari itu, orang-orang Mamala berhasil menghalau pasukan Portugis setelah dibantu oleh Perdana Menteri Tahalele II dengan pasukannya dari Hitu. (hlm 44-56)

PERLAWANAN MUSLIM TERNATE

Perlawanan bersenjata terhadap Portugis juga terjadi di Ternate. Pada mulanya, kerajaan Islam yang berada di Maluku bagian utara ini menjalin hubungan dagang dan perjanjian damai dengan Portugis. Namun setelah Portugis memonopoli perdagangan, menyebarkan agama Katolik dengan licik dan paksaan, serta mengadu domba antara penduduk Maluku, orangorang Ternate pun menjadi benci kepada mereka. Portugis juga sering turut campur dalam urusan pemerintahan dan bertindak sewenang-wenang terhadap para sultan. Hal ini menimbulkan kemarahan luar biasa dari masyarakat Maluku Utara terhadap bangsa Portugis. Kemarahan ini semakin bertambah ketika Sultan Khairun dan ibunya ditangkap dan diasingkan dalam benteng. Mereka berdua akhirnya dibebaskan karena rakyat memberontak. Di seluruh daerah kekuasaan Sultan Ternate, timbul kebencian terhadap Portugis. Kemarahan terhadap Portugis mencapai puncaknya ketika Sultan Khairun dibunuh secara kejam pada 18 Februari 1570 dalam benteng oleh pengkhianatan de Mesquita yang menjabat sebagai Gubernur Portugis di Ternate pada waktu tersebut. Akibat kejadian itu, Sultan Babullah yang telah menggantikan ayahnya segera bertindak keras terhadap Portugis, dengan mengusir mereka yang tinggal di luar benteng.

Sementara benteng Ternate (Sau Paulo) dikepung, Sultan Babullah mengirimkan angkatan perangnya ke Ambon di bawah pimpinan Kaicili Leliato untuk menghajar Portugis. Walaupun Kerajaan Tidore bermusuhan dengan Ternate, namun dorongan solidaritas Islam telah memaksa para sultan dan rakyat Maluku Utara membantu Ternate. Kepungan terhadap benteng telah mengakibatkan timbulnya wabah dan kelaparan sehingga para penghuni dalam benteng mulai menderita penyakit busung lapar. Melihat penderitaan orang-orang yang terkepung itu, timbullah rasa kasihan dalam hati Sultan Babullah. Dia kemudian menawarkan beberapa usul. Pertama, Portugis harus menyerahkan benteng dan meninggalkan Ternate dalam waktu 2 X 24 jam. Kedua, Orang-orang Portugis harus menyerahkan pembunuh Sultan Khairun dan kaki tangannya. Sejak saat itu, hubungan Portugis dengan Kesultanan Ternate tetap tegang sampai tiba saatnya mereka meninggalkan Maluku untuk selamanya pada 1606, setelah Ternate mengalahkan Portugis dengan bantuan Belanda dan Hitu. (hlm. 57-66)

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Nur Muhammad, Makhluk Pertama?

Seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan Rabiul Awwal tampak ramai dengan geliat peringatan Maulud Nabi. Tapi bukan masalah Maulud Nabi pembahasan kita kali ini. Melainkan konten yang sering disampaikan oleh penceramah, khathib maupun yang menulis tentang kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam. Salah satu konten yang berseliweran di mata dan telinga adalah tema Nur Muhammad. Segolongan kaum muslimin ada yang meyakini bahwa pertama yang dicipatakan Allah sebelum segala sesuatu ada adalah Nur Muhammad. Selanjutnya, penafsiran tentang Nur Muhammad berikut cerita tentangnya sangat banyak versi disebutkan oleh orang-orang yang meyakininya.

Ada yang menyebutkan bahwa segala sesuatu diciptakan dari nur (cahaya) Muhammad. Ada lagi yang mengatakan bahwa Muhammad diciptakan dari nur Allah. Sebagian lagi mengatakan, “Kalaulah tidak ada dia (Muhammad), matahari, bulan, bintang, lauh, dan Qolam tidak akan pernah diciptakan.”Bahkan ada lagi yang berkata bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah nyawa suci yang merupakan penampakan dzat Tuhan. Serta pendapat-pendapat lain yang sebagiannya kelewat batas dalam mengagungkan Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Asal Penciptaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam

Riwayat paling pokok yang dijadikan alasan meyakini nur Muhammad adalah,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قاَلَ، قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ، بأبى أنت وأمى! أَخْبِرْنِى عَنْ أَوَّلِ شيْئٍ خَلَقَهُ الله ُقَبْلَ ْالاَشْيَاءِ؟ قَالَ يَا جَابِرُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ قَبْلَ ْالاَشْيَاءَ نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ  (رواه عبد الرزاق بسنده.)

Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, Aku berkata, wahai Rasulullah, Ceritakanlah tentang awal perkara yang Allah ciptakan sebelum segala sesuatu ! Maka Rasul berkata, “Wahai Jabir, Sesungguhnya Allah Taala sebelum segala sesuatu, Ia menciptakan Nur Nabimu, yang berasal dari Nur-Nya.

Riwayatkan ini disandarkan pada Abdur Rozzaq, hanya saja banyak peneliti yang mengatakan tidak menemukan riwayat tersebut dalam mushannafnya, sehingga sulit untuk dilacak jalur sanadnya hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Padahal ini menyangkut keyakinan yang sangat krusial. Dan konsekuensi dari keyakinan yang dilandasi riwayat tersebut bertentangan dengan banyak ayat dan hadits, baik yang tersirat maupun tersurat.

Paham yang meyeakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diciptakan dari cahaya, bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang shahih,

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api dan Adam tercipta dari apa yang disifatkan untuk kalian.” (HR. Muslim: 2996)

Syaikh al-Albani dalam Ash Shahihah setelah menyebutkan keshahihan hadits tersebut berkata, “Dalam hadits ini terdapat isyarat atas kebatilan sebuah riwayat yang populer di kalangan orang-orang yaitu, “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah nur Nabimu wahai Jabir.” Dan riwayat-riwayat semisalnya yang menyatakan bahwa Rasulullah tercipta dari cahaya. Sementara, hadits yang shahih ini menjadi dalil yang sangat jelas bahwa hanya para malaikat saja yang tercipta dari cahaya, bukan Adam dan bukan pula anak keturunannya.”

 

Baca Juga: Nabi Muhammad Keturunan Jawa?

 

Al-Qur’an juga dengan jelas menyebutkan bahwa secara penciptaan, Nabi Muhammad adalah manusia sebagaimana rasul-rasul sebelumnya dan juga manusia pada umumnya. Allah berfirman,
“Katakanlah, “Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul” (QS al-Isra’ 93)

Makhluk yang Pertama Diciptakan
Adapun tentang awal penciptaan, riwayat tentang nur Muhammad tersebut juga bertentangan dengan hadits yang jelas shahih secara sanad dan lebih sharih secara makna,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman, “Tulislah!” Pena berkata, “Wahai Rabbi, apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah ketetapan segala sesuatu hingga tegaknya hari Kiamat.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi)

Keyakinan bahwa semua yang di alam ini diciptakana karena Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, juga berlebihan. Tak ada dalil shahih yang menunjukkan hal ini. Yang pasti, diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
(QS. ad-Dzariyat/51:56)

Dan Allah menciptakan langit, bumi dan yang lain agar manusia menyadari dan mengakui kekuasaan Allah. Allah Ta’ala berfirman,

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu- Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalâq/65:12)

Kecintaan yang tulus kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak membutuhkan tambahan-tambahan kedustaan, atau sikap pengagungan yang melewati batas. Kemuliaan Nabi shallallahu alaihi wasallam tetaplah tinggi dan agung sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits yang shahih, dan tidak berkurang sedikitpun penghormatan kita dengan menampik riwayat-riwayat yang tidak jelas keshahihannya. Wallahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Abu Umar Abdillah

Strategi Portugis Melumpuhkan Islam Di Nusantara

Ekspansi Portugis ke Nusantara pada abad 16 diwarnai oleh semangat anti-Islam. Sebab, Semenanjung Iberia –negeri mereka– pernah dikuasai oleh pemerintahan Muslim (711-1492). Dengan semangat ini, armada Portugis menjelajahi Laut Merah, Laut Arab dan Samudra Hindia untuk mengkristenkan umat Islam dan melakukan perdagangan. Untuk itu, Pulau Socotra di Selat Aden direbut pada 1505. Pada 1507, Hormuz, salah satu pusat perdagangan di Teluk Persia, juga ditaklukkan. Agar bisa menaklukkan Jeddah, sebuah armada laut Mamluk dihancurkan di Laut Merah pada 1509.

 

Mengkristenkan Pribumi

Pada 1500 dibentuk suatu komite bernama komite Cabral. Komite ini bertugas memberikan informasi kepada penguasa Calicut tentang permusuhan Portugis terhadap Muslim. Komite Cabral mengultimatum umat Islam bahwa Portugis merampas kapal dan harta umat Islam sebanyak mungkin. Jika umat Islam tidak bersedia murtad ke Kristen, mereka akan dihadapi dengan senapan dan pedang. Mereka akan diperangi tanpa kasih sayang.

Alfonso D’Albuquerque berencana membelokkan Sungai Nil untuk melumpuhkan Mesir, salah satu pusat perlawanan Islam. Selanjutnya Portugis akan menaklukkan Aden sehingga terbukalah jalan untuk menghancurkan Mekah untuk selamanya. Meksipun rencana itu tidak berhasil, permusuhan terhadap Islam tetap berlanjut. Mereka merampas dan membakar kapal dagang Muslim dan mengurangi impor Mesir dari Asia sehingga Gujarat dan Aden, dua pelabuhan dagang utama itu, mengalami kerugian.

Mesir sebenarnya sudah diminta untuk mencegah Kristenisasi Muslim secara paksa dan agar Portugis tidak menghalangi pelayaran ke India. Akan tetapi, Portugis rupanya telah bertekad untuk tetap menjalankan program Kristenisasi itu, sebagaimana disampaikan Raja Manuel kepada penguasa Calicut dalam suratnya, “…kami boleh percaya bahwa Tuhan kami tidak menakdirkan sesuatu yang menakjubkan seperti perjalanan kami ke India hanya untuk meningkatkan hubungan duniawi, tetapi juga untuk keuntungan spiritual dan keselamatan jiwa yang kami harus memberikan penghargaan yang lebih tinggi.” (B. J. O Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 53-54)

Pada 1511 Portugis berhasil menaklukkan Malaka. Setelah peristiwa ini, datanglah kapal-kapal Portugis berikutnya. Orang Portugis yang datang itu membawa misionaris yang giat menyebarkan agama Kristen. Franciscus Xaverius, misionaris yang masyhur, sering mengunjungi Malaka. Gereja Kristen Roma segera berdiri. Jemaatnya tidak hanya terdiri dari orang Portugis, tetapi juga orang Indo-Portugis, India, dan Cina. Orang Melayu Islam dari semula susah menerima agama Kristen. Pada 1557 Malaka sudah menjadi tempat tinggal seorang uskup, tetapi jumlah orang Kristen hanya beberapa ratus. (J. D. Wolterbeek, Geredja-Geredja di Negeri-Negeri Tetangga Indonesia, hlm. 85)

Ekspansi misionaris Portugis kemudian berlanjut ke wilayah lain di Nusantara, seperti Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Di wilayah tersebut, misi Portugis bersaing dengan dakwah Islam. Kedatangan Portugis memang antara lain untuk membendung dakwah Islam. (Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, hlm. 40-46)

 

Membangun Koalisi Melawan Islam

Untuk menghadapi kekuatan Islam, Portugis sengaja membangun koalisi bersama pihak-pihak yang berseteru dengan umat Islam. Dalam pertarungannya melawan Turki Sunni, Portugis bersekutu dengan Persia Syiah. Upayanya untuk menghancurkan monopoli perdagangan dari para pedagang Muslim di pesisir India mendapat dukungan mayoritas penduduk Hindu. Orang Portugis menyediakan senjata api bagi para penguasa Hindu. Mereka mengimpor kuda dari Arabia dan Persia ke negara-negara di India bagian selatan. Di negara-negara tersebut, binatang-binatang ini tidak dikembangbiakkan walaupun sangat berguna bagi para penguasa Hindu untuk menghadapi ekspansi Muslim di daratan utama India. Oleh karena itu, para Maharaja menjadi bergantung pada orang asing.

Di wilayah Nusantara, orang Portugis juga berupaya menjalin hubungan erat dengan negara-negara Hindu Jawa. Mereka berupaya bersikap baik dengan para pedagang Hindu di wilayah ini. Hasilnya di pelabuhan laut Malaka, elemen Hindu memajukan permukiman Portugis. Setelah penaklukan, mereka menduduki posisi paling penting dalam kehidupan perniagaan di pelabuhan. (M.A.P. Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara; Sejarah Perniagaan 1500-1630, hlm. 121-122)

Sejak dikudeta oleh Girindrawardhana pada 1478, hubungan penguasa Majapahit dengan umat Islam di Jawa menjadi buruk. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya yang menghormati Islam, Girindrawardhana sangat membenci dan memusuhi Islam. Pada masa pemerintahannya (1478-1498) itulah terjadi perang pertama antara Demak dan Majapahit. (Solichin Salam, Sekitar Walisanga, hlm. 12)

[bs-quote quote=”Untuk menghadapi kekuatan Islam, Portugis sengaja membangun koalisi bersama pihak-pihak yang berseteru dengan umat Islam. Dalam pertarungannya melawan Turki Sunni, Portugis bersekutu dengan Persia Syiah. ” style=”default” align=”center” color=”#1872a5″][/bs-quote]

Raja berikutnya, Prabu Udara, tidak jauh berbeda dengan Girindrawardhana. Karena tidak senang melihat kemajuan Demak, pada 1512 ia mengirim utusan ke Malaka menghadap Albuquerque. Utusan ini menyerahkan hadiah berupa 20 buah gamelan kecil yang terbuat dari logam, 13 batang lembing dan lainnya. Maksud pengiriman utusan tadi adalah meminta bantuan Portugis guna memerangi kerajaan Islam Demak. Hal inilah yang memaksa Demak mengangkat senjata melawan Majapahit kedua kalinya pada 1517. (Solichin Salam, Sedjarah Islam di Djawa, hlm. 43 dan Saefuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 331)

Pada 1522 panglima Portugis Henrique Leme mengadakan perjanjian persahabatan dengan raja Pajajaran. Raja Sunda ini menganggap Portugis dapat membantunya dalam perang melawan orang Islam yang di Jawa Tengah telah mengambil alih kekuasaan dari tangan raja Majapahit. Sebelum bantuan Portugis datang, Demak mengirim Sunan Gunung Jati pada 1525 untuk menduduki Banten. Dua tahun berikutnya, Sunda Kelapa berhasil diambil alih juga. Karena tidak tahu peristiwa ini, orang Portugis sempat datang ke Sunda Kelapa untuk mendirikan perkantoran berdasarkan perjanjian pada 1522. Oleh pasukan Sunan Gunung Jati, mereka ditolak dengan kekerasan senjata. (H. J. De Graaf, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, hlm. 134-135)

 

Kolom ini ditulis oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

5 Alasan Mengapa Negeri Palestina Begitu Mulia dan Harus Dibela

Dari dulu Palestina selalu mengundang perhatian. Perhatian dari sisi fadhilah yang begitu agung yang dimilikinya dan perhatian pada penjajahan yang tiada usainya yang dilakukan oleh orang-orang Zionis Israel.

Belum banyak yang mengetahui keutamaan negeri ini, sehingga masih ada Kaum muslimin yang acuh dengan urusan Palestina, dan ada juga yang berpendapat bahwa lebih baiknya orang-orang  Palestina hijrah ke luar daerahnya dan meninggalkan masjid al-Aqsha merintih sendirian diatas penjajahan Israel.

Banyak sekali nash-nash al-Quran dan Hadits yang menjelaskan akan utamanya negeri ini, setidaknya ada lima nash berikut ini yang mewakili.

 

1.Palestina Adalah Tanah Suci yang Diberkati

Allah berfirman,

يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّـهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ

 

“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.”

Ayat ini menggambarkan betapa urgensi dan mulianya tanah Palestina di sisi Allah. Ayat ini berkisah tentang Nabi Musa dan kaumnya, ketika itu Nabi Musa memerintahkan kaumnya untuk memasuki tanah yang tersucikan dan telah Allah tetapkan bagi mereka. Tanah yang dimaksud adalah Negeri Palestina dimana al-Quran menyebutnya dengan ‘al-Ardhu al-Muqaddasah’ yang bermakna negeri tempat berkumpul, berkah dan perhatian besar. Dan sebagian mengartikan al-Muqaddasah dengan kesucian.

 

2. Kiblat Pertama Kaum Muslimin

Pada mulanya, kaum muslimin menghadap ke Baitul Maqdis ketika Shalat. Saat berada di Mekah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa shalat di antara dua rukun, yang mana ka’bah berada di samping beliau sementara beliau mengahadap ke Baitul Maqdis. Setelah hijrah ke Madinah, beliau tidak bisa menyatukan keduanya, lalu Beliau berdoa agar Allah mengalihkan kiblat kaum muslimin kearah ka’bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim. Lalu turunlah ayat tentang pergantian tersebut.

 

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya……” (QS. al-Baqarah: 144)

 

3. Tempat Suci yang Harus Dikunjungi

Rasulullah bersabda,

“Tidaklah kendaraan dipacu (bersafar menuju suatu tempat) selain ke tiga tempat; masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Baca Juga: Al-Aqsha, Masjid Suci Para Nabi

 

Terkait mengadakan safar/bepergian ke tiga tempat suci ini, para Ulama menyepakati akan anjuran berziarah ke Masjidil Aqsa untuk melakukan ibadah yang telah disyariatkan, seperti shalat, doa, membaca al-Quran dan iktikaf di sana. Orang yang beribadah di ketiga tempat suci tersebut, pahalanya berlipat ganda dan sudah ditetapkan oleh Allah, sebagaimana sekali shalat di Masjidil Aqsa nilainya seperti melakukan 500 kali shalat.

 

4. Tempat Dilakukan Perhitungan Amal Manusia

Sebagian besar para ahli tafsir dan ulama, diantaranya adalah Imam al-Qurthuby dan Ibnul Jauzy menyepakati penafsiran firman Allah,

 “Dan dengarkanlah (seruan) pada hari (ketika) penyeru (malaikat) menyeru dari tempat yang dekat.” (QS. Qaf: 41)

Bahwa malaikat israfil kelak berdiri di atas Shakhrah Baitul Maqdis dan menyeru manusia, “Kemarilah untuk perhitungan amal.” Dengan demikian, awal mula perhimpunan dimulai dari sana, seperti  disebutkan dalam musnad Imam Ahmad; dari Maimunah bintu Sa’ad, maula Rasulullah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, berilah kami penjelasan tentang Baitul Maqdis, maka beliau bersabda, “(Baitul Maqdis) adalah bumi perhimpunan dan kebangkitan.”

 

5. Pengakuan Orang-orang Shalih Terdahulu

Terkait keberkahan negeri Syam terkhususnya Palestina, tidak ada hal yang membuat keraguan. Semenjak dahulu sudah banyak kalangan dari Sahabat, Ulama dan orang-orang shalih yang berkunjung ke Baitul Maqdis dan menunaikan ibadah, sebagai wujud dari sabda Nabi akan janji pahala dan keutamaan menunaikan peribadatan di sana.

Diantara mereka adalah: Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah, Ummul Mukminin Shafiyah Bintu Huyay istri Baginda Nabi, Muadz bin Jabal, Abdullah bin Umar, Khalid bin Walid, Abu Dzar al-Ghifari, Abu darda’ dan masih banyak sahabat lainnya.

 

Baca Juga: Sepenggal Kisah Dari Suriah

 

Bila diperhitungkan, jarak kota Madinah ke Palestina lebih dari seribuan kilometer. Tidak mungkin mereka para sahabat mulia bersafar kesana hanya untuk hal yang sia-sia. Mereka kesana tak lain untuk memenuhi hadits Nabi akan keutamaan agung dari negeri Palestina dan keagungan pahala menunaikan ibadah di sana.

Setidaknya lima alasan ini akan membangunkan ghirah kita, betapa mulia Palestina dimana Masjid al-Aqsha berada. Sekaligus mematahkan perkataan sebagian orang yang pesimis bahwa Palestina adalah negeri biasa seperti negeri-negeri arab lainnya yang mana tidak perlu dibela, tidak perlu dijaga dan bisa ditinggalkan begitu saja.

Palestina adalah tanah kebanggan kaum muslimin yang wajib dijaga dan dibela kesuciannya. Jangan sampai karena dunia lalu melenakan kita dari berpartisipasi untuk membela Palestina. Waliyadzubillah.

 

(Diambil dari; Ensiklpoedi Palestina Bergambar, Penerbit Zam-zam/nurdin/terkini)

Dinamika Dakwah Islam di Kesultanan Banjarmasin

            Pada dua edisi sebelumnya telah dibahas periode penerimaan Islam secara resmi di Kalimantan Selatan dan sekitarnya, yaitu dengan munculnya Kesultanan Banjarmasin pada 1526. Sultan pertama adalah Sultan Suriansyah. Sejak itu, gerak dakwah Islam semakin berjalan massif. Banjarmasin kemudian tampil menjadi salah satu pusat Islamisasi di Kalimantan.   

Islamisasi Bahasa Banjar

            Setelah menerima Islam, penggunaan huruf Arab yang dikenal dengan huruf Arab-Melayu menjadi pengikat identitas masyarakat Banjar. Bahasa Banjar dengan tulisan Arab-Melayu menempatkan Islam sebagai agama ilmu pengetahuan. Sejak abad 17, telah ada kitab Melayu-Banjar dengan huruf Arab yang dikarang oleh Syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari, sebagai bukti telah resminya huruf Arab Melayu menjadi bahasa dan tulisan ilmu pengetahuan.

            Bahasa Melayu-Banjar dan huruf Arab menjadi bahasa pemersatu komunitas Muslim di Kesultanan Banjarmasin. Surat-surat Sultan Banjarmasin senantiasa menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu, dengan bulan Hijriah dan hari serta penanggalan Arab. Salah satu contohnya adalah surat yang dikirim oleh Sultan Sulaiman Tahmidullah II bin Sultan Muhammad Aminullah kepada Gubernur Jenderal Inggris Willem Arnold Alting, 9 Dzulhijjah 1210 H (15 Juni 1796 M).

            Saat Belanda menjajah beberapa wilayah Nusantara, pemerintah Hindia Belanda sangat menghormati Sultan Banjarmasin dengan segala kebesaran Kesultanan Islam yang menggunakan bahasa Arab, huruf Arab, bahasa Melayu-Banjar dan penanggalan Hijriah sebagai identitas formal. Hal demikian sebagai bukti bahwa Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat dan dalam pergaulan sehari-hari. (Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin, hlm. 409-410)     

Membangun Jaringan Banjar-Mekah

            Rukun Islam yang kelima adalah menunaikan ibadah haji. Seorang muslim yang taat dan mempunyai kemampuan akan berusaha untuk menunaikannya. Bagi masyarakat Muslim Banjarmasin, menjadi “haji” merupakan obsesi mereka. Sejak Islamisasi Banjarmasin berlangsung, telah ada orang-orang Muslim Banjar yang pergi menunaikah haji ke Mekah. Di antara mereka adalah Haji Batu atau Syekh Abdul Malik yang menunaikan ibadah haji dari Banjamasin pada abad 16. Pada abad 17, Datu Kandang Haji dari Paringin dan Datu Ujung dari Banua Lawas-Rantau telah menunaikan haji. Abad 18, terkenal Datu Sanggul telah pulang pergi ke Mekah, Haji Matahir yang dikenal Haji Muhammad Taher dari Negara yang menunaikan ibadah haji bersama rombongan yang banyak; disusul oleh Datu Kalampayan-Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datu Nafis-Syekh Muhammad Nafis dari Kelua, serta Datu Abulung-Syekh Abdul Hamid Abulung-Martapura.

            Para Datu yang merupakan ulama Banjarmasin berperan dalam Islamisasi Banjarmasin dari abad 16 hingga awal abad 19 tersebut tidak hanya menunaikan ibadah haji. Setelah menyelesaikan manasik, mereka tidak langsung pulang ke kampung halaman. Mereka melanjutkan aktivitas mereka dengan menuntut ilmu di Mekah dan Madinah. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 420)   Dari sini, terciptalah jaringan ilmiah Banjar-Mekah.

            Barangkali nama yang paling terkenal dalam jaringan itu adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia diberangkatkan oleh Sultan Tahlilullah ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu atas biaya dari kesultanan. Muhammad Arsyad tinggal di istana dan dibesarkan sebagai putra angkat Sultan Tahlilullah sejak ia berusia tujuh tahun. Selama 30 tahun di Mekah dan 5 tahun di Madinah, ia mempelajari banyak ilmu. Ia bahkan dipromosikan sebagai guru besar mazhab Syafi‘i oleh salah seorang gurunya yang terkenal, Syekh Atha‘illah ibn Ahmad Al-Mishri Al-Azhari.

            Pada 1772, Muhammad Arsyad bersama ketiga sahabatnya: Abdush Shamad Al-Palembani, Abdul Wahhab Bugis, dan Abdurrahman Misri, kembali ke tanah air. Sesampainya ke Kalimantan, Muhammad Arsyad disambut oleh Sultan Tamjidullah. Ia kemudian bergelar Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia hidup dalam masa pemerintahan tiga sultan, yaitu Sultan Tamjidullah, Sultan Tahmidullah (memerintah 1778-1808), dan Sultan Sulaiman.

            Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ini membawa sinar yang lebih terang dalam syiar Islam di Kalimantan. Di kampung halamannya, ia menjalankan peran keulamaan dalam bidang pendidikan dan dakwah. Sebagai contoh, ia membetulkan kiblat masjid, melakukan pemurnian akidah karena masyarakat Muslim setempat masih dipengaruhi kepercayaan dan praktek-praktek pra-Islam, seperti upacara “menyanggar” dan “membuang pesilih” yang bertujuan menyembuhkan penyakit, menghilangkan sial dan mengabulkan permohonan melalui dukun yang berkomunikasi dengan roh.

            Selain itu, Syekh Muhammad Arsyad juga berupaya memerangi paham wahdatul wujud yang dipandangnya sebagai bid‘ah sesat. Sebaliknya, ia berusaha mengembangkan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia juga aktif menulis sejumlah buku, seperti Ushûlud Dîn dan Tuhfah Ar-Râghibîn dalam bidang akidah; Sabîl Al-Muhtadîn dan Hâsyiah Fath Al-Jawwâd dalam bidang fikih; serta Kanzul Ma‘rifah dan Al-Qaul Al-Mukhtâr dalam bidang tazkiyatun nafs. (Khairil Anwar, “‘Ulamâ’ Indûnîsiyyâ Al-Qarn Ats-Tsâmin ‘Asyar” dalam Studia Islamika, vol. 3 no. 4 th 1996, hlm. 139-140)

            Pada pemerintahan Sultan Tahmidullah, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari diangkat sebagai Mufti Besar Kesultanan Banjarmasin untuk mendampingi sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Untuk mendidik dan membina masyarakat Islam, ia mendirikan pondok pesantren yang menampung para santri yang datang menuntut ilmu dari berbagai pelosok Kalimantan. Dari sini lahirlah ulama-ulama yang akan melanjutkan syiar dan dakwah Islam di Kalimantan. Di antara mereka adalah Syekh Syihabuddin, Syekh Abu Zu‘ud (keduanya putra Muhammad Arsyad Al-Banjari), dan Syekh Muhammad As‘ad (cucu Muhammad Arsyad). Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah orang pertama yang menyusun organisasi Mahkamah Syariah dan qadhi pengadilan seluruh kesultanan. (Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid I, hlm. 229). Wallâhu a‘lam.       

(Ust. M. Isa Anshari)