Menuai Berkah Dengan Shalat Sunah Di Rumah

”Kok si fulan gak pernah shalat sunah ya, hampir setiap kali selesai shalat wajib dan berdzikir ia langsung pulang ke rumahnya.”

Demikian gumam hati saya setiap kali memperhatikan si fulan tersebut. Ada rasa su’uzhan berkecamuk di dalam dada, karena bagaimanapun ia adalah salah seorang ustadz lulusan timur tengah yang sudah tentu faham tentang keutamaan shalat sunah rawatib. Namun rasa su’udhan tersebut tiba-tiba hilang ketika suatu saat saya berkunjung ke rumahnya persis setelah selesai mengerjakan shalat wajib dan berdzikir. Ketika saya mengetuk pintu, yang nongol justru anaknya yang menyuruh untuk menunggu sebentar, katanya sang abi sedang mengerjakan shalat sunah. Ternyata beliau mempunyai kebiasaan mengerjakan shalat sunah di rumah.

 

Meneladani Kebiasaan Salaf

Shalat sunah disebut juga shalat nawafil atau tatawwu’. Yang dimaksud dengan nawafil ialah semua perbuatan yang tidak termasuk dalam fardhu. Disebut nawafil karena amalan-amalan tersebut menjadi tambahan atas amalan-amalan fardhu dan juga sebagai penyempurna dari yang kurang.

Menilik dari apa yang dilakukan sang ustadz diatas sebenarnya bukan suatu hal yang aneh, karena sejatinya demikianlah Rasulullah ﷺ dan para salaf shaleh melaksanakan shalat tersebut. Mereka membiasakan diri untuk mengerjakannya di rumah, tidak sebagaimana yang dilakukan kebanyakan muslimin hari ini yang mengerjakannya di masjid.

Baca Juga: Memuliakan Marbut Masjid

Shalat sunnah sebenarnya boleh dilakukan di mana saja, di masjid, rumah, atau segala tempat yang suci seperti tanah lapang dan lainnya. Tetapi shalat sunnah di rumah itu lebih utama, kecuali untuk shalat sunnah yang disyariatkan berjamaah seperti shalat tarawih, atau yang tidak bisa dikerjakan di rumah seperti shalat tahiyatul masjid maka dilakukan di masjid lebih utama.

Rasulullah ﷺ bersabda:

 

فَصَلُّوْا أَيُّهَا النَّاسُ فِيْ بُيُوْتِكُمْ، فَإِنََّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ

“Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah kalian karena shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata, ”Rasulullah ﷺ mengerjakan shalat-shalat sunah di rumah. Demikian pula shalat sunah yang tidak berkaitan dengan tempat tertentu, beliau lebih suka mengerjakannya di rumah. Terutama shalat sunah ba’diyah maghrib, tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pernah mengerjakannya di masjid.”

Salah satu keutamaan ulama’-ulama’ shaleh pada zaman dahulu adalah mereka berusaha menyembunyikan amal-amal saleh yang mereka kerjakan. Jika mereka mampu menyembunyikan semuanya, mereka pasti akan melakukannya. Imam Sufyan Ats Tsaury pernah mengatakan bahwa dirinya tidak menganggap amal yang terlihat oleh manusia sebagai amal shalehnya. Rabi’ bin Khutsaim tidak suka memperlihatkan amal ibadahnya. Ia bahkan berupaya menyembunyikan ibadahnya. Rabi’ tidak melakukan shalat sunnah di masjid jami’. Hanya satu kali orang-orang melihatnya mengerjakan shalat sunnah di masjid.

 

Turun Rahmah Menuai Barakah

Shalat sunah yang dikerjakan di rumah selain untuk meneladani sunnah Rasulullah juga akan menghindari dari riya’ dan ujub (membanggakan diri). Begitu pula lebih mudah untuk khusyu’ dan ikhlas lantaran suasana yang sepi, tidak banyak orang. Juga bisa menjadi penyebab rahmah Allah turun ke dalam rumah bersamaan dengan turunnya malaikat karena bacaan dzikir dan Al Qur’an yang dilantunkan ketika shalat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

”Tiada satu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat akan mengelilinginya, dan rahmat Allah akan tercurah kepadanya, dan sakinah (kedamaian) akan turun di atasnya, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dengan mengerjakan shalat sunah di rumah berarti tidak menjadikannya seperti kuburan. Rasulullah saw bersbda:

اجْعَلُوا فِى بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاتِكُمْ، وَلا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

”Kerjakanlah sebagian dari shalat (shalat sunah) kalian di rumah, dan janganlah kalian jadikan seperti kuburan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah ﷺ memang melarang shalat dan membaca Al Quran di kuburan. Mafhumnya, jika rumah tidak digunakan untuk berdzikir, membaca Al Qur’an dan shalat sunah di dalamnya berarti ia telah menjadikannya kuburan.

Shalat sunah juga bisa mendatangkan keberkahan, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Apabila salah seorang di antara kalian usai melaksanakan  shalat di masjid, hendaklah dia menyisakan waktu untuk shalat di rumahnya karena Allah menjadikan kebaikan pada shalatnya di rumah tersebut.” (HR. Muslim).

Sangat tepat apa yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi: “Shalat sunnah dianjurkan di rumah karena akan lebih terhindar dari sikap riya’ serta lebih menjaga dari hal-hal yang membatalkan ibadah. Juga  agar barakah meliputi rumah tersebut, rahmat dan para malaikat akan turun, serta dijauhi oleh setan.”

Ternyata, shalat sunah di rumah mendatangkan banyak fadhilah. Selayaknya kita meneladani sunah yang mulia ini.

 

Oleh: Redaksi/Ibadah/Fadhilah Amal

Awali Kerja dengan Shalat Dhuha

HASYIM (60) terbaring lemah. Kedua kaki dan tangannya terasa lemas. Warga Dusun III Tanjung Tinggi Kecamatan Sijuk itu hanya berbaring di ruang kamar kediamannya. Ia menderita penyakit aneh. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Persendian tangan dan kakinya nyeri dan sulit digerakkan.

Tubuh manusia memiliki ratusan tulang yang masing-masing dihubungkan dengan persendian. Jumlah persendian dalam tubuh manusia adalah 360, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dan dibenarkan oleh para dokter. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana jika tulang-tulang yang ada dalam tubuh kita tersebut tidak dihubungkan dengan persendian. Atau salah satu persendian tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Maka, tidak ada yang mengetahui betapa besarnya nikmat ini kecuali orang yang telah kehilangan nikmat tersebut, sebagaimana yang dialami oleh bapak Hasyim diatas. Sekujur tubuhnya sakit, persendian tangan dan kakinya terasa nyeri dan sulit untuk digerakkan.

 

Shadaqah Tanpa Harta

Setiap hari, persendian kita mempunyai kewajiban untuk bershadaqah sebagai realisasi syukur kita kepada Allah, Dzat yang telah menciptakannya. Caranyapun beragam sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ:

 “Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bershadaqah setiap harinya sejak matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua orang yang berselisih adalah shadaqah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah. Berkata yang baik juga termasuk shadaqah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah shadaqah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu berat dan lelahnya kita jika harus  melakukan berbagai amal tersebut setiap harinya. Sehingga para sahabatpun bertanya, “Siapa yang sanggup melakukan, wahai Rasulullah?” Maka beliau menjawab, “Jika ia tidak mampu, maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Baca Juga: Menahan Sendawa, Meraih Pahala

Rasulullah ﷺ memberikan kemudahan kepada umatnya, bahwa semua shadaqah yang dilakukan oleh anggota badan tersebut dapat diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha, karena shalat merupakan amalan semua anggota badan. Jika seseorang mengerjakan shalat, maka setiap anggota badan menjalankan fungsinya masing-masing. Demikian penjelasan yang disebutkan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied.

Jumlah raka’at Dhuha minimal adalah 2 raka’at sedangkan maksimalnya adalah 8 raka’at. Dengan mengerjakan 2 rakaat Dhuha, kita telah melaksanakan salah satu wasiat Rasulullah ﷺ.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kekasihku, Rasulullah ﷺ berwasiat kepadaku dengan tiga perkara: puasa selama tiga hari setiap bulannya, dua rakaat shalat Dhuha dan mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur.” (Muttafaq ‘Alaihi).

 

Keutamaan Shalat Dhuha

Meskipun bernilai sunnah, shalat ini mengandung banyak fadhilah (keutamaan), namun tidak banyak dari kita yang memperhatikannya. Diantaranya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah ta’ala berfirman:

ابْنَ آدَمَ ، اِرْكَعْ لِيْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهاَرِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat pada permulaan hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu pada sore harinya” (HR. Tirmidzi).

At-Thayyibi menerangkan bahwa: dengan mengerjakan empat rakaat di pagi hari, Allah akan mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita dan menjauhkan kita dari semua yang tidak kita inginkan hingga sore hari. Fadhilah lainnya, orang yang mengerjakannya dimasukkan dalam golongan orang-orang yang kembali kepada Allah. Karena shalat dhuha adalah shalat awwabin, yakni shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (bertaubat). Dalam hadits lain Rasulullah SAW menyebutkan bahwa pahala orang yang mengerjakan shalat dhuha seperti orang mengerjakan umrah.

 

Menjadi Kaya dengan Shalat Dhuha?

Ada diantara kaum muslimin yang begitu bersemangat mengerjakan shalat dhuha. Namun ironisnya ketika mereka melaksanakan shalat wajib, justru malas-malasan dan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Shalat subuh dikerjakan jam enam pagi dan shalat asar hanya kalau sempat saja. Penyebabnya, ada tujuan lain ketika mereka mengerjakannya yaitu ingin mendapatkan balasan di dunia, biar lancar rezkinya dan menjadi orang yang kaya raya. Sehingga doa-doa yang dipanjatkanpun hanya berkenaan dengan kelancaran rizki.

Baca Juga: Silaturahmi, Memanjangkan Umur Menambah Rizki

Demikian fenomena yang sering kita dapatkan di masyarakat. Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Boleh jadi akan semakin lancar rizkinya dan karirnya terus meningkat. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat? Qatadah ketika menafsirkan surat Hud: 15-16, ia berkata, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan shalehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ihlas dalam beribadah (yang hanya mengharapkan wajah Allah), selain akan mendapatkan balasan di dunia dia juga akan mendapatkan balasannya di akhirat.”

 

Luangkan Waktu

Waktu pelaksanaan shalat Dhuha adalah ketika matahari mulai naik sepenggalan, kira-kira seperempat jam setelah matahari terbit hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Dan waktu yang paling afdhal adalah ketika matahari mulai panas.

Memang, tidak mudah untuk melaksanakan shalat Dhuha. Karena waktunya bertepatan dengan jam-jam dimulainya aktivitas keseharian, orang sibuk bekerja mencari rezki pada waktu tersebut. Namun, sesempit apa pun waktu kita karena aktivitas sehari-hari, jika kita luangkan waktu sejenak untuk mengerjakan shalat Dhuha, insya Allah tidak akan mengurangi jatah rizki yang telah ditentukan untuk kita. Kalau toh meluangkan waktu pada waktu tersebut tidak memungkinkan pula, karena peraturan perusahaan yang begitu ketat dan mengikat, shalat Dhuha bisa kita kerjakan sebelum masuk jam kerja. Nah, mari awali kerja kita dengan melaksanakan shalat Dhuha.

Oleh: Ust. Qadri Fathurrahman/Fadhilah Amal