Status Suami yang Hilang

Terdapat kasus di beberapa tempat yang menyebutkan bahwa seorang istri telah ditinggal suaminya kira-kira lima tahun lamanya, bagaimana statusnya, apakah dibolehkan baginya untuk menikah lagi dengan laki-laki lain, ataukah dia harus menunggu suaminya datang? sampai kapan dia harus menunggu sedang suaminya tidak jelas keberadaannya? Bagaimana Islam memberikan solusi atas masalah seperti ini?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

Pendapat Pertama:

Bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya hendaknya sabar dan tidak boleh menuntut cerai. Ini adalah pendapat madzab Hanafiyah dan Syafi’iyah serta adh-Dhahiriyah. Mereka berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara kedua masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa suaminya meninggal atau telah menceraikannya. (az- Zaila’i, Nasbu ar Rozah fi takhrij ahadits al hidayah: kitab al mafqud, Ibnu Hamam, Syarh Fathu al Qadir ; Kitab al Mafqud, Ibnu Hazm, al Muhalla bi al Atsar; Faskh nikah al mafqud).

Pendapat Kedua:

Bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya, dan merasa dirugikan secara batin, maka dia  berhak menuntut cerai. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyah.

Adapun dalil-dalil yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah:

1. Firman Allah SWT:

Dan pergaulilah mereka dengan baik.” (QS. An Nisa: 19).

2. Firman Allah SWT:

“Janganlah engkau tahan mereka untuk memberi kemudharatan bagi mereka, karena demikian itu berarti kamu menganiaya mereka.”(QS. Al Baqarah: 231).

3. Sabda Rasulullah ﷺ:

“Tidak ada yang mudharat (dalam ajaran Islam) dan tidak boleh seorang muslim membuat kemudharatan bagi orang lain.” (Hadist Hasan Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni).

Ayat dan hadist di atas melarang seorang muslim, khususnya suami untuk membuat kemudharatan bagi istrinya dengan pergi meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama tanpa ada keperluan yang jelas. Maka, istri yang merasa dirugikan dengan kepergian suaminya tersebut berhak untuk menolak mudharat tersebut dengan gugatan cerai yang diajukan ke pengadilan.

4. Disamping itu, seorang istri dalam keadaan sendirian, biasanya sangat sulit untuk menjaga dirinya, apalagi di tengah-tengah zaman yang penuh dengan fitnah seperti ini. Untuk menghindari firnah dan bisikan setan tersebut, maka dibolehkan baginya untuk meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain.

5. Mereka juga mengqiyaskan dengan masalah “al- iila’ “(suami yang bersumpah untuk tidak mendekati istrinya) dan “al Unnah” (suami yang impoten), dalam dua masalah tersebut sang istri boleh memilih untuk cerai, maka begitu juga dalam masalah ini. (Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, 2/ 52).

Hanya saja para ulama yang memegang pendapat kedua ini berbeda pendapat dalam beberapa masalah:

Para ulama dari kalangan Hanabilah menyatakan bahwa suami yang meninggalkan istrinya selama enam bulan tanpa berita, maka istri berhak meminta cerai dan menikah dengan laki-laki lain.

Mereka berdalil dengan kisah Umar bin Khattab yang mendengar keluhan seorang wanita lewat bait-bait sya’irnya ketika ditinggal suaminya berperang, kemudian beliau menanyakan kepada anaknya Hafshah tentang batas kesabaran seorang perempuan berpisah dengan suaminya, maka Hafsah menjawab enam bulan. Dan keputusan ini hanya berlaku bagi suami yang pergi begitu saja tanpa ada udzur syar’i, dan disebut dengan faskh nikah (pembubaran pernikahan) dan tidak disebut talak. (Muhammad Abu Zahrah, al Ahwal as Syakhsiyah hal: 367)

Adapun para ulama Malikiyah menentukan batas waktu waktu satu tahun, bahkan dalam riwayat lain batasan waktunya adalah empat tahun, dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan suami lain. Dan ketentuan ini berlaku bagi suami yang pergi, baik karena ada udzur syar’i maupun tidak ada udzur syar’i. Jika hakim yang memisahkan antara keduanya, maka disebut talak ba’in.  (Ibnu Rusydi : 2/ 54).

Mereka juga membedakan antara yang hilang di Negara Islam, atau di Negara kafir, atau hilang dalam kondisi fitnah atau hilang dalam peperangan. Masing-masing mempunyai waktu tersendiri.

Jika suami berada di tempat yang bisa dijangkau oleh surat atau peringatan, maka seorang hakim diharuskan untuk memberikan peringatan terlebih dahulu, baik lewat surat, telepon, sms, maupun kurir ataupun cara-cara yang lain, dan menyuruhnya untuk segera kembali dan tinggal bersama istrinya, atau memindahkan istrinya ditempatnya yang baru atau kalau perlu diceraikannya. Kemudian sang hakim memberikan batasan waktu tertentu untuk merealisasikan peringatan tersebut, jika pada batas tertentu sang suami tidak ada respon, maka sang hakim berhak untuk memisahkan antara keduanya. (Ibnu Juzai, al Qawanin al Fiqhiyah, Muhammad Abu Zahrah:  366).

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran- wallahu a’lam– adalah pendapat yang menyatakan bahwa batasan waktu dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain, jika suami pergi tanpa udzur syar’i adalah satu tahun atau lebih. Itupun, jika istri merasa dirugikan secara lahir maupun batin, dan suaminya telah terputus informasinya serta tidak diketahui nasibnya. Itu semua  berlaku jika kepergian suami tersebut tanpa ada keperluan yang berarti.

Adapun jika kepergian tersebut untuk suatu maslahat, seperti berdagang, atau tugas, atau belajar, maka seorang istri hendaknya bersabar dan tidak diperkenankan untuk mengajukan gugatan cerai kepada hakim.

Gugatan cerai ini, juga bisa diajukan oleh seorang istri yang suaminya dipenjara karena kejahatan atau perbuatan kriminal lainnya yang merugikan masyarakat banyak, sekaligus sebagai pelajaran agar para suami untuk tidak melakukan tindakan kejahatan. (Muhammad Abu Zahrah : 368)

Adapun mayoritas ulama tidak membolehkan hal tersebut, karena tidak ada dalil syar’i yang dijadikan sandaran. (Ibnu Qudamah, al Mughni, Juz 11, hal : 247, DR. Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Juz :7, hlm: 535).

Jika hakim telah memisahkan antara keduanya dan telah selesai masa iddahnya, kemudian sang istri menikah dengan lelaki yang lain, tiba-tiba mantan suaminya muncul, maka pernikahan istri dengan laki-laki yang kedua tidak bisa dibatalkan, karena penikahan dengan lelaki yang pertama (mantan suaminya) sudah batal. (Ibnu Jauzi: 177).

Adapun jika dasar pemisahan antara suami istri tersebut, karena diprediksikan bahwa suaminya telah meninggal dunia, tetapi pada kenyataannya masih hidup, maka pernikahan yang kedua batal. Dan pernikahan pertama masih berlangsung. Wallahu A’lam

 

Oleh: Dr. Ahmad Zain an-Najah/Kontemporer

Referensi Amalan Untuk Ibu Hamil

Kehamilan adalah kebahagiaan bagi sepasang suami-istri dalam berumah tangga. Kedatangan buah hati adalah hal yang sangat dinanti. Karena ia merupakan permata hati dan penyejuk mata bagi keduanya. Sebelum si buah hati hadir ke dunia, biasanya seorang ibu sudah diwanti-wanti untuk melakukan ini itu dan diimbau untuk meninggalkan ini-itu agar buah hatinya sehat dan ketika lahir pun selamat.

Islam pun mengajarkan beberapa amalan yang bisa dilakukan seorang ibu dalam menanti lahirnya buah hati. Di bahwa ini beberapa referensi amalan yang bisa dikerjakan,

 

Mempersiapkan Hati

Reaksi para istri ketika pertama mengetahui bahwa dirinya positif hamil berbeda antara satu dengan yang lain. Wanita yang hamil untuk anak pertama, umumnya merasa lega dan gembira karenanya. Karena biasanya peristiwa itu sangat diharapkan terjadinya. Lain halnya dengan wanita yang hamil untuk anak yang kesekian, saat di mana datangnya bayi sudah tidak atau minimal belum diinginkan.

Bagaimanapun kondisinya, menata hati agar siap menerima amanah yang diberikan oleh Allah adalah penting. Hendaknya dia menerima takdir Allah, dan memahami bahwa apa yang terjadi atasnya adalah yang terbaik baginya selagi dia husnu dhann kepada Allah. Bertambahnya anak tidak identik dengan tambahnya beban dan kemiskinan. Karena Allah lah yang akan memberikan rejeki kepadanya:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا ﴿٣١

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.” (QS. Al-Isra’:  31)

 

Banyak Berdo’a

Anak bukan saja berfungsi untuk menyambung keturunan, tetapi amanah yang harus ditunaikan haknya. Jika anak durhaka karena didikan rang tuanya, maka orang tua bertanggung jawab di hadapan Rabbnya, akan menambah bilangan dosa dan siksa. Namun jika anak tumbuh menjadi shalih, maka pahala senantiasa mengalir kepada orang tuanya meski telah meninggal dunia.

Alangkah baiknya wanita yang hamil memperbanyak do’a agar diberi karunia anak yang shalih. Di antara doa tersebut adalah:

“Wahai Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shaffat: 100)

 

Bersabar

Allah menyebutkan kondisi wanita ketika sedang hamil:

حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ 

“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah” (QS. Lukman: 14)

Maka hendaknya wanita bersabar ketika merasakan beban dan rasa sakit ketika hamil. Untuk setiap kesabaran mendapatkan pahala besar dari Allah. Karena pengorbanan dan kesabaran inilah sehingga ibu dimuliakan. Dengan ini pula sang ibu menjadi orang yang paling layak  untuk mendapat perlakuan baik dari anaknya.

 

Banyak Membaca Al-Qur’an

Konon, musik klasik bisa merangsang kecerdasan bayi ketika di rahim. Akan tetapi, kita memiliki sesuatu yang lebih hebat dan manfaat dari musik klasik, yakni bacaan Al-Qur’an. Jika sang bayi yang berada di rahim mampu merekam apa yang didengarnya, maka sesbaik-baik hal untuk direkam adalah Al-Qur’an. Dan sebaik-baik hal  untuk perdengarkan dan dikenalkan adalah kalam Allah.

Lagi pula  tilawah Qur’an merupakan dzikir yang paling utama, Allah menyediakan pahala bagai yang membacanya dengn  satu kebaikan perhurufnya, setiap satu kebaikan dilipatkan sepeuluh kali.

 

Menjaga Kondisi Diri dan Bayinya

Sudah menjadi kewajiban bagi ibu yang hamil untuk menjaga kondisi tubuhnya, menjaga dari hal-hal yang   menyebabkan gugurnya janin atau yang membahayakan janinnya.

Upaya-upaya yang sifatnya ‘hissi’ (inderawi) yang menunjang kesehatan dan kecerdasan sang janin hendaknya dilakukan. Seperti makanan yang bergizi atau olah raga ringan sesuai dengan kondisinya.

 

Tawakal Kepada Allah Ketika Hendak Melahirkan

Dalam hal menerima berita kehamilan, wanita yang hamil untuk anak pertama umumnya lebih siap, akan tetapi soal melahirkan,  baginyaitu adalah saat-saat menegangkan dalam hidupnya. Tak ada sesuatu yang lebih baik dia kerjakan selain bertawakal kepada Allah disertai usaha maksimal sesuai dengan kemampuan. Karena:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّـهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Dengan beberapa amalan di atas, semoga mempermudah si ibu dalam proses mengandung hingga persalinan. Bayi pun sehat dan menjadi anak yang shalih-shalihah.

 

Oleh: Redaksi/Ibadah

Suami Tidak Memberi Nafkah, Otomatis Cerai?

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, saudara perempuan saya sudah menikah namun ditinggal pergi suaminya merantau keluar Jawa. Hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa kabar berita dan nafkah yang diberikan. Apakah mereka sudah dihukumi cerai secara agama?Jazakumullah untuk nasihatnya.

Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

 

Hamba Allah

 

 

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh

Saudara seiman yang dirahmati Allah, saya bisa mengerti kegalauan Anda saat saudara perempuan Anda diperlakukan seperti itu. Bagaimanapun, kita tentu berharap yang terbaik bagi seluruh anggota keluarga, yaitu pernikahan yang bahagia. Dan jika hal sebaliknya yang terjadi, wajar jika kita menjadi sangat kecewa. Namun, ada beberapa hal yang harus kita fahami dahulu sebelum mengambil keputusan agar tidak salah melangkah.

Sebagai penjagaan keseimbangan dan penghindaran dari kezhaliman, sebuah pernikahan memiliki konsekuensi hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya. Dalam hal ini, kepemimpinan suami dan ketaatan istri adalah pondasi utamanya. Memimpin dan menafkahi menjadi kewajiban terbesar suami. Sementara melayani dan mentaati suami kewajiban terbesar bagi istri.

Namun, jika salah satu atau bahkan kedua pihak dari pasangan itu tidak menjalankan kewajibannya, pernikahan mereka tetap sah, karena pelanggaran tanggung jawab bukanlah penyebab perceraian. Sehingga, jika seorang suami tidak memberi nafkah, atau pergi tanpa memberi kabar, juga si istri tidak mau taat kepada suami, pernikahan mereka tidak otomatis berakhir.

Baca Juga:Tidak Tahan dengan Penampilan  & Kelakuan Istri

Misalnya jika ada istri yang nusyuz atau durhaka kepada suaminya, Allah tidak menghukumi pernikahan mereka batal. Namun memberikan solusi untuk perbaikan keluarga dengan nasihat, boikot ranjang dan pemukulan. Jika kedurhakaan istri membatalkan pernikahan, tentu tidak perlu lagi solusi semacam ini. Demikian pula ketika suami melakukan nusyuz, yang menampakkan rasa bosan kepada istri, malas untuk tinggal bersama, bahkan tidak menafkahinya. Dalam kasus ini, istri berhak mengajukan sulh (berdamai), dengan melepaskan sebagian haknya yang menjadi kewajiban suaminya, dalam rangka mempertahankan keluarga.

Selain itu, sebuah perceraian bersifat resmi. Yaitu harus ada pernyataan resmi dari pihak terkait tentangnya. Bisa dari pihak suami dengan menjatuhkan thalak, bisa si istri mengajukan khulu’, atau otomatis batal jika si suami murtad dari Islam.

Maka, mintalah saudara Anda untuk berfikir tentang manfaat dan madharat antara bertahan atau berpisah. Seberapa dia bisa bersabar dan menjaga keikhlasannya menjalani rumah tangga seperti itu. Kalau dia sudah tidak kuat lagi, antarkan dia ke lembaga terkait untuk mendaftarkan gugatan cerai. Namun jika dia masih berharap suaminya pulang dan bisa bersabar, doakan kekuatan baginya untuk menjalani pernikahannya yang berat ini.

 

Demikian, semoga bermanfaat.

Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

 

Dijawab Oleh: Ust. Triasmoro Kurniawan/Konsultasi Keluarga

 

Akhwat Menolak Lamaran Ikhwan yang Berwajah Buruk

PERTANYAAN:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Ustadz, bagaimana hukumnya menolak lamaran laki-laki yang berwajah buruk namun memiliki agama yang baik? Di satu sisi kami ingin menjadi wanita shalihah yang seringkali dipersepsikan sebagai ‘menerima laki-laki yang memiliki agama dan akhlak yang baik tanpa memandang hal-hal selainnya’. Namun di sisi lain, kami juga takut tidak ikhlas menjalankan kewajiban sebagai istri karena kecewa dengan fisik suami.

Atas nasihat ustadz, ana sampaikan jazakumullah khaira jazaa’

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Seorang Akhwat yang gundah di bumi Allah

 

JAWABAN:

Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh

Akhwat yang baik, esensi dalam sebuah pernikahan adalah kenyamanan batin (sakinah). Hal ini jika terwujud, akan memudahkan kita berkonsentrasi dalam membangun ketakwaan. Inilah yang terpenting untuk dibangun dalam sebuah keluarga islami. Bukan kumpulan materi bisu yang tidak menambah ibadah dan kebaikan seisi rumah, atau kebersamaan semu yang menyakitkan semua pihak di dalamnya.

Jika demikian adanya, maka ada banyak hal yang mestinya kita pertimbangkan ketika memutuskan untuk menerima lamaran seorang laki-laki. Standar agama dan akhlak pasti karena hal itu harga mati. Namun kebaikan agama dan akhlak saja, bagi banyak di antara kita, tidak menjadi jaminan adanya kenyamanan hati itu jika terdapat banyak sekali perbedaan antara suami dan istri. Baik yang berupa karakter, kebiasaan, kemampuan berfikir, kelancaran komunikasi, hingga penampilan fisik. Meski bagi sebagian yang lain, hal ini bisa saja tidak menjadi persoalan berarti.

Mengenai hal ini, Shahabat Umar bin Khattab pernah berkata, “Janganlah kalian nikahkan anak gadis kalian dengan laki-laki yang bertampang jelek karena wanita itu menyukai laki-laki yang ganteng sebagaimana laki-laki itu menyukai perempuan yang cantik!

Baca Juga: Bila Wanita Melamar Pria

Jadi, boleh saja seorang wanita menolak lamaran laki-laki ketika dia merasa tidak sreg dengannya. Hanya saja, jangan sampai hal ini menjadi sesuatu yang diprioritaskan untuk kemudian mengabaikan kualitas agama dan akhlak si pelamar. Sebab setelah berkeluarga nanti, keqawwaman laki-laki-lah yang mengambil peran terbesar guna teraihnya sakinah itu. Sehingga ketampanan fisik tanpa kemampuan mengayomi keluarga dan menyelesaikan masalah yang ada, juga akan mendatangkan kekecewaan yang besar.

Cobalah beristikharah agar Allah memilihkan yang terbaik, dan kita terhindar dari penyesalan di kemudian hari. Karena rencana Allah-lah yang akan terjadi, bukan keinginan kita. Sehingga kita harus belajar banyak untuk ridha dengan pilihan Allah.  Wallahu a’lam

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

 

Oleh: Ust. Triasmoro Kurniawan/Konsultasi

Hukum Nikah Siri Dalam Islam

Belakangan ini sempat heboh berita tentang sebuah situs yang menggunakan nama nikah siri. Website tersebut memberikan jasa bagi orang yang ingin mendapatkan jodoh atau pasangan hanya dengan membayar mahar yang telah disepakati oleh anggota dan kliennya. Usut punya usut ternyata praktik yang terjadi disana sangat melenceng dari hakekat pernikahan menurut Islam. Lalu bagaimana pandangan Islam tentang Nikah Siri?

Siri secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia, pelan-pelan. ( Ibnu al Mandhur, Lisan al Arab : 4/ 356 ).  Kadang Siri juga diartikan zina. Seperti dalam ayat;

وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا

Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian untuk berzina (atau melakukan hubungan seksual) dengan mereka “ (Qs. Al Baqarah: 235)

Sirran pada ayat di atas menurut pendapat sebagian ulama berarti: berzina atau melakukan hubungan seksual.(Tafsir al Qurtubi: 3/126).

Nikah Siri dalam pandangan masyarakat  mempunyai tiga pengertian:

 

  • Pengertian Pertama 

Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi –sembunyi  tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’I di dalam kitab Al Umm: 5/ 23,

“Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata : “ Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya)“

Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah.

 

  • Pengertian Kedua

Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak ramai.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini:

Pendapat Pertama: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’,  Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi,  : 7/ 434-435 ) .  Dalilnya adalah hadist Aisyah RDH, bahwa  Rasulullah SAW bersabda:

لا نِكاحَ إلا بوَلِيّ وشاهِدَيّ عَدْل

“ Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil “  ( HR Daruqutni dan al Baihaqi ) Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla : 9/465)

Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap  sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak ramai.

Pendapat Kedua: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah (Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’ ’ala Zaad al Mustamti’, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95 ) . Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut.  (Al Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq: DR. Muhammad al Hajji, Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet: pertama: 4/ 401)  Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

فَصْلٌ بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ

“Pembeda antara  yang halal  ( pernikahan ) dan yang haram  ( perzinaan ) adalah gendang rebana dan suara  “ (HR. an-Nasai dan al Hakim dan beliau menshahihkannya serta dihasankan yang lain)

Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

 “Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya.” ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi  berkata: Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.

 

  • Pengertian Ketiga

Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini  tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA .

Ada beberapa faktor yang mendorong seseorang tidak mencatatkan pernikahan mereka ke KUA, diantaranya, biaya, tempat kerja atau sekolah yang  tidak membolehkan menikah selama bekerja atau sekolah, faktor sosial yang tidak bisa menerima pernikahan lebih dari satu dan lain sebagainya.

Bagaimana Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga ini?

Pertama: Menurut kaca mata Syariat, nikah siri dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi, Sehingga tidak ada dosa.

Kedua: Menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan sangsi.

Mencatatkan nikah di KUA memang memiliki maslahat. Minimal, seseorang memiliki bukti resmi menikah dan menghilangkan su’udzan orang yang tidak tahu. Tapi pemberian sanksi berat seperti di atas, sepertinya patut dipertimbangkan kembali. Atau jika memang harus ditetapkan, semestinya perzinaan dikenai sanksi yang jauh berlipat karena jelas-jelas merusak moral, tatanan masyarakat dan juga agama. Dampaknya berlipat kali lebih buruk daripada nikah yang tidak dicatatkan di KUA. Semoga pemerintah bisa lebih bijaksana. Wallahua’lam.

Ditulis Oleh: Dr. Ahmad Zain an-Najah

 

Tema Menarik Lainnya: