Status Suami yang Hilang

Terdapat kasus di beberapa tempat yang menyebutkan bahwa seorang istri telah ditinggal suaminya kira-kira lima tahun lamanya, bagaimana statusnya, apakah dibolehkan baginya untuk menikah lagi dengan laki-laki lain, ataukah dia harus menunggu suaminya datang? sampai kapan dia harus menunggu sedang suaminya tidak jelas keberadaannya? Bagaimana Islam memberikan solusi atas masalah seperti ini?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

Pendapat Pertama:

Bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya hendaknya sabar dan tidak boleh menuntut cerai. Ini adalah pendapat madzab Hanafiyah dan Syafi’iyah serta adh-Dhahiriyah. Mereka berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara kedua masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa suaminya meninggal atau telah menceraikannya. (az- Zaila’i, Nasbu ar Rozah fi takhrij ahadits al hidayah: kitab al mafqud, Ibnu Hamam, Syarh Fathu al Qadir ; Kitab al Mafqud, Ibnu Hazm, al Muhalla bi al Atsar; Faskh nikah al mafqud).

Pendapat Kedua:

Bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya, dan merasa dirugikan secara batin, maka dia  berhak menuntut cerai. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyah.

Adapun dalil-dalil yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah:

1. Firman Allah SWT:

Dan pergaulilah mereka dengan baik.” (QS. An Nisa: 19).

2. Firman Allah SWT:

“Janganlah engkau tahan mereka untuk memberi kemudharatan bagi mereka, karena demikian itu berarti kamu menganiaya mereka.”(QS. Al Baqarah: 231).

3. Sabda Rasulullah ﷺ:

“Tidak ada yang mudharat (dalam ajaran Islam) dan tidak boleh seorang muslim membuat kemudharatan bagi orang lain.” (Hadist Hasan Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni).

Ayat dan hadist di atas melarang seorang muslim, khususnya suami untuk membuat kemudharatan bagi istrinya dengan pergi meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama tanpa ada keperluan yang jelas. Maka, istri yang merasa dirugikan dengan kepergian suaminya tersebut berhak untuk menolak mudharat tersebut dengan gugatan cerai yang diajukan ke pengadilan.

4. Disamping itu, seorang istri dalam keadaan sendirian, biasanya sangat sulit untuk menjaga dirinya, apalagi di tengah-tengah zaman yang penuh dengan fitnah seperti ini. Untuk menghindari firnah dan bisikan setan tersebut, maka dibolehkan baginya untuk meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain.

5. Mereka juga mengqiyaskan dengan masalah “al- iila’ “(suami yang bersumpah untuk tidak mendekati istrinya) dan “al Unnah” (suami yang impoten), dalam dua masalah tersebut sang istri boleh memilih untuk cerai, maka begitu juga dalam masalah ini. (Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, 2/ 52).

Hanya saja para ulama yang memegang pendapat kedua ini berbeda pendapat dalam beberapa masalah:

Para ulama dari kalangan Hanabilah menyatakan bahwa suami yang meninggalkan istrinya selama enam bulan tanpa berita, maka istri berhak meminta cerai dan menikah dengan laki-laki lain.

Mereka berdalil dengan kisah Umar bin Khattab yang mendengar keluhan seorang wanita lewat bait-bait sya’irnya ketika ditinggal suaminya berperang, kemudian beliau menanyakan kepada anaknya Hafshah tentang batas kesabaran seorang perempuan berpisah dengan suaminya, maka Hafsah menjawab enam bulan. Dan keputusan ini hanya berlaku bagi suami yang pergi begitu saja tanpa ada udzur syar’i, dan disebut dengan faskh nikah (pembubaran pernikahan) dan tidak disebut talak. (Muhammad Abu Zahrah, al Ahwal as Syakhsiyah hal: 367)

Adapun para ulama Malikiyah menentukan batas waktu waktu satu tahun, bahkan dalam riwayat lain batasan waktunya adalah empat tahun, dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan suami lain. Dan ketentuan ini berlaku bagi suami yang pergi, baik karena ada udzur syar’i maupun tidak ada udzur syar’i. Jika hakim yang memisahkan antara keduanya, maka disebut talak ba’in.  (Ibnu Rusydi : 2/ 54).

Mereka juga membedakan antara yang hilang di Negara Islam, atau di Negara kafir, atau hilang dalam kondisi fitnah atau hilang dalam peperangan. Masing-masing mempunyai waktu tersendiri.

Jika suami berada di tempat yang bisa dijangkau oleh surat atau peringatan, maka seorang hakim diharuskan untuk memberikan peringatan terlebih dahulu, baik lewat surat, telepon, sms, maupun kurir ataupun cara-cara yang lain, dan menyuruhnya untuk segera kembali dan tinggal bersama istrinya, atau memindahkan istrinya ditempatnya yang baru atau kalau perlu diceraikannya. Kemudian sang hakim memberikan batasan waktu tertentu untuk merealisasikan peringatan tersebut, jika pada batas tertentu sang suami tidak ada respon, maka sang hakim berhak untuk memisahkan antara keduanya. (Ibnu Juzai, al Qawanin al Fiqhiyah, Muhammad Abu Zahrah:  366).

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran- wallahu a’lam– adalah pendapat yang menyatakan bahwa batasan waktu dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain, jika suami pergi tanpa udzur syar’i adalah satu tahun atau lebih. Itupun, jika istri merasa dirugikan secara lahir maupun batin, dan suaminya telah terputus informasinya serta tidak diketahui nasibnya. Itu semua  berlaku jika kepergian suami tersebut tanpa ada keperluan yang berarti.

Adapun jika kepergian tersebut untuk suatu maslahat, seperti berdagang, atau tugas, atau belajar, maka seorang istri hendaknya bersabar dan tidak diperkenankan untuk mengajukan gugatan cerai kepada hakim.

Gugatan cerai ini, juga bisa diajukan oleh seorang istri yang suaminya dipenjara karena kejahatan atau perbuatan kriminal lainnya yang merugikan masyarakat banyak, sekaligus sebagai pelajaran agar para suami untuk tidak melakukan tindakan kejahatan. (Muhammad Abu Zahrah : 368)

Adapun mayoritas ulama tidak membolehkan hal tersebut, karena tidak ada dalil syar’i yang dijadikan sandaran. (Ibnu Qudamah, al Mughni, Juz 11, hal : 247, DR. Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Juz :7, hlm: 535).

Jika hakim telah memisahkan antara keduanya dan telah selesai masa iddahnya, kemudian sang istri menikah dengan lelaki yang lain, tiba-tiba mantan suaminya muncul, maka pernikahan istri dengan laki-laki yang kedua tidak bisa dibatalkan, karena penikahan dengan lelaki yang pertama (mantan suaminya) sudah batal. (Ibnu Jauzi: 177).

Adapun jika dasar pemisahan antara suami istri tersebut, karena diprediksikan bahwa suaminya telah meninggal dunia, tetapi pada kenyataannya masih hidup, maka pernikahan yang kedua batal. Dan pernikahan pertama masih berlangsung. Wallahu A’lam

 

Oleh: Dr. Ahmad Zain an-Najah/Kontemporer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *