Manusia Diciptakan dengan Berbagai Kelemahan

Sehebat apapun manusia, ia memiliki sisi lemah, lemah kekuatan fisiknya, lemah jangkauan akalnya dan lemah pula tekad dan kemauannya. Karena itulah,apa yang Allah syariatkan hakikatnya telah sesuai dengan kondisi manusia. Tak ada kewajiban yang Allah gariskan kecuali apa yang disanggupi oleh manusia. Pun itu juga demi kebaikan dan kemaslahatan manusia, bukan semata- mata supaya manusia lelah dan mencurahkan pengorbanan.  Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan kepada manusia sesuai dengan tabiat manusia yang lemah hingga Allah turunkan syariat yang ringan dan mudah. Allah Ta’ala berfirman,  

Allah bendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. 4:28)” (an-Nisaa’: 26-28)

Fisik manusia lemah, maka beban fisik dalam setiap syariat tidak melebihi kekuatan yang dimampui manusia. Dan manusia tidak selalu dalam kondisi sehat dan fit. Maka syariat memberi keringanan bagi yang tak mampu berdiri boleh mengerjakannya dengan duduk. Yang tidak mampu boleh dengan duduk. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

 

صَلِّ قَـائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ.

“Shalatlah sambil berdiri. Jika engkau tidak bisa, maka (shalatlah) sambil duduk. Jika tidak bisa, maka (shalatlah) dengan (tidur) miring.” (HR Bukhari)

Bagi yang sakit di bulan Ramadhan diperbolehkan baginya berbuka dan menggantikannya di hari lain.

Baca Juga: Sukses dengan Keterbatasan

Adapun tentang lemah jangkauan akalnya, karena ilmu manusia tidak mampu menjangkau segala hal. Hanya sedikit yang bisa diketahui oleh manusia,

 “dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

(QS. Al Israa  85)

Seringkali manusia menyangka sesuatu sebagai hal yang mendatangkan maslahat, tapi ternyata yang dihasilkan dengannya adalah kemadharatan. Ilmu yang sedikit itupun masih sering terkontaminasi dengan hawa nafsu. Hingga tak sedikit manusia yang memperturutkan nafsunya namun dibungkus dengan alasan yang tampak logis, padahal sebenarnya itu hanyalah dalih demi membenarkan kemauan nafsunya. Maka Allah menetapkan rambu-rambu yang pasti baik dan benar, sesuai dengan akal yang sehat, tanpa tercampuri oleh hawa nafsu manusia. Karena syariat digariskan oleh Dzat Yang Mahatahu; apa yang baik dan tidak baik bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman,

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).

Banyak versi para ulama ketika menjelaskan maksud dari firman Allah Ta’ala, “dan manusia dijadikan bersifat lemah,”, masing-melengkapi makna yang lain.

Thawus bin Kaisan berpendapat bahwa maksud lemah di sini adalah lemah dalam menghadapi wanita. Ini adalah kelemahan yang dimiliki laki-laki, meskipun maknanya tidak sebatas ini. Namun tidak disangsikan bahwa nafsu terhadap wanita adalah ujian yang berat bagi kaum laki-laki sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

 

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

 Ibnu al-Jauzi menjelaskan bahwa sisi lemah manusia itu meliputi tiga sisi,

Pertama, bahwa manusia itu lemah di awal penciptaan. Tafsiran ini dinukil dari pendapat Imam Hasan al Bashri rahimahullah, karena manusia diciptakan dari air yang hina. Karena itulah, ketika ada seseorang hendak menyombongkan diri di hadapan seorang salaf dengan berkata,”Kamu tahu siapa saya?” Maka dijawab, “Ya, saya tahu siapa Anda; berasal dari air mani yang hina, kesana kemari membawa kotoran di perutnya, dan kelak menjadi bangkai yang tak berguna.” Maka disifatinya manusia sebagai makhluk yang lemah supaya ia tidak menyombongkan diri, dan menyadari bakal kemana akhir perjalanan setelah di dunia.

Baca Juga: Kisah-kisah Menggugah dalam Menjalankan Sunnah

Kedua, manusia lemah dalam menghadapi wanita, sebagaimana pendapat Thawus dan Muqatil

Dan ketiga adalah lemah dalam tekad dan mengendalikan hawa nafsu. Banyak yang telah mengetahui sebuah kewajiban, bahwa itu berbuah kebaikan di dunia dan akhiratnya, namun ia lebih mengutamakan nafsu malasnya. Pun sebaliknya; ia tahu sesuatu sebagai maksiat dan dampaknya adalah keburukan di dunia dan akhiratnya, namun ia tak mampu mencegah kemauan hawa nafsunya.

Ibnul Qayyim berkata dalam Thariqul Hijratain setelah menyebutkan beberapa perkataan para salaf tentang tafsir ayat tersebut, “Yang benar adalah kelemahan manusia yang mencakup semuanya, bahkan sisi lemahnya lebih banyak lagi dari ini, manusia memiliki sisi lemah dalam hal fisik, kekuatan, kemauan,pengetahuan, kesabaran. Dengan kelemahan ini bahaya yang mengancam manusia  datang dari segala penjuru. Banyak pula target yang diharapkan oleh manusia yang terancam gagal. Maka sikap terbaik bagi manusia adalah menyadari kelemahannya, bukan supaya minder tapi supaya bersandar kepada Yang Mahatahu lagi Mahakuat. Mengikuti Yang Mahatahu sehingga ia akan mendapatkan kemaslahatan yang hakiki, dan tak mungkin ia akan tersesat. Bersandar dan berlindung kepada Yang Mahakuat agar ia terhindar dari segala marabahaya. Selebihnya manusia harus berikhtiar sesuai kemampuannya. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

 

 

Allah Menjamin Urusan Seorang Hamba, Selagi Hamba Menjadikan-Nya Jaminan

Tak akan pernah rugi orang yang memasrahkan segala urusannya kepada Allah. Allah akan memberikan jaminan keselamatan atau keberhasilan atau jaminan dalam bentuk lain selama seseorang menjadikan Allah sebagai saksinya dan mencukupkan Allah sebagai dzat yang Maha menjamin segala urusan.

Sebagaimana tersebut sebuah kisah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa pada suatu hari ada seorang dari Bani Israil yang datang meminjam uang sebanyak seribu dinar kepada saudaranya. Pemilik uang tersebut lalu berkata kepadanya, “Beri saya saksi yang bisa menengahi kita berdua.”

Orang yang hendak meminjam tersebut berkata, “Cukup Allah sebagai saksi kita.”

Pemilik uang tersebut lalu berkata lagi, “Kalau begitu beri aku jaminan.”

Orang itupun menjawab, “Cukuplah Allah sebagai jaminan saya.”

Kalau demikian aku percaya padamu,” Jawab pemilik uang.

Baca Juga: Sukses dengan Keterbatasan

Orang itu lalu memberikan pinjamannya seribu dinar sampai batas waktu yang telah mereka sepakati. Kemudian si peminjam tersebut pergi menyeberangi lautan untuk menunaikan hajatnya.

Selang beberapa lama, setelah ia menyelesaikan keperluannya, ia pun hendak mencari kapal yang bisa ia tumpangi untuk segera membayar utangnya . Akan tetapi, tak ada satu kapalpun yang ia temukan.  Sampai ia kebingungan bagaimana cara mengembalikan pinjamannya karena sudah tiba jangka waktu yang telah disepakati.

Lalu ia mengambil sebatang kayu, kemudian ia lubangi tengahnya dan diisi uang sebanyak seribu dinar, jumlah yang telah ia pinjam. Ia tulisi secarik surat untuk saudaranya tersebut. Setelah itu ia pergi ke tepi laut seraya berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa hamba pernah berutang pada si fulan sebanyak seribu dinar, ia meminta padaku sebuah jaminan, akupun berkata, ‘cukup Allah sebagai jaminannya, ia pun setuju. Lalu ia meminta seorang saksi, akupun katakana padanya, “cukup Allah sebagai saksinya, Ia pun ridha dan setuju dengan hal itu.” Dan sekarang sungguh aku telah berusaha untuk mencari tumpangan untuk segera kembali dan membayar utangku, namun aku tidak mendapatkannya, oleh karena itu, aku pasrahkan ini pada-Mu.”

Lalu ia pun melemparkan batang kayu yang sudah ia isi dengan uang seribu dinar itu dan masih berusaha mencari kapal untuk balik ke negerinya.

Di seberang jauh, orang yang meminjamkan uangnya tersebut sudah menunggunya di tepi pantai berharap si peminjam itu lekas balik dan mengembalikan uangnya. Namun sekian waktu menunggu, belum juga datang, ia menemukan sebatang kayu yang terdampar dan mengarah ke dirinya. Ia segera mengambilnya untuk kayu bakar, lalu diberikan kepada istrinya. Ketika sang istri hendak memasak dan membelah kayu tersebut, ia kaget, ternayat di dalamnya ada uang seribu dinar dan secarik kertas.

Tak lama kemudian orang yang berutang tersebut datang dan hendak membayar utangnya seraya meminta maaf karena terlambat membayar utangnya. Ia berkata, “Demi Allah, aku sudah berusaha untuk mencari kapal agar aku bisa segera membayar utangku padamu.”

Baca Juga: Untuk Muslimah: Jangan Ragu Datangi Majelis Ilmu

Si pemilik uang berkata, “Apakah kamu pernah mengirimiku sesuatu?”

Kata si peminjam itu, “Saya sudah berusaha mencari tumpangan, namun tidak aku dapatkan satupun”

Laki-laki pemilik uang itu berkata lagi, “Sesungguhnya Allah telah menunaikan hutangmu, (dengan) sebatang kayu yang kamu kirimkan. Silakan kembali dan bawalah seribu dinarmu itu dengan selamat.”

(Hadits Shahih riwayat Bukhari dan Muslim)

Banyak orang yang mengaku percaya kepada Allah dan pasrah kepada-Nya, namun masih banyak yang ragu-ragu; kalau-kalau nanti hartanya berkurang, kalau saja nanti dia jadi miskin dan kalau saja ia tidak bisa makan. Padahal Allah maha menjamin dan Allah maha mencukupi kebutuhan semua hamba-Nya, manakala hamba tersebut memasrahkan segala urusan dan kebutuhannya kepada Allah secara total. Semoga bermanfaat.

 

Oleh: Redaksi/Fadhilah

 


Dapatkan artikel islami terbaik di Majalah islam ar-risalah. Majalah panduan untuk ketakwaan dan manajemen hati. Info keagenan dan Langganan: 085229508085

Tak Shalat Berjamaah Karena Sibuk Bekerja

Pertanyaan:

Bapakku seorang kuli bangunan. Terkadang ia tidak pergi ke masjid untuk shalat berjamaah karena pekerjaannya. Apakah hal tersebut dibolehkan?

 

 

Jawaban

Seorang muslim hendaknya menjaga shalat berjamaah di masjid dalam semua waktunya. Jangan sampai kesibukan dunia menghalangi dirinya dari shalat berjamaah.

Allah berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ 

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Cobalah memberi nasihat kepada Ayah Anda dengan cara yang bijak dan mengingatkannya dengan dalil-dalil yang sahih.

Seorang muslim tidak boleh bersusah payah bekerja untuk dunia namun mengorbankan ibadah dan shalatnya. Salah satu ciri orang beriman telah disebutkan oleh Allah yaitu tidak terbuai oleh perdagangan mereka dan jual beli mereka sehingga lupa berzikir kepada Allah dan menegakkan shalat. Sebagaimana firman-Nya,

 

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآَصَالِ . رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأَبْصَارُ . لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ  

“(Mereka) bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.  (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. an-Nur: 36-38)

Dan kumpulan ayat-ayat tersebut ditutup dengan firman Allah Ta’ala,

 

وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

Hal ini sebagai isyarat bahwa hendaknya bagi orang yang sibuk berdagang dan bekerja dengan mengabaikan ketaatan kepada Rabbnya menyadari bahwa rezeki itu ada di tangan Allah, Dia yang memberi rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas.

Kita memang dianjurkan untuk menjemput rezeki dengan bekerja, akan tetapi seorang muslim tak boleh berlebihan dalam bekerja sehingga menghabiskan seluruh waktunya dengan mengorbankan ketaatan, kesehatan, dan pendidikan anak-anaknya. Hendaknya dia bersungguh-sungguh dan selalu mendekat kepada Allah.

Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua dan memberikan rezeki yang baik dan barokah. Wallahua’lam.

 

Oleh: Redaksi/Konsultasi

 

Baca Konsultasi Yang Ini Juga: 

 

Tawakal Sepanjang Jalan Terjal

Musafir ilallah, orang yang menempuh jalan menuju Allah adalah manusia yang kuat dan pemberani. Bagaimana tidak, jalan kebenaran untuk meraih keridhaan Allah saat berjumpa dengan-Nya adalah jalan yang penuh resiko. Telah tampak dari kejauhan bahaya yang menghadang. Jalan yang terlihat sepi dari pejalan, rawan dengan gangguan dari pihak-pihak yang tak ingin ada orang-orang yang melewati jalan itu. Akan tetapi, musafir di jalan Allah tetap keukeuh meniti jalan itu.

Bekal Sepanjang Jalan yang Terjal
Karena ia memiliki senjata ampuh, yang membuatnya lebih kuat dari umumnya manusia. Ia memiliki senjata ampuh untuk mendaki jalan yang terjal. Ia memiliki bekal yang paling memadai untuk mengatasi segala persoalan yang akan dihadapinya. Senjata dan bekal itu adalah tawakal, sebagaimana firman Allah:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3).
Tawakal adalah senjata paling ampuh yang dengannya seorang hamba bisa menahan apa-apa yang tidak bisa ditahan secara fisik. Jika Allah mencukupinya, maka Allah akan menjaga misinya. Gangguan makhluk dan rintangan yang sifatnya alami, meskipun mengenai dirinya tidak akan memadharatkan dirinya. Allah akan menolongnya hingga dia bisa tetap selamat di jalan kebenaran.

Dalam Badai’ al-Fawa’id Ibnul Qayyim menukil perkataan sebagian salaf, “Allah telah menjadikan setiapa amal akan mendapatkan balasan yang sepadan, dan Allah menjadikan balasan bagi orang yang bertawakal kepada-Nya berupa kecukupan yang Dia berikan kepada hamba-Nya. Firman Allah:
“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah mencukupinya.”
Allah tidak menyebutkan bahwa orang yang bertawakal akan mendapatkan pahala sekian dan sekian sebagaimana dalam amal-amal yang lain. Akan tetapi Allah janjikan Diri-Nya akan mencukupi hamba-Nya yang bertawakal kepada-Nya dan akan menjaganya. Jikalau seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka seumpama seisi langit dan bumi membahayakannya, niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar baginya. Allah akan mencukupi dan menolongnya.”
Maka betapa tawakal itu memiliki faedah dan manfaat yang sangat agung. Alangkah butuhnya seorang hamba terhadap sifat ini. Bukan sekadar tawakal dalam hal perolehan rezeki, tapi yang lebih dari itu adalah agar tetap ditolong oleh Allah untuk menempuh misi hidupnya; bertemu Allah dalam keadaan Allah ridha kepadanya.
Ketenangan dan Kekuatan Jiwa

Tawakal adalah ibadah hati, tawakal itu dirasai. Meski secara lahir tidak tampak, akan tetapi efek yang dihasilkan luar biasa bagi pelakunya. Karena orang yang bertawakal kepada Allah berarti memasrahkan nasib dan urusannya kepada Allah yang Maha Perkasa, Mahakaya, Mahasempurna dan Mahakuasa atas segalanya. Dan Allah telah menyepakati dan menjamin kecukupan maupun pertolongan kepada siapapun yang bertawakal kepada-Nya.
Keyakinan itulah yang membuahkan ketenangan hati. Ketenangan inilah yang dirasakan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika berada dalam gua. Ketika Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkan keselamatan beliau, maka Nabi bersabda, “laa tahzan! Innallaha ma’ana”, janganlah bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta kita. Sebagaimana peristiwa itu diabadikan dalam al-Qur’an.
Seperti juga ketenangan yang dialami oleh Nabi, saat beliau sedang tidur di bawah pohon, ada seseorang yang mendatangi beliau seraya mengambil pedang beliau. Tak lama kemudian beliau terjaga dari tidur, sedangkan orang itu telah berdiri di atas kepala beliau dalam keadaan mengacungkan pedangnya. Dia berkata; ‘Wahai Muhammad, siapakah yang dapat menghalangiku untuk membunuhmu? Dengan tegas beliau menjawab; ‘Allah.’ Dia bertanya lagi; ‘Siapakah yang dapat menghalangiku untuk membunuhmu? Beliau menjawab; ‘Allah.’ Kalimat itu diulang tiga kali. Akhirnya orang tersebut menyarungkan kembali pedangnya lalu duduk tak bisa berbuat apa-apa, sementara Rasulullah tidak menghukumnya. Demikian seperti yang diriwayatkan dalam hadits Bukhari dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.

Dengan tawakal, ketenangan hati akan bisa kita raih saat menghadapi sikap orang kebanyakan yang menganggap asing pilihan hidup kita. Pilihan untuk taat di zaman maksiat, pilihan untuk menjauhi kesyirikan di tengah masyarakat yang masih melestarikannya, dan pilihan untuk mencegah kemungkaran saat kemungkaran banyak dibacking oleh para pendukungnya.
Bukan saja tenang, orang yang bertawakal juga akan mendapat kekuatan jiwa. Fitrah manusia akan merasa kuat apabila ada sandaran atau ‘back up’ dari pihak yang kuat. Sandaran mana yang lebih kuat dari Dzat yang dijadikan sandaran oleh orang-orang beriman. Allah Mahakuat dan kuasa untuk berbuat apapun, kapanpun, di manapun dan kepada siapapun. Inilah di antara rahasia kemenangan perang Badar di mana kaum muslimin mampu mengalahkan musuh yang berlipat jumlahnya. Allah mengisahkan peristiwa itu:
“Ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu dikabulkan-Nya bagimu, “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bantuan kepadamu seribu malaikat yang datang bersambungan.” Dan tidaklah hal itu dijadikan oleh Allah untukmu kecuali sebagai berita gembira dan untuk menenteramkan hatimu. Dan tiada lain kemenangan itu kecuali datang dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana. (QS. Al Anfal: 9-10)

Optimis dan Tidak Gampang Berputus Asa
Orang yang bertawakal tidak akan putus harapan. Harapannya sentiasa segar dan memancar, sekalipun ketika dihenyak oleh ujian yang paling menggentarkan. Ia yakin, Allah tidak akan mengecewakannya, begitulah bisikan hati orang yang menyerahkan nasibnya kepada Allah.
Bahkan semakin cemas dan beratnya ujian yang melanda, semakin dekat mereka rasakan bantuan Allah akan tiba. Firman Allah:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (ketahuilah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Ketika hati terpaut kepada Allah, ia akan pasrah dan menyerah atas segala ketentuan Allah sekalipun apa yang terjadi berbeda dengan apa yang dikehendaki. Jiwa merasakan apa yang berlaku semuanya baik-baik belaka. Tidak ada ruang untuk kecewa, marah dan putus asa. Semua ini adalah buah dari sangka baik kepada Allah yang tidak akan menyusahkan apalagi menzalimi hamba-Nya.

Pertolongan Allah yang Datang Tepat Pada Waktunya
Tawakal yang sesungguhnya tak menjadi luntur ketika yang di depan mata berbeda dengan yang diharapkannya. Tak akan rugi siapapun yang menyandarkan urusannya kepada Allah. Hanya saja, soal kapan dan bagaimana cara Allah menolong hamba-Nya adalah sesuatu yang tak bisa diduga. Tapi pastilah itu terjadi dengan cara dan waktu yang paling tepat. Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in menjelaskan firman Allah:
“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 3).
Beliau berkata, “Ketika Allah menjanjikan akan memberi kecukupan bagi orang yang bertawakal kepada-Nya, bisa jadi seseorang ada yang menduga bahwa pertolongan itu datang segera seperti yang diharapkannya, maka Allah menimpali dengan firman-Nya, “…Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Yakni waktu yang tak bisa dipastikan lamanya, namun Dia akan memberikannya pada waktu yang tepat seperti yang telah Dia tetapkan. Maka tidak selayaknya seseorang mengatakan, “Aku sudah bertawakal, sudah berdoa tapi saya belum melihat hasil dan pertolongan-Nya. Yakinlah bahwa Allah akan menyelesaikan janji-Nya pada waktu yang telah ditetapkannya.”

Seperti Nabi Ibrahim alaihissalam yang ditolong oleh Allah tepat pada waktunya. Allah menolong beliau saat dilemparkan ke dalam api, sesaat setelah beliau mengucapkan, “hasbunallahu wa ni’mal wakiil.” Hingga Allah menyelamatkannya dari api.
Begitupun dengan Nabi Musa alaihissalam, saat terdesak oleh kejaran bala tentara Fir’aun, sementera di depan adalah samudera luas, Allah menolong Rasul yang telah bertawakal kepada-Nya di saat yang tepat,
“Maka Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab:”Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS asy-Syu’ara 60 – 62)
Maka semestinya kepada Allahlah orang-orang mukmin itu bertawakal. Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)

Tawakal Sepanjang Jalan Terjal

Musafir ilallah, orang yang menempuh jalan menuju Allah adalah manusia yang kuat dan pemberani. Bagaimana tidak, jalan kebenaran untuk meraih keridhaan Allah saat berjumpa dengan-Nya adalah jalan yang penuh resiko. Telah tampak dari kejauhan bahaya yang menghadang. Jalan yang terlihat sepi dari pejalan, rawan dengan gangguan dari pihak-pihak yang tak ingin ada orang-orang yang melewati jalan itu. Akan tetapi, musafir di jalan Allah tetap keukeuh meniti jalan itu.

Bekal Sepanjang Jalan yang Terjal
Karena ia memiliki senjata ampuh, yang membuatnya lebih kuat dari umumnya manusia. Ia memiliki senjata ampuh untuk mendaki jalan yang terjal. Ia memiliki bekal yang paling memadai untuk mengatasi segala persoalan yang akan dihadapinya. Senjata dan bekal itu adalah tawakal, sebagaimana firman Allah:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3).
Tawakal adalah senjata paling ampuh yang dengannya seorang hamba bisa menahan apa-apa yang tidak bisa ditahan secara fisik. Jika Allah mencukupinya, maka Allah akan menjaga misinya. Gangguan makhluk dan rintangan yang sifatnya alami, meskipun mengenai dirinya tidak akan memadharatkan dirinya. Allah akan menolongnya hingga dia bisa tetap selamat di jalan kebenaran.

Dalam Badai’ al-Fawa’id Ibnul Qayyim menukil perkataan sebagian salaf, “Allah telah menjadikan setiapa amal akan mendapatkan balasan yang sepadan, dan Allah menjadikan balasan bagi orang yang bertawakal kepada-Nya berupa kecukupan yang Dia berikan kepada hamba-Nya. Firman Allah:
“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah mencukupinya.”
Allah tidak menyebutkan bahwa orang yang bertawakal akan mendapatkan pahala sekian dan sekian sebagaimana dalam amal-amal yang lain. Akan tetapi Allah janjikan Diri-Nya akan mencukupi hamba-Nya yang bertawakal kepada-Nya dan akan menjaganya. Jikalau seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka seumpama seisi langit dan bumi membahayakannya, niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar baginya. Allah akan mencukupi dan menolongnya.”
Maka betapa tawakal itu memiliki faedah dan manfaat yang sangat agung. Alangkah butuhnya seorang hamba terhadap sifat ini. Bukan sekadar tawakal dalam hal perolehan rezeki, tapi yang lebih dari itu adalah agar tetap ditolong oleh Allah untuk menempuh misi hidupnya; bertemu Allah dalam keadaan Allah ridha kepadanya.
Ketenangan dan Kekuatan Jiwa

Tawakal adalah ibadah hati, tawakal itu dirasai. Meski secara lahir tidak tampak, akan tetapi efek yang dihasilkan luar biasa bagi pelakunya. Karena orang yang bertawakal kepada Allah berarti memasrahkan nasib dan urusannya kepada Allah yang Maha Perkasa, Mahakaya, Mahasempurna dan Mahakuasa atas segalanya. Dan Allah telah menyepakati dan menjamin kecukupan maupun pertolongan kepada siapapun yang bertawakal kepada-Nya.
Keyakinan itulah yang membuahkan ketenangan hati. Ketenangan inilah yang dirasakan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika berada dalam gua. Ketika Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkan keselamatan beliau, maka Nabi bersabda, “laa tahzan! Innallaha ma’ana”, janganlah bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta kita. Sebagaimana peristiwa itu diabadikan dalam al-Qur’an.
Seperti juga ketenangan yang dialami oleh Nabi, saat beliau sedang tidur di bawah pohon, ada seseorang yang mendatangi beliau seraya mengambil pedang beliau. Tak lama kemudian beliau terjaga dari tidur, sedangkan orang itu telah berdiri di atas kepala beliau dalam keadaan mengacungkan pedangnya. Dia berkata; ‘Wahai Muhammad, siapakah yang dapat menghalangiku untuk membunuhmu? Dengan tegas beliau menjawab; ‘Allah.’ Dia bertanya lagi; ‘Siapakah yang dapat menghalangiku untuk membunuhmu? Beliau menjawab; ‘Allah.’ Kalimat itu diulang tiga kali. Akhirnya orang tersebut menyarungkan kembali pedangnya lalu duduk tak bisa berbuat apa-apa, sementara Rasulullah tidak menghukumnya. Demikian seperti yang diriwayatkan dalam hadits Bukhari dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.

Dengan tawakal, ketenangan hati akan bisa kita raih saat menghadapi sikap orang kebanyakan yang menganggap asing pilihan hidup kita. Pilihan untuk taat di zaman maksiat, pilihan untuk menjauhi kesyirikan di tengah masyarakat yang masih melestarikannya, dan pilihan untuk mencegah kemungkaran saat kemungkaran banyak dibacking oleh para pendukungnya.
Bukan saja tenang, orang yang bertawakal juga akan mendapat kekuatan jiwa. Fitrah manusia akan merasa kuat apabila ada sandaran atau ‘back up’ dari pihak yang kuat. Sandaran mana yang lebih kuat dari Dzat yang dijadikan sandaran oleh orang-orang beriman. Allah Mahakuat dan kuasa untuk berbuat apapun, kapanpun, di manapun dan kepada siapapun. Inilah di antara rahasia kemenangan perang Badar di mana kaum muslimin mampu mengalahkan musuh yang berlipat jumlahnya. Allah mengisahkan peristiwa itu:
“Ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu dikabulkan-Nya bagimu, “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bantuan kepadamu seribu malaikat yang datang bersambungan.” Dan tidaklah hal itu dijadikan oleh Allah untukmu kecuali sebagai berita gembira dan untuk menenteramkan hatimu. Dan tiada lain kemenangan itu kecuali datang dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana. (QS. Al Anfal: 9-10)

Optimis dan Tidak Gampang Berputus Asa
Orang yang bertawakal tidak akan putus harapan. Harapannya sentiasa segar dan memancar, sekalipun ketika dihenyak oleh ujian yang paling menggentarkan. Ia yakin, Allah tidak akan mengecewakannya, begitulah bisikan hati orang yang menyerahkan nasibnya kepada Allah.
Bahkan semakin cemas dan beratnya ujian yang melanda, semakin dekat mereka rasakan bantuan Allah akan tiba. Firman Allah:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (ketahuilah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Ketika hati terpaut kepada Allah, ia akan pasrah dan menyerah atas segala ketentuan Allah sekalipun apa yang terjadi berbeda dengan apa yang dikehendaki. Jiwa merasakan apa yang berlaku semuanya baik-baik belaka. Tidak ada ruang untuk kecewa, marah dan putus asa. Semua ini adalah buah dari sangka baik kepada Allah yang tidak akan menyusahkan apalagi menzalimi hamba-Nya.

Pertolongan Allah yang Datang Tepat Pada Waktunya
Tawakal yang sesungguhnya tak menjadi luntur ketika yang di depan mata berbeda dengan yang diharapkannya. Tak akan rugi siapapun yang menyandarkan urusannya kepada Allah. Hanya saja, soal kapan dan bagaimana cara Allah menolong hamba-Nya adalah sesuatu yang tak bisa diduga. Tapi pastilah itu terjadi dengan cara dan waktu yang paling tepat. Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in menjelaskan firman Allah:
“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 3).
Beliau berkata, “Ketika Allah menjanjikan akan memberi kecukupan bagi orang yang bertawakal kepada-Nya, bisa jadi seseorang ada yang menduga bahwa pertolongan itu datang segera seperti yang diharapkannya, maka Allah menimpali dengan firman-Nya, “…Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Yakni waktu yang tak bisa dipastikan lamanya, namun Dia akan memberikannya pada waktu yang tepat seperti yang telah Dia tetapkan. Maka tidak selayaknya seseorang mengatakan, “Aku sudah bertawakal, sudah berdoa tapi saya belum melihat hasil dan pertolongan-Nya. Yakinlah bahwa Allah akan menyelesaikan janji-Nya pada waktu yang telah ditetapkannya.”

Seperti Nabi Ibrahim alaihissalam yang ditolong oleh Allah tepat pada waktunya. Allah menolong beliau saat dilemparkan ke dalam api, sesaat setelah beliau mengucapkan, “hasbunallahu wa ni’mal wakiil.” Hingga Allah menyelamatkannya dari api.
Begitupun dengan Nabi Musa alaihissalam, saat terdesak oleh kejaran bala tentara Fir’aun, sementera di depan adalah samudera luas, Allah menolong Rasul yang telah bertawakal kepada-Nya di saat yang tepat,
“Maka Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab:”Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS asy-Syu’ara 60 – 62)
Maka semestinya kepada Allahlah orang-orang mukmin itu bertawakal. Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)