Wali Nikah Sekaligus Calon Suami

Pertanyaan: 

“Saya ingin menikahi anak perempuan paman saya dari jalur bapak, sedangkan saya adalah walinya karena perwaliannya diwakilkan kepada saya, kami tidak mempunyai kerabat dari ashabah (jalur laki-laki) juga tidak ada saudara laki-laki, dan tidak ada yang menggantikan saya untuk menjadi walinya, apakah saya harus mengatakan kepadanya: “Saya menikahkan anda dengan saya” dengan disaksikan oleh para saksi, dan dia menjawab: “Saya terima”, atau saya harus mewakilkan kepada bapak penghulu? Atau apa yang harus saya lakukan?”

 

Jawaban: 

Alhamdulillah

Jika wali seorang wanita adalah anak laki-lakinya paman dari jalur bapak dan dia ingin menikahinya, maka hal tersebut tidak masalah jika dia mau menerimanya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Seorang wali dari wanita yang dia boleh menikahinya adalah anak laki-laki dari paman jalur bapaknya, tuannya, hakim atau penguasa dengan syarat jika wanita tersebut mau menikah dengannya, maka silahkan saja”. (Al Mughni: 7/360)

 

Opsi Pertama

Dalam kondisi seperti itu maka dia boleh menikahkan dirinya sendiri dan wanita tersebut karena dia sebagai walinya dengan mengatakan: “Saya telah menikah dengan anda” atau “saya menikahkan diri sendiri dengan fulanah” atau dengan ungkapan lain yang serupa. Dan tidak membutuhkan jawaban: “Saya terima”; karena seorang wanita tidak berhak terlibat langsung dalam akad nikah tidak untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, namun walinya yang mengakadkan.

 

Opsi Kedua

Wali tersebut juga boleh mewakilkan perwaliannya kepada seseorang, baik wakil tersebut sebagai penghulu atau tidak. Maka wakil tersebut mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan fulanah”, sedangkan dia (wali aslinya) menjawab: “Ya, saya terima”. Maka dengan ini akad nikah dianggap sah. Kedua opsi tersebut pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Imam Bukhori rahimahullah berkata:

“Bab Jika seorang wali menjadi mempelai laki-lakinya, Mughirah bin Syu’bah telah menikahi seorang wanita, yang dia sendiri adalah orang yang paling berhak atas wanita tersebut (sebagai walinya). Maka dia menyuruh seseorang untuk menikahkan dengannya.”

Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qaridz: “Apakah anda menyerahkan urusan anda kepada saya?, dia berkata: “Ya”. Dia menjawab: “Berarti saya telah menikahi anda”.

‘Atha’ berkata: “Agar disaksikan bahwa saya telah menikahi anda atau agar salah seorang dari kerabat anda diminta (untuk menikahkan).”

(Al Baani menshahihkan riwayat Mughirah bin Syu’bah dan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘ahuma dalam Irwa’ul Gholil: 1854-1855)

Namun perlu diketahui bahwa dua opsi akad tersebut harus disaksikan.

Wallahu a’lam. (Redaksi/Islamqa/Nikah

 

Baca Juga:

 

Tema Terkait: Pernikahan, Fatwa, Fikih 

 

Siapakah Wali Nikah Ketika Tidak Ada Ayah?

Saya menikahi seorang wanita dan telah menceraikannya dua kali. Ayahnya kini telah wafat, sedangkan semua saudara laki-laki sekandungnya lebih muda darinya. Saya sekarang ingin merujuknya kembali setelah perceraian sekitar dua tahun lalu. Apakah keberadaan wali merupakan suatu keharusan untuk kesempurnaan pernikahan. Padahal bapak telah wafat, sementara adik laki-laki sekandungnya masih kecil? Ataukah dibenarkan merujuknya tanpa perlu wali?

 

Jawaban :

Kalau suami telah menceraikan istrinya dan selesai masa iddahnya, maka dia tidak halal baginya kecuali dengan akad baru. Dan wali merupakan salah satu syarat sah akad nikah. Tidak sah pernikahan tanpanya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Kitab ‘Al-Mughni, “Nikah tidak sah kecuali dengan adanya wali. Wanita tidak memiliki wewenang menikahkan dirinya atau orang lain, begitu juga tidak sah mewakilkan orang lain selain walinya untuk menikahkannya. Kalau dilangsungkan, maka nikahnya tidak sah.”

Dalil akan hal itu adalah sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, “Tidak (sah) pernikahan kecuali dengan adanya wali.” (HR. Abu Daud, no. 2085. Tirmizi, no. 1101. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi)

Karena Anda telah menceraikannya dua tahun, maka telah selesai iddanya. Bagi mantan suami ketika mantan istri telah selesai masa iddahnya maka dia menjadi orang asing seperti laki-laki lainnya. Karenanya, tidak halal bagi Anda dengannya kecuali dengan melangsungkan akad baru. Dan akadnya harus dilakukan oleh walinya, atau sang wali mewakilkan seseorang untuk menikahkannya. Apabila  tidak ada bapak, kakeknya adalah walinya. Kalau tidak ada, maka saudara laki-laki adalah walinya. Tidak mengapa meskipun lebih muda umurnya. Akan tetapi disyaratkan baligh dalam perwalian. Maka, kalau salah seorang dari saudaranya telah baligh, dia adalah walinya meskipun lebih muda dari dirinya.

Telah disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 18/14: “Tidak boleh menikahkan seorang wanita kecuali mukallaf (sudah terkena beban kewajiban agama) dan matang kejiwaan. Kalau tidak ada, maka hakim (yang menikahkan). Karena penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali. Hakim adalah penggantinya dalam kondisi seperti ini.”

Kalau semua saudara laki-lakinya masih kecil dan tidak ada seorang pun yang baligh. Maka perwaliannya pindah kepada orang setelahnya. Mereka adalah para paman. Kalau tidak ada seorang pun, maka anak-anak paman. Kalau tidak ada seorang pun dari mereka sebagai wali. Maka yang melaksanakan akan nikahnya adalah hakim agama.

Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alai wa sallam,“Kalau mereka (para wali) berselisih, maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Abu Daud, 2083, Tirmizi, no. 1102. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

Dengan demikian, jika anda ingin menikah dengan wanita itu, sementara tidak ada seorang pun walinya. Maka anda merujuk kepada hakim agama di pengadilan untuk melangsungkan akad pernikahannya.