Muslimah dalam Perjalanan Hijrah

Hijrah itu berat, baik secara lahiriya maupun batiniyah. Karena hijrah membutuhkan keberanian dan kesiapan mental luar biasa. Meninggalkan kenyamanan dan tempat yang sudah bertahun-tahun jelas bukan perkara mudah. Ada banyak konsekuensi yang harus dihadapi dari aktivitas ini.

Namun, hijrah tetaplah sebuah syariat yang mesti dijalani. Ia bahkan tak hanya wajib dilakukan oleh para lelaki yang secara fisik lebih kuat, namun juga bagi para muslimah. Dalam surat mumtahanah Allah memerintahkan kaum muslimah untuk berhijrah dengan sebenar-benarnya. Bahkan, mereka harus berpisah dari suami-suami mereka yang masih kafir.

 

Muslimah dalam Perjalanan Hijrah Nabi

Hijrah nabi tak lepas dari peran serta muslimah. Di sana ada Asma bintu Abu Bakar. Ia dikenal dengan dzatu nitaqain pun karena peristiwa hijrah.

Saat Rasulullah dan Abu Bakar di gua Tsur itulah saat-saat pengorbanan Asma’ binti Abu Bakar. Ia yang tengah hamil mendapatkan amanah untuk mengirimkan makanan ke sana. Pekerjaan ini bukan pekerjaan mudah. Selain jaraknya yang cukup jauh, bisa saja ia mati terbunuh ketika bertemu dengan orang kafir. Tetapi itu semua tak menghalanginya untuk ikut ambil bagian dalam amal islami tersebut. Saat membawakan bekal untuk Rasulullah itulah ia tidak punya tali untuk mengangkut makanan maka ia membelah selendangnya. Satu bagian untuk membebat perutnya dan satu bagian untuk mengikat makanan tersebut.

 

Muslimah Muhajirah

Namanya Asma binti Umais. Ia merupakan salah satu muhajirah pertama. Ia telah masuk Islam sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah Arqam. Beliau turut berhijrah bersama suaminya yaitu ja`far bin Abi Thalib menuju Habasyah. Di sana ia melahirkan tiga putra yakni Abdullah, Muhammad dan Aunan. Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para muhajirin untuk bertolak menuju Madinah maka hampir-hampir Asma’ terbang karena girangnya, inilah mimpi yang menjadi kenyataan dan jadilah kaum Muslimin mendapatkan negeri mereka dan kelak mereka akan menjadi tentara-tentara Islam yang akan menyebarkan Islam dan meninggikan kalimat Allah.

Baca Juga: Kabar Gembira Untuk Para Wanita

Begitulah, Asma ‘ keluar dengan berkendaraan tatkala hijrah untuk kali yang kedua dari negri Habasyah menuju negeri Madinah. Tatkala rombongan muhajirin tiba di Madinah, ketika itu pula mereka mendengar berita bahwa kaum muslimin baru menyelesaikan peperangan dan membawa kemenangan, takbirpun menggema di segala penjuru karena bergembira dengan kemenangan pasukan kaum Muslimin dan kedatangan muhajirin dari Habsyah.

Ja`far bin Abi Thalib datang disambut oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan gembira kemudian beliau cium dahinya seraya bersabda :

“Demi Allah aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, kemenangan khaibar ataukah kedatangan Ja`far.”

Asma’ masuk ke dalam rumah Hafshah binti Umar tatkala Nabi menikahinya, tatkala itu Umar masuk ke rumah Hafshah sedangkan Asma’ berada di sisinya, lalu beliau bertanya kepada Hafshah, ‘Siapakah wanita ini?” Hafshah menjawab, “Dia adalah Asma’ binti Umais? Umar bertanya, inikah wanita yang datang dari negeri Habasyah di seberang lautan?’ Asma menjawab, “Benar.” Umar berkata; ‘Kami telah mendahului kalian untuk berhijrah bersama Rasul, maka kami lebih berhak terhadap diri Rasulullah dari pada kalian. “Mendengar hal itu Asma’ marah dan tidak kuasa membendung gejolak jiwanya sehingga beliau berkata: “Tidak demi Allah, kalian bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau memberi makan bagi yang kelaparan di antara kalian dan mengajarkan bagi yang masih bodoh diantara kalian, adapun kami di suatu negeri atau di bumi yang jauh dan tidak disukai yakni Habasyah, dan semua itu adalah demi keta`atan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian Asma’ diam sejenak selanjutnya berkata: “Demi Allah aku tidak makan dan tidak minum sehingga aku laporkan hal itu kepada Rasulullah, kami diganggu dan ditakut-takuti, hal itu juga akan aku sampaikan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, aku akan tanyakan kepada beliau, demi Allah aku tidak berdusta, tidak akan menyimpang dan tidak akan menambah-nambah.”

Tatakala Rasulullah datang, ia berkata kepada Nabi, “Wahai Nabi Allah sesungguhnya Umar berkata begini dan begini.” Rasulullah bersabda kepada Asma`, “Tiada seorangpun yang berhak atas diriku melebihi kalian, adapun dia (Umar) dan para sahabatnya berhijrah satu kali akan tetapi kalian ahlus safinah (yang menumpang kapal) telah berhijrah dua kali.”

 

Air Minum untuk Muhajirah

Ummu Aiman radhiallahu ‘anha, adalah seorang wanita yang mulia. Dari rahimnya telah lahir orang-orang mulia. Ia adalah seorang wanita yang mendapatkan kemuliaan dua hijrah, ke bumi Habasyah dan ke bumi Madinah. Suatu ketika dalam salah satu perjalanan hijrahnya, Ummu Aiman menempuhnya dengan berpuasa. Tiba saat berbuka, tak ada bekal air yang dapat digunakan untuk melepaskan dahaganya yang sangat. Tiba-tiba didapatinya setimba air terulur dari langit dengan tali timba yang berwarna putih. Ummu Aiman  pun meminumnya.

Baca Juga: Taubat Yang Batal & Hijrah Yang Gagal

Ummu Aiman menuturkan, “Sejak itu, aku berpuasa di siang yang panas dan berjalan di bawah terik matahari agar aku merasa haus, namun aku tidak pernah merasakan dahaga.”

Hijrahnya ke Madinah ditempuhnya selang beberapa waktu setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhuma dengan berbekal dua ekor unta dan 500 dirham untuk membawa dua putri beliau, Fathimah dan Ummu Kultsum radhiallahu ‘anhuma, serta Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha. Pada saat itu pulalah Ummu Aiman bersama putranya, Usamah bin Zaid, bertolak menuju Madinah bersama rombongan ini.

 

Oleh: Redaksi/Wanita/Motivasi

 

Kultum Ramadhan: Mengenyam Lezatnya Shalat Malam

Shalat malam, inilah tradisi syar’I para shalihin sepanjang zaman. Tidak disebut julukan shalih, melainkan ia menjaga kebiasaan shalat malam, Tak mereka tinggalkan amal mulia ini. Amal yang dengannya derajat seseorang ditinggikan, doa-doanya dikabulkan, dosa-dosa diampunkan, terlepas pula ikatan ikatan setan, penyakit fisik tersingkirkan, ketenangan hati didapatkan dan jalan menuju jannah dimudahkan.

Dan pada beberapa ayat Allah juga menyebutkan bahwa salah satu karakter penghuni jannah adalah orang yang mengdiupkan waktu malamnya untuk shalat  ketika mereka masih di dunia.

 

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ﴿١٦ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezeki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (As-Sajdah 16-17)

Yang dimaksud dengan apa yang mereka lakukan di sini adalah shalat maliam; sebagaimana yang disebutkan oleh ibnu Katsir rahimahullah. Ibnul Qayyim rahimahullah juga memberikan catatan menarik tentang ayat ini, “Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas shalat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Dia rahasiakan sebelumnya, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan shalat malam diganti dengan kesenangan jiwa di dalam Surga.”

Baca Juga: Panen Pahala Di Bulan Mulia

Kebiasaan ini membuahkan kenikmatan dan kelezatan yang tidak dirasakan oleh orang-orang yang tidak melaziminya. lbnu al-Munkadir rahimahullah berkata, “Di dunia ini tidak tersisa lagi kelezatan selain pada tiga hal; shalat malam, bertemu dengan saudara seiman dan shalat berjamaah.” Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu dan yang lain.

Shalat malam senantiasa istimewa. Namun di bulan Ramadhan ia makin luar biasa. Tak ada yang berkurang sedikit pun dari keutamaan yang didapat di luar Ramadhan. Yang ada justru bonus-bonus istimewa dan pahala spesial yang Allah sediakan bagi orang yang antusias manghidupkan shalat malam di bulan Ramadhan.

 

ومن قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barang siapa meiakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR Bukhari dan Muslim).

Maksud qiyam Ramadhan, secara khusus, menurut Imam Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan semua dosa; tetapi dengan syarat karena bermotifkan iman; membenarkan pahala-pahala yang dijaniikan oleh Allah dan mencari pahala tersebut dari Allah. Bukan karena riya’ atau sekadar mengikuti kebiasaan orang.

Maka antusias para salaf untuk menghidupkan malam makin menjadi. Bukan sekadar orang perorang, tetapi semangat yang dimiliki secara serentak oleh masyarakat zaman itu. Saib bin Yazid berkata,

“Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu pernah menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar memimpin shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 11 raka’at. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga kami bersandar pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak pulang dari tarawih, melainkan hampir menjelang fajar.” (Fathul Bari, lbnu Hajar al-Asqalani)

Nafi’ bin Abdullah bin Umar juga menyebutkan, “Saya mendengar lbnu Abi Mulaikah berkata, ‘Saya mengimami masyarakat pada malam Ramadhan dengan membaca dalam satu rekaat surat Fathir (45 ayat) atau yang setara dengannya. Pun begitu belum pernah sampai kepadaku satu pun yang mengeluhkan keberatannya.” (Riwayat lbnu Abi Syaibah).

Sedangkan Abu al-Asyhab bercerita, “Abu Raja’ mengkhatamkan bersama kami (makmum) pada shalat tarawih setiap sepuluh hari sekali.”

Baca Juga: Puasa, Obesitas dan Tanda Kiamat

Ini menunjukkan antusias para salaf daIam menjaIankan shalat tarawih di bulan Ramadhan. Hanya saja. mereka tetap menjaga kondisi para makmum. Ketika tak ada keluhan dari para makmum. mereka memanjangkan shalatnya. Maknanya, jika kita diminta menjadi Imam, tidak sepantasnya kita memanjangkan shaIat sementara makmum banyak yang mengeluhkannya.

Dianjurkan untuk tetap menyertai Imam hingga selesainya shaIat, karena barang siapa melaksanakan shalat Tarawih berjamaah bersama Imam hingga selesai, maka akan dicatat baginya pahala seperti orang yang melakukan qiyamul lail semalam penuh. Rasulullah bersabda,

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda:

 

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

 “Sesungguhnya barangsiapa yang shalat (Tarawih) bersama imam sampai ia selesai, maka dituIis untuknya pahala qiyamul IaiI satu malam penuh.” (HR. An-Nasai no. 1605, At-Tirmidzi, aI-Albani mengatakan shahih)

Hadits ini menjadi koreksi atas kebiasaan di antara kita yang bersemangat untuk menghidupkan malam, lalu memilih pulang sebelum Imam menyelesaikan shalat witir. Meksipun maksudnya baik, yakni ingin menambah shalat lagi sebelum witir. Tapi apakah tambahan shalat yang dilakukan ini benar-benar semalam suntuk? Atau hanya beberapa menit saja? Padahal dengan meninggalkan Imam sebelum selesai, maka ia tidak tercatat sebagai orang yang menjalankan shalat semalam suntuk. wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan/Materi Kultum