Fikrah

Jerat Ketiga

Beberapa petinggi sebuah partai politik yang mengusung sentimen Islam, terpuruk dalam kubangan masalah yang selama ini banyak melilit orpol sekuler. Meramaikan panggung ‘pengadilan’ dengan kasus, seperti kasus yang menimpa orpol lain. Kasus apalagi kalau bukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang?
Sedikit demi sedikit, pelan tetapi (semoga tidak) pasti menuruni ngarai yang sebelumnya telah dikubangi oleh kaum sekuler; korupsi, gratifikasi, dan penyalahgunaan wewenang, memperkaya diri sendiri, atau kelompok dengan merugikan rakyat yang dalam persepsi dan komitment mereka adalah pemilik sah negara ini. Tak hanya itu, sidang pengadilan tipikor juga menyingkap rahasia bahwa gelimang harta tak halal itu telah pula menyeret para ‘aktivis dakwah’ itu kepada kubangan di sebelahnya, lumpur perzinaan. Agak sulit untuk ‘husnudzan’ bahwa para ‘aktivis dakwah’ itu sedang ‘taqiyyah’, pura-pura mengaku berbuat mesum karena tekanan persidangan. Apalagi mereka adalah teman-teman dari kalangan Ahlus-Sunnah yang tidak menjadikan ‘taqiyyah’ sebagai aqidah.
Katakanlah, mereka itu korban jebakan konspirasi, tetapi bukankah ketika anak Adam tersesat lantaran godaan setan, dia juga tidak bisa menyalahkan iblis dan anak-anaknya! Bukankah memang begitu pekerjaan iblis dan tentaranya?
Salah Wasilah (?)
Dakwah dikenal sebagai salah satu wasilah taghyir, yakni sarana untuk melakukan perubahan di masyarakat, bahkan sarana perubahan yang pertama dan utama, selain wasilah amar makruf nahi munkar dan jihad fie sabilillaah. Perubahan persepsi dan keyakinan seseorang atau suatu masyarakat ke arah tauhid sebagai buah dakwah, akan membawa efek kebaikan berantai pada sikap dan tingkah laku. Karenanya, tak ada perubahan substansial masyarakat ke arah kebaikan hakiki tanpa didahului dengan amal dakwah yang jujur, bersih dari pretensi (selain keridhaan Allah) dan dilakukan secara konsisten.
Di masa reformasi, ruang untuk menunjukkan eksistensi diri dan membentuk organisasi untuk memperjuangkan idealisme dan kepentingan kembali terbuka, setelah masa keterkekangan massal dan represi yang panjang. Angin perubahan itu juga dimanfaatkan oleh para aktivis dakwah yang sebelumnya telah aktif memanfaatkan lembaga kerohanian di kampus dan sekolah-sekolah tingkat menengah atas untuk mengkonsolidasikan diri dalam organisasi formal, dengan harapan dapat meningkatkan peran dakwah dan memberi kontribusi meningkatkan kualitas kehidupan bangsa yang mayoritas muslim ini dari keterpurukan.
Hanya, yang membuat kening berkerut, ketika niat untuk meningkatkan peran dakwah itu diwadahi dengan organisasi politik (orpol), pendirian ‘partai dakwah’. Adalah sesuatu yang telah dimengerti publik, bahwa orpol, atau tegasnya partai, adalah lembaga yang dijadikan kendaraan para politikus untuk meraih target-target politik, bahasa halusnya idealisme politik. Tangga untuk meraih kekuasaan, atau bagian dari kekuasaan, dalam sistem kenegaraan sekuler. Sistem kenegaraan yang telah memisahkan kehidupan manusia dari campur tangan agama. Agama manapun, termasuk Islam.
Pilihan ‘confuse’ ini barangkali yang menjadi hulu mushibatud-dien yang menimpa para petinggi ‘orpol dakwah’ saat ini. Masing-masing jalan memiliki tabiat, dan masing-masing tujuan mesti diraih dengan pilihan jalan yang bersesuain dengan tabiat tujuannya. Wallaahu a’lam bish-shawab.
Jerat Bertingkat
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan dalam bukunya yang mengesankan, Badaa’i’ ash-Shanaa’i’ bahwa iblis yang telah bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan anak cucu Adam, dalam pelaksanaan teknis penyesatan memiliki beragam modus, dan… bertingkat. Sesuai dengan tingkat pemahaman ilmu dan kecenderungan anak Adam yang sedang digarap. Beliau menyebut setidaknya ada 6 (enam) tingkat jerat, yang jika keenamnya gagal, masih ada pamungkasnya yang ketujuh.
Enam jerat bertingkat itu, kekafiran dan kesyirikan (dalam satu tataran), bid’ah (amalan agama yang tidak dituntunkan oleh Nabi), kabair (dosa-dosa besar), shaghair (dosa-dosa kecil), kemudian menyibukkan dengan amalan mubah sehingga kehilangan waktu untuk mengerjakan perintah dan,…menyibukkan dengan mengamalkan hal-hal yang kurang utama dengan meninggalkan perbuatan yang lebih utama. Jika dengan enam jerat bertingkat itu gagal, maka iblis dan anak buahnya akan mengerahkan para pengikutnya dari kalangan manusia untuk mendatangkan berbagai siksaan dan serangan yang menyakitkan untuk menghalangi dan mengeluarkan anak Adam dari jalan Allah dan menjadikannya temannya di neraka.
Yang menarik, pada jerat tingkat ketiga yakni kabair, iblis memberi perhatian lebih kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan terpandang di tengah umat manusia. Orang-orang yang perkataan, sikap, dan tingkah lakunya menjadi sorotan publik dan diikuti oleh orang banyak. Para ulama, pemimpin di masyarakat, para da’i, juga publik figur yang lain berada pada bidikan lebih dari iblis dan kabilahnya. Dosa-dosa besar yang beragam seperti zina, pencurian dalam segala bentuk dan kejahatan yang mengikutinya (korupsi, penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan atau kelompok, pencucian uang hasil kejahatan itu) ketika dilakukan oleh publik figur lebih membawa efek kerusakan dibanding dilakukan oleh selain mereka.
Hasil sampingan yang diperoleh iblis ketika seorang publik figur, seorang ulama, atau da’i, atau aktivis ‘partai dakwah’, atau walaupun ‘bukan kader’ tetapi dia ‘sangat dekat’ dengan pimpinan struktural partai dakwah, kepercayaan umat terhadap publik figur tersebut meredup dan luntur. Dan ini target berjangka yang diinginkan iblis,…masyarakat kehilangan figur suluh, tak ada lagi yang dapat dijadikan qudwah shalihah (teladan). Dengan itu target al-faudha (kekacauan) dalam bidang akhlak masyarakat yang diinginkan oleh iblis semakin mendekati kenyataan. Keruntuhan moral (rusaknya amanah, hilangnya kejujuran, penjagaan akhlak) yang menimpa tokoh sekuler, tidak lebih besar bahayanya jika dibandingkan ketika hal itu mengena kepada figur ulama, da’i atau aktivis dakwah, karena kedudukannya sebagai suluh umat.
Sikap apologis bahwa yang berbuat ‘hanya oknum’ dan hal itu ‘hanya bersifat personal’ bukan organisasi, justru semakin menjauhkan umat dari mereka. Sebab keteladanan dalam Islam merupakan perkara urgen. Jika keteladanan tidak penting, mengapa Al-Qur’an diturunkan bersama dengan contoh pengamalannya oleh seorang Nabi?
Khatimah
Jika kemelut amanah dan demoralisasi ini tidak dianggap serius, sementara para kader tetap solid tanpa terganggu dekadensi itu, menganggapnya hanya sebagai korban konspirasi, sementara tidak ada upaya serius untuk muhasabah dan menjadikan momentum untuk kembali ke jalan sunnah, semakin menjadi bukti bahwa mereka memang bukan rijal dakwah seperti yang diklaim sebelumnya.
Sikap tetap solid para kader semakin mengukuhkan bahwa lembaga itu memang merupakan pilihan mereka untuk meniti tangga meraih target-target politik, dan sama sekali bukan mengejar sasaran-sasaran dakwah. Semoga Allah melindungi kita dari musibah dien seperti itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *