Mengajak Anak Belajar Bertanggung Jawab

Subuh telah berkumandang. Udara pagi yang dingin menusuk tulang. Melihat anak-anak yang masih bergelung selimut, tak tega rasanya kita  untuk mengusik mimpi panjangnya. “Kasihan… biarkan saja….” Bisikan syetan pun turut membantu, agar tidak mengganggu mereka dalam lelapnya.

Bisa jadi kita sering menghadapi hal ini. Belum lagi anak-anak biasanya memang sangat sulit dibangunkan. Entah karena tidur terlalu malam, atau memang belum terbiasa bangun pagi. Padahal waktu subuh merupakan waktu yang spesial. Sejatinya, inilah detik-detik terpenting untuk melatih kemandirian dan tanggung jawab anak sejak dini.

Mari kita memulai dengan sebuah pertanyaan. Mengapa pada peiode kenabian, anak-anak yang memasuki usia baligh benar-benar mampu bertindak dewasa. Diantara mereka ada yang minta diikutkan dalam barisan perang, bahkan ada salah seorang sahabat yang memiliki cucu pada usia 22 tahun. Lebih dari itu, Beliau SAW pun sejak kecil sudah terbiasa menghidupi dirinya sendiri dengan mengembala kambing.

Rupanya kontruksi budaya masa kini –yang entah darimana asalnya- telah melahirkan anak-anak yang mengalami keterlambatan kemandirian. Anak-anak kita, yang biasanya memasuki masa baligh pada usia 9-15 tahun, terkadang masih dianggap kanak-kanak. Lihatlah anak usia SMP/ SMA sering kita pandang sebelah mata. Belum cukup umur dan belum bisa dimintai pendapatnya. Padahal di usia itu, anak telah memiliki taklif. Dianggap mampu memikul beban. Sehingga telah dimintai pertanggungjawabannya sebagai hamba Allah yang berakal.

Justru yang tidak bisa dimengerti, ketika ada larangan bagi anak usia SD/ SMP yang mencoba belajar mandiri. UU Perlindungan Anak berbicara dengan dalih ‘mempekerjakan anak usia di bawah umur.’ Padahal yang akan mereka lakukan adalah pekerjaan yang halal. Kita lupa, Rasulullah angon wedhus,mengembala kambing  sejak usia belia. Dan ini tidak menjadi masalah. Justru sebaliknya melatih kemandirian dan jiwa kepemimpinan dalam diri Beliau SAW.

 

Menanamkan Tanggung Jawab Sejak Dini

Banyak faktor yang mengantarkan seorang anak untuk berlatih bertanggung jawab. Pada dasarnya hal ini dimulai dari proses interaksi antara orang tua dengan anak di dalam keluarga. Orang tua adalah figur. Apa yang dibiasakan di dalam rumah, akan menjadi modal pengetahuan, pemahaman dan kebiasaan pada diri anak.

Bagaimana caranya?

Pada anak usia dini, latihan dapat dilakukan dengan memberikan tugas-tugas pribadi yang sangat sederhana. Seperti makan sendiri, mandi sendiri, membereskan mainan sendiri,hingga  memelihara barang miliknya. Setelah itu meningkat pada tugas yang lebih komplek seperti membantu pekerjaan rumah, menjaga adik, dan lain-lain.

Yang perlu diperhatikan, sebagai orang tua hendaknya kita tidak langsung memberikan bantuan ketika anak mengalami kesulitan. Biarkan mereka mencoba. Biarkan mereka berusaha. Sertakan dorongan dan semangat agar mereka tak mudah menyerah. Setelah anak berada pada puncak kesulitan, barulah kita mengulurkan tangan untuk membantu.

Berikan pula kesempatan kepada anak untuk berinisiatif melakukan berbagai pekerjaan dan aktivitas. Biarkan anak belajar dari kesalahan, meski terkadang cukup merepotkan orang tua. Baik itu akibat gelas pecah alih-alih mencucinya sendiri atau tangan yang terkena duri setelah mencoba untuk membersihkan kebun. Biarkan mereka terus berkembang dan produktif selama masih dalam koridor syariat Allah.

Bagaimana bila anak melakukan kesalahan berkenaan dengan ketaatan kepada Allah? Ada sebuah cerita menarik dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi Ra, tentang penanaman tanggung jawab ini.. Beliau mengisahkan, “Ibuku pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah Saw untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum sampai kepada Beliau saya makan (buah itu) sebagian. Ketika tiba di rumah Rasulullah, Beliau menjewer telinga saya seraya bersabda: ‘Wahai anak yang tidak amanah’.” (HR Ibnu Sunni). Subhanallah… betapa Nabi SAW memberikan contoh yang gamblang, bagaimana menghadapi kesalahan yang dilakukan anak.

Akan tetapi, jangan lupa pula memberikan apresiasi positif tehadap setiap pekerjaan anak. Meski hasilnya jauh dari yang diharapkan, anak-anak akan merasa bangga dan dihargai atas setiap usaha yang dilakukan. Perlu diingat, bukan kualitas hasil saja yang menjadi patokan, namun juga kesungguhan mereka dalam berusaha.

Salah satu apresiasi positif yang sangat diharapkan anak adalah dorongan dan motifasi untuk mandiri. Berbagai kisah para sahabat yang selalu bersungguh-sungguh dalam setiap langkahnya, bertebaran dalam lembaran sejarah yang agung. Baik tentang Abdurrahman bin Auf berusaha dari titik nol, hingga menjadi pedagang yang sukses. Atau Bilal bin Rabah yang hanya seorang budak, hingga menjadi hamba merdeka dan mulia di sisi Allah dan RasulNya.

Nah, siapkah kita melatih mereka menjadi pribadi yang mandiri? In sya Allah…

 

Oleh: Redaksi/Parenting

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *