Momentum Edukasi

Dalam keyakinan aqidah umat Islam, Allah, Rasulullah, dan Al-Qur’an disakralkan dan dilarang dijadikan sebagai obyek senda-gurau dan olokolokan. Allah berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayatayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).

Ketika tindakan itu dilakukan oleh seorang muslim maka tindakan tersebut menjadikannya murtad. Alasan bahwa hal itu tidak dimaksudkan untuk menghina dan hanya sekadar candaan tidak diterima. Penjatuhan vonis mati baginya tanpa didahului dengan pemberian kesempatan untuk bertaubat (laa yustatab). Adapun jika hal itu dilakukan oleh seorang non muslim, apabila ia seorang dzimmi, tindakan itu menjadikannya kafir harbiy. Perlindungan baginya menjadi batal. Jika non-dzimmi maka tindakan itu lebih menguatkan statusnya sebagai kafir yang mendapat prioritas utama untuk diperangi.

Hukuman di luar Yurisprudensi

Kasus nabi palsu seperti Lia Aminuddin, atau Ahmad Mussadeq, masuk dalam ranah pelanggaran berat penodaan sesuatu yang disucikan oleh umat Islam. Meskipun telah ditangani dengan pendekatan hukum, akan tetapi vonis itu sebenarnya tidak sesuai dengan yurisprudensi hukum Islam. Jika dibuka yurisprudensi hukum Islam sejak zaman sahabat, sangat jelas apa yang harus dilakukan. Mereka divonis mati seperti Sajah (Nabi palsu perempuan dari Bani Tamim), Aswad al-Ansi, Musailamah, dll. Tatkala klaim kenabiannya disertai dengan mengumpulkan kekuatan untuk melindungi kedustaannya dan menyebarkannya dengan tekanan senjata, maka mereka diperangi dengan segala daya yang dimiliki oleh umat Islam. Bahkan Musailamah al-Kadzdzab tercatat sebagai Nabi palsu yang menantang eksistensi entitas Islam generasi pertama, sehingga menimbulkan perang yang paling sengit dan menelan banyak sekali korban, terutama para ‘huffadz’ dari kalangan sahabat Nabi.

Kasus penistaan al-Qur’an yang dilakukan Ahok (yang notabene non muslim), ketika penanganannya (misalnya maksimal) seperti Lia Aminudin dan Ahmad Mussadeq maka sudah dapat dipastikan bahwa ditinjau dari hukum Islam, pasti di luar yurisprudensi, karena hukum yang berlaku di Indonesia memang sistem hukum sekuler, non-syari’at. Apalagi, ternyata ada pembedaan perlakuan (atas argumentasi apapun), bahwa pada statusnya yang sudah tersangka, dia tidak ditahan.

Baca juga : Intellectual Disorder Dalam Penggandaan Uang

Umat Islam yang mulai menyadari bahwa penyelenggara pemerintahan kurang ‘fair’ dalam menangani kasuskasus menyangkut apa yang di-sakral-kan umat Islam, merasa ‘reserve’ terhadap kesungguhan dan obyektivitas mereka menangani kasus tersebut. Umat Islam berpendapat bahwa jika hal itu dibiarkan, maka akan terus berulang dan semakin menjadi-jadi. Jika penistaan tersebut dipeti eskan, kemudian hilang ditelan waktu, maka kekaburan aqidah dan kemerosotan kualitas umat akan terus menderas. Untuk menimbulkan efek jera, aksi damai dilakukan untuk menuntut agar pejabat publik yang demi kepentingan politik melecehkan agama, harus dipenjarakan.

Titik Kesadaran untuk Mengedukasi Umat

Bermula dari keluarnya fatwa MUI menanggapi pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada Selasa 11 Oktober 2016, bahwa pernyataan tersebut dikategorikan (1) menghina Al-Qur’an dan atau (2) menghina ulama. [Islamedia, Selasa, 11 Oktober 2016]. Bak bola salju, fatwa tersebut menjadi titik tolak bagi umat Islam bersama para ulama untuk membangkitkan kesadaran umat Islam terhadap agamanya dan membelanya dari para penista.

Massa umat Islam dipimpin oleh para ulama dan para tokoh, terus mendesak secara damai agar penista diperlakukan sama sebagaimana pelanggar kehormatan agama lainnya.

Berbeda dengan tumbuhnya kesadaran agama umat Islam, K.H. Sa’id Aqil Siraj ketua Lajnah Tanfidziyah PBNU justru berpendapat lain, “Energi kita jangan dihabiskan hanya karena satu orang lah. Hendaknya kita memikirkan halhal yang lebih penting, yang lebih besar, seperti narkoba, terorisme, kemiskinan, pengangguran, kekerasan seksual, kenakalan remaja dan lain-lain,” [detikcom, Senin,14/11/2016]. Pendapat beliau ini mungkin titik tekannya pada bagaimana mempercayai proses hukum yang ditangani oleh pihak kepolisian. Semoga bukan karena menganggap remeh penodaan simbol-simbol Islam oleh orang di luar Islam. Problemproblem yang beliau sebutkan memang merupakan masalah krusial bagi bangsa, akan tetapi dibandingkan dengan penistaan al-Qur’an, jelas penghinaan tersebut tidak boleh dianggap kecil.

Di masa hidup Rasulullah, pernah ada seorang muslimah mereparasi perhiasan emas pada seorang tukang emas Yahudi bani Qainuqa’ di pasar Yahudi di Madinah. Wanita tersebut menunggu proses reparasi sambil duduk berjongkok di dekat sebuah tiang. Sekelompok laki-laki Yahudi berusaha membuka jilbab muslimah tersebut. Yahudi tukang emas tersebut usil mengikatkan ujung kerudung muslimah tadi pada tiang di dekatnya. Ketika muslimah tersebut berdiri, terbukalah jilbabnya. Muslimah itu spontan berteriak, sementara Yahudi yang merasa berhasil ‘ngerjai’ muslimah tersebut tertawatawa. Hal itu mengundang seorang sahabat untuk menolong muslimah tersebut. Sahabat tersebut spontan melompat ke arah si Yahudi dan membunuhnya. Melihat temannya dibunuh, Yahudi yang lain mengikat sahabat tersebut dan mengeroyoknya hingga terbunuh. [Sirah Nabawiyah, ShafiyurRahman Al-Mubarakfury).

Kasus tersebut dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap ‘piagam Madinah’ yang menyebabkan seluruh Yahudi bani Qainuqa’ diusir dari Madinah. Terbukanya kerudung seorang muslimah, tentunya tidak lebih besar dibandingkan pedustaan terhadap ‘Kalamullah’.

Para ulama bukan tidak tahu bahwa menuntut penista Allah, Rasulullah, dan al-Qur’an dipenjara itu tidak sesuai dengan yurisprudensi hukum Islam. Para ‘alim tersebut, di tengah kondisi lemah umat Islam yang tidak mampu melaksanakan secara paripurna perintah agama, berusaha memanfaatkan celah yang tersisa untuk men-tarbiyah umat Islam. Agar umat tahu bahwa ada al-Qur’an dengan aturan Allah di dalamnya, ada surat Al-Maidah dan ada ayat 51 surat al-Maidah. Wallahu A’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *