Warisan Terbaik Untuk Anak

Di hari pembaiatan Khalifah al-Mansur, datanglah Muqatil bin Sulaiman rahimahullah. Kemudian sang khalifah pun berkata kepadanya, ”Nasihatilah aku wahai Muqatil!”

Beliau menjawab, “Apakah nasihat dengan apa yang pernah saya lihat, ataukah dengan apa yang pernah saya dengar?”

Khalifah menjawab, “Nasihatilah aku dengan apa yang pernah engkau lihat!”

Muqatil mulai memberikan nasihat, “Wahai Amirul mukminin, adalah Umar bin Abdil Aziz (khalifah yang terdahulu) mempunyai 11  anak. Akan tetapi saat meninggal, beliau hanya meninggalkan warisan 18 dinar saja. 5 dinar di antaranya untuk membeli kafan, 4 dinar untuk membeli pekuburan beliau, dan sisanya 9 dinar dibagikan kepada 11 anaknya.

Adapun Hisyam bin Abdul Malik (khalifah setelahnya) memiliki 11 orang anak juga, dan saat beliau wafat, masing-masing anak mendapatkan bagian 1 juta dinar.

Demi Allah wahai Amirul Mukminin..

Sungguh saya telah menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri di satu hari yang sama, salah satu anak Umar bin Abdul Azis (yang hanya mendapatkan warisan 9/11 dinar) bersedekah 100 kuda perang untuk keperluan jihad fii sabilillah, sementara salah seorang anak Hisyam bin Abdul Malik yang mendapat warisan 1 juta dinar), sedang mengemis di dalam pasar..

Orang-orang pernah bertanya kepada Umar bin Abdul Azis saat menjelang wafatnya, “Apa yang kamu tinggalkan untuk anak-anakmu?!”

Beliau menjawab,

“Aku tinggalkan untuk mereka ketakwaan kepada Allah. Ketika mereka menjadi orang-orang yang shalih, maka sesungguhnya Allah adalah wali (pelindung) bagi orang-orang yang shalih. Jika ternyata mereka bukan orang yang shalih, setidaknya saya tidak mewariskan kepada mereka sesuatu yang membantu mereka bermaksiat kepada Allah.”

Redaksi | Hibiy ya riihal Iiman, Syeikh Khalid Abu Syadi

Helicopter Parents, Mengenal Orang Tua yang Over Protektif

Suatu ketika penulis pernah merasa tercengang. Seorang ibu dengan wajah marah mendatangi saya. Pasalnya, di wajah anak lelakinya terdapat bekas cakaran yang diduga akibat kuku panjang anak lelaki saya. Meski telah berulang kali meminta maaf, tapi ternyata persoalannya tidak semudah itu. Si ibu masih menyimpan dendam, meski anak telah berkalung pundak.

Sebenarnya ini adalah masalah klasik. Terus berulang, terutama pada keluarga muda atau pada orang tua yang over protektif kepada anaknya. Memang, setiap orang tua bertanggung jawab penuh atas anak-anaknya. Bahkan para orang tua, kelak akan dimintai pertanggungjawaban terkait amanah yang diberikan Allah ini. Maka tak heran bila setiap orang tua akan memberikan perlindungan yang optimal terhadap buah hatinya. Bila perlu dengan super maximum security sehingga anak benar-benar bersih dari ‘virus’ yang berasal dari luar.

Baca Juga: Beberapa Kiat Agar Anak Berbakti Kepada Orangtua

Akan tetapi di belahan hati yang lain, terkadang anak justru merasa tak nyaman dengan perlakuan orang tua –yang sebenarnya memiliki maksud yang baik ini. Sehingga tanpa disadari, kemudian merenggut kreativitas mereka yang berakibat pada banyak hal. Seperti ketergantungan terhadap orang lain, mudah cemas, kurang dewasa, dan tidak pandai menyelesaikan hal-hal yang mendasar. Belum lagi bila kemudian orang tua membatasi ruang bergaul anak, agar terhindar dari ‘teman yang nakal’ tadi. Si anak menjadi tidak terampil bersosialisasi, entah karena egois  atau tidak memiliki rasa percaya diri.

 

Apakah itu Helicopter Parents?

Mungkin Anda pernah mendengar tentang helicopter parents. Ialah sebutan bagi orang tua yang over protective terhadap buah hatinya. Bisa jadi keadaan tersebut lahir tanpa unsur kesengajaan. Sebagaimana telah disebutkan tadi, wajar bila orang tua memberikan perlindungan dan perhatian kepada anak-anaknya. Namun jika model pengasuhannya over protektif, bisa jadi kesempatan anak untuk belajar menghadapi tantangan hidup, mengambil keputusan, atau menyelesaikan masalah akan hilang.

 

[bs-quote quote=” “Hadiah terpenting dan terindah dari orang tua pada anak-anaknya adalah tantangan”” style=”default” align=”left” color=”#2878bf”][/bs-quote]

Dalam tulisannya, Rhenald Kasali mengutip ucapan Carol Dweck –psikolog Stanford University,  “Hadiah terpenting dan terindah dari orang tua pada anak-anaknya adalah tantangan”. Baik itu berupa kesulitan-kesulitan hidup karena gesekan dengan teman sebaya sampai pada kegagalan-kegagalan yang akhirnya membuka pintu kesuksesan. Ini bertolak belakang dengan kebanyakan pandangan orang tua, yang selalu ingin mengambil alih (baca: turut campur) segala persoalan anak. Kesalahan anak membuat orang tua resah, sebaliknya rasa bangga berlebihan pun muncul ketika anak mengalami kemudahan dalam berbagai hal.

 

Tanda-Tanda Helicopter Parents

Boleh jadi, Anda bukan orang yang over protektif  kepada anak. Namun tak ada kelirunya bila kita mengenali tanda-tandanya. Karena tidak mesti orang tua yang ‘tahan’ dengan setiap rengekan anak bukan orang tua yang over protektif.

  1. Helicopter Parents akan menganggap bahwa tugas utamanya adalah meminimalisir rasa sakit dalam kehidupan anak. Misalnya melarang mereka bersepeda di luar rumah karena takut jatuh di jalanan beraspal, selalu meminta si Kecil untuk berpakaian lengkap meski di tengah terik matahari karena khawatir akan digigit serangga, dan lain-lain.
  2. Para orang tua yang over protektif akan senantiasa merekomendasikan bahwa si kecil akan tumbuh dengan baik apabila mereka selalu merasa bahagia sepanjang hidupnya. Tidak ada kata gagal dalam hidupnya.
  3. Orang tua seperti ini tidak akan pernah menerima kenyataan bahwa buah hatinya pernah merasakan rasa sakit atau ditanggapi negatif oleh orang lain.
  4. Helicopter Parents selalu berusaha meng-intervensi kehidupan sosial anak-anaknya. Boleh jadi bermula dari hanya sekedar mendengarkan masalah dan berusaha memberikan panduan. Namun tanpa disadari orang tua terus masuk dalam kehidupan anaknya dengan memaksakan pendapat untuk semua permasalahannya.
  5. Orang tua terus menerus memantau saat anak berada di luar rumah, hingga mungkin kecemasan orang tua-lah yang justru menjadi akar masalah.

 

Tips Agar tidak Over Protektif

 

  1. Jangan terburu-buru mencampuri urusan mereka.

Misalnya ketika anak gagal memasuki sekolah yang menjadi impiannya. Biarkan mereka memahami pelajaran hidup yang harus ditempuh untuk belajar bertanggung jawab atas setiap kegagalan pada pilihan yang diambil. Namun ironisnya orang tua over protektif seringkali terlalu mencampuri kehidupan anak-anaknya demi menghindarkan mereka dari pengalaman negatif. Padahal sebagai orang tua, kita perlu membiarkan mereka untuk bebas menyelesaikan masalahnya sendiri. Agar kelak mereka kuat dan terampil dalam kehidupannya.

  1. Ajarkan mereka cara menguasai dan menyelesaikan masalah atau perselisihan yang dialami. 

Daripada orang tua yang memecahkan masalah mereka, lebih baik cobalah ajari  bagaimana menyelesaikannya. Karena orang dewasa biasanya lebih suka mencari kambing hitam ketika terjadi konflik dengan orang lain. Maka biarkan anak-anak mengalami emosi sepenuhnya. Benar, orang tua mana yang tega melihat buah hatinya kecewa; tapi ia juga perlu tahu bahwa tidak semua orang dapat memenuhi keinginannya.

Nah, apakah Anda termasuk orang tua yang over protektiff?

 

Oleh: Redaksi/Parenting Islami

.

Seni Menjawab Keingintahuan Anak

 

“Ma, katanya Allah Maha Melihat. Tapi mengapa Allah menyuruh malaikat untuk mencatat dan melaporkan  semua amal manusia? Bukankah Allah bisa melakukannya sendiri?”

 

#senyum

Pernahkah Bunda menghadapi anak dengan pertanyaan seperti ini? Inilah sebuah keingintahuan yang terlontar dari mulut seorang balita. Mengapa begini atau mengapa begitu. Entah apa yang mereka pikirkan. Namun yang pasti, setiap orang tua maupun para pendidik yang berinteraksi aktif dengan anak, harus selalu siap menjawab semua pertanyaan mereka.

Pertanyaan anak-anak jaman sekarang, memang jauh berbeda dibanding masa kecil kita dulu. Media informasi yang diwakili oleh gadget dan televisi, telah banyak mereformasi cara berpikir setiap orang, termasuk anak-anak. Terlebih gaya pendidikan masa kini telah menjadikan mereka untuk bebas bertanya kepada orang-orang terdekatnya.

Namun bila kita perhatikan, pertanyaan yang muncul biasanya tidak jauh dari apa yang mereka lihat,amati dan rasakan. Ya, semua didorong oleh rasa ingin tahunya yang besar terhadap segala sesuatu.

Bekal rasa ingin tahu ini memang telah ada sejak manusia lahir. Kehebatan rasa ingin tahu inilah yang membuat bayi bisa merangkak, berjalan dan bicara. Selanjutnya rasa ingin tahu ini akan menentukan kualitas perkembangan otak seseorang. Ketika seorang bunda berkata “Tidak boleh!” Reflek mereka akan berkilah, “Memangnya kenapa kok tidak boleh?”

Baca Juga: Parenting Islami; Mama Galak, Kasihan si Anak

Sayangnya, tak sedikit orang tua yang memberikan intervensi negative sehingga naluri penting ini terkubur begitu saja. Sebagian mereka terkadang merasa tidak perlu menjawab pertanyaan anak yang terdengar konyol, lugu dan dibuat-buat. Bahkan menganggapnya tak berarti dan hanya membuang waktu. Tahukah bunda, hal membuat anak belajar untuk mematikan rasa ingin tahu. Ketika pertanyaan-pertanyaan mereka tidak terjawab dengan baik, mereka menjadi malas bertanya, apatis, dan tidak peduli dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tentu saja, ini sangat tidak mendidik dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak kelak.

Kita mungkin mengira, balita masih terlalu kecil dan tidak mengerti apa-apa tentang semesta kehidupannya. Padahal salah besar kalau kita menganggap seperti itu. Mereka justru memiliki daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari apa yang kita pikirkan. Dari sekian pertanyaan yang diajukan, pasti ada yang masuk dan direkam baik dalam otaknya. Mengapa? Karena otak mereka yang masih terus berkembang ini belum terpengaruh untuk memikirkan hal-hal komplek. Sehingga satu pertanyaan saja, bagi mereka ibarat mempelajari sebuah bab pelajaran sekolah sebagaimana yang dipelajari kakak-kakaknya. Maka setiap jawaban atas pertanyaan yang diajukannya akan mengasah ketajaman otaknya.

 

TRIK MENJAWAB PERTANYAAN ANAK

 

  1. Sabar

Orang tua biasanya merasa tidak punya waktu mendengarkan dan menjawab semua pertanyaan anak karena sempitnya waktu bersama mereka. Seorang ibu yang sudah disibukkan oleh berbagai pekerjaan rumah, mungkin akan lelah menghadapi seribu satu pertanyaan yang diajukan mereka. Ujung-ujungnya, tak jarang si anak malah mendapat bentakan, “Sudah diam. Ibu capek!” Jadi, salut kepada orang tua yang bersedia duduk diam menghentikan pekerjaannya, demi menjawab setiap keingintahuan anak.


  1. Jawab dengan Benar

Jawablah setiap pertanyaan anak dengan bahasa mereka yang singkat dan mudah dimengerti. Jika tidak tahu jawaban yang benar, lebih baik katakan tidak tahu. Jadi jangan bersikap sok tahu. Alih-alih mendapat jawaban yang tepat, anak justru menelan informasi yang ternyata salah. Respon yang baik dari orang tua akan membantu proses berpikir dan pemahaman mereka kelak. Tidak masalah bila ternyata mereka belum puas dengan jawaban yang diberikan sehingga kemudian bertanya lagi, lagi dan lagi. Orang tualah yang kemudian dituntut mencari jawab dengan bertanya, membaca, dan sebagainya.


  1. Mengajak Anak Ikut Mencari Jawab atas Pertanyaan yang Sulit

Mengajak anak membuka buku bersama atau bertanya kepada orang yang lebih tahu. “Yuuk… kita tanya ayah. Siapa tahu ayah lebih mengerti.” Dengan demikian si kecil akan belajar, bila kelak menghadapi masalah ia akan mencari orang yang bisa membantunya memecahkan masalah atau mencarinya di berbagai literatur.


  1. Adakalanya Tidak Langsung Dijawab.

Untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’, biarkan mereka berpikir dengan ikut mencari jawabnya. Maklumi jika jawabannya juga masih sangat sederhana karena kemampuan berpikirnya juga masih sangat terbatas. Khusus untuk pertanyaan ‘mengapa’ yang berhubungan dengan akidah, ibadah dan akhlak, giringlah mereka kepada perintah ittiba’ Rasul yang telah disyari’atkan.

 

Jadi, biarkan anak-anak bertanya. Karena itu adalah bagian dari hak mereka. Sesungguhnya selama 24 jam penuh, kitalah yang bertanggungjawab atas titipan Allah ini. Ya, untuk meluruskan, memperbaiki kesalahan dan membiarkan mereka berbuat kebaikan. Wallahu ‘alam.

 

Oleh: Redaksi/Parenting Islami

Ajarkan Muraqabah Pada Anak, Agar Selamat Dunia Akhirat

Salah satu hal terpenting yang perlu diajarkan orang tua kepada anak adalah perasaan selalu dilihat oleh Allah atau muraqabah. Muraqabah merupakan landasan keshalihan seorang anak. Oleh karena itu, Luqman memberikan nasihat kepada anaknya, “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Luqman:  16)

Salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam adalah menumbuhkan perasaan diawasi oleh Allah. Perasaan bahwa Allah dengan ilmu dan kekuasaan-Nya senantiasa melihat dan memberikan balasan sesuai dengan yang dikerjakan.

Dalam sebuh hadits diceritakan bagimana Rasulullah mengajarkan tentang muraqabah ini kepada Abdullah bin Abbas. “Suatu hari,” kata Abdullah bin Abbas, “saya diboncengkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda kepadaku, “Nak, maukah aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat:  Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Baca Juga: Beberapa Kiat Agar Anak Berbakti Kepada Orangtua

Dengan perasaan bahwa Allah selalu mengawasi, anak akan dengan mudah memutuskan segala bentuk ketergantungan kepada selain-Nya. Anak akan terjaga dari kemaksiatan dan senantiasa dalam ketaatan baik saat ia sendiri maupun saat bersama orang lain. Anak akan senantiasa istiqamah di atas jalan Allah baik saat senggang maupun saat sibuk.

Dengan menanamkan sifat ini, muncullah pribadi-pribadi kuat layaknya Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid, Usaid bin Zhahir, Al-Bara bin Azib, Zaid bin Arqam, dan yang lainnya. Kita lihat bagaimana Ali bin Abi Thalib pada usia 10 tahun telah beriman kepada Rasulullah sehingga ia mengalami berbagai gangguan dan intimidasi dari kaum kafir. Meskiun demikian, ia tetap berpegang teguh pada prinsip yang ia pilih.

Mendidik anak untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah akan memunculkan ruh untuk senantiasa terkait dengan Allah di setiap keadaan. Apabila orang tua berhasil menanamkan  perasaan ini insyaallah anak akan terjamin keistiqamahan dan keselamatannya dari penyimpangan meskipun jauh keberadaannya jauh dari orang tua.

Ketika anak telah dapat membedakan baik dan buruk, orang tua perlu mengaitkan segala aktivitas anak dengan Allah. Bahwa manusia memiliki tanggung jawab di hadapan Allah dan kewajiban kepada Allah. Ketika anak melakukan kewajiban berupa melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya maka Allah akan memberikan balasan berupa kebahagiaan. Sebaliknya, ketika anak melakukan hal yang dilarang oleh Allah maka Allah akan memberikan ganjaran yang buruk. Sedangkan manusia tidak bisa bersembunyi dari Penglihatan Allah.

Dalam hal ini orang tua dapat memotivasi anak dengan memujinya ketika si anak melakukan kebaikan. Misalnya dengan mengatakan, “Masyaallah, pinternya anak abi. Semoga Allah memasukkan kamu ke surga.” Selain itu, orang tua juga perlu mengingatkan anak bahwa Allah marah kepada orang yang melakukan keburukan. Untuk memperkuat hal tersebut, ajarkan kepada anak ayat dan hadits tentang surga dan neraka. Carilah waktu yang tepat untuk menyampaikannya, misalnya dalam perjalanan mengantarkan mereka ke sekolah. Orang tua dapat menyampaikan hadits dan ayat tersebut dengan penjelasan yang baik dan mudah diterima.

Baca Juga: Kenangan dan Bekas yang Baik Pada Anak

Orang tua dapat mengajarkan sifat ini dengan memberikan contoh dari kisah para orang shalih terdahulu. Seperti penjual susu yang tidak mau mencampur dengan air karena takut kepada Allah atau penggembala yang tidak mau menjual dombanya karena merasa diawasi oleh Allah.

Orang tua juga harus memberi teladan. Jangan sampai apa yang disampaikan orang tua bertolak belakang dengan perbuatannya. Karena anak akan selalu melihat dan meniru perilaku orang dekat, dan orang tualah orang yang paling dekat dengan mereka.

Penanaman perasaan muraqabah ini mencakup 4 hal, mengacu pada pendapat Syeikh Dr. Abdullah Nasih Ulwan, dalam kitabnya, “Tarbiyah Ruhiyah.”

1. Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah. Orang tua menanamkan keikhlasan dalam diri anak saat menjalankan segala perintah-Nya. Seperti benar-benar menfokuskan tujuan amal ibadahnya hanya kepada Allah dan karena Allah dan bukan karena faktor-faktor lainnya.

2. Muraqabah dalam kemaksiatan. Orang tua mengajarkan bahwa Allah murka pada orang yang berbuat maksiat sehingga ia harus menjauhi kemaksian, bertaubat, menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya dan lain sebagainya.

3. Muraqabah dalam hal-hal yang mubah. Orang tua menanamkan adab-adab terhadap Allah, bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan-Nya pada kita, dan melakukan amalan kebaikan untuk mendapatkan pahala dari Allah.

4. Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu dengan ridha pada ketentuan Allah serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran. Ia yakin bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang datang dari Allah dan menjadi hal yang terbaik bagi dirinya, dan oleh karenanya ia akan bersabar terhadap sesuatu yang menimpanya.

Semoga bermanfaat.

 

Oleh: Redaksi/Parenting


Baca juga artikel islami menarik penyubur iman dan penguat ketakwaan hanya di majalah islam ar-risalah. Segera miliki majalahnya dengan menghubungi agen terdekat atau kunjungi fanspage kami di FB: Majalah ar-risalah

Balasan Sempurna Bagi Orangtua Yang Meninggal Buah Hatinya

Istri positif hamil! Sebuah kabar gembira tiada terkira untuk seorang suami. Apalagi bagi pengantin baru atau pasangan yang telah sekian lama menunggu hadirnya si buah hati. Dengan kabar gembira ini, keduanya pun mulai berangan-angan tentang kebahagiaan yang akan menghiasi kehidupan keduanya, 9 bulan kemudian. Perdebatan kecil nan mesra seputar apakah nantinya yang akan lahir seorang putri jelita atau pangeran tampan yang mempesona, ikut meramaikan suasana dan menambah kehangatan kehidupan berumah tangga. Partikel-partikel kebahagiaan berkilau beterbangan bak permata. Senyum pun terulas, mata mengerjap dan setitik airmata syukur luruh bersama puja dan puji kehadirat-Nya atas anugerah yang teramat mulia.

Akan tetapi dunia, tak selalu selaras dengan apa yang diinginkan manusia. Berputar, menggilir waktu dan nasib. Siang berganti malam, sehat berganti sakit dan bahagia berganti duka dan lara. Kebahagiaan yang tengah dirasa, anugerah yang tengah diimpikan dan didoakan setiap malamnya, harus retak, pecah dan berganti nestapa merobek jiwa. Janin dalam kandungan, tak diberi kesempatan membuka kelopak mata, menatap kemilau dunia dan bertukar pandang dengan dua wajah yang sangat menantikan kehadirannya. Atau ia telah lahir, tapi Yang Mahakuasa tak memperkenankannya berlama-lama di alam fana. Ia pun pergi dengan tenang dengan jiwa yang suci, meninggalkan semua tangis yang seakan berusaha mencegahnya. Kuasa-Nya, siapapun tak akan mampu menolaknya.

 

Baca Juga: Ziarah Kubur, Mengingat Mati Melembutkan Hati

 

Jiwa yang lemah akan berteriak memberontak, “Kenapa Kau timpakan semuanya pada kami berdua?! Dan Mengapakah harus kami yang menanggungya?! Kenapa harus putra yang pertama, yang telah kami tunggu sekian lama?!”

Rasa kecewa, sedih, marah, dan putus asa mengguncang tulang-tulang rusuk, menggetarkan dada. Iman dan ilmunya terlalu lemah dan tak mampu membangun benteng kesabaran yang bisa menahan lahar panas kesedihan.

Sedang jiwa yang selalu tersiram segarnya ilmu dan iman, akan tertunduk pasrah. Ilmunya akan menasehati bahwa semua yang ada adalah milk-Nya. Sedari awal kita memang tak punya apa-apa, lalu dikarunai, dipinjami, menikmati kemudian diminta kembali. Imannya akan memberi wejangan, keputus asaan dan pemberontakan adalah kebodohan dan kedurhakaan.

Jiwa pun kembali tenang dan mencoba mencari makna dan hikmah dari apa yang telah hilang dengan menyelami sabda Rasulul Musthafa,

” Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya janin yang gugur akan menarik tangan ibunya dengan tali pusarnya menuju jannah, jika sang ibu berharap (ridha) dari Allah. (Hadits hasan riwayat Imam Ahmad).

 

Baca Juga: Memanah, Hiburan yang Mengantarkan Ke Jannah

 

” Barangsiapa yang memiliki dua anak kecil yag meninggal dari umatku, niscaya Alalh akan memasukkannya ke dalam Jannah.” Aisyah berkata, ” Lantas bagaimana dengan orang yang memiliki seorang anak (lalu meninggal)?” Nabi menjawab, ” Dan orang yang memiliki seoang anak, wahai wanita yang diberi taufik. ” (Hadits hasan riwayat Imam at Tirmidzi).

Ya Allah anugerahkanlah kepada kami yang terbaik dari sisimu. Karuniakanlah syukur saat kami bahagia, dan berikanlah kesabran saat kami dirundung nestapa.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Fadhilah Amal

Beberapa Kiat Agar Anak Berbakti Kepada Orangtua

Fenomena durhaka kepada orang tua semakin hari semakin mengenaskan. Tak “sekadar” hardikan dan bantahan saat diperintah, bahkan seperti terjadi tak lama lalu, seorang anak tega membunuh orang tuanya hanya karena tidak dibelikan helm. Krisis bakti kepada orang tua ini harus segera dicarikan jalankeluar. Sangat penting orang tua mendidik anak-anak agar berbakti kepada orangtua sejak mereka masih kecil.

Allah memerintahkan seorang anak berbakti kepada kedua orangtua dalam surat Lukman ayat 14 dengan kalimat “wasiat” yang menunjukkan keharusan atau sesuatu yang tak boleh ditinggalkan. Allah berfirman:

 

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali” [Luqman : 14]

Lantas, apa saja yang bisa dilakukan agar anak-anak kita menjadi anak yang berbakti? Berikut beberapa caranya.

 

Menceritakan Pengorbanan Orangtua

Selain menyampaikan kewajiban, ayat tersebut mengajarkan salah satu cara mendidik anak agar berbakti kepada orangtua. Allah mengajarkan kepada orang tua untuk menceritakan pengorbanan ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuhnya hingga besar. Nasihat pada anak tentang pengorbanan seorang ibu sebaiknya berasal dari ayah. Dengan begitu ayah bisa mendramatisir cerita tanpa merasa pamrih. Hal ini merupakan cara memberi pengaruh dengan menggugah emosional anak sehingga berdampak kuat terhadap perilaku.

Allah menghendaki agar anak berbakti kepada kedua orangtua mereka dan bersifat lemah lembut kepada keduanya, itu pun masih jauh dari cukup bila dibandingkan dengan kepayahan dan kelelahan orang tua dalam mengandung, membesarkan dan mendidik sang anak hingga beranjak dewasa. Berbakti kepada orangtua merupakan salah satu tanda syukur (terimakasih) kepada kedua orang tua.

 

Memberi Teladan

Orangtua perlu memberi contoh kepada anaknya dalam hal berbakti lewat sikap mereka kepada orangtua. Apa yang sudah ia lakukan pada ibu-bapaknya dan apa yang sudah dia lakukan untuk membuat anaknya taat kepadanya. Dalam hadist disebutkan, Rasulullah bersabda,

 

بَرُّوا اَبَاءَكُمْ تَبِرُّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ

“Berbaktilah kalian kepada orangtuamu, niscaya anak kalian akan berbakti pada kalian.” (HR. Hakim).

Seperti apa perlakuan kita pada orangtua, hal itulah yang menjadi sebab perlakuan anak kita pada kita. Al-jaza’ min jinsil amal, balasan itu tergantung dengan perbuatan.
Orangtua yang membina anaknya dengan baik akan mendapatkan perlakuan yang sama dari anaknya ketika usia senja. Seorang yang durhaka kepada orang tua akan melahirkan anak yang mendurhakainya. Maka, sebelum mengharap perilaku anak menjadi baik perilaku bapak dan ibu kepada orang tuanya harus diperbaiki terlebih dahulu.

 

Menceritakan Kisah Anak-anak Yang Berbakti

Salah satu cara mengajarkan tentang bakti pada orangtua ialah menceritakan kisah indah tentang birrul walidain. Ada banyak kisah tentang hal ini, misalnya: 1. Kisah tentang tiga orang yang terjebak di dalam goa kemudian dibebaskan oleh Allah lantaran bakti salah satu dari mereka kepada orang tuanya. 2. Kisah Uwais al-qarni, seorang tabiin yanb berbakti sehingga setiap doanya dikabulkan. 3. Kisah sahabat yang tak boleh berangkat jihad karena mengurus orang tuanya, dan lainnya. Atau kisah sedih para pendurhaka, seperti kisah Juraij.

 

Menanamkan Adab

Imam an-Nawawi menyebutkan satu hadits dalam kitabnya, al-Adzkar, “Nabi melihat seseorang bersama anaknya. Maka Nabi bertanya kepada anak tersebut, ‘siapakah ini yang bersamamu?’, Ia menjawab, ‘Ayahku.’ Lalu Nabi bersabda, ‘jangan berjalan di depannya dan jangan membuatnya marah kepadamu. Jangan pula duduk di depannya dan jangan memanggil namanya langsung.”

Mengajarakan akhlak, sopan santun adalah kewajiban para orang tua. Imam bukhari menyebutkan perkataan Walid bin Numair dalam al-Adabul Mufrad bahwa dahulu orang-orang shalih berkata, “kebaikan adalah berasal dari Allah sedangkan adab atau tata krama adalah berasal dari orang tua.” Ketika orang tua tidak mengajarkan akhlak yang baik kepada anaknya besar kemungkinan sang anak akan berperilaku buruk kepada kedua orang tuanya.

 

Berdoa Agar Anaknya Menjadi Anak Yang Berbakti

Doa orang tua untuk anak-anaknya adalah doa yang mudah diijabah oleh Allah. Maka bila orang tua ingin anaknya menjadi anak yang shalih dan berbakti, doakan mereka.

Rasulullah bersabda sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah,

 

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa orang yang dizholimi.” (HR. Abu Daud no. 1536. Syaikh Al Albani katakan bahwa hadits ini hasan).

Mudah terkabulnya doa orang tua mencakup doa baik dan doa buruk. Maka ketika sesekali anak membuat tak nyaman hati orang tua, jangan sampai keluar dari lisan orang tua doa buruk pada anaknya sendiri seperti yang terjadi pada Juraij. Orang tua hendaknya selalu mendoakan anaknya istiqamah dalam kebaikan, menjadi anak yang shaleh dan berbakti. Salah satu doa yang termuat di dalam al-Qur’an adalah doa ibadurrahman yang memohon kepada Allah agar dikaruniai istri dan anak yang menyenangkan hati dengan kesalihan mereka dan kepatuhan mereka kepada orang tua. Allah berfirman,

 

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqan: 74)

Semoga Allah karuniakan kita anak yang shalih dan berbakti kepada orangtua. Anak-anak yang senantiasa istiqamah di atas kebenaran.

 

Oleh: Redaksi/Keluarga

 

Baca Juga: 

 

 

Jangan Cemas Bila Anak Tak Paham Pelajaran di Sekolahan

Jangan langsung cemas saat melihat anak kita tak cepat faham saat kita membantu menerangkan pelajaran padanya. Jangan pula langsung memvonis, ada yang kurang dengan otaknya atau mencapnya sebagai anak bandel karena tak memperhatikan. Kita harus ingat bahwa otak memiliki metode berbeda-beda untuk bisa belajar dengan  efektif. Ada yang lebih cocok dengan mendengarkan, ada yang dengan membaca dan adapula yang baru bisa belajar setelah praktek nyata di lapangan.

Kita juga tak perlu panik secara berlebihan ketika melihat nilai akhir atau rapor anak kita yang ‘bersahaja’, dengan nilai-nilai seadanya. Sebab, bisa jadi ada kecenderungan, bakat atau talenta lain yang ia miliki. Lemah di pelajaran, tapi ia sangat piawai soal manajerial, sangat suka dengan niaga dan semua yang berkaitan dengan perdagangan. Atau juga  ia memiliki jiwa petualang atau mungkin pintar dalam komputer dan senang dengan berbagai perkembangan teknologi dan banyak potensi lain.

 

Baca Juga: Salah Kaprah Mendidik Anak

 

Melihat dua realita seperti ini, pertama kita hanya perlu evaluasi dan mencoba menerapkan metode pembelajaran yang pas. Dan yang kedua, kita hanya perlu meluangkan waktu untuk lebih memperhatikannya. Mendalami kecenderungan dan bakat positifnya, untuk kemudian kita salurkan dan optimalkan.

 

Inilah Yang Seharusnya Anda Cemaskan!

Akan tetapi ketika kita melihat anak kita memiliki sense beragama yang tak seberapa, juga ketaatan pada aturan-Nya yang sangat kurang, maka inilah masalah kita yang sebenarnya. Malas shalat, enggan membaca al Quran atau bahkan tidak bisa membaca, suka mengungkapkan kata-kata kotor, perilaku yang cenderung brutal dan memberontak pada orangtua dan lain sebagainya. Melihat semua ini, kita harus berpikir bahwa ada yang salah dalam pendidikan mereka. Dan prosentase introspeksi lebih besar harus kita tujukan pada diri sendiri sebagai orang tua. Sebab, secara tanggungjawab ilahiyah, kita tidak mungkin menimpakan batu kesalahan pada orang atau faktor lainnya.

Paling tidak ada dua hal yang perlu kita evaluasi.

Pertama, seberapa besar perhatian dan respon kita pada hal-hal yang sifatnya diniyah? Sebab, tak jarang, sebagian kita lebih tertarik dan cenderung memberikan apresiasi hanya pada prestasi-prestasi yang diraih anak dalam urusan duniawi. Kita beri hadiah saat ia juara menyanyi, kita puji saat ia pandai menguasai teknologi. Tapi prestasi-prestasi yang sifatnya diniyah, kita tak pernah ambil peduli. Dari perhatian yang kita berikan, anak akan membuat klasifikasi; yang ini penting karena orangtua memberikan apresiasi dan yang ini tidak penting karena toh orang tua juga tak menganggapnya penting.

Kedua, sudahkah kita memilihkan lingkungan yang baik untuknya? Jika disekitar rumah buruk kondisinya, kita bisa menilai sendiri, seberapa besar proteksi yang telah kita berikan? Dan yang lainnya adalah tentang sekolah. Dalam memilih sekolah, kita harus benar-benar teliti dan hanya asal anak senang. Sebab, lingkungan sekolah memiliki pengaruh cukup besar pada anak.

Prinsip dasar yang harus kita pegang adalah, Allah menciptakan manusia untuk beribadah pada-Nya. Dan kita diberi anugerah anak, bukan lain adalah untuk membentuknya menjadi hamba-Nya yang shalih, itulah tujuan utamanya.

 

Oleh: Taufik Anwar/Parenting

Wasiat Sang Pemimpin Kepada Anaknya

Dr. Muhammad Harb dalam al-Utsmaniyyun fi at-Tarikh wal Hadharah mencatat wasiat khalifah Utsman ketika menghadapai kematiannya kepada putranya.

Wahai anakku. Janganlah kamu sibuk melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah, Rabb semesta alam. Jika kamu menghadapi suatu kesulitan dalam pemerintahan, bermusyawarahlah dengan para ulama agama ini.

Wahai putra kesayanganku. Lingkupilah orang yang menaatimu dengan pemuliaan. Berilah kecukupan karunia kepada para tentara. Janganlah setan membuat kamu tertipu oleh tentaramu dan hartamu. Janganlah kamu menjauhi para ulama syariat.

Wahai putra kesayanganku. Kamu mengetahui bahwa tujuan akhir kita adalah mencapai keridaan Allah, Rabb semesta alam dan bahwa dengan jihad cahaya agama kita menjadi tersebar di setiap penjuru, sehingga menyebabkan keridaan Allah.

Wahai putra kesayanganku. Kita bukanlah orang-orang yang mengobarkan peperangan-peperangan untuk syahwat kekuasaan atau menguasai orang-orang. Dengan Islam kita hidup dan dengan Islam kita mati. Dan kamu wahai putraku adalah orang yang ahli terhadap urusan ini.

Itulah wasiat seorang ayah kepada putranya sekaligus wasiat pemimpin kepada calon pemimpin. Wasiat yang kemudian menjadi dasar perjalanan Bangsa Utsmani.

Nasihat pertama,

Seruan untuk konsisten kepada syariat Allah dalam segala urusan yang besar dan yang kecil dan agar hukum Allah dan perintah-Nya itu mendominasi segala sesuatu. Utsman memberikan wasiat kepada anaknya dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan setelahnya untuk sebuah negara Islam agar terikat kepada hukum Allah dalam perbuatan-perbuatannya. Karena dia mengetahui bahwa menegakkan hukum Allah melalui penguasa yang beriman itu adalah sebuah perjanjian yang sudah disebutkan oleh Allah,

Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: “Kami dengar dan kami taati”. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati(mu)” (Al-Mâidah [6]: 7).

Ini adalah peringatan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman terhadap nikmat-Nya kepada mereka di bidang syariat yang telah ditetapkan kepada mereka dalam agama yang mulia ini, yang telah diutus seorang Rasul yang mulia untuk membawanya, mengambil perjanjian kepada mereka agar mengikutinya dan menyampaikannya serta mengamalkannya.

Baca Juga: Salah Kaprah Mendidik Anak

Ini adalah konsekuensi baiat yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah untuk senantiasa mendengarkan dan taat, baik pada waktu giat maupun dalam keadaan yang tidak disuka. Sebagaimana menodai perjanjian penghakiman itu adalah merupakan suatu bentuk jahiliyah. Allah telah berfirman:

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin (Al-Mâidah [6]: 50).

Pemahaman yang luas terhadap ibadah itu mencakup hubungan-hubungan dan perbuatan-perbuatan yang banyak. Di antaranya ada yang dapat dilakukan oleh para personal dan di antaranya ada yang tidak dapat dilakukan secara sempurna kecuali dalam naungan sebuah Negara Islam. Makna-makna yang luhur ini adalah jelas pada diri pendiri Daulah Utsmaniyah. Karena itu Sang Pemimpin berwasiat dengan sebuah kalimat yang prinsip ini: “Wahai anakku, janganlah kamu sibuk melakukan sesuatu yang tidak perintahkan oleh Allah, Tuhan semesta alam.”

Nasihat kedua, 

Jika kamu menghadapi suatu kesulitan dalam pemerintahan maka bermusyawarahlah dengan para ulama. Agama ini Allah telah menetapkan sistem permusyawaratan karena ada hikmah mendalam dan tujuan-tujuan yang mulia. Dan karena di dalamnya adalah keuntungan-keuntungan yang besar dan kaidah-kaidah yang agung yang menjadikan umat, negara dan masyarakat itu terbiasa untuk melakukan kebaikan dan keberkahan. Karena itu Utsman menyuruh putranya untuk menjadikan para ulama sebagai patner dalam memecahkan urusan-urusan yang pelik.

“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Âl-Imrân [3]: 159).

Islam menegaskan prinsip musyawarah sebagai sebuah sistem yang kokoh. Bahkan Rasulullah sendiri melaksanakannya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Utsman memerintahkan kepada putranya agar mengikuti pendapat para ulama. Dia berkata: “Ikutilah petunjuk mereka. Karena mereka itu tidak memerintahkan kecuali kepada kebaikan …..”

Seolah-oleh Utsman bependapat bahwa bermusyawarah merupakan suatu keharusan bagi seorang penguasa. Yang berpendapat demikian ini di antara para ulama modern pada masa ini adalah Abul A’la Al-Maudûdi. (Redaksi/Parenting/Keluarga

 

Tema Terkait: Keluarga, Parenting, Kisah Sahabat

Mengajarkan Syahadat agar Anak Selamat

Syahadat, Laa ilaaa illallah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, merupakan kunci Islam. Ini adalah kalimat thayyibah (yang baik), yang lebih berat dalam timbangan daripada seluruh langit dan bumi. Kita mengajarkannya kepada anak-anak kita, pertama kali yang dia katakan, dan lafazh-lafazhnya mengetuk pendengaran-pendengaran mereka pada waktu pertama kali dia keluar dari perut ibunya.

Ibnul Qayyimrahimahullahdalam kitab Ahkam al-Maulud mengatakan: “Di awal waktu ketika anak-anak mulai bisa berbicara hendaklah mendiktekan kepada mereka kalimat la ilaha illallah Muhammad Rasulullah, dan hendaklah sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga diajarkan kepada mereka bahwa Allah berada di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataan mereka dan Ia senantiasa bersama dengan mereka di mana pun mereka berada. Adalah Bani Israil dahulu sering sekali memperdengarkan kepada anak-anak mereka kata-kata “Imanuel” yang berarti “Tuhan bersama kita”. Oleh karena itu nama yang paling dicintai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman. Sebab, jika anak kelak sudah paham dan mengerti, ia akan tahu bahwa ia adalah hamba Allah dan bahwa Allah adalah Tuannya.”

Baca Juga: Ayah Galau, Anak Move On!

Ibnu Zhafar Al-Makki membawakan sebuah kisah menarik mengenai kecintaan anak untuk mengulang-ulang kalimat syahadatain. Beliau mengatakan: Telah sampai kepadaku sebuah kisah bahwa Abu Sulaiman Dawud bin Nushair At-Tha’i -rahimahullah- ketika berumur lima tahun dipasrahkan oleh ayahnya kepada seorang pendidik. Sang guru memulai mengajarinya dengan mendiktekan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika si anak telah mempelajari surat Hal ata ‘alal-Insan (surat Al-Insan) dan telah menghafalkan, maka suatu hari di hari Jumat sang ibu melihatnya sedang menatap ke tembok dengan merenung sambil menunjuk sesuatu dengan tangannya. Ibunya pun akhirnya mengkhawatirkan mentalnya lalu memanggilnya: “Wahai Dawud, bangkit dan bermainlah dengan anak-anak yang lain!” Ia tidak mau memenuhi saran ibunya dan akhirnya ibunya menariknya secara paksa dan mengancamnya. Ia kemudian berkata: “Ada apa dengan ibu? Ada yang tidak berkenan pada ibu?” Sang ibu balik bertanya: “Di mana pikiranmu?” Ia menjawab: “Akalku bersama hamba-hamba Allah ?” “Di mana mereka?”, tanya ibunya lagi. Ia menjawab: “Di surga?” Ibunya bertanya lagi: “Sedang apa mereka?” Ia menjawab:

مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ لَا يَرَوْنَ فِيهَا شَمْسًا وَلَا زَمْهَرِيرًا

“Di dalamnya mereka bertelekan di atas dipan. Di dalamnya mereka tidak merasakan teriknya matahari dan tidak pula merasakan dingin yang menusuk.” (QS. Al-Insan: 13)

Ia terus membaca ayat-ayat selanjutnya dengan perenungan yang mendalam hingga sampai pada firman Allah :

هَذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاءً وَكَانَ سَعْيُكُمْ مَشْكُورًا

“Dan perbuatanmu tentu akan disyukuri (diberi balasan).” (QS. Al-Insan: 22)

Sesudah itu sang anak melontarkan pertanyaan kepada ibunya: “Wahai ibukku, tahukah engkau apa sebenarnya yang telah mereka perbuat dahulu?” Sang ibu tidak bisa menjawab, dan akhirnya ia berkata kepadanya: “Biarkan aku sejenak hingga aku selesai bertamasya menjelajahi mereka!” Setelah itu sang ibu pergi mebawanya ke hadapan sang ayah untuk memberitahukan perihal anaknya. Ayahnya kemudian berkata kepadanya: “Wahai Dawud, amalan mereka dahulu adalah mengucapkan la ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Maka Dawud pun akhirnya mengisi sebagian besar waktunya dengan ucapan kalimat ini.

Rasulullah sejak pertama kali mendapatkan risalah tidak pernah menjauhkan anak-anak dari beriman kepada seruan beliau. Beliau berangkat menemui Ali bin Abi Thalib ra, sedangkan ketika itu usianya tidak lebih dari sepuluh tahun, lalu beliau menyerunya untuk beriman dan akhirnya ia pun beriman kepada beliau dan menemani beliau dalam melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi di lembah Mekah sehingga tidak diketahui oleh keluarga dan ayahnya sekalipun.

Baca Juga: Saat-saat Berharga Bersama Anak

Ayah Ali, Abu Thalib, pernah mendapati anaknya dan Nabi sedang mengerjakan shalat, lalu ia bertanya kepada beliau: “Wahai keponakanku, agama apakah yang engkau peluk ini?” Beliau menjawab: “Wahai pamanku, ini adalah agama Allah, agama para malaikatnya, agama para rasulnya, dan agama bapak kita Ibrahim. Allah  telah mengutusku sebagai seorang rasul kepada para hamba, dan engkaulah orang yang paling berhak untuk aku ajak kepada petunjuk dan yang paling berhak untuk memenuhi seruanku ini serta membantuku dalam urusan agama ini.”

Orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan budak yang dimerdekakan adalah Zaid bin Haritsah. Ia dibawa oleh paman Sayidah Khadijah, yaitu Hakim bin Hizam, dari Syam sebagai tawanan, lalu ia diambil sebagai pembantu oleh Khadijah. Rasulullah kemudian memintanya dari Khadijah lalu memerdekakannya dan mengadopsinya sebagai anak dan mendidiknya di tengah-tengah mereka.

Demikianlah Rasulullah memulai dakwahnya yang baru di dalam menegakan masyarakat Islam dengan menfokuskan perhatian terhadap anak-anak, dengan cara memberikan proteksi, dengan menyeru dan mendoakan sehingga akhirnya si anak kelak memperoleh kemuliaan sebagai ‘tameng’ Rasulullah dengan tidurnya si ananda di rumah beliau di malam hijrah ke Madinah. Ini merupakan buah dari pendidikan yang ditanamkan oleh Nabi kepada anak-anak yang lagi tumbuh berkembang agar menjadi pemimpin-pemimpin di masa depan dan menjadi pendiri masyarakat Islam yang baru. Wallahu a’lam (Redaksi/Pendidikan Anak/Keluarga)

 

Tema Terkait: Pendidikan Anak, Syahadat, Sirah Nabawiyah

 

Salah Kaprah Mendidik Anak

Ibu merupakan salah satu aktor pendidik yang utama dalam keluarga, di samping seorang bapak. Peran ibu sebagai pendidik dalam keluarga tak bisa diremehkan. Berapa banyak tokoh umat dan ‘orang besar’ yang muncul karena hasil sentuhan pendidikan seorang ibu muslimah yang bijak.

Sebagai alarm dan rambu bagi para ibu dalam mendidik anaknya, setidaknya ada dua pola pendidikan anak yang ‘salah kaprah’ tapi sudah menjamur di kalangan para orangtua dan pendidik lainnya.

 

Sikap keras yang menindas

Berangkat dari asumsi yang keliru, banyak para ibu dan orangtua pada umumnya agar anak mereka disiplin, langkah yang diambil adalah dengan kekerasan, keras dalam berinteraksi dan keras dalam menghukum. Dalam benak para pendidik, yang demikian akan menjadikan anak disiplin dan teratur. Ucapan kasar, terkadang juga pukulan diyakini dapat memperlihatkan kewibawaan orangtua. Dengan begitu anak akan terbius dengan wibawa sang orangtua dan tunduk patuh terhadap perintah mereka.

Dalam kondisi seperti ini, hubungan orangtua menjadi timpang-tindih antara atas dan bawah. Orangtua laksana majikan yang memiliki wewenang penuh untuk mendikte anak, memarahinya jika salah dan memberinya hukuman jika melakukan tindakan yang tidak diinginkan oleh orangtua. Anak bagaikan budak yang hanya bisa tunduk, ‘sendika dawuh’ terhadap permintaan juragannya. Dengan demikian anak telah kehilangan emas dari sakunya, usia emas pertumbuhan, kebebasan berekspresi dan bermain dengan ceria.

Orangtua yang demikian tidak sadar bahwa dalam diri anak ada gejolak pertumbuhan dan menggali potensi dini yang kelak akan jadi harta karun saat mereka menginjakkan usia dewasa. Adapun anak yang dibimbing dalam tekanan dan pukulan akan berpotensi menjadi anak yang nakal dan pembangkang ketika kelak dewasa. Karena ketidakpuasan dan bara dendam terhadap perilaku dan sikap orangtua kepadanya waktu masih kecil.

Muhammad Rasyid Dimas dalam bukunya ‘Siyasat Tarbawiyyah khati’ah’ menegasakan bahwa pola kekerasan dalam mendidik anak berbahaya bagi jiwa anak. Menjadikan anak merasa diintimidasi, dizhalimi dan ditindas akan membuat luka dalam diri anak yang akan menempel kuat dan sulit untuk menghilanginya dalam waktu cepat. Yang demikian akan menghambat proses perkembangan anak dan akan membuatnya menjadi orang yang tertutup, murung, pembangkang, dan akan mengikis rasa percaya diri anak, sehingga anak mudah putus asa, minder dan tidak memiliki semangat untuk maju.

 

Sikap sayang yang memanjakan

Kebalikan dari yang diatas, jika yang pertama ibu atau orangtua terlalu keras dan kasar dalam mendisiplinkan anak, pola yang kedua inipun juga berbahaya dan seringkali dijumpai dalam sebuah keluarga. Sikap ibu yang terlalu sayang dan cinta pada anaknya, sampai ia sangat memanjakan dan memberi apa saja yang anak minta. Menyayangi dan mencintai anak itu baik, tapi terlalu memanjakan anak sangatlah berbahaya.

Para pakar pendidikan anak menegaskan bahwa memanjakan anak secara berlebih adalah kesalahan besar orangtua yang akan menyebabkan jiwa anak rapuh. Muhammad Al-Hamd dalam bukunya berkata bahwa mendidik anak dengan memanjakannya akan merusak fitrah (naluri) anak, melenyapkan keistiqamahan, merusak kewibawaan dan keberanian, sehingga anak akan tumbuh dan terbiasa hidup mewah, royal, egois, dan tidak peka dengan keadaan sekitar.

Sedangkan menurut Muhammad Rasyid Dimas memanjakan anak akan menimbulkan 6 dampak buruk. Pertama, anak menjadi tidak mandiri, tidak mau melakukan sesuatu kecuali bila dibantu orang lain. Kedua, anak terus-menerus meminta perlindungan ke orangtua dan takut terlepas dari mereka. Ketiga, anak tidak memiliki kesadaran akan tanggung jawab dan tidak menghormati tanggung jawab. Keempat, anak memiliki sikap egois dan posesif. Kelima, anak kehilangan percaya diri, dan merasa selalu gagal. Keenam, anak tumbuh menjadi pribadi yang acuh tak acuh.

Demikian dua pola yang salah dan sudah menjamur di kalangan para pendidik. Adapun pendidik yang cerdas adalah yang mampu bersikap tegas dan bersikap lunak secara bervariasi sesuai keadaan dan kebutuhan si anak, bukan melulu mendidik dengan kekerasan dan bukan pula dengan kelembutan terus-menerus.

Semoga bermanfaat.

 

(Majalah ar-risalah edisi niswah, 104/2010)

Ujian Berat yang Dianggap Ringan

Seorang shahabiyah (sahabat wanita) mulia, yang bapaknya, saudaranya dan suaminya terbunuh di Perang Uhud tatkala dikabari berita duka tersebut justru ia malah bertanya bagaimana keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dikatakan kepadanya, “Beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) baik-baik saja seperti yang engkau harapkan.” Dia menjawab, “Biarkan aku melihatnya.” Tatkala ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia mengatakan, “Sungguh semua musibah terasa ringan wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali bila hal itu menimpamu.” (Sirah Nabawiyyah Libni Hisyam, 2:99).

Setiap istri memiliki ujian masing-masing dalam keluarga. Ada seorang wanita yang takdir Allah mempertemukannya dengan lelaki tak berharta. Hidup pun harus ia jalani dengan apa adanya. Rumah, dari tahun ke tahun harus berpindah dari kontrakan ke kontrakan berikutnya. Kendaraan, yang dipunya hanya motor butut  satu-satunya di mana sang istri harus rela duduk di bagian paling belakang karena berbagi dengan anak-anaknya. Duduk di atas bagian besi, itu pun kadang hanya separuh bagian yang bisa diduduki. Belanja harian harus benar-benar disiplin, tidak boleh melebihi kuota yang cuma beberapa rupiah. Jika harga cabai melambung, misalnya, berarti menu harian bisa dipastikan minus rasa pedas. Sekolah, ingin hati menyekolahkan anak di sekolah Islami, namun apa daya, sekolah islami favorit biasanya tarifnya tinggi, tidak bersahabat dengan kantong suami.

Di keluarga lain, ada istri yang hidup berkecukupan tapi diuji dengan minimnya kesehatan. Terkena diabates misalnya. Makan terbatasi, aktifitas harus selalu dalam kendali, dan hidup terasa sempit karena banyak hal yang harus dihindari. Atau terkena kanker rahim yang mengakibatkan peluang memiliki anak hilang selamanya. Tentu bukan hal ringan membayangkan kehidupan berkeluarga tanpa satu pun momongan. Atau justru sang suamilah yang sakit hingga istri yang seharusnya merupakan tulang rusuk harus menjadi tulang punggung keluarga.

Ada pula istri yang ujiannya adalah sang mertua. Tinggal seatap dengan mertua, bahkan meskipun sang mertua kaya harta, biasanya tetap seperti hidup dalam penjara. Keluarga adalah rumah tempat segala privasi mendapatkan tempatnya. Ada banyak sekali perkara-perkara yang hanya layak dan baik untuk diketahui oleh pasangan saja. Keberadaan orang lain di dalam rumah, sedekat apapun hubungannya, tentu akan menghilangkan privasi ini. Dan pada level tertentu, hal itu bisa membuat istri jadi frustrasi.

Beragam dan setiap istri telah mendapat jatah ujiannya sendiri-sendiri. Bentuk ujiannya tidak akan beralih dari paket-paket ujian hidup yang terangkum dalam ayat 155 surat al Baqarah: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Nah, lantas apa hubungannya ujian-ujian ini dengan kisah shahabiyah tersebut di atas? Kita lihat bagaimana sikap sang shahabiyah menghadapi ujian dan musibah yang menimpa; kehilangan ayah, saudara bahkan suaminya. Dalam timbangannya, ujian itu terasa ringan karena tidak menimpa agamanya. Rasulullah adalah representasi tunggal eksistensi Islam dan agama bagi semua orang. Keselamatan Beliau adalah keselamatan bagi Islam dan terluka atau bahkan terbunuhnya beliau adalah kematian bagi Islam, kecuali setelah syariat disempurnakan. Intinya, bagi seorang shahabiyah, apapun ujian yang menimpa, asal bukan menimpa agamanya, ujian itu tidak ada apa-apanya.

Ini soal pemetaan ujian diprioritas dalam menyikapinya. Selagi ujian tersebut bukan kategori ujian bagi agama, tak perlu terlalu mempermasalahkan. Tetap bersabar, berusaha untuk memperbaiki keadaan dan berdoa agar Allah berkenan meringankan. Namun jika ujian yang dihadapi adalah ujian bagi agamanya, sudah sewajarnya jika seseorang merasa gusar, merasa berat dan entah bagaimana caranya harus segera keluar darinya. Masalahnya, ujian yang menimpa dien (agama) seseorang ini sering tidak dianggap ujian, bahkan tidak sedikit yang menyangkanya sebagai kebaikan.

Seorang istri, meskipun mendapat suami berkecukupan, sehat sejahtera, punya rumah dan mobil pribadi tapi penghasilan suaminya mengandung riba, itu adalah musibah dalam agama. Inilah ujian berat yang sesungguhnya. Mengapa? Karena dengan riba adalah pangkal segala petaka. Dunianya boleh saja sejahtera tapi akhiratnya terancam binasa. Ujian seperti inilah yang seharusnya membuat seseorang selalu risau dan tidak bisa hidup tenang. Ujian ini berat karena sang istri harus segera memperingatkan suami dan memaksanya berganti profesi.

Atau, seorang isteri yang suaminya tak peduli dengan keshalihan pasangan dan keluarga dan malah membiarkan kemaksiatan memasuki rumahnya, ini juga musibah dalam agama. Sebanyak apapun hartanya, seromantis apapun hubungannya, seharmonis apapun rumah tangganya, hakikatnya, sang isteri tengah menghadapi ujian luar biasa. Rumahnya yang terlihat indah dan bersih,  di mata Allah jauh lebih buruk dari kuburan karena tak terdengar bacan al Quran. Tawa canda bahagia keluarga hanyalah awal sementara dari kesengsaraan tak terkira di akhirat sana.

Jadi, marilah kita petakan musibah yang kita hadapi dengan sudut pandang shahabiyah tadi. Jika yang menimpa adalah ujian-ujian duniawi; kurangnya harta, rumah yang jelek, rezeki yang mepet, hutang yang menggunung, penyakit yang tak kunjung sembuh atau mertua yang cerewet, anggaplah semua itu ujian ringan. Asalkan pribadi, suami dan keluarga masih senantiasa berusaha taat dalam syariat-Nya, insyaallah ujian itu hanyalah ujian ringan. Penyelesaiannya pun gampang; sabar dan berdoa. Insyaallah semua ada pahala dan semua ada akhir masanya. Namun jika musibah menimpa agama, sabar bukanlah pilihan karena seseorang harus segera keluar darinya. Harus segera menyelesaikannya sebelum ajal menjemputnya. Jika tidak, apalagi malah berdiam menikmatinya, bersiap-siaplah menghadapi kehidupan yang sengsara di alam baka. Bukankah ini lebih berat?.Wallahua’lam.

 

(Ust. Taufik Anwar)

 

 

 

 

 

 

 

 

Hafalan-Hafalan Bagi Anak

Every child is genius. Setiap anak terlahir jenius. Anak memiliki kemampuan akal yang masih murni dan belum terbebani banyak pikiran. Usia kanak-kanak sering disebut sebagai golden age, usia emas, karena pada usia tersebut kemampuan menghafal anak lebih tinggi daripada orang dewasa. Apa yang dipelajari dan dihafal anak di waktu kecil juga akan membekas hingga ia dewasa. Kita ingat kisah Nabi Yusuf alaihissalam, beliau terpisah dari ayahnya sejak kecil ketika dimasukkan sumur oleh kakak-kakanya. Namun, pelajaran iman dari sang ayah masih membekas hingga kelak beliau dewasa dan mendapat godaan dari seorang wanita bangsawan.

Kalau kita perhatikan mayoritas anak-anak kaum muslimin hari ini, rata-rata anak senang mendendangkan lagu, menirukan iklan, dan menghafal nama-nama artis. Hanya sedikit dari mereka yang menggunakan potensi akalnya untuk sesuatu yang bermanfaat. Disinilah peran orang tua untuk mengarahkan dan membimbing anak-anaknya. Sebab, anak pada usia dini belum dapat menentukan apa yang baik (berguna) dan yang buruk (tidak berguna) bagi dirinya.

Lantas apa yang perlu kita ajarkan agar dihafal oleh anak-anak kita

1.Al-Qur’an

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa memabaca al-Qur’an, mengajarkannya, dan mengamalkannya maka pada hari kiamat akan dikenakan kepadanya mahkota yang terbuat dari cahaya. Sinarnya laksana sinar matahari. Orang tuanya akan diberi pakaian dari dua perhiasan yang tidak ada di dunia ini. Kedua orang tuanya bertanya, “Sebab apa kami diberi pakaian ini? Dijawab, “Karena anak kalian telah mengambil al-Qur’an.” (HR. Hakim).

Para shahabat dan orang-orang shalih terdahulu telah menghafal al-Quran sejak mereka masih kecil. Ibnu Abbas, seorang shahabat senior pernah menuturkan, “Rasulullah wafat sedangkan aku baru berusia 10 tahun. Aku telah membaca al-Qur’an.”

Mush’a bin Saad bin Abi Waqash berkata, “Ketika ayahku mendengar hadits Rasulullah, ‘Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Ahmad).

Ayahku mendudukkanku di hadapannya dan berkata, ‘Mushab, bacalah al-Qur’an yang telah kamu hafal’.”

Imam Asy-syafii menuturkan, “Aku hafal al-Quran ketika usiaku tujuh tahun.”

Sahl bin Abdulla at-tastari mengatakan, “Aku belajar al-Qur’an dan telah menghafalnya ketiak usiaku enam atau tujuh tahun.”

Seorang hakim yang berwibawa, Isa bin Miskin, setiap bada Ashar memanggil dua putrinya dan keponakannya untuk menghafal al-Qur’an.

2.Hadits

Orang tua dan guru hendaknya memilihkan hadits-hadits shahih yang pendek dan memiliki makna yang mudah selaras dengan masa kanak-kanak. Hasan bin Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, “Apa yang telah engkau hafal dari Rasulullah?” Ia menjawab, “Aku hafal dari beliau:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ اِلَى مَا لَا يُرِيْبُكَ فَاِءنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَاِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ

“Tinggalkan apa yang meragukanmu untuk beralih kepada yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan sedangkan kedustaan adalah keragu-raguan.” (HR. Tirmidzi).

3.Doa dan dzikir

Orang tua perlu mengajarkan doa dan dzikir terkait dengan amal keseharian sang anak untuk mereka hafalkan. Misalnya doa makan, doa masuk WC, doa ketika hendak tidur dan bangun tidur, doa naik kendaraan, bacaan shalat, dan doa-doa penting lainnya.

Di antara cara yang paling efektif adalah memberikan teladan sehingga anak melihat dan mendengar langsung orang dewasa melafalkannya di waktu-waktu tertentu secara terus menerus.

Doa yang diajarkan oleh Rasululalh kepada Ibnu Abbas kecil ketika hendak makan, “Samillah, ucapkan bismillah…” terus terngiang di telinga Ibnu Abbas hingga ia tak pernah meninggalkan pesan Rasulullah tersebut.

4.Syair dan Nasyid

Tidak mengapa memotivasi anak untuk menghafal beberapa syair dan nasyid yang dipilih dari syair yang baik. Misalnya syair yang meniupkan semangat, pendidikan akhlak, sejarah, dan mengajarkan al-wala wal bara’ kepada Allah, Rasul, dan kaum muslimin. Hindarkan anak dari syair yang mengandung unsur pornografi dan cinta yang banyak beredar saat ini. Meskipun lagu cinta itu dibalut dengan cover yang Islami.

Orang tua dapat mengambil syair dari Diwan Syafii misalnya. Atau nasyid-nasyid yang penuh semangat juang, persaudaraan, dan memberikan nilai-nilai dan ilmu yang bermanfaat bagi anak. Sebagai catatan, jangan sampai nasyid-nasyid tersebut melalaikan dari al-Quran dan hadits Rasulullah.

Orang tua perlu juga mengajarkan kalimat hikmah dari salafush-shalih untuk dihafalkan. Ungkapan yang mengandung arahan kepada adab tertentu, nasihat, atau yang lainnya. Misalnya nasihat Ibnu Mas’ud,

مَنْ أَعْطَى خَيْرًا فًاللهُ أَعْطَاهُ وَمَنْ وَقَى شَرًّا فَاللهُ وَقَاهُ

“Barang siapa memberi kebaikan maka Allah akan memberinya kebaikan. Barang siapa mencegah keburukan maka Allah akan menjaganya dari keburukan.”  Atau kata hikmah lainnya.

Bagi para orang tua, anak adalah amanah. Kelak kita akan ditanya perihal mereka di hari kiamat. Bila kita mendidik mereka untuk menjadi baik maka ia akan menjadi penyokong amal kebaikan kita hingga ketika kita tiada. Rasulullah bersabda bahwa bila seorang meninggal, terputuslah amalannya kecuali tiga hal, diantaranya anak shalih yang mendoakannya. Wallahua’lam.

 

(bahri)

 

   

 

Saat Berharga Bersama Anak

Ada saat-saat berharga dimana orang tua dapat mengajarkan banyak hal kepada anak. Ada saat-saat rutin seperti makan dan bermain. Ada juga kejadian besar seperti saat bepergian. Saat-saat tersebut dapat dijadikan wasilah bagi orang tua untuk menanamkan keimanan dan akhlak mulia pada anak.

Pendidikan pada momentum tertentu memiliki pengaruh yang besar pada jiwa dan pikiran anak. Sebab peristiwa kaya akan pemahaman dan tak terbatas pada satu hal saja. Momentum tertentu juga membuka pintu dialog antara guru dan murid yang bisa mengarah pada pengembangan ide dan pengetahuan yang dimiliki anak.

Memanfaatkan saat-saat bersama anak sebagai sarana mendidik,

1.Saat makan

Makan bersama keluarga merupakan salah satu momentum yang sangat berharga. Pada saat itu anak dapat leluasa bercerita tentang apa yang dialami sehingga hubungan orang tua dan anak terjalin baik dan orang tua dapat mengetahui kondisi anak-anaknya. Bagi orang tua, saat makan juga bisa dimanfaatkan untuk memberikan pengajaran karena semua anggota keluarga dalam kondisi rileks.

Pernah suatu kali Rasulullah makan bersama seorang anak dalam satu piring. Anak tersebut belum mengetahui bahwa ketika makan ada etika yang harus diperhatikan. Rasulullah kemudian mengajarkannya etika makan yang baik. Hal ini diceritakan sendiri oleh si anak, yaitu Umar bin Abi Salamah. Ia bercerita, “Ketika aku masih kecil, aku pernah berada dipangkuan Rasulullah saat makan. Tanganku sering berpindah-pindah. Lalu Rasulullah bersabda,

يا غلام سم الله وكل بيمينك و كل مما يليك

“Nak, ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kanan, dan ambillah yang dekat darimu.” (HR. Ibnu Majah]

Sayangnya, saat ini jarang sekali keluarga yang mempraktikkan makan bersama keluarga kecuali pada saat-saat tertentu saja. Kalaupun makan dalam waktu yang bersamaan, mereka berada di tempat yang berbeda-beda. Atau berada dalam satu ruangan namun setiap anggota keluarga sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Bila kita mampu merutinkan makan bersama seluruh anggota keluarga, setidaknya saat makan malam, sambil mengobrol ringan, insyallah banyak manfaat dan pelajaran yang bisa kita ambil.

2.Saat ayah pulang

Dahulu, para sahabat sering berkumpul bersama Nabi sampai tengah malam untuk membicarakan masalah umat. Meskipun begitu, sahabat tidak pernah menyia-nyiakan waktunya yang hanya sedikit untuk berkumpul bersama keluarga. Makan bersama, duduk bersama, menanyakan perkembangan anak-anaknya.

Suatu ketika salah seorang sahabat terlambat pulang dan tidak sempat berkumpul dengan keluarga. Ketika pulang, ia mendapati anak-anaknya sudah tertidur. Istrinya pun menghidangkan makanan. , namun ia enggan karena merasa telah melalaikan anak-anak. Karena rasa bersalah, ia bersumpah tidak akan makan pada malam itu.

3.Saat masuk rumah

Anas bin Malik, salah seorang sahabat yang bekerja membantu Rasulullah pernah masuk ke rumah Nabi tanpa meminta izin terlebih dahulu. Karena itu Rasulullah mensihatinya, “Nak, jangan masuk tanpa izin karena bisa saja di dalam terjadi sesuatu yang kamu tidak boleh tahu.” (HR. Bukhari)

4.Saat jalan-jalan

Akhdar bin Muawiyah pernah berjalan bersama pamannya, Ma’qil bin Yasar. Saat itu mereka menemukan duri di tengah jalan dan Ma’qil memungutnya kemudian menyingkirkannya. Akhdar pun melakukan hal yang sama ketika menemukan duri. Ma’qil pun bertanya, “Nak, kenapa kamu melakukan itu?” Akhdar menjawab, “Paman, aku melihatmu melakukannya maka aku pun mengikutinya.” Ma’qil berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
Siapa yang menyingkirkan duri dari jalan kaum muslimin, dicatat baginya sebagai kebaikan dan siapa yang kebaikannya diterima maka ia akan masuk surga.”
(HR. Thabrani).

5.Saat naik kendaraan

Abdullah bin Abas berkata,“Pernah suatu hari aku diboncengkan oleh Nabi. Beliau bersabda kepadaku, Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi)

Memanfaatkan saat-saat di dalam kehidupan anak mempunyai pengaruh yang sangat besar. Meskipun momentum itu sederhana, akan melahirkan manfaat luar biasa bila dimanfaatkan dengan sempurna. Sebaliknya, sebuah momentum besar tidak akan berfaedah bila tidak bisa memanfaatkannya.