Dinamika Dakwah Islam di Kesultanan Banjarmasin

            Pada dua edisi sebelumnya telah dibahas periode penerimaan Islam secara resmi di Kalimantan Selatan dan sekitarnya, yaitu dengan munculnya Kesultanan Banjarmasin pada 1526. Sultan pertama adalah Sultan Suriansyah. Sejak itu, gerak dakwah Islam semakin berjalan massif. Banjarmasin kemudian tampil menjadi salah satu pusat Islamisasi di Kalimantan.   

Islamisasi Bahasa Banjar

            Setelah menerima Islam, penggunaan huruf Arab yang dikenal dengan huruf Arab-Melayu menjadi pengikat identitas masyarakat Banjar. Bahasa Banjar dengan tulisan Arab-Melayu menempatkan Islam sebagai agama ilmu pengetahuan. Sejak abad 17, telah ada kitab Melayu-Banjar dengan huruf Arab yang dikarang oleh Syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari, sebagai bukti telah resminya huruf Arab Melayu menjadi bahasa dan tulisan ilmu pengetahuan.

            Bahasa Melayu-Banjar dan huruf Arab menjadi bahasa pemersatu komunitas Muslim di Kesultanan Banjarmasin. Surat-surat Sultan Banjarmasin senantiasa menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu, dengan bulan Hijriah dan hari serta penanggalan Arab. Salah satu contohnya adalah surat yang dikirim oleh Sultan Sulaiman Tahmidullah II bin Sultan Muhammad Aminullah kepada Gubernur Jenderal Inggris Willem Arnold Alting, 9 Dzulhijjah 1210 H (15 Juni 1796 M).

            Saat Belanda menjajah beberapa wilayah Nusantara, pemerintah Hindia Belanda sangat menghormati Sultan Banjarmasin dengan segala kebesaran Kesultanan Islam yang menggunakan bahasa Arab, huruf Arab, bahasa Melayu-Banjar dan penanggalan Hijriah sebagai identitas formal. Hal demikian sebagai bukti bahwa Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat dan dalam pergaulan sehari-hari. (Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin, hlm. 409-410)     

Membangun Jaringan Banjar-Mekah

            Rukun Islam yang kelima adalah menunaikan ibadah haji. Seorang muslim yang taat dan mempunyai kemampuan akan berusaha untuk menunaikannya. Bagi masyarakat Muslim Banjarmasin, menjadi “haji” merupakan obsesi mereka. Sejak Islamisasi Banjarmasin berlangsung, telah ada orang-orang Muslim Banjar yang pergi menunaikah haji ke Mekah. Di antara mereka adalah Haji Batu atau Syekh Abdul Malik yang menunaikan ibadah haji dari Banjamasin pada abad 16. Pada abad 17, Datu Kandang Haji dari Paringin dan Datu Ujung dari Banua Lawas-Rantau telah menunaikan haji. Abad 18, terkenal Datu Sanggul telah pulang pergi ke Mekah, Haji Matahir yang dikenal Haji Muhammad Taher dari Negara yang menunaikan ibadah haji bersama rombongan yang banyak; disusul oleh Datu Kalampayan-Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datu Nafis-Syekh Muhammad Nafis dari Kelua, serta Datu Abulung-Syekh Abdul Hamid Abulung-Martapura.

            Para Datu yang merupakan ulama Banjarmasin berperan dalam Islamisasi Banjarmasin dari abad 16 hingga awal abad 19 tersebut tidak hanya menunaikan ibadah haji. Setelah menyelesaikan manasik, mereka tidak langsung pulang ke kampung halaman. Mereka melanjutkan aktivitas mereka dengan menuntut ilmu di Mekah dan Madinah. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 420)   Dari sini, terciptalah jaringan ilmiah Banjar-Mekah.

            Barangkali nama yang paling terkenal dalam jaringan itu adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia diberangkatkan oleh Sultan Tahlilullah ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu atas biaya dari kesultanan. Muhammad Arsyad tinggal di istana dan dibesarkan sebagai putra angkat Sultan Tahlilullah sejak ia berusia tujuh tahun. Selama 30 tahun di Mekah dan 5 tahun di Madinah, ia mempelajari banyak ilmu. Ia bahkan dipromosikan sebagai guru besar mazhab Syafi‘i oleh salah seorang gurunya yang terkenal, Syekh Atha‘illah ibn Ahmad Al-Mishri Al-Azhari.

            Pada 1772, Muhammad Arsyad bersama ketiga sahabatnya: Abdush Shamad Al-Palembani, Abdul Wahhab Bugis, dan Abdurrahman Misri, kembali ke tanah air. Sesampainya ke Kalimantan, Muhammad Arsyad disambut oleh Sultan Tamjidullah. Ia kemudian bergelar Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia hidup dalam masa pemerintahan tiga sultan, yaitu Sultan Tamjidullah, Sultan Tahmidullah (memerintah 1778-1808), dan Sultan Sulaiman.

            Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ini membawa sinar yang lebih terang dalam syiar Islam di Kalimantan. Di kampung halamannya, ia menjalankan peran keulamaan dalam bidang pendidikan dan dakwah. Sebagai contoh, ia membetulkan kiblat masjid, melakukan pemurnian akidah karena masyarakat Muslim setempat masih dipengaruhi kepercayaan dan praktek-praktek pra-Islam, seperti upacara “menyanggar” dan “membuang pesilih” yang bertujuan menyembuhkan penyakit, menghilangkan sial dan mengabulkan permohonan melalui dukun yang berkomunikasi dengan roh.

            Selain itu, Syekh Muhammad Arsyad juga berupaya memerangi paham wahdatul wujud yang dipandangnya sebagai bid‘ah sesat. Sebaliknya, ia berusaha mengembangkan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia juga aktif menulis sejumlah buku, seperti Ushûlud Dîn dan Tuhfah Ar-Râghibîn dalam bidang akidah; Sabîl Al-Muhtadîn dan Hâsyiah Fath Al-Jawwâd dalam bidang fikih; serta Kanzul Ma‘rifah dan Al-Qaul Al-Mukhtâr dalam bidang tazkiyatun nafs. (Khairil Anwar, “‘Ulamâ’ Indûnîsiyyâ Al-Qarn Ats-Tsâmin ‘Asyar” dalam Studia Islamika, vol. 3 no. 4 th 1996, hlm. 139-140)

            Pada pemerintahan Sultan Tahmidullah, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari diangkat sebagai Mufti Besar Kesultanan Banjarmasin untuk mendampingi sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Untuk mendidik dan membina masyarakat Islam, ia mendirikan pondok pesantren yang menampung para santri yang datang menuntut ilmu dari berbagai pelosok Kalimantan. Dari sini lahirlah ulama-ulama yang akan melanjutkan syiar dan dakwah Islam di Kalimantan. Di antara mereka adalah Syekh Syihabuddin, Syekh Abu Zu‘ud (keduanya putra Muhammad Arsyad Al-Banjari), dan Syekh Muhammad As‘ad (cucu Muhammad Arsyad). Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah orang pertama yang menyusun organisasi Mahkamah Syariah dan qadhi pengadilan seluruh kesultanan. (Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid I, hlm. 229). Wallâhu a‘lam.       

(Ust. M. Isa Anshari)

Munculnya Kesultanan Banjarmasin

            Proses awal Islamisasi Banjarmasin berjalan lambat, namun pasti. Sejak interaksi antara pedagang Muslim dari Jawa pada masa Kerajaan Negara Daha, pertumbuhan komunitas Muslim di Banjarmasin semakin menggeliat. Para pedagang tersebut kemudian membuat jaringan perdagangan yang menjadi embrio bagi munculnya Kesultanan Banjarmasin.

 

Konflik Politik di Negara Daha

            Etnis Melayu pernah mendominasi perdagangan di Kalimantan. Mereka bahkan berhasil membangun kekuasaan politik di Nusa Tanjung Nagara sejak abad 8 hingga 15 M. Akibat menguatnya dominasi Jawa, mereka kemudian menyebar ke gugusan Pegunungan Meratus dan muara Sungai Barito.

Hubungan komunitas Melayu dengan berbagai etnis Dayak di Kalimantan dalam sejarahnya menunjukkan hubungan yang harmonis dan dinamis. Sejak abad 14 hingga 15, komunitas Melayu yang berdiam di Muara Banjar telah membangun hubungan dengan kalangan istana Kerajaan Negara Daha melalui pemberian upeti setiap tahunnya. Kelompok pemberi upeti ini dipimpin oleh Patih Masih. Ia seorang saudagar yang memiliki pengaruh luas di pesisir Muara Banjar. (Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin, hlm. 126-129)

Sementara itu, di istana Kerajaan Negara Daha terjadi konflik akibat perebutan tahta antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung. Raden Samudera adalah cucu dari Raden Sukarama, cucu Raja Negara Daha. Sebelum wafat, Raden Sukarama berwasiat agar tahta Kerajaan Negara Daha diserahkan kepada Raden Samudera. Wasiat ini menimbulkan bibit konflik karena salah satu anak Raden Sukarama yang bernama Pangerang Tumenggung tidak menyetujuinya. Setelah Raden Sukarama meninggal, Pangeran Tumenggung merebut tahta dan mengakibatkan Raden Samudar terusir dari istana Kerajaan Negara Daha. (M. Suriansyah Ideham, Urang Banjar dan Kebudayaannya, hlm. 19)

Raden Samudera melarikan diri ke muara Sungai Barito. Di sini, ia mendapatkan perlindungan dari komunitas Melayu yang dipimpin oleh Patih Masih. Dibantu oleh Patih Muhur, Patih Balit dan Patih Balitung, Patih Masih kemudian mengangkat Raden Samudera sebagai raja di Muara Banjar. Untuk mewujudkan sebuah kerajaan baru di Muara Banjar, Patih Masih memindahkan Bandar Niaga Muara Bahan ke Muara Banjar. Selain itu, Patih Masih juga rela memberikan rumahnya untuk dipergunakan dan direhab menjadi istana raja.

Langkah berikutnya yang dilakukan Patih Masih adalah berusaha mendapatkan pengakuan politik sekaligus menguatkan legitimasi kekuasaan Raden Samudera di Kerajaan Banjarmasin yang baru saja lahir. Oleh karena itu, ia memerintahkan anak buahnya untuk memberitahu ke berbagai daerah, seperti ke Kintap, Satui, Pasir, Kota Waringin, Sukadana, Sambas, Lawai dan sebagainya. Pemberitahuan terbentuknya kerajaan baru di Muara Banjar ini penting karena sebelumnya wilayah tersebut berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Daha.

Merasa kekuasaan Kerajaan Negara Daha terancam bahaya, tidak ada jalan lain bagi Pangeran Tumenggung kecuali melakukan serangan terhadap Raden Samudera dengan membawa tentaranya ke hilir Sungai Barito. Tanpa bisa dihindari, terjadilah pertempuran antara pihak Raden Samudera dan pihak Pangeran Tumenggung. Pada pertempuran awal yang terjadi di ujung Pulau Alalak, pasukan Raden Samudera berhasil meraih kemenangan. Meskipun demikian, perang belum berakhir. Kedua belah pihak berusaha saling membangun kekuatan, saling mengintai dan saling memblokade komoditas bahan makanan. Patih Masih menilai keadaan yang serba tidak menentu ini merugikan kedua belak pihak, khususnya Kerajaan Banjarmasin. Oleh karena itu, ia berinisiatif agar Raden Samudera meminta bantuan ke Jawa ke Sultan Demak. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 134-141)

         

Peran Kesultanan Demak

            Berangkatlah Patih Balit bersama rombongannya menghadap Sultan Trenggono di Demak guna meminta bantuan untuk menyelesaikan perselisihan antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung. Sultan Trenggono bersedia memberi bantuan dengan syarat Raden Samudera harus masuk Islam. Syarat ini disetujui oleh Raden Samudera. Sultan Trenggono kemudian mengirimkan seribu orang pasukan bersenjata dan mengutus seorang penghulu untuk mengislamkan Raden Samudera.

            Menurut Hikayat Banjar, penghulu itu bernama Khatib Dayyan. Nama sebenarnya adalah Sayyid Abdurrahman. Orang Jawa menyebutnya Ngabdul Rahman. Ia adalah seorang ulama yang berasal dari negeri Arab atau keturunan Arab yang telah aktif mendakwahkan Islam di Jawa. (Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 396)

            Ketika Raden Samudera telah mendapatkan bantuan seribu orang pasukan dari Demak, telah terkumpul pula di Banjarmasin sekitar empat puluh ribu orang serta para pedagang yang bersedia membantunya. Para pedagang itu berasal dari Melayu, Cina, Bugis, Mangkasar dan Jawa. Mereka ikut menyerang Kerajaan Negara Daha.

            Pertempuran besar terjadi di sekitar Sangiang Gantung selama 40 hari. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Agar korban tidak bertambah banyak, pihak Pangeran Tumenggung datang menemui Raden Samudera menyampaikan usulan untuk perang tanding antarraja. Usulan ini diterima oleh Raden Samudera. Saat waktu yang ditentukan telah tiba, Raden Samudera tidak mau melawan Pangeran Tumenggung karena menganggap seperti ayahnya sendiri. Ia bahkan mempersilakan Pangeran Tumenggung untuk membunuhnya. Pangeran Tumenggung menangis dan tidak tega membunuh keponakannya. Ia kemudian rela menyerahkan kekuasaan kepada Raden Samudera.

            Raden Samudera yang telah menerima kekuasaan Negara Daha dari pamannya lalu masuk Islam di hadapan Khatib Dayyan. Selanjutnya, ia mendapatkan nama Islam dengan nama Sultan Suryanullah atau sering juga disebut Sultan Suriansyah. Ia menjadikan Islam sebagai agama resmi di Kesultanan Banjarmasin. Dua tahun setelah memerintah, yaitu pada 1528, ia membangun sebuah masjid. Sementara itu, Khatib Dayyan yang memimpin pasukan bantuan dari Demak, ia angkat menjadi penasihatnya. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 143-181) Demikianlah rangkaian peristiwa munculnya Kesultanan Banjarmasin yang menandai periode diterimanya Islam secara resmi di wilayah tersebut. Wallahu a‘lam.

(Ust. M Isa Anshori)

Awal Islamisasi Banjarmasin

            Banjarmasin hari ini adalah ibu kota provinsi Kalimantan Selatan. Dahulu, pada abad 15 hingga abad 19, Banjarmasin adalah sebuah wilayah geografis untuk sebutan yang melingkupi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Tenggara dan sebagian Kalimantan Timur. Kumpulan berbagai etnis yang tinggal di wilayah tersebut dinamakan masyarakat Banjar. (Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin, hlm. 10)

Banjarmasin dalam Hubungan Internasional

            Meski kajian sejarah tentang Banjarmasin tidak seramai kajian sejarah tentang Sumatra dan Jawa, tetapi Banjarmasin bukanlah wilayah sepi tanpa aktivitas. Disebutnya nama Banjarmasin dalam beberapa literatur asing menjadi bukti bahwa wilayah ini telah lama dikenal dan dikunjungi orang. Tentunya ada interaksi antara pengunjung dengan pihak yang dikunjungi.

            Pada abad 7, I-Tsing menyebut nama Mo-Ho-Sin dalam berita yang ditulisnya. Nama ini ditafsirkan oleh Junjiro Takasusu sebagai sebutan untuk Banjarmasin. Dalam berbagai peta kuno yang dibuat orang-orang Eropa, sebutan untuk wilayah Kalimantan bagian Selatan, Tengara dan Tengah adalah Banjarmasin. Dalam Fig. 74, peta yang dibuat Willem Lodewijcksz tahun 1598 disebutnya Bandermacsin. Dalam peta yang dibuat oleh Theodor de Bry tahun 1602, Fig. 102, disebut Bandermach. Selanjutnya, Antonio Sanches membuat peta pada 1641 dengan menyebut Bandermasyn. Lalu dalam peta yang dibuat Jan Jansson pada 1557, ia menulis Banjermshin. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 12)

Dagang Sebagai Saluran Islamisasi

            Sebagaimana wilayah lain di Nusantara, awal masuknya Islam di Banjarmasin terjadi melalui perdagangan. Jauh sebelum Islam diterima secara resmi sebagai agama masyarakat Banjar, Banjarmasin telah masuk dalam jaringan dagang yang dibangun oleh para saudagar di Nusantara. Pedagang dari Sumatra (Melayu) dan Jawa sering mengunjungi wilayah ini. Pedagang dari Jawa bahkan berhasil mendirikan Kerajaan Negara Dipa (1387-1495) dan Kerajaan Negara Daha (1478-1526). Kerajaan Negara Dipa dibangun oleh Empu Jatmika; keturunan saudagar Keling, sedangkan Kerajaan Negara Daha dibangun oleh Raden Sekar Sungsang; anak keturunan penguasa Negara Dipa yang pernah melarikan diri dari rumahnya sewaktu masih kecil. Ia kemudian bertemu dengan pedagang dari Surabaya bernama Juragan Balaba dan menjadi anak angkatnya. Sebagaimana bapak angkatnya, Sekar Sungsang kemudian menjadi pedagang sukses.

            Ia kembali ke kampung halamannya untuk meneguhkan kekuasaan raja Majapahit atas wilayah Negara Daha. Di Majapahit sendiri, komunitas Muslim telah terbangun sejak awal kerajaan ini berdiri. Oleh karena itu, pengaruh Islam tidak hanya terlihat di Majapahit, tetapi juga di wilayah yang menjadi vasal Majapahit, termasuk wilayah pesisir Kalimantan. Tidak menutup kemungkinan para pedagang dari Majapahit yang datang ke Negara Daha dan wilayah lain di Kalimantan adalah pedagang Muslim. Menurut Yusliani Noor, hal ini ditunjukkan dengan bukti-bukti arkeologis nisan bercorak Islam di barat Kalimantan, kawasan Tanjungpura, yang bercorak Majapahit. Sekar Sungsang sendiri bahkan diduga kuat adalah pemeluk Islam yang berupaya membangun pusat kuasa Islam di Banjarmasin, sekitar Negara Daha. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 108)   

            Salah satu anak Sekar Sungsang bernama Raden Sira Panji Kesuma. Kemungkinan besar Sira Panji telah memeluk Islam. Untuk menghindarkan intrik istana Dipa dan Daha, ia diberi sebuah wilayah yang dihuni oleh etnis Ngaju. Bersama dengannya, etnis ini bersedia membangun komunitas baru di kawasan Muara Bahan dan Kahuripan yang mereka sebut Bakumpai. Dua kawasan ini sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Jawa, Melayu, Makassar, Wajo, Gujarat, dan Cina.

            Sangat mungkin antara akhir abad 15, etnis Bakumpai yang dipimpin Sira Panji Kesuma telah memeluk agama Islam. Pembentukan Islam sebagai identitas etnis ini tentulah memerlukan proses yang lama. Sebagai pemimpin Biaju atau Ngaju, Sira Panji Kesuma memiliki hubungan kekerabatan dengan Raden Sekar Sungsang. Friksi berbagai kepentingan, termasuk kuatnya pengaruh Hindu-Budha di kalangan kerabat Negara Daha, menyebabkan Sira Panji Kesuma membangun komunitas sendiri di Rantauan Bakumpai. Daerah tersebut kemudian menjadi sebutan untuk identitas etnisnya, yakni etnis Bakumpai.

            Meskipun telah memeluk Islam, Raden Sira Panji Kesuma tidak menampilkan kerajaan baru. Kepemimpinannya masih berada dalam wilayah kekuasaan Negara Daha. Oleh sebab itu, Sira Panji dan komunitas Bakumpai awal tidak membangun masjid dan tidak menampilkan simbol-simbol Islam lainnya. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 116-117)   

            Hubungan antara Majapahit dan Kalimantan dimanfaatkan oleh orang-orang Islam sebagai jalur dakwah ke pulau ini. Bandar dagang Majapahit di pesisir utara Jawa, seperti Gresik dan Tuban, telah lama didatangi oleh mubaligh Islam yang juga pedagang bangsa Arab. Datang pula mubaligh dan pedagang dari Aceh dan Malaka. Para pedagang Muslim memanfaatkan jalur dagang Jawa-Kalimantan yang sudah lama terbangun bahkan sejak sebelum Majapahit berdiri. Dengan pelan namun pasti, terbangunlah komunitas Muslim di pesisir Kalimantan.

            Pada 1470, Raden Paku atau Sunan Giri putra Maulana Ishaq yang saat itu masih berumur 23 tahun berlayar ke Kalimantan dan tiba di Muara Bahan. Kedatangannya sebagai mubaligh sambil membawa barang dagangan dengan tiga buah kapal bersama juragan Champa yang terkenal bernama Abu Hurairah. Sesampainya di pelabuhan, datanglah penduduk berduyun-duyun membeli barang dagangannya. Kepada penduduk miskin, barang-barang itu diberikannya gratis. (Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 386)

            Penyebaran Islam di kalangan penduduk Banjarmasin dilakukan dengan hati-hati dan bijak. Para mubaligh berusaha tidak menyinggung perasaan penduduk yang masih beragama Hindu-Budha dan sangat fanatik kepada Majapahit. Begitu fanatiknya, hingga muncul doktrin di kalangan mereka, “Jangan meniru adat istiadat bangsa lain kecuali adat istiadat Majapahit.” Akan tetapi setelah zaman Majapahit berakhir dan lahir Kerajaan Demak, fanatik mereka beralih kepada Demak. Mereka memandang Demak sebagai mercu suar. (hlm. 390) Wallahu a‘lam.     

 

Ust. Isa Anshari