Hukum Mengamini Doa Khatib Jumat

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dengan surat ini ana ingin menanyakan satu hal saja. Mohon Ustadz berkenan menjelaskannya.

Bolehkah kita mengaminkan khatib yang sedang berdoa ketika khutbah Jumat? Dan kalau bisa, tolong diberikan dalilnya.

Atas penjelasan Ustadz ana ucapkan Jazakumullah Khairan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

Jawaban:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Doa khatib dalam shalat Jumat adalah hal yang masyru’ (disyariatkan), karena hal tersebut telah tsabit (secara shahih bersumber) dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bahwa beliau berdoa dalam khutbah Jumat untuk kaum Mu’minin dan Mu’minat. Adapun melafalkannya (dengan suara) kata “Aamiin” atas doanya khatib tersebut, maka hal ini tidak apa-apa, karena keumuman dalil-dalil yang berkenaan dengan doa. Demikian sebagaimana yang dijelaskan di dalam kumpulan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (VIII/233), yang diketuai oleh Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz, dengan wakil ketua Syekh ‘Abdur Razzaq Afifi Athiyyah, dan Syekh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota. Ada pula keterangan tambahan dari Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin di dalam kitab beliau Fatawa Arkanil Islam, hendaknya ketika mengamini khatib dengan bacaan yang lirih.

Namun ada pula yang perlu diperhatikan, yaitu untuk mengamini doa Imam setelah shalat Jumat, yang mana dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Karena, dikhawatirkan hal ini akan menjerumuskan seseorang kepada perbuatan bid’ah yang dilarang.

Dalam sebuah atsar disebutkan:

Umar bin Yahya berkata: Ayahku mengisahkan dari ayahnya, ia berkata: “Kami duduk di depan pintu rumah Ibnu Mas’ud sebelum shalat shubuh, apabila beliau keluar kami berjalan bersamanya menuju masjid, (ketika kami sedang menanti beliau) datanglah Abu Musa al-asyar`I seraya bertanya “Apakah Abu Abdurrahman telah keluar? belum jawab kami, maka beliaupun duduk bersama kami menunggu sampai Ibnu Mas`ud keluar ketika beliau keluar kami semua berdiri, lalu Abu Musa bertanya, Hai Abu Abdurrahman! sungguh tadi di masjid aku melihat suatu perkara yang aku ingkari, namun secara sekilas  nampaknya hal itu baik. Apa itu? tanya Ibnu Mas`ud, ia Abu Musa menjawab  “sekiranya engkau dikaruniai umur panjang engkau akan melihatnya. Di masjid aku melihat sekelompok orang duduk-duduk membentuk beberapa halaqah, mereka sedang menunggu shalat, setiap kelompok tersebut dipimpin oleh seorang sedang tangan mereka memegang batu kerikil. Pimpinan  jamaah tersebut berkata kepada jamaahnya: bertakbirlah seratus kali! maka mereka bertakbir seratus kali. Lalu ia berkata lagi: bertahlilah seratus kali! Maka merekapun bertahlil seratus kali. maka ia berkata lagi: ”bertasbilah seratus kali! Maka mereka bertasbih seratus kali. Ibnu Masud bertanya kepada Abu Musa: ”lalu apa yang engkau katakan kepada mereka? aku tidak berkomentar apa-apa menunggu pendapat dan perintah darimu,” jawab Abu Musa “tidakkah engkau perintahkan mereka untuk menghitung dosa-dosa dan engkau jamin bahwa perbuatan baik mereka tak akan sirna sedikitpun? ”kata Ibnu Masud. Maka berangkatlah beliau Ibnu mas’ ud dan kamipun mengikutinya hingga beliau sampai kepada salah satu halaqah tersebut, lalu beliau memberhentikan mereka seraya berkata “Hitunglah dosa-dosa kalian maka aku menjamin bahwa amalan baik kalian tidak akan sia-sia. Celakalah kalian wahai umat Muhammmad, alangkah cepatnya kalian menuju kebinasaan, padahal para sahabat Nabi kalian masih banyak, dan bejana-bejana mereka belum pecah. Demi jiwaku yang berada ditanganya! kalian berada diatas agama yang lebih baik dari agama Nabi Muhammad atau kalian pembuka pintu kesesatan? mereka menjawab: ”Demi Allah hai Abu Abdurrahman! kami tidak menghendaki kecuali kebaikan, maka beliau mengatakan “berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan tetapi ia tidak mendapatkan (karena ia mengamalkan suatu amalan yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Rasul-nya ). (HR Ad-Darimi di dalam sunannya, Al- Muqaddimah, hadist no. 204)

Baca Juga: Hukum Membangunkan Orang Tidur Di Sela-sela Khutbah Jumat

Mahmud Salma berkata: Bukan termasuk perbuatan sunnah apabila seseorang duduk setelah shalat untuk membaca dzikir-dzikir ataupun doa doa yang ma’tsur ( yang bersumber dari hadist shahih) maupun yang tidak matsur dengan suara yang keras. Apalagi kalau bacaan semacam ini dikerjakan secara kolektif  (bersama sama), seperti yang telah terjadi di beberapa daerah, namun sayangnya tradisi yang berlaku ini malah dianggap tidak benar jika tidak dikerjakan, bahkan orang yang melanggarnya malah dianggap sebagai orang yang melanggar syariat, padahal tradisi semacam ini harusnya ditinggalkan, karena tidak diajarkan oleh Rasullah.

Muhammad Abdus Salam Asy-Syuqairi berkata, ”Membaca istighfar secara bersama-sama oleh para jama’ah setelah salam sholat merupakan perbuatan bid’ah, dan sunnahnya istighfar dilakukan sendiri-sendiri.begitu juga dengan lafadz“yaa arhama rohimin” ,yang dibaca secara bersama sama juga termasuk bid’ah.” (As-Sunan wal Mubtada’at: 60)

Asy Syathibi berkata, “Rasulullah tidak pernah mengeraskan suaranya untuk membaca do’a maupun dzikir setelah selesai sholat kecuali untuk tujuan mengajari para sahabatnya sebab jika mengeraskan bacaannya atau suaranya terus menerus pasti akan dianggap sebagai sunnah dan ulama’ pasti akan akan menganngap sunnah nabi dan selayaknya dicontoh.” (Al-I`tisham 1/351 )

Imam An-Nawawi mengatakan, “…hendaklah imam dan ma’mum tidak mengeraskan suaranya kecuali bila tujuannya untuk mengajari orang lain.” (Fathul Bari: 11/326 )

Ibnu Hajar berkata, ”Disebut dalam  kitab “Al-Atabiyah” sebuah riwayat dari Malik bahwa perbuatan tersebut (dzikir secara bersama-sama) dianggap bid’ah.” (Fathul Bari: 11/326)

Asy Syathibi  mengatakan: ”Telah disimpulkan bahwa selalu membaca do’a secara bersama-sama bukan termasuk perbuatan Rasulullah e dan juga bukan termasuk perkataan dan taqrirnya.” (Al-I`tisham :1/352 )

Jadi jelas bahwa mengamini doa khatib Jumat berbeda dengan mengamini doa/dzikir secara bersama-sama setelah melaksanakan shalat Jumat, karena yang kedua ini adalah perkara yang bid’ah. Akan tetapi bila tujuannya untuk mengajari orang lain sesekali saja, maka hal itu diperbolehkan asalkan tidak dilakukan setiap hari.

Wallahu a’lam

 

Majalah ar-risalah/Redaksi

Pemahaman Ahlus Sunnah Tentang Ru’yatullah (Melihat Allah)

وَقُلْ يَتَجلَّى اللهُ للخَلْقِ جَهْرةً … كَمَا البدْرُ لا يَخْفى وَرَبُّكَ أَوْضَحُ

Allah menampakkan diriNya kepada hambanya (mukmin) dengan jelas

Sebagaimana bulan purnama yang tampak jelas tanpa ada kesamaran dan Rabmu lebih jelas.

 

Mungkinkah manusia melihat Allah (ru’yatullah)?, bait diatas menetapkan aqidah Ahlus sunnah wal Jama’ah dalam masalah ru’yatullah, serta menerangkan pendapat-pendapat menyimpang dalam pembahasan ini.

Kelompok sesat jahmiyah dan mu’tazilah berpendapat bahwa makhluk tidak dapat melihat Allah, mereka berkata, sesungguhnya Allah tidak bisa dilihat, karena sesuatu yang bisa dilihat adalah berjism (berjasad), sedangkan Allah tidak berjasad maka Ia tidak terlihat. Kelompok ini menolak ru’yatullah baik di dunia maupun di akhirat.

Sebagian sufi ada yang berpendapat bahwa Allah dapat dilihat baik di dunia maupun di akhirat. Ini juga pendapat yang batil.

Yang benar dalam masalah ini adalah bahwa Allah Ta’ala dapat dilihat di akhirat oleh para penghuni surga. Adapaun di dunia maka tidak ada makhluk yang dapat melihat-Nya. Seorang Nabi saja tidak bisa melihat Allah di dunia, apa lagi kita. yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam ketika meminta kepada Allah untuk dapat melihat-Nya,  Allah Ta’ala berfirman :

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Allah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Rabku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatKu”. tatkala Rabnya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: “Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (QS. Al A’raf : 143).

Adapun di akhirat maka Allah Ta’ala memberikan kekuatan kepada ahli surga untuk melihat-Nya. Mereka beriman ketika di dunia walaupun belum pernah melihatnya, maka Allah memuliakan mereka di surga dengan kenikmatan berupa kemampuan untuk melihat-Nya. Sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil, baik dari Al Qur’an maupun As-Sunnah As-Shahihah.

Sedangkan orang kafir, mereka yang tidak beriman kepada Allah ketika di dunia, maka Allah memberikan hijab kepada mereka ketika di akhirat, Allah Ta’ala berfirman:

“Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup/terhalang dari Rab mereka.” (QS. Al Muthaffifin: 15)

Ini berarti, orang kafir tidak bisa melihat Allah di akhirat karena Allah memberikan penutup atas mereka dan sebaliknya orang-orang mukmin bisa melihat Allah. Diantara dalil yang bisa dijadikan sandaran dalam ru’yatullah di akhirat adalah:

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahannya.” (QS. Yunus : 26)

Pahala terbaik adalah surga dan tambahannya adalah melihat wajah Allah, ini adalah penafsiran sahabat diantaranya adalah Abu Bakar, khudaifah bin Yaman, Ibnu Abbas dan yang lain Radhiallahu’anhum. (tafsir Ibnu katsir)

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ ﴿٢٢ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabnyalah mereka melihat.” (QS. Al Qiyamah : 22-23)

Jelas sekali ayat ini menerangkan bahwa orang mukmin di akhirat nanti akan melihat Allah dengan mata mereka. Adapun dalam ayat 103 surat al-An’am:

لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ ﴿١٠٣

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”

Kata Al-Idrak dalam surat al-An’am tidaklah sama artinya dengan kata an-Nadhar dalam surat al-Qiyamah. Lebih jelasnya perhatikan kalimat ini, anda bisa melihat matahari tapi tidak bisa meliputinya (tidak dapat mengetahui secara detail, berapa besarnya, kandungan senyawanya dll). Ini di antara makhluk, lalu bagaimama makhluk meliputi Al Khaliq? Jadi ahli surga dapat melihat Allah dengan mata mereka namun mereka tidak dapat meliputi Allah Subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةً يَعْنِي الْبَدْرَ فَقَالَ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ

Dari Jarir bin ‘Abdullah berkata, “Pada suatu malam kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu melihat ke arah bulan purnama. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya. (HR. Bukhari)

Hadits shahih ini memperkuat pendapat ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah ru’yatullah. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits ini tidak menyamakan Allah dengan bulan purnama, tetapi menyamakan cara melihat bulan dan cara melihat Allah, dengan mata, tidak berdesak-desakan dan melihat dengan jelas tanpa ada sesuatu yang menghalangi. Wallahua’alam bis shawab.

 

Oleh: Ust. Taufik el-Hakim/Akidah 

Bekerja Keras di Dunia, Sengsara di Neraka

Kita pantas salut melihat orang yang kerja keras mengais rezeki, membanting tulang dan memeras keringat. Tapi, rasa salut itu akan berbalik menjadi belas kasihan, ketika kita tahu, bahwa ternyata ia adalah orang yang tidak memperhatikan urusan akhiratnya. Tidak shalat, tidak taat dan bahkan uang yang tidak seberapa banyak ia hasilkan dari kerja kerasnya digunakan untuk bermaksiat.  Betapa tidak, hasil dari jerih payahnya bukan kebahagiaan, tapi kepayahan yang lebih dahsyat dari kepayahan yang dia alami di dunia,

 عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ ﴿٣ تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً 

“Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka),”. (QS. al-Ghasyiyah 3-4)

 

Kerja Keras di Akhirat

Banyak variasi pendapat para ulama dalam menafsirkan firman Allah, “bekerja keras lagi kepayahan.” Apakah itu terjadi di dunia, ataukah di akhirat, yakni neraka. Al-Fakhrur Razi dalam tafsirnya menyebutkan tiga pendapat, “Bisa jadi segala kerja keras dan kepayahan yang dimaksud semua dialami di dunia, bisa jadi semuanya terjadi di akhirat, dan bisa jadi pula sebagian kepayahan itu dialami di dunia, sebagian lagi dialami di akhirat.” Beliau tidak memberikan keterangan manakah yang lebih rajih di antara tiga pendapat tersebut.

Namun, tak ada ulama yang membantah, bahwa di neraka, penghuninya akan mengalami kerja keras dan kepayahan. Dan tak ada yang lebih payah dari kepayahan yang dialami oleh penduduk neraka.

Hasan al-Bashri Rahimahullah mengatakan bahwa, “mereka dibuat kerja keras dan lelah di neraka oleh rantai dan belenggu.”

Berbeda dengan kepayahan di dunia yang berjeda dan ada kesempatan untuk istirahat. Di neraka, kepayahan akan berlangsung selamanya. Sementara makanannya duri yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar. Tak ada pula minuman selain air mendidih yang amat sangat panasnya.

 

Kerja Keras di Dunia untuk Dunia

Meskipun makna yang sudah pasti masuk dalam ayat tersebut adalah kepayahan di hari Kiamat sebagaiamana diindikasikan ayat sebelum dan sesudahnya, namun tidak dipungkiri, bahwa yang mereka alami di neraka itu karena ulahnya di dunia. Sehingga banyak ulama mengkaitkan kerja keras dan kepayahan di akhirat itu sebagai balasan atas tindakan mereka yang sesat di dunia. Ibnu Abbas berkata, “Yakni, ia telah bekerja keras dan kepayahan di dunia, lalu pada hari Kiamat dia masuk ke dalam Neraka yang sangat panas.”

Kerja keras di dunia yang dimaksud bisa bermakna orang yang hanya mencari kenikmatan dunia semata. Mereka bersusah payah, membanting tulang, sekedar untuk mencari makan dan kebutuhan hidup semata. Pada saat yang bersamaan, mereka enggan untuk mengabdi kepada Allah, meninggalkan amal yang bisa membuat mereka bahagia dan selamat di akhirat. Atau bahkan kerja kerasnya dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Inilah pendapat yang diutarakan oleh Ikrimah dan as-Suddi, “Di dunia mereka kerja keras di jalan maksiat, sehingga merasakan kepayahan di neraka dengan adzab dan kesengsaraan.”

Alangkah mengenaskan nasib mereka. Di dunia menderita, di akhirat sengsara selamanya. Lantas kapan mereka bisa mendapatkan kebahagiaan? Penderitaan mana yang lebih berat dan kekal daripada penderitaan ini?

Islam menghasung kita untuk kerja keras. Jika kemudian hasil jerih payah yang diapatkan belum mencukupi kebutuhan, jangan sampai membuat kita berputus asa, apalagi putus asa untuk mendapatkan kenyamanan di akhirat. Bahkan, bagi orang yang beriman, ketika mendapatkan dirinya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan, dia terhibur dengan keyakinan, bahwa kemiskinan itu hanyalah sementara, kelak di jannah takkan lagi terasa bekasnya. Berganti dengan kenikmatan tiada tara. Dengan motivasi ini, mereka akan memperhatikan urusan akhiratnya. Bersabar dalam menghadapi cobaan, sabar dalam menjalani ketaatan, dan bersabar untuk tidak tergiur dengan cara-cara maksiat untuk mendapatkan rejeki.

Mereka itulah orang-orang yang cerdas, bahkan lebih cerdas daripada orang-orang kaya yang menjadikan dunia yang begitu singkat sebagai tujuan akhirnya. Mereka memakmurkan dunia mereka dengan cara merusak akhiratnya. Mereka memilih untuk menderita selamanya, asalkan bisa sesaat bersenang-senang di dunia. Sungguh merupakan pilihan yang picik dan tak sesuai dengan nalar yang sehat.

 

Kerja Keras untuk Akhirat, Tapi Sesat

Penafsiran lain dari ‘kerja keras dan kepayahan’ dalam Surat al-Ghasyiyah ini adalah kerja keras untuk mendapatkan pahala, namun berangkat dari keyakinan yang sesat, atau cara yang salah. Syeikh asy-Syinqithi menukil sebagian penafsiran, bahwa maksud ayat itu adalah, “Mereka kerja keras dan kelelahan dalam menjalankan ibadah yang sesat, seperti para pendeta dan uskup, begitupun dengan para pelaku bid’ah.”

Kelompok ini juga sangat memprihatinkan. Betapa tidak, mereka merasa telah menjalankan ibadah, bersusah payah untuk berbuat baik dalam persangkaannya, namun ternyata sesat.

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”  (QS. al-Kahfi 103:-104)

Mereka salah dalam berkeyakinan, keliru pula dalam menjalankan, sementara mereka menyangka di atas kebenaran. Karena itulah, ketika Umar bin Khattab melewati seorang pendeta yang sedang ‘khusuk beribadah’, beliau berhenti sejenak dan memperhatikannya. Lalu, beliau menangis sembari membaca firman Allah, ‘amilatun naashibah, tashla naaran haamiya, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” Karena apa yang dilakukan pendeta itu adalah kekhusyukan dalam kekafiran.

[bs-quote quote=”Ketika Umar bin Khattab melewati seorang pendeta yang sedang ‘khusuk beribadah’, beliau berhenti sejenak dan memperhatikannya. Lalu, beliau menangis sembari membaca firman Allah, ‘amilatun naashibah, tashla naaran haamiya, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” Karena apa yang dilakukan pendeta itu adalah kekhusyukan dalam kekafiran.” style=”default” align=”center” color=”#2476bf”][/bs-quote]

Termasuk dalam kategori ini, mereka yang beribadah, baik shalat, dzikir dan amalan lain yang tidak mengikuti sunnah. Mereka yang tertarik dengan bid’ah yang diada-adakan. Syeikh asy-Syinqithi mengingatkan tatkala menafsirkan ayat ini, “Hendaknya takut akan ayat ini, orang yang beramal tanpa dasar ilmu, tapi beramal di atas bid’ah dan kesesatan.”

Umumnya, orang yang melakukan bid’ah memiliki prasangka akan mendapatkan pahala lebih dengan menjalaninya. Padahal, bukan itu amal yang dikehendaki Allah. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal untuk Allah, sedangkan benar adalah sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu alam bish shawab.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/ Muhasabah

Karakteristik Firqatun Naajiyah, Golongan Orang-orang yang Selamat

Umat Islam terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang akan masuk ke dalam surga. Merekalah firqatun naajiyah, golongan orang-orang yang selamat . Hal itu sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad. Dalam kumpulan fatwa Syekh Shalih al-Utsaimin ada seseorang yang bertanya tentang apa saja karakteristik yang paling nampak dari golongan yang selamat tersebut tersebut?

Begini beliau menjelaskan.

Karakteristik yang paling nampak dari golongan yang selamat ialah berpegang teguh dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa aqidah, ibadah, akhlak dan pergaulan. Pada keempat aspek inilah engkau dapat menemukan karakteristik yang paling nampak dari golongan yang selamat.

Dalam aspek ibadah, engkau menemukannya berpegang teguh pada ajaran yang ditunjukkan oleh kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, berupa tauhid yang murni pada aspek rububiyah, uluhiyah, nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Di dalam aspek ibadah, engkau menemukan kelompok ini berpegang teguh secara sempurna dan menerapkan tata cara ibadah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dari segi jenis, sifat, kadar, waktu, tempat, dan sebab-sebabnya. Maka, engkau tidak menjumpai mereka melakukan bid’ah pada agama Allah. Bahkan, mereka berlaku sopan dengan sepenuh kesopanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak berani secara lancang melakukan suatu ibadah apapun yang tidak diizinkan oleh Allah.

Dari aspek akhlak, engkau juga akan menemukan perbedaan dengan kelompok lain, gemar berbuat kebaikan untuk kaum muslimin, bersikap lapang dada, menampakkan wajah yang cerah, bertutur kata yang baik dan akhlak-akhlak mulia lainnya.

Di dalam aspek pergaulan, engkau menjumpai mereka bergaul dengan orang lain secara jujur dan terus terang, kedua hal inilah yang diisyaratkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam melalui sabdanya:

“Dua pihak yang melakukan akad jual-beli mempunyai hak khiyar (memilih) selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku jujur dan terus terang, maka transaksi jual beli keduanya diberkahi. Apabila keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka dihapuslah keberkahan transaksi jual beli mereka.”

Inilah ciri dan tanda ahlus sunnah wal jama’ah, golongan yang selamat, yaitu golongan yang selalu mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.

 

Oleh: Ust. Taufik al-Hakim/Fatwa Islami

Baca juga:

Iman Butuh Bukti Bukan Sekedar Teori
Syirik, Berharap Syafaat Peroleh Laknat
Hukum Mengucapkan “al-Marhum” Kepada Orang Meninggal

Yang Sunnah & Yang Bid’ah di Bulan Syawal

Salah satu amalan yang dianjurkan oleh Rasulullah setelah kita meninggalkan Ramadhan adalah shaum enam hari di bulan Syawal. Namun ada diantara kaum muslimin yang masih meragukan hukum shaum Syawal ini. Keraguan ini timbul karena menganggap bahwa hadits tentang keutamaan shaum Syawal adalah dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan rujukan.

Hadits yang menyebutkan tentang keutamaan shaum Syawal adalah,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah. Sebagian Ulama mengkategorikannya sebagai hadits mutawatir, karena diriwayatkan dari banyak jalur sehingga tidak perlu diragukan lagi kesahihannya. Oleh karena itu banyak Ulama’ yang menghukuminya sebagai sunnah. Diantara mereka adalah; Imam Syafi’I, Ahmad bin Hanbal serta beberapa Ulama’ lainnya. Adapun Imam Malik dan Abu Hanifah menghukuminya makruh. Alasan beliau karena khawatir orang yang tidak tahu akan menganggapnya sebagai bagian dari Ramadhan karena waktunya yang berdekatan, lalu menganggapnya wajib. Namun alasan tersebut lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk menolak sunnah yang sahih. Menanggapi alasan beliau, Ibnu Abdil Barr berkata, “Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Imam Malik. Andai telah sampai niscaya beliau akan sependapat dengannya.”

Kenapa shaum Syawal enam hari bisa menyamai pahala shaum setahun penuh? Para Ulama menjelaskan bahwa setiap kebaikan itu semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramdhan sama dengan shaum selama sepuluh bulan (30×10= 300 hari = 10 bulan) dan shaum enam hari di bulan Syawal sama dengan shaum selama dua bulan (6×10= 60 hari= 2 bulan). Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan shaum Syawal dan sebelumnya selama sebulan penuh di bulan Ramadhan, ia seperti melaksanakan shaum setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Nabi,

(من صام ستة أيام بعد الفطر كان تمام السنة : (من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها

“Barangsiapa shaum enam hari setelah Iedul Fitri maka seakan dia shaum setahun penuh. (Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal) (HR. Ibnu Majah)

Tidak Mesti Berurutan

Seseorang boleh memilih waktu kapan saja jika mau melakukan shaum ini, selama masih di bulan Syawal, baik di awal bulan, pertengahan, atau di akhir bulan. Sedangkan cara melaksanakannya boleh berurutan boleh pula terpisah. Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, “Para Ulama madzhab Syafi’ie mengatakan bahwa yang paling afdhal melakukan shaum Syawal secara berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan shaum Syawal setelah sebelumnya melakukan shaum Ramadhan.”

Bolehkan mendahulukan shaum Syawal sebelum mengqadha shaum yang ia tinggalkan pada bulan Ramadhan? Para Ulama’ berselisih pendapat dalam masalah ini, Imam As-Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat  boleh melakukannya. Mereka mengqiyaskan dengan shalat tathawu’ (sunnah) sebelum pelaksanaan  shalat  fardhu. Adapun pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, shaumnya tidak sah selama masih mempunyai tanggungan puasa wajib. Pendapat yang benar adalah lebih baik mendahulukan mengqadha shaum wajib daripada menjalankan shaum sunnah. Sebab mendahulukan sesuatu yang wjib daripada sunah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Dan yang wajib lebih diprioritaskan. Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, hendaknya ia mendahulukan mengqadha’nya karena hal tersebut lebih melepaskan diri dari beban kewajiban dan hal itu lebih baik daripada shaum sunnah Syawal.” Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsmaimin. 

Hari Raya Ketupat

Hari raya ketupat, disebut juga lebaran ketupat, merupakan hari raya pamungkas dari serangkaian Iedul Fitri. Orang Jawa menyebutnya “Riyoyo Kupat”. Riyoyo Kupat, sejatinya merupakan penutupan dari ibadah shaum enam hari Syawal yang berakhir tanggal 7. Jika dilakukan langsung dari tanggal 6 Syawal, maka tanggal 8 adalah hari raya ketupat. Biasanya masyarakat menyambut hari raya ini dengan memasak ketupat kemudian dilanjutkan dengan acara kenduri bersama di mushala-mushala dan di rumah-rumah. Tradisi riyoyo kupat, sebagaimana namanya, adalah murni tradisi Jawa. Namun di zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ada tradisi yang mirip dengan hari raya ini yang disebut dengan nama Yaumul Abrar (Hari rayanya orang-orang baik). Disebut Yaumul Abrar karena pada hari kedelapan dari bulan Syawal ini, orang-orang Abrar (orang baik) telah selesai melaksanakan shaum Syawal selama enam hari. Namun hal ini termasuk perbuatan bid’ah, sehingga hari ke delapan ini bukanlah sebagai hari raya, bukan untuk orang baik (abrar) bukan pula bagi orang buruk (Fujjar).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata, “Adapun membuat momen tertentu selain momen-momen yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi’ul Awal yang disebut malam maulid, atau sebagian malam bulan Rajab, tanggal 18 Dzulhijjah, Jumat pertama bulan Rajab atau tanggal 8 Syawal yang sebagian orang menyebutnya Yaumul Abrar, itu semua adalah bid’ah yang tidak disunnahkan dan tidak dilakukan oleh para salaf.”

Demikian, semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk melaksanakan sunnah-sunnah Nabi dan menjauhkan kita dari amalan-amalan bid’ah. Wallahu A’lam

(Abu Hanan)

 

Mitos Musibah Tahun 2014

 

Seperti biasanya, selepas terjadinya bencana lantas banyak mitos dan reka-reka. Termasuk pasca meletusnya Gunung Kelud. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, bencana mulai 1 Januari 2014 hingga 16 Februari 2014 berjumlah 282 kejadian.
Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, mengatakan, dari 282 kejadian bencana terdapat 197 orang tewas, 64 Luka-luka, dan 1,6 Jiwa mengungsi. Selain itu, kerugian material juga mencapai triliunan rupiah.  Ini belum termasuk korban terdampak letusan Gunung Kelud.

Karena Rebo Wekasan?
Ternyata, tidak sedikit masyarakat yang meyakini bahwa datangnya bencana pada 2014 karena tahun baru kemarin jatuh pada malam ‘Rebu wekasan’ (Rabu Terakhir).

Bahkan, pesan tentang “Rabu wekasan” ini marak beredar jelang pergantian tahun baru 2014 lalu. Dalam pesan berantai blackberry messenger beredar dinyatakan “Rabu wekasan, malam tahun baru pada tahun ini berbeda dengan tahun-tahun yang sudah lalu karena malam tahun baru pada tahun ini bertepatan pada hari rabu terakhir atau “arba’mustamir di bulan shafar”.

Dalam broadcast BBM itu juga dikatakan “pada hari rabu tersebut Allah akan menurunkan beribu-ribu malapetaka (bala’) oleh sebab itu pada tahun ini diharapkan Untuk tidak ber lebih-lebihan dalam merayakan tahun baru masehi 2014 Karena setiap manusia tidak tau musibah apa yang akan diturunkan pada hari itu..SEBARKAN TEKS INI seikhlasnya ke KONTAK MU pada sebagian mukmin ALLAH”.

Dalam bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Shafar. Tradisi-tradisi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar yang merata hampir di seluruh nusantara, khususnya di Jawa, dan ada sampai sekarang, adalah ritual yang sudah turun-temurun dari ratusan tahun lalu. Sakralitas pelaksaan upacara atau acara dalam menyambut Rabu wekasan, membuat keangkeran makin menancap kuat dalam benak masyarakat.
Orang Jogja menamainya dengan Rabu pungkasan, orang Sunda menyebut Rebo kasan, orang Madura menyebut Rebbuh bekasen dan Rabu bekas di sebagian daerah.

Dalil yang Digunakan

Yang dimaksud dengan Rebo Wekasan ini adalah hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Hari tersebut dianggap sebagai hari ‘naas’ karena konon pada hari itulah kaum Ad dibinasakan oleh Allah. Tentang firman Allah Ta’ala,
’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus. yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang” (Q.S al-Qamar (54:18-20).

Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu (fi yawmi nahsin mustammir)  tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu Wekasan.
Kalaupun benar bahwa peristiwa tersebut terjadi pada hari itu, tapi ayat ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu terakhir bulan Shafar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah hari kesialan yang berlakunya terus menerus. Alasan Allah menimpakan bencana tersebut bukan karena waktu, akan tetapi karena kedustaan dan kekafiran kaum ‘Ad.
Ada lagi yang menyandarkan keyakinan Rabu wekasan sebagai hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir pada sebuah riwayat yang berbunyi,

آخِرُ أَرْبِعاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ

“Rabu terakhir di bulan (safar) adalah hari musibah yang terus menerus.”
Namun derajat hadits ini dikomentari para ulama dengan level yang paling tinggi ‘dha’if”, adalagi yang menyebut dha’if jidan (lemah sekali) dan bahkan ada yang menilai maudhu’ (palsu).
Imam ath-Thabrani setelah menyebutkan riwayat itu berkata, “Hadits ini tidak diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad melainkan melainkan melalui jalan Ibrahim bin Abi Hayyah.” Sedangkan ia adalah orang yang haditsnya munkar seperti yang ddikatakan oleh al-Bukhari dan Abu Hatim, “munkarul hadits”. Imam an-Nasa’i mengatakan, “lemah”.

Bulan Shafar  adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang  tidak memiliki kehendak dan  berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.
Karenanya, orang yang mencela dan menganggap sial hari-hari tertentu berarti mencela Allah, karena Dialah yang menggulirkan waktu demi waktu. Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ

“janganlah kalian mencela masa, karena Allahlah (Pemilik) masa.” (HR Muslim)
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa’um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini. Padahal Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menepis mitos ini dengan sabdanya,

“tidak ada thiyarah (kesialan yang ditandai dengan gelagat burung), tidak pula ada (kesialan pada bulan) Shafar.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketika pikiran seseorang disibukkan oleh pengaruh buruk dari hari-hari tertentu maka ia akan cenderung menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya. Maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Atau minimal hatinya akan dibayang-bayangi oleh rasa gundah atau waswas.

Intinya, tidak selayaknya kita menyalahkan masa atau hari-hari tertentu sebagai biang musibah. Justru hendaknya masing-masing kita mawas diri, dosa apa yang telah dilakukan hingga musibah terjadi. Lalu memperbanyak istighfar dan bertaubat kepada Allah. Karena ketika bencana turun karena dosa, maka tidak ada cara efektif untuk menanggulanginy akecuali dengan taubat. Seprti yang dikatakan para ulama, “Laa yaziu balaa’un illa bidzanbin, wa laa yurfa’u illa bit taubah”, tidaklah turun musibah melainkan karena dosa, dan musibah tidak berhenti melainkan dengan bertaubat. Allahumma tubna ilaika. Aamiin. (Abu Umar Abdillah)