Khilafah & Syari’ah Islam

Saat revolusi IT dan dunia informasi mulai terasa pengaruhnya, penulis membayangkan, transparansi informasi dan obyektivitas data akan mengalami perubahan menuju ke arah yang lebih jujur dan makin menjauh dari kebohongan. Harapan itu bertumpu pada dirambahnya hampir seluruh sudut bumi oleh jangkauan informasi dan pemberitaan dengan kecepatan live, hampir tidak ada delay antara kejadian dengan sampainya informasi. Ketika kemudian muncul informasi dengan genre hoax, penulis menyadari, obyektivitas dan transparansi tidak bertumpu pada jangkauan, akurasi dan kecepatan transmisi alat, tetapi kepada sikap mental operator alat dan sarana.

Di alam demokrasi, penyebaran gagasan dan ide merupakan perkara esensial asas tempat berpijak paham demokrasi, dan hal itu dilindungi dengan regulasi. Seharusnya itu menjadi lahan subur mendidik masyarakat untuk lebih bersikap akademik, membuka pikiran untuk menerima pendapat yang berbeda. Jauh dari ekspektasi itu, ternyata ketika gagasan yang diperkenalkan kepada masyarakat berbeda dengan platform yang dipegangi oleh penguasa, sementara gagasan itu mendapatkan respon positif dari masyarakat, pemikiran berkembang dan diterima, penguasa cenderung menggunakan abuse of power, menggunakan pendekatan kekuasaan untuk memberangus pemikiran. Suatu tindakan yang bertentangan dengan sendi dasar ajaran demokrasi yang mereka pegangi.

Fakta Historis Khilafah

Syari’at Islam dan Khilafah merupakan discourse akademik yang terbuka untuk didekati dengan studi sejarah. Jika dilakukan studi sejarah secara obyektif, siapa pun tidak akan kesulitan untuk menemukan fakta-fakta ilmiah mengenai eksistensi dan peran institusi khilafah dalam meng-implementasikan syari’at Islam di tengah umat Islam. Adapun fakta bahwa kualitas penerapan prinsip-prinsip tersebut dari waktu ke waktu fluktuatif, hal itu juga tidak bisa diingkari. Sebab, meskipun khilafah dan syari’at Islam merupakan ajaran yang bersumber dari Al-Qur’aan dan As-Sunnah, akan tetapi pelaksanaannya merupakan hasil ijtihad manusia yang tidak terlindungi dari kemungkinan salah, pelaksananya bukan Nabi, tidak ma’shum. Tetapi pernyataan bahwa khilafah tidak pernah ada dan utopis seperti yang banyak dikatakan oleh para politisi dan penyelenggara pemerintahan dari kalangan orang Islam, merupakan pernyataan ahistoris dan berpotensi menjadi intelectual abuse.

Bagaimana tidak, para sejarawan muslim maupun non-muslim mencatat Khilafah Rasyidah setelah Rasulullah hingga 30 tahun setelah beliau wafat, kemudian Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyah, dll. Khilafah ‘Utsmaniyah yang mengalahkan dominasi Romawi Timur bukanlah kabar bohong, kota Konstantinopel berganti nama menjadi Islambul, yang kemudian dikenal dengan Istanbul, pemerintahannya berdiri lebih dari 500 tahun. Bahwa implementasi syari’at Islam di dalamnya mengalami pasang-surut, hal itu tidak kemudian menafikan eksistensinya. Sebagaimana hal yang sama terjadi pada sistem yang lain, bahkan lebih buruk.

Tersebarnya Islam di negara dengan penduduk muslim terbesar ini juga tidak lepas dari peran kekhalifahan tersebut dari waktu ke waktu dalam mengirim para ulama sebagai delegasi du’aat. Spirit, keberanian dan pengorbanan untuk melawan penjajah Portugis, Inggris, Belanda maupun Jepang tidak mungkin dilepaskan dari peran para ulama yang terus menerus menginspirasi dan memimpin umat. Sulit dibayangkan para pemeluk Nashrani (misalnya) akan melawan penjajah tersebut, sedang mereka memeluk agama tersebut karena terkena ajakan ‘dakwah’ mereka. Kesultanan Aceh dalam menghadapi Portugis di Malaka juga melibatkan para penembak meriam dari Turki Utsmaniy (1567), dibantu oleh kerajaan Demak dan Calicut (India). Ini merupakan peran nyata Khilafah pada zamannya.

Baca Juga: Memaknai Islam Sebagai Rahmatan lil ‘alamin

Para Wali lokal seperti Sunan Kalijaga yang dipuji dan dibanggakan oleh penduduk muslim di tanah Jawa maupun Indonesia pada umumnya tidak lahir langsung pintar, tetapi hasil dakwah dan didikan para ulama delegasi kekhalifahan tersebut. Prestasi keulamaan global seperti Imam Nawawi al-Jawiy al-Bantaniy yang menjadi Imam Masjid al-Haram (kakek buyut KH Ma’ruf Amin), yang juga merupakan ulama’ penulis yang sangat produktif pada zamannya, tidak dapat dilepaskan dari peran para pendakwah sebelumnya. Beliau masih keturunan Syarif Hidayatullah yang menginisiasi banyak perlawanan jihad menghadapi Portugis hingga kolonialisme Belanda, merebut dan mengalahkan Portugis dari Sunda Kelapa dan mengganti namanya dengan Jayakarta (Jakarta).

Semua itu merupakan fakta sejarah tidak terbantahkan. Menafikan peran Khilafah, merupakan tindakan ‘bunuh diri sejarah’. Islam dan umat Islam Indonesia tidak mungkin dapat dilepaskan dari peran Khilafah Islamiyah pada zamannya. Apakah mereka membanggakan para sesepuh dalam melahirkan nation state Indonesia, sementara mereka memotong sejarah nenek moyang mereka yang lebih jauh, yang tersambung langsung dengan kekhalifahan dan para Khalifah/Sultan.

Nubuwah Nabi tentang Khilafah di Atas Sistem Kenabian

Mengenai nubuwah Nabi tentang akan kembalinya khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah di akhir zaman, ketum PKB dalam acara ‘Menangkal yang Radikal’-nya Metro TV, Rabu malam 24/5/2017 menyatakan bahwa hadits tentang adanya Khilafah di akhir zaman, merupakan hadits dlo’if yang tidak dapat dijadikan argumentasi. Pernyataan tersebut melampaui kapasitas dirinya sebagai politisi dan memasuki wilayah yang bukan otoritasnya, apalagi tanpa menyertakan sumber rujukan yang mendasari statement-nya. Padahal pakar hadits modern Syaikh Nashiruddin al-Albaniy dalam kitab beliau As-Silsilah ash-Shohihah mengatakan bahwa hadits tentang Al-Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah merupakan hadits shahih.

Pernyataan itu juga menyalahi kultur basis konstituen partainya yang menghargai ulama’ serta meyakini kuat terhadap nubuwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelumnya politisi tersebut juga telah membuat blunder dukungan kepada calon pemimpin non-muslim dalam kasus pilkada DKI.

Khatimah

Kita tidak menafikan bahwa perdebatan tentang Khilafah pada hari ini diwarnai oleh banyak hal yang membuat sebagian besar publik kehilangan jejak dan obyektivitas. Munculnya kelompok Islamic State di Iraq dan simpatisannya di semua tempat, seruan Hizbut Tahrir untuk kembali kepada Khilafah menurut konsepnya, serangan-serangan bersenjata dan pemboman baik lokal maupun global dengan mengatasnamakan Khilafah turut mempengaruhi suasana perbincangan tentang khilafah ini.

Baca Juga: Khilafah Rasyidah Mahdiyah

Beragam metode untuk kembali memunculkan khilafah seperti yang dilakukan beberapa golongan, seharusnya tidak menjadikan pembahasan ilmiah tentang Khilafah kehilangan obyektivitas-nya. Sebab boleh jadi kemunculannya tidak seperti yang diteorikan oleh HT, atau jalan penuh kekerasan yang ditawarkan Al-Adnaniy, tetapi juga tidak seperti yang dikehendaki oleh Demokrasi. Sistem demokrasi selalu berbuat curang tatkala Khilafah atau syari’at Islam menempuh jalur konstitusional seperti pengalaman di Aljazair pada era 90-an, maupun Mesir dengan terpilihnya Muhammad Mursi sebagai presiden. (Redaksi/Fikrah/Juli 2017)

 

Tema Terkait: Rahmatan lil ‘alamin, Khilafah, Akidah

Momentum Edukasi

Dalam keyakinan aqidah umat Islam, Allah, Rasulullah, dan Al-Qur’an disakralkan dan dilarang dijadikan sebagai obyek senda-gurau dan olokolokan. Allah berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayatayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).

Ketika tindakan itu dilakukan oleh seorang muslim maka tindakan tersebut menjadikannya murtad. Alasan bahwa hal itu tidak dimaksudkan untuk menghina dan hanya sekadar candaan tidak diterima. Penjatuhan vonis mati baginya tanpa didahului dengan pemberian kesempatan untuk bertaubat (laa yustatab). Adapun jika hal itu dilakukan oleh seorang non muslim, apabila ia seorang dzimmi, tindakan itu menjadikannya kafir harbiy. Perlindungan baginya menjadi batal. Jika non-dzimmi maka tindakan itu lebih menguatkan statusnya sebagai kafir yang mendapat prioritas utama untuk diperangi.

Hukuman di luar Yurisprudensi

Kasus nabi palsu seperti Lia Aminuddin, atau Ahmad Mussadeq, masuk dalam ranah pelanggaran berat penodaan sesuatu yang disucikan oleh umat Islam. Meskipun telah ditangani dengan pendekatan hukum, akan tetapi vonis itu sebenarnya tidak sesuai dengan yurisprudensi hukum Islam. Jika dibuka yurisprudensi hukum Islam sejak zaman sahabat, sangat jelas apa yang harus dilakukan. Mereka divonis mati seperti Sajah (Nabi palsu perempuan dari Bani Tamim), Aswad al-Ansi, Musailamah, dll. Tatkala klaim kenabiannya disertai dengan mengumpulkan kekuatan untuk melindungi kedustaannya dan menyebarkannya dengan tekanan senjata, maka mereka diperangi dengan segala daya yang dimiliki oleh umat Islam. Bahkan Musailamah al-Kadzdzab tercatat sebagai Nabi palsu yang menantang eksistensi entitas Islam generasi pertama, sehingga menimbulkan perang yang paling sengit dan menelan banyak sekali korban, terutama para ‘huffadz’ dari kalangan sahabat Nabi.

Kasus penistaan al-Qur’an yang dilakukan Ahok (yang notabene non muslim), ketika penanganannya (misalnya maksimal) seperti Lia Aminudin dan Ahmad Mussadeq maka sudah dapat dipastikan bahwa ditinjau dari hukum Islam, pasti di luar yurisprudensi, karena hukum yang berlaku di Indonesia memang sistem hukum sekuler, non-syari’at. Apalagi, ternyata ada pembedaan perlakuan (atas argumentasi apapun), bahwa pada statusnya yang sudah tersangka, dia tidak ditahan.

Baca juga : Intellectual Disorder Dalam Penggandaan Uang

Umat Islam yang mulai menyadari bahwa penyelenggara pemerintahan kurang ‘fair’ dalam menangani kasuskasus menyangkut apa yang di-sakral-kan umat Islam, merasa ‘reserve’ terhadap kesungguhan dan obyektivitas mereka menangani kasus tersebut. Umat Islam berpendapat bahwa jika hal itu dibiarkan, maka akan terus berulang dan semakin menjadi-jadi. Jika penistaan tersebut dipeti eskan, kemudian hilang ditelan waktu, maka kekaburan aqidah dan kemerosotan kualitas umat akan terus menderas. Untuk menimbulkan efek jera, aksi damai dilakukan untuk menuntut agar pejabat publik yang demi kepentingan politik melecehkan agama, harus dipenjarakan.

Titik Kesadaran untuk Mengedukasi Umat

Bermula dari keluarnya fatwa MUI menanggapi pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada Selasa 11 Oktober 2016, bahwa pernyataan tersebut dikategorikan (1) menghina Al-Qur’an dan atau (2) menghina ulama. [Islamedia, Selasa, 11 Oktober 2016]. Bak bola salju, fatwa tersebut menjadi titik tolak bagi umat Islam bersama para ulama untuk membangkitkan kesadaran umat Islam terhadap agamanya dan membelanya dari para penista.

Massa umat Islam dipimpin oleh para ulama dan para tokoh, terus mendesak secara damai agar penista diperlakukan sama sebagaimana pelanggar kehormatan agama lainnya.

Berbeda dengan tumbuhnya kesadaran agama umat Islam, K.H. Sa’id Aqil Siraj ketua Lajnah Tanfidziyah PBNU justru berpendapat lain, “Energi kita jangan dihabiskan hanya karena satu orang lah. Hendaknya kita memikirkan halhal yang lebih penting, yang lebih besar, seperti narkoba, terorisme, kemiskinan, pengangguran, kekerasan seksual, kenakalan remaja dan lain-lain,” [detikcom, Senin,14/11/2016]. Pendapat beliau ini mungkin titik tekannya pada bagaimana mempercayai proses hukum yang ditangani oleh pihak kepolisian. Semoga bukan karena menganggap remeh penodaan simbol-simbol Islam oleh orang di luar Islam. Problemproblem yang beliau sebutkan memang merupakan masalah krusial bagi bangsa, akan tetapi dibandingkan dengan penistaan al-Qur’an, jelas penghinaan tersebut tidak boleh dianggap kecil.

Di masa hidup Rasulullah, pernah ada seorang muslimah mereparasi perhiasan emas pada seorang tukang emas Yahudi bani Qainuqa’ di pasar Yahudi di Madinah. Wanita tersebut menunggu proses reparasi sambil duduk berjongkok di dekat sebuah tiang. Sekelompok laki-laki Yahudi berusaha membuka jilbab muslimah tersebut. Yahudi tukang emas tersebut usil mengikatkan ujung kerudung muslimah tadi pada tiang di dekatnya. Ketika muslimah tersebut berdiri, terbukalah jilbabnya. Muslimah itu spontan berteriak, sementara Yahudi yang merasa berhasil ‘ngerjai’ muslimah tersebut tertawatawa. Hal itu mengundang seorang sahabat untuk menolong muslimah tersebut. Sahabat tersebut spontan melompat ke arah si Yahudi dan membunuhnya. Melihat temannya dibunuh, Yahudi yang lain mengikat sahabat tersebut dan mengeroyoknya hingga terbunuh. [Sirah Nabawiyah, ShafiyurRahman Al-Mubarakfury).

Kasus tersebut dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap ‘piagam Madinah’ yang menyebabkan seluruh Yahudi bani Qainuqa’ diusir dari Madinah. Terbukanya kerudung seorang muslimah, tentunya tidak lebih besar dibandingkan pedustaan terhadap ‘Kalamullah’.

Para ulama bukan tidak tahu bahwa menuntut penista Allah, Rasulullah, dan al-Qur’an dipenjara itu tidak sesuai dengan yurisprudensi hukum Islam. Para ‘alim tersebut, di tengah kondisi lemah umat Islam yang tidak mampu melaksanakan secara paripurna perintah agama, berusaha memanfaatkan celah yang tersisa untuk men-tarbiyah umat Islam. Agar umat tahu bahwa ada al-Qur’an dengan aturan Allah di dalamnya, ada surat Al-Maidah dan ada ayat 51 surat al-Maidah. Wallahu A’lam

Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan Paradoks Sistem Sekuler

Menteri Perencanaan Pembangunan / Kepala Bappenas, Bambang P.S. Brodjonegoro berkata, “Kita ingin uang yang dikumpul di Baznas ini bisa dipakai untuk perkuat atau masuk ke dalam program-program pengentasan kemiskinan yang sudah dibuat oleh pemerintah”. Statement itu disampaikan pada Rabu, 14 Sept 2016, seperti dikutip kantor berita Antara. Pernyataan itu memang masih merupakan rencana. Hal itu, menurutnya, karena potensi zakat yang dikelola oleh Baznas cukup besar, pada tahun 2015 dana zakat yang berhasil dikumpulkan mencapai 4 (empat) triliun rupiah, pada tahun 2016 ini ditargetkan mencapai 5 (lima) triliun rupiah. [CNN Indonesia, Rabu, 14/09/2016].

Pernyataan itu mendapat tanggapan luas dari banyak pihak. Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Yunahar Ilyas menghimbau agar pemerintah tidak menggunakan dana zakat dikhawatirkan menimbulkan kecurigaan. Pada saat kondisi keuangan negara sedang sulit, bisa dicurigai untuk menutup defisit anggaran. Ketua Parmusi, Usamah  Hisyam menyarankan agar pemerintah menciptakan pemasukan dari sumber lain untuk menjalankan programnya, jangan menggunakan dana zakat. Beliau mengkhawatirkan umat tak lagi percaya kepada Baznas karena dana zakat digunakan oleh birokrasi pemerintah yang banyak terkait kasus-kasus korupsi dalam penggunaan anggaran. [Kiblat.net 21/9/2016]. Prof. Didin Hafidhudin mantan ketua Baznas secara tegas mengatakan bahwa secara prinsip pemerintah tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan dana zakat, “akan menyulitkan”, katanya.

Zakat adalah Ibadah

Menunaikan zakat bagi muslim merupakan salah satu ibadah diantara ibadah yang disyari’atkan  oleh Allah. Seorang muslim yang terkena kewajiban zakat harta, tatkala harta itu telah mencapai nishob (batas minimal harta yang dimiliki) dan telah sampai haul (batas waktu penguasaan harta) untuk item harta yang ada batas waktu penguasaan, jika dia tidak menunaikannya, terancam vonis murtad. Khalifah Rasul, Abu Bakar ash-shiddiq, bahkan memerangi para pembangkang zakat, hingga mereka membayarkannya lagi sebagaimana pada saat Nabi shallalLahu ‘alayhi wa sallam masih hidup. Kewajiban zakat harta dalam Islam, tidak sekedar bernuansa sosial, pemerataan kemakmuran, penunaian hak fakir miskin, atau yang sejenisnya, akan tetapi mempunyai dimensi vertikal mencari ridho Sang Pemberi harta.

BACA JUGA : Doa di Sidang Paripurna Suatu Anakronisme

Bertolak dari itu, maka pengelolaan harta yang diambil atas nama ibadah kepada Allah tersebut, harus sesuai dengan regulasi yang dibuat oleh yang memerintahkan. Jika pengelolaan, peruntukan, penetapan obyek (sasaran) penyaluran, dilakukan secara serampangan, tidak mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Allah, mengandung resiko tidak sah secara hukum dan tidak mendapatkan nilai (pahala) dari-Nya ; pengelolanya maupun pembayarnya. Di titik ini, Baznas, Lazis, atau lembaga lain yang mendedikasikan dirinya sebagai lembaga pengelola zakat dituntut untuk ekstra hati-hati, sebab jika tidak, alih-alih keridhoan Allah yang didapat, bahkan bisa jadi kemurkaan dan laknat-Nya.

Pragmatis

Gagasan itu menunjukkan pemerintah Indonesia sebagai pemerintahan sekuler, tidak konsisten. Pemerintahan sekuler adalah penyelenggara pemerintahan yang bebas dari agama, agama manapun. Jarak antara pemerintah dengan seluruh pemeluk agama yang diakui seharusnya sama dan proporsional. Masing-masing pemeluk agama diberikan kebebasan untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya. Pelaksanaan syari’at zakat (dalam contoh kasus), seharusnya diberikan kewenangan otonom untuk mengelolanya sesuai arah dan aturan syari’at yang diyakini umat Islam, di bawah pengendalian tokoh umat Islam yang memiliki otoritas yang diakui oleh umat Islam itu sendiri.

Ketika zakat  -yang karena potensinya bisa mencapai 200 triliun rupiah dalam setahun-  dilirik dan di-incar untuk di-integrasikan dengan sumber-sumber keuangan sistem sekuler, ikut menopang dan menutup lobang-lobang kekurangan yang ada dalam sistem sekuler, yang secara asas dan arah berlainan dengan sistem Islam, maka gagasan ini merupakan ide pragmatis yang hipokrit. Pragmatis karena hanya mencari mudah dan enaknya, hipokrit karena tidak gentle sebagai sistem yang sekuler.

Setidaknya ada dua implikasi besar, jika pengelolaan zakat digagas untuk mendukung program pengentasan kemiskinan pemerintah.

Pertama, zakat adalah kewajiban ibadah harta dalam Islam, berkonsekuensi pahala dan dosa, pahala bagi yang menunaikan dan dosa bagi yang meninggalkan. Ke-delapan asnaf yang disebutkan dalam ayat 60 surat At-Taubah, terikat dengan semesta pembicaraan dalam sistem Islam. Bagaimana Baznas, Lazis dan pemerintah  -yang notabene-  sekuler memberi jaminan kepada para muzakki bahwa zakat maal yang diamanahkan penyalurannya kepada mereka, disalurkan secara benar menurut yang dikehendaki oleh Asy-Syaari’ (Pembuat Syari’at). Misalnya, asnaf ke-8, yakni fie sabiililLaah, prakteknya di zaman Nabi dan Khulafa’ ar-Rasyidin untuk membiayai Jihad li-i’laai kalimatilLaah hiya al-‘Ulya. Nah,..dalam kerangka sistem sekuler ini, peruntukan bagi asnaf tersebut, disalurkan kemana? Bahkan seandainya berdasarkan ijtihad pun.

Kedua, apakah gagasan penggunaan zakat untuk mendukung pengentasan kemiskinan ini berarti sistem pemerintahan yang sekuler ini sedang bergerak mendekat secara evolutif untuk menerima dan akseptabel terhadap syari’at agama yang dianut oleh mayoritas mutlak warga negara? Jika hal ini benar, maka hal itu merupakan sikap inkonsisten dan dapat dianggap mencederai platform bersama, kesepakatan nasional. Meskipun seharusnya begitu, akan tetapi penulis meyakini bukan hal itu yang sedang terjadi.

Kemungkinan paling besar yang sedang terjadi dengan gagasan itu adalah sikap pragmatis pemerintah cq Kepala Bappenas yang kepincut potensi keuangan zakat. Yang sudah pasti, yang past  dan present saja mencapai 4 triliun – 5 triliun rupiah, sedang future-nya berpotensi hingga 200 triliun rupiah, fantastik.

Dua Pilihan

Ada dua pilihan mendasar yang jujur dan gentle, yang pertama selesaikan pilihan dasar dan arah sistem pemerintahan yang mayoritas mutlak warga negaranya muslim ini dengan dasar Islam. Pilihan itu akan memberikan kepastian hukum bagi umat Islam muzakki (penunai zakat) dan ketenangan jiwa, bahwa mereka telah menunaikan kewajibannya kepada Allah, yang karenanya mereka berhak untuk mendapatkan pahala dari-Nya tanpa ragu.

Mereka juga tenang bahwa arah, peruntukan dan penyaluran zakat mereka sesuai dengan aturan Allah. Jika tetap pada pilihan sistem sekuler laa diniyyah, berikan kebebasan (otonomi) umat Islam untuk mengelola potensi dirinya untuk dirinya sendiri, jangan dicampur-tangani regulasi yang tumpang-tindih dengan sistem yang secara asas dan arah berbeda secara diametral dengan sistem Islam. Janganlah ketergiuran itu menjadikan tidak mampu berbuat adil dan obyektif, menjadi culas dan pragmatis.

Lembaga-lembaga pengelola zakat seyogyanya menempatkan keselamatan dirinya dari siksa Allah, pertimbangan benarnya pengelolaan zakat dan tepatnya sasaran penyaluran zakat para muzakki di atas pertimbangan pujian atau celaan manusia. Sabar terhadap celaan manusia, lebih ringan dibandingkan kepedihan akibat meninggalkan ridho-Nya demi ridho selain-Nya.

Kampanye ‘Kepunahan’

Penetrasi paham sekularisme-liberalisme telah mencapai tahap dimana orientasi utama manusia sudah beralih kepada materi dan kesenangan dunia sebagai ganti orientasi hidup meraih kebahagiaan akherat. Banyak manusia tenggelam ke jurang pemenuhan dan  pelampiasan kesenangan sesaat. Kini serbuan dekadensi moral sudah sampai pada jurang kerusakan terdalam.

Betapa tidak, jika perzinaan dan perselingkuhan yang dicela semua agama, secara kauniyah masih berada pada track yang benar, yang disalahkan oleh agama hanya pada pelanggaran hukum dan praktek yang merusak tatanan moral dan sosial. Sedangkan serbuan dekadensi lesbian-gay-bisexual-transgender (LGBT) bukan terbatas pada perusakan norma-norma moral dan sosial semata, dekadensi yang ditawarkan telah menyentuh level tertinggi perusakan hukum, moral dan sosial dalam kehidupan, LGBT menggusur seluruhnya dan menawarkan keterjungkiran sistem kehidupan.

Perzinaan terkutuk, tetapi meskipun rusak masih mampu melanjutkan kehidupan jenis manusia, betapapun ruwet dan rusaknya tata nilai. Adapun LGBT menawarkan kepunahan jenis manusia. Mereka berkampanye untuk mendapatkan pengakuan eksistensi dan legalitas hukum demi misi kepunahan manusia.

Penyakit Menular

Homoseks dan lesbian merupakan penyakit moral menular. Karena itu perlu kewaspadaan ekstra. Penulis pernah mendapatkan cerita dari teman yang anaknya mengalami sexual-abuse (kekerasan seksual) ketika berada di sekolah dengan sistem boarding (asrama) sewaktu masih di bawah umur. Anak itu sebenarnya tidak mau kembali ke sekolah ber-asrama tersebut dan mengeluhkan perlakuan guru muda terhadapnya. Karena anak tersebut masih terbatas kemampuan kosa katanya, sehingga kemampuan verbal untuk melakukan report (melaporkan, mengadu) kepada orang tua juga terbatas, ditambah pengalaman orang tua yang terbatas dalam persoalan yang dihadapi anak. Prasangka baik teman tersebut terhadap lembaga pendidikan tempat dia men-subkontrak-kan pendidikan anaknya, menjadikannya kurang peka terhadap tangis-sendu anak tercintanya.

Ketika usia SMTA, orang tua yang baik tetapi kurang peka tersebut dihadapkan pada kenyataan pahit, anaknya yang dahulu menangis sendu menjadi obyek penderita sexual-abuse tersebut telah menjadi subyek yang menikmati apa yang dulu ditangiskannya. Awalnya menjadi obyek penderita yang menderita, berikutnya menjadi subyek penikmat yang saling menutupi pasangannya. Wal-‘iyaadzu bilLaah. Ada kisah lain, dalam sebuah diskusi bersama dengan beberapa pengelola lembaga pendidikan dengan sistem boarding, ditemukan fakta mencengangkan,… bagian konseling yang menangani kasus GL justru ‘terpapar’ (terpengaruh). (Pada kasus temuan itu penanggung jawab konseling yang dimaksud masih muda, belum berkeluarga).

Menurut catatan sejarah, penduduk kota Saddum (Sodom), obyek seruan dakwah nabi Luth, akhirnya semua di-adzab Allah, hanya nabi Luth dengan keluarga kecilnya yang selamat, beliau dan dua putrinya. Bahkan istri beliau termasuk tertimpa siksa. Al-Qur-an mengatakan, kaum Luth merupakan pelaku maksiat penentang hukum alam tersebut pertama kali. Masyarakat Saddum tentu tidak serta merta secara total menjadi pelaku homoseks, ‘iblis mengilhamkan dan mengajari’ mereka melakukan perbuatan menabrak fitrah itu, kemudian tersebar dari mulut ke mulut, hingga satu demi satu mencoba dan menikmatinya. Ketika kaum lelaki telah meninggalkan wanita, iblis mendapat jalan lebih lapang untuk mem-provokasi wanita melakukan hal serupa. Masyarakat Saddum menjadi pelaku GL, penyokong atau setidaknya apatis terhadap penyakit moral yang jorok tersebut, menolak ajakan perbaikan dari nabi Luth, sekurangnya mereka apatis menyambut seruan perbaikan, total mereka semua berhak atas siksa.

Kolerasi Demokrasi dan Dekadensi

Sistem politik demokrasi memberi ruang begitu luas kepada para ‘pengidap penyakit kepunahan’ tersebut untuk menunjukkan jati dirinya, meng-artikulasi-kan tuntutan pengakuan eksistensi, menuntut perlindungan hukum atas hak-haknya ‘untuk punah’. Dukungan teknologi-informasi dan kebebasan membentuk komunitas di tingkat global membuat mereka saling memotivasi untuk menaikkan bendera eksistensi. UNDP bahkan mengalokasikan dana khusus hingga 8 (delapan) juta dollar US untuk kampanye penerimaan lebih luas LGBT dan mendorong untuk menuntut legalitas eksistensi mereka dengan regulasi hukum. (merdeka.com pada 17 Peb 2016).

Ruang bebas demokrasi disertai dukungan dana melimpah itu menjadikan gerakan LGBT begitu terstruktur, sistematis dan massif, seperti dijelaskan oleh pendiri lembaga konsultasi, pendampingan dan informasi mengenai dunia non-heteroseksual Agung Sugiarto yang akrab dipanggil dengan Sinyo Egie bersama sekjen AILA Rita Hendrawaty Soebagio di UI Depok. (Kiblat.net, 22 September 2015).

Kriminalisasi Syariat

Kampanye terstruktur, sistematis dan besar-besaran LGBT mempunyai target untuk mendapatkan penerimaan orientasi seks mereka ‘menuju kepunahan’ itu. Kemudian dilanjutkan mempengaruhi para legislator (senator) untuk meng-gol-kan undang-undang yang menjamin eksistensi mereka yang berkecenderungan menuju kepunahannya tersebut. Jika hal itu berhasil, sebagaimana telah lebih dari 20 negara yang mengesahkan UU perkawinan sejenis, maka penyimpangan jiwa mereka menuju kepunahan itu akan dengan sendirinya diterima dan dianggap sebagai suatu yang wajar, akses mereka untuk menduduki jabatan-jabatan publik juga semakin terbuka.

Jika hal itu berhasil mereka raih (semoga Allah menggagalkannya), maka peluang ‘kampanye kepunahan’ mereka akan semakin massif, harapan mereka untuk semakin berkembang terbuka lebar, sehingga mereka tidak lagi harus bersembunyi di lorong-lorong gelap, dan mereka akan semakin jumawa dengan penyimpangannya. Kemaksiatan dan penyimpangan orientasi mereka bukan lagi khofie (terselubung, tersembunyi) tetapi menjadi mujaharah (terang-terangan menyimpang dan mengajak orang lain menyimpang). Pada level ini, peluang untuk mundur, menarik diri dan bertaubat tertutup.

Demonstrasi ke-jumawa-an itu tampak jejaknya dengan jelas ketika penulis produktif Tere Liye (nama aslinya Darwis) berkomentar kritis terhadap LGBT di facebook, akunnya diblokir oleh administrator FB. Pemblokiran itu menurut Fahira Idris anggota DPD DPR menunjukkan sikap standard ganda admin FB. Hal itu mencederai prinsip menghargai pendapat dan kebebasan berpendapat yang selama ini mereka agung-agungkan. (REPUBLIKA.CO.ID, 24 Pebruari 2016).

Jika upaya mereka berhasil menembus regulasi, eksistensi dan hak-hak mereka dilindungi dengan UU, maka perjuangan umat Islam di negara dengan komposisi penduduk 87% muslim ini untuk mencegah dan memerangi perilaku yang dilaknat oleh Allah dunia-akhirat itu justru yang akan di-kriminalkan. Semoga Allah melindungi bangsa muslim ini dari kehinaan yang tak terhingga ini.

Dalam kisah nabi Luth, Allah memilih menurunkan adzab untuk mengakhiri mereka, tidak membiarkan mereka punah dimakan kematian satu demi satu, padahal toh mereka tidak beranak-pinak lagi. Ini menunjukkan betapa buruknya apa yang mereka lakukan menurut timbangan Allah. Umat Islam harus bersikap tegas, tak ada celah untuk tidak berpihak kepada kebenaran.

Menabur Angin Memanen Badai

Republik Rakyat China merupakan negara dengan penduduk terbesar di muka bumi, 1,36 milyar manusia dari total jumlah manusia 7,25 milyar. [VIVA.co.id, Selasa 25 Nop 2015]. Dengan jumlah penduduk yang begitu besar, secara logika memang mempunyai peluang pertambahan populasi semakin besar. Pertambahan populasi tentu merupakan kekhawatiran tersendiri manakala tidak disertai jaminan penyediaan hajat hidup jumlah manusia yang begitu besarnya.

Kekhawatiran ledakan populasi penduduk itu telah mendorong pemerintah Beijing untuk membuat regulasi membatasi jumlah kelahiran. Setiap pasangan suami isteri di China hanya diperbolehkan untuk mempunyai satu anak saja, tidak lebih. Sementara kultur di sana menempatkan anak laki-laki sebagai pewaris utama untuk melanjutkan sejarah keluarga. Latar belakang kultur ini mengantarkan kepada meluasnya budaya baru menggugurkan janin yang telah diketahui berjenis kelamin perempuan. [TEMPO.CO, 13 Januari 2010].

Pengguguran janin perempuan berlatar-belakang adat tersebut terus meluas. Akibatnya dari waktu ke waktu jumlah populasi wanita yang lahir terus mengalami penurunan signifikan. Dilaporkan bahwa menurut data statistik yang dirilis, pada tahun 2010 ketimpangan antara jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan cukup mengejutkan, 24.000.000 (dua puluh empat juta) jiwa. Angka itu terus merangkak naik. Laporan pada kuartal terakhir 2015 yang dirilis pada 1 Nopember menunjukkan grafik itu terus naik mencapai angka 30.000.000 (tiga puluh juta) jiwa. [KlikNews.net, Minggu 1 Nop 2015].

Ketimpangan jumlah laki-laki dengan jumlah wanita di negeri tirai bambu tersebut membawa ancaman problem sosial yang serius. Kebijakan perkawinan monogami dianggap tidak lagi relevan dengan keadaan. Selisih jumlah laki-laki yang lebih banyak dan terus meningkat statistiknya tersebut mengancam 30 juta pria tidak kebagian isteri. Keadaan itu riil, dan ketimpangan itu tidak mungkin diatasi dalam waktu cepat, meskipun dengan mengoreksi dan mencabut kebijakan satu keluarga satu anak.

Solusi yang Membuat Semakin Terpuruk

Prof. Xie Zoushi, pakar ekonomi dan keuangan dari universitas Zhejiang dalam artikel yang dipublikasikan surat kabar elektronik Shouth China Morning Post pada 22 Okt 2015 dan di-update pada 25 Okt 2015 mengajukan proposal solusi ekstrem. Guru besar ini mengajukan usulan untuk menerapkan sistem perkawinan ‘poliandri’, beberapa laki-laki berserikat memiliki satu isteri. Gagasan ini berangkat dari cara pandangnya bahwa urusan kawin menurutnya adalah urusan ‘kekayaan dan keinginan’, siapa yang mempunyai kekayaan, dia dapat memilih dan memiliki pasangan hidup bagi dirinya sesuai selera dan kemampuan uangnya, sedang yang miskin tentu saja tidak memiliki peluang untuk itu. Maka, menurutnya jalan keluar bagi si miskin adalah ‘patungan uang’ untuk mendapatkan wanita untuk dimiliki bersama.

Pilihan kedua tidak kalah ekstrem, profesor mengusulkan penerimaan yang lebih luas terhadap homo-seksualitas. Urusan seksual bagi guru besar ini merupakan hajat mendesak bak makan dan minum, karena itu harus mendapatkan pemecahan dan tidak bisa ditunda dalam waktu yang lama. Baginya, homoseksualitas merupakan solusi yang rasional. Sedangkan alternatif ketiga adalah mengambil wanita dari negara-negara tetangga seperti Korea, Jepang atau Vietnam di-‘naturalisasi’ dan menjadi pasangan dari pria lajang China yang tidak kebagian perempuan setempat. Tawaran solusi ketiga ini tentu saja menyisakan problem dalam masalah kultur dan penerimaan yang tidak sederhana.

Jika tidak ada solusi terhadap ketimpangan itu, maka masyarakat terancam menghadapi ketidak-stabilan. Jutaan pria lajang akan merasa tidak memiliki arti dalam hehidupan dan kehilangan harapan. Mereka sangat potensial melakukan pemerkosaan, pembunuhan dan berbuat anarkhi karena ada sebagian hasrat nalurinya tidak mendapatkan penyaluran.

Latar Belakang Nilai dan Pilihan Solusi

Data statistik telah menyodorkan realitas problem yang dihadapi kekinian China dalam kasus ini. Apapun argumentasi penyebab ketimpangan itu, murni alamiah kah, atau akibat dari sebuah policy di masa sebelumnya, atau kultur patriarchat yang dianut masyarakat, atau gabungan dari berbagai sebab sekaligus, yang pasti bahwa ketimpangan itu adalah realitas dan ‘present’ (hadir secara nyata).

Prof. Xie Zoushi dengan usulan pemecahan masalahnya adalah produk dari dinamika proses kehidupan masyarakat China daratan dengan tata nilai yang dianut, sistem politik serta kultur masyarakatnya. Meski banyak yang berteriak tidak setuju dan menganggap usulan itu tidak rasional bahkan gila, tetapi jika dicermati…usulan itu paling masuk akal. Sistem nilai kebendaan memiliki pilihan logis tersendiri dalam masalah moral, etika dan kausalitas, berbeda dengan pilihan moral, etika, kausalitas dan solusi yang diambil dalam memecahkan masalah dari sistem nilai yang mempercayai hal-hal transenden, terkhusus Islam.

Dalam pandangan Islam, usulan profesor tersebut ibarat ‘menolong sapi terperosok ke dalam jurang dengan menarik ekornya’, tentu saja tambah menyakiti bahkan bisa membuatnya mati. Atau seperti menyiram kobaran api dengan Pertamax. Masuk akal memang, tetapi akal dengan sistem nilai kebendaan yang nihil dari etika dan moral agama, tidak mengerti sebab kebahagiaan di dunia (dengan mengimani eksistensi Allah yang esa, tunduk kepada aturan-Nya) dan tidak meyakini balasan amal sesudah mati.

Poliandri, sekalipun masuk akal (penganut kebendaan) tetapi tidak masuk dalam logika syari’at . Dalam Islam ada sederet hukum syari’at yang landasan penentuannya didasarkan pada kejelasan nasab ; penetapan nasab itu sendiri, ke-mahrom-an, pernikahan, warisan dll. Poliandri bertentangan dengan itu. Homoseksualitas lebih buruk lagi kadar kerusakannya dalam logika syari’at bagi orang yang beriman ; memporak-porandakan semua aturan syari’at yang disebut di atas, masih ditambah tidak selaras dengan hukum alam (maksudnya, kaidah kauniyah yang diletakkan oleh Allah sebagai fitrahnya alam).

Sebab-Sebab Kehancuran Peradaban

Solusi yang disodorkan pakar ekonomi dan keuangan dari Zhejiang University di Gangzhou tersebut jika nantinya menjadi pilihan solusi untuk menghadapi ledakan demografi dan problem sosial yang timbul karenanya, dalam kajian bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban, termasuk ‘awamil fana-i al-hadhoroh (sebab-sebab keruntuhan sebuah peradaban). Sadar atau tidak sadar, jika sebuah bangsa atau suatu komunitas tertentu melakukan sebab-sebab kemunduran dan kehancuran itu, maka ‘hukum besi’ peradaban tidak akan pilih kasih dan mengistimewakan siapapun.

Akankah bangsa terbesar di muka bumi tersebut meniti tangga turun peradabannya, atau dakwah Islam yang diserukan oleh salah satu bangsa muslim nantinya diterima oleh mereka sehingga memberikan solusi masalah yang benar dan komprehensif, atau benturan militer dengan peradaban lain akan menghancurkan peradaban tersebut, waktu akan memberikan jawabannya.

Antara Kegaduhan dan Substansi

Masyarakat awam sering kali disuguhi atau dihibur dengan sajian berita, informasi, atau fokus pembahasan, yang sebenarnya bukan substansi permasalahan yang sedang berjalan. Adalah merupakan teknik ‘operation information’ yang dengan manipulasinya seringkali berhasil memalingkan masyarakat awam dari mencermati permasalahan yang sedang terjadi. Hal itu dimaksudkan agar keputusan dan arah penyelesaian masalah-masalah krusial dan sensitif yang sedang berjalan, tidak dipengaruhi oleh pandangan dan pendapat publik, dan menjadi monopoli kelompok elit ‘the rulling class’.

Kelompok elit yang memiliki kepentingan dalam masalah krusial yang sedang dibicarakan, bukannya tidak tahu bahwa ada kelompok kecil anggota masyarakat yang mengetahui ‘pengalihan isu’ dari persoalan pokok yang sedang berjalan kepada masalah-masalah tepi yang tidak substansial dan tidak penting. Banyak diskusi-diskusi mendalam yang mengetahui secara akurat substansi persoalan yang sedang berjalan dan mereka yang berkepentingan di dalamnya. Tetapi mereka telah menghitung dan mempertimbangkan bahwa kekuatan kelompok kecil yang memahami substansi dan arah masalah tersebut, tidak mungkin melawan dan mengatasi kedigdayaan opini publik yang dimainkan dan diarahkan oleh media massa. Untuk itu media massa harus berada di bawah kendali mereka dalam memainkan isu dan menurunkan ‘head line’.

Kasus Freeport

Proses perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia telah menjadi berita panas dalam rentang waktu yang cukup panjang, hingga tulisan ini dibuat masih menjadi trending topic nasional. Banyak nama politisi dan penyelenggara pemerintahan yang ikut dibicarakan dalam kasus tersebut ; presiden dan wakilnya, menteri ESDM, menkopolhukam, ketua DPR dan lain-lain.

Beragam diskusi dan perbincangan, baik di layar kaca maupun diskusi darat, begitu juga di media sosial, ramai dan panas. Ada perbincangan yang memang menguasai substansi persoalan dengan rekomendasi mengarah pada penyelesaian masalah yang menguntungkan rakyat, ada pula diskusi dan perbincangan ‘tandingan’ yang bersifat melindungi kepentingan para orang kuat yang mempunyai kepentingan ekonomi di perusahaan Freeport, ada pula diskusi tak terarah bak bola liar yang tergantung siapa yang paling kuat menggiring dan menendang ‘bola opini’ dalam forum tersebut.

BACA JUGA: MENGGIRING OPINI UMAT

Aktivitas penambangan mineral PT Freeport di Mimika, Papua, telah berjalan sejak 1967 dimulainya kontrak karya yang pertama. Selama 25 tahun sejak dimulainya operasi penambangan, pemerintah belum mendapatkan pembagian keuntungan. Kontrak karya kedua diperbaharui pada tahun1991 untuk masa eksploitasi selama 30 tahun. Kontrak tahap 2 itu akan berakhir pada 2021. Pemerintah membuka peluang untuk pembaharuan kontrak hingga 2x 10 tahun lagi (yakni sampai 2041) jika syarat-syarat yang ditetapkan pada kontrak karya ke-2 dipenuhi oleh PT Freeport. Peninjauan pemenuhan syarat-syarat yang ditetapkan pada kontrak karya ke-2 akan dilakukan 2 tahun sebelum berakhirnya waktu kesepakatan, berarti pada 2019.

Freeport berkewajiban berdasarkan kesepakatan kontrak untuk membangun smelter (pabrik peleburan) di Papua, juga kewajiban mendivestasikan sahamnya ke pihak nasional dan menciutkan area eksplorasi. Selain itu renegosiasi untuk perpanjangan kontrak tentu saja termasuk membangun kesepakatan baru pembagian keuntungan yang lebih layak bagi negara dan rakyat Indonesia pemilik sumber mineral yang ditambang itu. Hal itu mengingat penambangan mineral Freeport di Grasberg, Mimika, Papua merupakan penambangan paling menguntungkan dari sepuluh penambangan terbaik di dunia (keuntungan dalam setahun mencapai 4-6 miliar dollar AS). Adalah wajar, bahkan hak, bagi rakyat Indonesia sebagai pemilik lahan dan mineral yang tersimpan di dalamnya untuk mendapatkan bagian yang pantas.

Substansi Masalah di luar Kegaduhan

Ferdy Hasiman, peneliti Indonesia Today, memaparkan bahwa kewajiban kontrak karya 2 hal mana Freeport berkewajiban membangun smelter di Papua, adalah dalam rangka efisiensi, membuka peluang industrialiasi dan investasi di Papua. Mengingat produk ikutan peleburan tembaga sangat banyak : asam sulfat mencapai 920.000 ton per tahun, gypsum (bahan campuran semen) mencapai 35.000 ton per tahun, copper slag (bahan campuran semen dan beton) mencapai 655.000 ton per tahun, anode slime (bahan untuk proses pemurnian emas dan perak) mencapai 1.800 ton per tahun, copper telluride (bahan semi konduktor, optik pelapis energi matahari) mencapai 50 ton per tahun. Selama ini, dan hingga hari ini pabrik smelter itu ada di Gresik dioperasikan oleh PT Mitsubishi Materials Corporation. Keberadaan pabrik peleburan di Gresik, menjadikan peluang investasi dan memajukan Papua hilang.

Ada fakta lain yang diungkap Ferdy Hasiman, sebenarnya ada banyak pihak yang ikut menikmati keuntungan dari status quo kontrak karya yang telah ada, termasuk posisi pabrik smelting (peleburan) yang ada di Gresik, Jawa. Mereka tidak terjun langsung dalam operasi penambangan, mereka menyediakan barang dan jasa yang mendukung proyek itu, misalnya : PT Ancora International Tbk memasok ammonium nitrat (bahan peledak) 40.000 ton per tahun, perusahaan jasa pengangkutan konsentrat seperti Meratus Line (Charles Menero), PT Kuala Pelabuhan Indonesia menyediakan jasa pelabuhan bongkar muat barang, Darma Henwa (Bakri Group) membangun terowongan sepanjang 4,8 km dan akses jalan 4 km, PT Pangan Sari Utama yang menyediakan pasok katering seluruh karyawan Freeport. Para penyedia barang dan jasa itu meraup untuk miliaran setiap tahunnya. Semua itu milik para ‘orang kuat’ di negeri ini ; para politisi, penguasa partai politik, pengusaha yang mempunyai akses dekat dengan kekuasaan dan atau memiliki nilai tawar yang tinggi terhadap kekuasaan. [Harian Kompas, Freeport dan Bisnis Orang Kuat, dimuat 20 November 2015, dengan penyesuaian bahasa].

Penutup

Ya, kasus renegosiasi perpanjangan kontrak Freeport yang sejatinya belum waktunya tersebut telah menjadi trending-topic yang tak hanya hangat, bahkan panas. Banyak nama politisi, menteri, penyelenggara pemerintahan, menjadi aktor utama, pendukung maupun figuran dari ‘drama’ tersebut, semua menjalani perannya dengan serius. Ada menteri ESDM yang ‘lebay’ melapor ke Majelis Kehormatan DPR (MKD), ada Surahman ketua MKD yang mempersoalkan kop surat kementrian dalam pengaduan yang diajukan Sudirman Said, bukan substansi aduan, ada Setya Novanto yang innocent dan bergaya formal siap menerima keputusan MKD, ada presiden, wapres, juga menkopolhukam yang ber-style tak tahu menahu, dll.

Rakyat menunggu apakah ‘mini seri Freeport’ ini akan berujung kepada memperjuangkan hak rakyat yang terdhalimi dalam rangkaian 2 kali kontrak karya dengan Freeport, atau self-interest dan group-interest yang diperjuangkan oleh para aktor ‘mini seri’ tersebut. Jika akhirnya kepentingan rakyat banyak untuk kesekian kalinya dikorbankan demi kepentingan pribadi dan golongan, jangan paksa rakyat untuk percaya kepada para pemimpin. Sehingga pada akhirnya jurus ‘serangan fajar’ menjadi pamungkas untuk membeli dukungan politik rakyat. Di atas semua itu, yang bersemayam di atas ‘Arsy tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan.

Kesalahpahaman (?)

Dalam komunikasi dan pergaulan, tidak jarang terjadi kesalahpahaman antara seseorang dengan yang lain, satu kelompok dengan kelompok lainnya. Ada yang murni karena masalah bahasa, ada juga yang diakibatkan oleh sebab lain di luar faktor bahasa. Jika persoalan yang muncul murni faktor bahasa, penyelesaiannya lebih mudah. Tetapi jika bahasa hanya sebagai bungkus, ada persoalan lain yang ditutupi dengan alasan salah mengerti atau salah paham, maka mengurainya lebih sulit, bahkan kadang tidak dapat diselesaikan.

 

Kesalahpahaman Terbesar

Dalam kehidupan, kesalahpahaman terbesar dengan akibat paling fatal adalah kesalahpahaman terhadap Rasul utusan Allah. Dikatakan begitu, karena akibat yang ditimbulkan di dunia oleh ‘kesalahpahaman’ ini tidak jarang menimbulkan efek pengucilan, pengusiran bahkan pembunuhan. Di akherat ‘kesalahpahaman’ ini membawa sesalan tersembunyi, kemudian terang-terang dan siksa tanpa kesudahan.

Salah paham terhadap Nabi, pada umumnya bukan faktor bahasa dan pilihan kata yang kurang bagus. Dalam kasus Nabi Musa, hal mana beliau merasa kurang fasih berbicara, Allah menguatkannya dengan Nabi Harun yang lebih fasih. ‘Kesalahpahaman’ kepada nabi dan rasul lebih disebabkan oleh faktor sangkaan bahwa para nabi itu akan merebut pengaruh dan kepengikutan. Karena itu kebanyakan yang ‘menyalahpahami’ mereka adalah para pemimpin yang sebelumnya memegang pengaruh dan kepemimpinan di tengah manusia baik karena faktor kekayaan, kecerdasan, ilmu sihir, memiliki klan yang kuat atau semata-mata mewarisi kepemimpinan dari orang tua dan pendahulunya. Selubung itulah yang menjadikan mereka menentang dakwah para nabi dengan penentangan paling keras dalam sejarah.

 

Kasih Sayang dibalas Permusuhan

Para nabi memiliki perspektif berbeda dengan cara pandang mereka yang menentang. Para penentang menuduh dan bersikukuh dengan tuduhan bahwa seruan dakwah para nabi itu hanyalah kedok untuk merebut dan mendapatkan pengaruh dan kekuasaan yang selama ini mereka monopoli. Adapun para nabi, memandang mereka (umatnya) baik para tokoh maupun manusia banyak yang mengikutinya dengan pandangan kasih sayang yang tulus. Beban-beban kehidupan, peribadatan, persembahan korban yang membebani, upacara-upacara yang menyakiti fisik (kehidupan kerahiban, misalnya),  atau ritual yang mencampakkan rasa malu (contoh, thawaf dengan bertelanjang) yang disangka dengannya akan mendekatkan diri mereka kepada Allah adalah ritual palsu yang tidak dikehendaki oleh Allah. Umat terdhalimi dengan itu dan tidak mendapatkan apapun, dunianya maupun akheratnya. Sedang mereka yang mengklaim sebagai pemimpin yang memberati tengkuk manusia dengan beban-beban itu, dhalim. Mereka harus dicegah dari perbuatan dhalimnya. Kasih sayang para rasul itu digambarkan pada diri RasululLah shallalLahu ‘alayhi wa sallam oleh Allah. Firman-Nya :

Sungguh telah datang kepada kamu sekalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, (Rasul itu) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman. [At-Taubah : 128].

Jika hal itu dianggap sebagai ‘kesalahpahaman’, maka kesalahpahaman tersebut merupakan salah paham paling pelik, paling berat untuk diurai, paling sulit untuk meyakinkan pihak yang ‘menyalahpahami’ bahwa hal itu merupakan kesalahpahaman mereka kepada para utusan itu. Kesalahpahaman paling keras yang meniscayakan isolasi dan embargo, pengusiran, pembunuhan dan peperangan paling sengit sepanjang sejarah. Untuk peperangan dengan sebab selainnya, selalu terbuka peluang untuk duduk berunding, negosiasi, berbagi kepentingan dan rukun, akan tetapi tidak untuk peperangan dengan sebab yang satu ini.

Nabi Nuh dimusuhi dan diolok-olok, Ibrahim dibakar, Musa diusir, Zakaria digergaji hingga terpotong tubuhnya, Yahya dibunuh, ‘Isa bin Maryam hampir saja dibunuh, dua orang Rasul utusan Allah yang dikisahkan di surat Yasin dan dikuatkan oleh orang yang ketiga, semuanya dibunuh. Padahal para Nabi tersebut amat kasih sayang kepada mereka, melebihi kasih sayang mereka terhadap dirinya sendiri.

Mereka dituduh tukang sihir, pembawa sial dan pemecah belah kaum. Diancam beragam ancaman mulai timpukan batu hingga pembunuhan,..dan ancaman itu bukan bualan kosong, kaum mereka benar-benar mewujudkannya. Berulang kali Nabi Muhammad shallalLahu ‘alayhi wa sallam harus berperang untuk mencegah kejahatan mereka. Dan bukti kasih sayangnya kepada kaum yang telah berbuat semena-mena dan memeranginya selama 22 tahun lebih itu, tatkala mereka telah ditaklukkan, tidaklah beliau melampiaskan dendam, beliau berkata, “Idzhabuu..! antum ath-Thulaqaa’…”, pergilah..! kalian bebas.

 

Penyesalan Terbesar

Karena itu penyesalan di akherat yang paling dalam adalah sesal karena ‘menyalahpahami’, menentang, memerangi dan membunuh rasul. Allah memberitakannya sebelum kejadian itu terjadi :

Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang dzalim menggigit dua tangannya, sambil berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Betapa celakanya aku, seandainya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan sebagai teman akrab. [Al-Furqan : 27-28].

Bahkan mereka berharap seandainya mereka dihancurkan kedalam tanah dan tidak ada hisab :

Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai Rasul, sangat ingin seandainya mereka disamaratakan dengan tanah (dibenamkan kedalam tanah atau hancur sehingga tidak menghadapi hisab), dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) suatu kejadian pun. [An-Nisaa’ : 42].

 BACA JUGA : Menabur Angin Memanen Badai

Manusia yang Paling Potensial di-‘Salahpahami’

Nabi telah memberikan ‘warning’ bahwa pilihan jalan hidup bersama Nabi meniscayakan beratnya ujian, potensial untuk disalahpahami dan dicurigai mempunyai niat lain di balik ajakan dakwahnya. Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash dalam sebuah hadits marfu’ berkata :

Sesungguhnya manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian (level) di bawahnya, kemudian dibawahnya lagi. Seseorang diuji sebanding dengan keteguhan agamanya. Jika dia konsekuen dalam melaksanakan dien maka ujiannya pasti berat, jika dia kurang kuat dalam melaksanakan agama, maka dia akan diuji sebatas itu pula. Ujian (cobaan) dalam melaksanakan dien akan terus menimpa seseorang sehingga ujian itu meninggalkannya dalam keadaan orang itu bersih dari kesalahan (karena dihapus dengan sabarnya menerima ujian). [Imam At-Tirmidzi : shohih].

Para ulama’ Rabbaniyyun, para du’at yang jujur, serta umat yang komitmen terhadap agamanya merupakan kelompok manusia yang harus paling siap menghadapi ujian keimanan.

Ancaman ‘Harga’ Legalnya Kemaksiatan

Teknologi informasi telah menjadikan hampir seluruh muka bumi ini flat, sama mudah dan sama lancar untuk mendapatkan aliran informasi ; menjadi sumber berita maupun menjadi konsumen pemberitaan. Hal itu membawa implikasi positif di satu sisi, tetapi juga tidak jarang menimbulkan efek negatif.

Positifnya, jika ada berita kebaikan yang mendapatkan porsi pemberitaan cukup, maka kabar kebaikan tersebut segera menyebar luas di tengah masyarakat, sebaliknya jika informasi kejelekan yang terus-menerus dilansir oleh media, maka keburukan itu juga merata-rata menjadi trending topic publik. Yang paling belakangan masyarakat kembali kena sock terbongkarnya prostitusi alias pelacuran di kalangan artis.

Ramai masalah tersebut dibicarakan dari berbagai aspek dan beragam tinjauan, oleh berbagai pihak yang berkepentingan; kalangan artis sendiri, aparat kepolisian, birokrasi pemerintahan, budayawan, juga para pemimpin agama.

Ada yang masih berusaha menjaga citra profesi seniman (artis) sebagai profesi yang bersih dan tidak dapat dikaitkan dengan prostitusi, ada juga yang terkesan menerima begitu saja pengkaitan tersebut.

Hanya saja, pihak-pihak terkait dalam temuan kasus tersebut memang menjadikan ‘fakta’ prostitusi itu tidak terbantahkan. Pihak artis yang tertangkap basah dalam transaksi, pengakuan ‘germowan’ yang menjadi perantara transaksi dan menerima pembayaran, yang mengaku 200-an personil artis berada dalam koordinasinya, besaran jumlah bayaran setiap ngamar, short time maupun long time, berapa persen fee yang diterima setiap terjadi transaksi, pihak aparat kepolisian yang memancing transaksi sehingga terjadi pembongkaran kasus, semua mengarah ke satu titik bahwa fakta itu tidak terbantah.

Dalam acara Indonesian Lawyer’s Club misalnya,..kesaksian oknum bertopeng yang mengaku berperan menyediakan teman perempuan bagi para pejabat dan pengusaha sebagai suatu bentuk ‘servis’ dalam rangka menggolkan suatu tender atau transaksi, tak ada pihak yang membantah.

Keuntungan Penganjur Sekulerisme dan Kerugian Masyarakat

Ada proses sosial-kemasyarakatan yang tanpa disadari berjalan menuju ke arah internalized (melembaga dan diterima oleh masyarakat) yakni prostitusi itu sendiri. Terbongkarnya kasus tersebut, pemberitaan massif media massa, menjadi trending topic dalam waktu yang relatif lama, diskusi-diskusi di berbagai kalangan yang juga terus mendapatkan liputan dari media, semua itu merupakan proses pangenalan dan sosialisasi.

Perdebatan soal itu, baik menolak maupun menerima, tanpa disadari merupakan bagian dari proses pelembagaan ‘nilai baru’ tersebut. Proses ini sebenarnya paling berbahaya dalam peneguhan dan penolakan terhadap suatu budaya baru, jika tidak disertai dengan penilaian dan cara pandang yang benar yang dapat dimengerti oleh masyarakat.

Seluruh pihak yang terkait dalam lingkaran itu, sejatinya terlibat aktif dalam mensosialisasikan penerimaan ‘tata nilai’ baru yang diperkenalkan, yakni bahwa ‘prostitusi di kalangan artis adalah suatu perkara yang biasa’.

Penganjur sekularisme yang menangguk keuntungan terbesar dari ‘dakwah’ praktis bil-haal melalui celah-celah kejadian sosial-kemasyarakatan tersebut. Seperti itulah (kira-kira)gambaran masyarakat ‘majemuk’ yang dapat menerima ‘nilai-nilai baru’ yang sudah disterilkan dari peran agama. Sebab agama langit manapun sebenarnya pasti menolak prostitusi jika masih tersisa komitment kepada ajaran agamanya. Hanya agama yang telah tersekulerkan yang dapat menerima ‘tata nilai asing’ tersebut.

Siapa yang dirugikan? Secara substantif dan berjangka panjang sebenarnya masyarakat sendiri yang dirugikan dan akan membayar harga kerugian itu pada suatu saat nanti.

Sebab, perbuatan maksiat itu jika dilakukan secara diam-diam, pelakunya melakukan dengan mengendap-endap takut ketahuan dan jika dia ketahuan merasa malu, berbeda efeknya dibandingkan jika perbuatan maksiat tersebut dilakukan secara terbuka, terang-terangan dan pelakunya tidak merasa malu, apalagi jika masyarakat telah menganggap sebagai suatu hal yang biasa dan dapat diterima.

 

Baca Juga: Cara Menpis Godaan Bermaksiat

 

Perbuatan maksiat, pelanggaran norma agama dan kesusilaan yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, masyarakat menerima sebagai budaya, bahkan pelakunya merasa bangga dengan perbuatannya, berimplikasi mengundang kemurkaan Allah, dan mengundang hukuman bencana secara langsung di dunia.

Judi, peredaran minuman keras atau prostitusi yang dilakukan secara terang-terangan, ada regulasi yang mengatur, ada lokasi tertentu yang diijinkan, ada pajak (cukai) yang diambil, berimplikasi adanya

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara resmi, sah dan diakui yang berasal dari barang yang haram. Percampuran pendapatan daerah atau negara dari sumber-sumber halal dan haram tersebut, berakibat hilangnya alasan para aparat birokrasi pemerintahan yang digaji dari pendapatan yang sudah bercampur antara yang halal dengan yang ‘terang-terangan’ haram.

Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahulLah menjelaskan “Sesungguhnya perbuatan makshiat itu jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi tidak akan mendatangkan bahaya kecuali bagi pelakunya saja, tetapi apabila dilaksanakan secara terang-terangan bahayanya akan menimpa kepada pelakunya dan masyarakat luas. Jika manusia melihat perbuatan munkar dan tidak mengingkarinya (menolak dan mencegahnya) dikhawatirkan Allah akan mendatangkan bencana secara umum (menimpa pelakunya dan masyarakat luas yang tidak mencegahnya)”. [Al-Jawab al-Kafie liman Sa-ala ‘an ad-Dawa’ asy-Syafie, fashl ‘Uqubat ad-Dzunub Syar’iyyah wa Qadariyyah]

Argumentasi bahwa dengan adanya tempat khusus penjualan yang berijin dan dikenakannya pajak/cukai akan dapat membatasi dan mengontrol agar tidak tersebar secara bebas di tengah masyarakat. Alasan tersebut (mungkin) ‘benar’ dalam logika sekulerisme, tetapi bagi masyarakat yang mutlak beragama, dan mayoritas mutlak muslim, logika tersebut akan di tingkat pelaksanaan menciptakan racun yang masuk ke dalam perut para birokrat dan keluarganya yang dibiayai dari gaji yang bersumber dari pendapatan daerah yang mixing tersebut.

Dari titik berangkat ini, maka yang seharusnya paling depan melawan proses penerimaan PAD dari sektor maksiat adalah para wakil rakyat yang menghadangnya jangan sampai regulasi yang melegalkan kemakshiatan tersebut lolos, diikuti aparat birokrasi pemerintahan pusat maupun daerah jangan sekali-kali mengeluarkan peraturan pemerintah, atau permen, atau perda yang mengatur secara teknis sehingga perbuatan makshiat itu menjadi sah dan terlindungi.

Selanjutnya seluruh alat-alat negara harus berusaha mencegah agar setidaknya diri dan keluarganya terlindungi dari mengkonsumsi makanan dari sumber-sumber yang haram yang akan mencelakakannya dunia-akherat.

Adapun rakyat kebanyakan, dalam persoalan ini seharusnya diwakili oleh para ulama’ karena hukum kausalitas (sebab akibat) yang bersifat transenden ini tidak banyak dipahami oleh masyarakat luas, apalagi mereka sehari-hari telah diracuni dengan logika sekulerisme yang secara konsisten mengikis keyakinan transenden tersebut.

Secara keseluruhan, yang seharusnya menjadi obor, suluh yang menerangi seluruh elemen masyarakat agar tidak melakukan harakiri sosial-kemasyarakatan seperti di atas adalah para ‘ulama, ‘Alim Rabbaniy . Peran mereka sungguh ditunggu, jika tidak, tragedi kota Pompeei yang dibenamkan dalam timbunan abu gunung Visuvius tidak ada jaminan tidak terulang. Wal’iyaadzu bilLah.

“Lame Duck” Lumpuhnya Institusi Pendidikan dalam Mengawal Moral Agama

Splash After Class

Sebuah event organizer, Devine Production, merancang acara pesta purna UN berkonsep kolam renang. Acara itu diperuntukkan bagi siswa SMU selesai mengikuti Ujian Nasional. Maksudnya sebagai refreshing setelah para siswa menjalani UN ‘penuh tekanan’ di akhir masa pendidikannya. Perhelatan itu sedianya akan diadakan di area kolam renang lantai 6 The Media Hotel and Tower yang beralamat di jln. Gunung Sahari Raya no. 3 Jakarta Pusat.[Pesta Bikini Splash After Class Pelajar SMU Jakarta, Infokami.com, diakses 25/4/2015]. Acara tersebut, meskipun direncanakan dimulai pada pukul 22.00, tetapi berhubung konsepnya nyemplung kolam renang maka persyaratan peserta masuk arena acara dengan ‘busana santai musim panas’. Meski pihak penyelenggara mengelak, tetapi promosi yang diunggah di media sosial, peserta mengenakan bikini.

Rencana acara tersebut akhirnya dibatalkan oleh penyelenggara karena menuai hujan protes dari masyarakat, bukan saja di media sosial, protes berkembang setelah kasus tersebut menjadi pemberitaan media massa, layar kaca, radio. Belakangan bahkan memantik unjuk rasa berbagai kelompok masyarakat. Seperti biasa, ketika gagal dan terjadi masalah, apalagi mendapat reaksi protes dari masyarakat, berbagai pihak terkait dengan rencana tersebut saling mengelak dan saling menyalahkan.

Meskipun pada akhirnya gagal, ada beberapa sisi yang menarik untuk dicermati pada kasus tersebut ; kenyataan bahwa memang ada kelompok masyarakat yang menjadi agent of change kultur kebebasan dan menjadikannya sebagai komoditas, ketidak-berdayaan institusi pendidikan dan tokoh agama membendung arus budaya global yang terus membanjir, juga model pendekatan birokrat dalam menghadapi kasus itu yang murni administratif dengan mengabaikannya sebagai pelanggaran moral yang layak mendapatkan perhatian dan pencegahan, dll.

Liberalisme Merupakan Komoditas

Liberalisme sebagai ideologi tidak terlalu sering dibicarakan, mungkin terlalu sophistic dan tidak menarik. Tetapi sebagai gerakan praktis di tengah kehidupan, baik di sektor ekonomi, pendidikan, maupun budaya, proses liberalisasi begitu aktif dan nyata. Mereka datang bukan dengan wajah garang yang dibenci, tetapi dengan wajah familiar, pleasure dan menyenangkan. Mereka juga datang pada timing yang tepat. Rencana acara splash after class mesti kita akui merupakan ide kreatif yang datang menawarkan diri pada waktu yang tepat. Mereka menawarkan acara refreshing di kolam renang setelah suntuk berhadapan dengan UN yang penuh tekanan. Bagi remaja usia 18-19 tahun yang belum menemukan jati diri, belum mempunyai kematangan, mereka akan cenderung tertarik dengan sesuatu yang baru, apalagi acara tersebut menawarkan sensasi kesenangan yang mendorong keinginan para remaja untuk mencobanya.

Peluang tersebut bak bola lambung yang langsung disambar dengan smash telak oleh Devine Production. Mereka melihat hal itu sebagai peluang bisnis yang menitikkan air liur, yang jika digarap dengan baik akan menghasilkan uang yang banyak. Sembari menangguk untung secara bisnis dari acara tersebut, sekalian ‘memperkenalkan’ life style yang ‘lebih maju’, freedom (kebebasan), gaya hidup post modern yang harus dimengerti dan dimiliki pengalamannya sebagai remaja kosmopolitan.

Tidak terlalu jelas apakah Devine Production hakikinya memang du’at ‘ala abwab jahannam (pendakwah yang berseru di pintu-pintu jahannam) dalam arti mereka melakukannya karena panggilan peran sebagai pengusung ‘ideologi kebebasan’, atau sekedar korban ide kreatif mencari uang yang tidak mengenal batas baik-buruk, halal-haram. Pihak Devine Production dengan enteng mengatakan “Tujuan kami kan hanya menyelenggarakan hiburan. Dan ini bukan pesta bikini seperti yang ramai dibicarakan di sosial media”. Sayangnya untuk melakukan hal buruk memang tidak harus sengaja, sebaliknya untuk melakukan perbuatan baik (baca : ‘amal sholih) yang konstruktif harus dengan pemahaman dan kesengajaan.

Pendekatan Birokrat yang Administratif ansich

Lain lagi reaksi pihak birokrasi DKI jaya yang diwakili oleh statemen gubernur-nya, menurutnya tidak ada perkara moral yang dilanggar, pelarangannya semata-mata karena menyalahi izin yang dikeluarkan. Menurut pihak hotel yang diwakili oleh Ibnu M Iqbal (nama yang begitu Islami) bahwa ijinnya adalah live music atau disk jockey (DJ). Pihaknya mengaku tidak tahu kalau peserta yang diundang pihak penyelenggara adalah anak Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat dan dengan dresscode bikini summer dress. Ahok mengatakan, “Ini bukan negara syariah kok. Kamu mau telanjang bulat atau tertutup itu urusan kamu. Tapi kalau kamu melanggar perizinan, kita cabut. Aturan kita sangat jelas”, kata dia, di Balai Kota DKI Jakarta, pada Jumat 24/4/2015. [VIVA.co.id, diakses 25/4/2015].

Pernyataan tersebut merepresentasikan betapa struktur birokrasi dan pejabat publik saat ini sudah semakin mendekati ‘kesempurnaan’ sebagai sebuah sistem pemerintahan sekuler yang bersih dari campur tangan agama. Pilihan kalimat Ahok pun juga secara tegas memberi isyarat siapa lawan dari sistem sekuler dan proses sekularisasi itu. Frase ‘negara syari’ah’ yang dipilih merupakan istilah spesifik milik umat Islam.

BACA JUGA : Nihilnya Moralitas Pemalsuan Vaksin

Pernyataan itu menegaskan bahwa negara dengan sistem pemerintahan sekuler, tidak dapat dijadikan wasilah (sarana) untuk mengamankan moral agama (akhlaq) masyarakat. Bagi birokrat dan regulasi sekuler, perhelatan acara dengan berpakaian atau tidak berpakaian yang diselenggarakan oleh sebuah event organizer mengambil tempat di hotel atau tempat lain, tidak ada masalah selama tidak melanggar aturan. Sementara aturan itu sendiri sudah dibersihkan dari pengaruh agama, agama apapun.

Ketidakberdayaan Institusi Pendidikan dan Tokoh Agama

Institusi pendidikan umum dengan frekuensi pelajaran agama 2 jam pelajaran tiap pekan, dengan durasi tiap jam pelajaran 40-45 menit dan perlakuan anak tiri terhadap pelajaran agama, ditambah langkanya guru agama yang melaksanakan tugas atas panggilan hati dan tugas agama, lebih karena panggilan gaji dan jaminan hari tua, beradu kecepatan dengan gelombang besar liberalisasi dengan dukungan sistem, sumber daya dan pendanaan yang menyatu dengan hajat hidup manusia dan memanfaatkan sarana komunikasi yang berkembang massif. Perlombaan yang dapat diibaratkan lame duck (bebek pincang) balapan dengan mobil balap formula 1.

Seruan moral serupa yang dikatakan oleh Pelaksana tugas Ketua Bidang Pendidikan MUI Anwar Abbas agar bangsa ini tidak terpengaruh dengan sisi negatif dari globalisasi, menegakkan nilai-nilai yang sudah diajarkan oleh agama dan budaya bangsa sendiri [REPUBLIKA.CO.ID 25/4/2015] tidak didengar dan tidak diperhatikan oleh masyarakat khususnya dunia pendidikan. Bukan karena seruan itu tidak baik, tetapi kecilnya gaung seruan tersebut dibandingkan dengan besarnya volume dan derasnya prahara arus kehidupan liberal yang hadir dalam beragam bentuk dan kreasi, selalu berubah penampilan, dengan menumpangi beragam isu yang berkembang di tengah masyarakat.

Institusi sekolah bercorak agama kebanjiran kepercayaan masyarakat karena kelumpuhan institusi pendidikan umum sekuler gagal membendung kerusakan moral pada anak didik. Masyarakat umum, mereka awam terhadap agamanya, tetapi tetap tidak dapat menerima kenyataan kerusakan moral dan kekeringan ruhani yang diproduk oleh pendidikan sekuler. Sementara pendidikan berbasis agama, bukan tanpa masalah. Besarnya animo masyarakat, disertai lemah dan terbatasnya sumber daya pendidik, minimnya sumber pendanaan, keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki menjadi kendala tersendiri. Membebankan kepada murid (wali murid) pemenuhan semua kebutuhan tersebut menjadikan pendidikan berbiaya tinggi, jika tidak ketimpangan tersebut akan menjadi problem aktual beberapa tahun kedepan. Wallohu al-Musta’an.

Kekacauan Sistem Hidup

Sebuah sistem lazimnya merupakan satu unity yang harmonis, bergerak memenuhi fungsi dan tugas masing-masing untuk satu tujuan. Alam semesta, expanding universe merupakan satu kesatuan ciptaan Allah, tunduk taat kepada-Nya, terdiri dari beragam makhluk dari yang besar hingga makhluk super mikro yang bergerak selaras untuk satu misi tertentu. Jika sistem kehilangan harmoni, akan terjadi benturan satu dengan yang lain dan akhirnya rusak. Jika alam semesta kehilangan keselarasannya, kiamat.

Sekularisasi Kehidupan

Sistem barat berdiri di atas sekularisme. Prinsipnya, meminggirkan dan mengisolasi peran agama dari kehidupan. Agama ditolerir hanya pada hubungan pribadi seseorang dengan tuhannya. Adapun hubungan dan kontrak sosial sesama manusia, antara manusia dengan lingkungan alam tempat hidupnya, maka harus bersih dari campur tangan agama.

Bagaimana panjang dan berdarah-darahnya barat ‘berjuang untuk lepas dari belenggu agama’, sudah sering dibahas. Akhirnya masyarakat barat memang berhasil mengisolir peran agama dalam sistem kehidupan mereka. Kebanyakan orang barat menjadi manusia agnostik (tidak peduli dengan agama, kehidupan sesudah mati dan hal-hal yang bersifat metaphisik), atau menjadi manusia atheis (anti tuhan dan agama). Sisanya, orang-orang yang beragama (hanya) dalam kehidupan pribadinya.

Dengan karakter kehidupan seperti itu, manusia barat membangun sistem kehidupan modern-nya sekarang ini. Penghormatan terhadap freedom (kebebasan) dalam segala hal merupakan dasar kehidupan ; bebas untuk beragama, memilih agama atau tidak beragama, bebas untuk memilih cara hidup tanpa ikatan apapun, bebas berbicara dan mengutarakan pendapat tanpa ada yang menghalangi, bebas ber-ekspresi seni tanpa pembatasan dan sensor.

Dalam kehidupan ekonomi, bebas untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dan mengembangkan modal yang dimiliki tanpa batasan apapun, dalam kehidupan politik setiap individu berhak dan memiliki kesempatan untuk ikut andil dalam pemerintahan melalui mekanisme yang telah ditentukan untuk memilih dan dipilih. Pada prestasi puncak sebagai sebuah sistem kehidupan, semua kebebasan itu mendapatkan pengakuan dan perlindungan dalam regulasi pemerintahan yang mereka bangun.

Kontradiksi intrinsik

Sayangnya, prinsip dan nilai yang berhasil dibangun barat hingga menjadi sebuah sistem peradaban, bahkan kemudian peradaban itu mereka sebarkan dengan bangga dan didukung kekuatan, terkandung di dalamnya berbagai kontradiksi dan disharmoni yang sulit dipertemukan.

Contoh terbaru adalah pemuatan karikatur Nabi Muhammad shallalLahu ‘alayhi wa sallam oleh charlie hebdo. Charlie Hebdo adalah majalah satire, isinya tentu saja humor, sindiran, pelecehan, kecaman dan atau penghinaan. Obyek yang ‘digarap’ mulai dari artis, politikus, tokoh publik, tokoh agama, nabi bahkan tuhan. Gambar-bambar karikatur (yang bernuansa penghinaan, setidaknya pelecehan) itu, oleh pembuatnya diklaim sebagai ekspresi seni. Dalam sistem sekuler barat, ekspresi seni termasuk kebebasan individu yang tidak boleh dibatasi dan diganggu, dan kebebasan itu dilindungi oleh undang-undang.

Para aktor di balik majalah itu tidak akan lepas dari 3 kemungkinan ; orang beragama yang sudah tersekulerkan sehingga tidak tersisa kecemburuan kepada kesucian agama dan penghormatan kepada tokoh-tokoh agama bahkan tuhan, atau seorang agnostik yang tidak meyakini dan tidak memeluk suatu agama tertentu, atau seorang atheis yang memang membenci tuhan dan agama.

Mungkin juga masalahnya lebih kompleks, para pelaku terdorong melakukan pelecehan terhadap kesucian simbol-simbol agama dan terus ingin melakukannya, karena komoditas sensasional seperti itu cenderung menarik publik, merangsang keingintahuan dan akhirnya menaikkan oplah majalah, kenaikan cetak identik dengan makin tebalnya dompet. Atau, bisa juga karena ada orang yang berkepentingan untuk menyulut kebencian dengan kekuaatan uangnya, agar umat Islam marah sehingga tensi permusuhan umat tinggi, lalu mereka mengeksploitasi kemarahan tersebut untuk agendanya sendiri.

Benturan Sistem Nilai dua Peradaban

Barat bisa saja membatasi dengan membuat regulasi bahwa tepian kebebasan ber-ekspresi itu adalah sikap empati dan menenggang perkara-perkara yang oleh pihak lain dihormati dan dianggap suci. Alih-alih menenggang, mereka justru berargumentasi bahwa Muhammad (RasululLah shallalLahu ‘alayhi wa sallam) tidak suci bagi mereka. Jika etika bertetangga seperti ini, tentu saja sulit untuk membangun hubungan ketetanggaan yang harmonis. Mereka mengolok-olok simbol-simbol kesucian umat Islam, sementara jika umat Islam marah mereka tambahi olok-olokannya bahwa umat Islam pemarah.

Sebenarnya, tidak terlalu tepat jika dibayangkan bahwa barat hari ini dianggap representasi dari pemeluk setia agama Nasrani (Katholik atau Protestan) yang sedang memprovokasi perang salib. Ada perbedaan jauh antara Nasrani yang melancarkan perang salib pada abad pertengahan, dengan permusuhan barat saat ini terhadap Islam.

Nasrani klasik mengobarkan perang salib karena sentimen dan fanatisme agama yang berlebihan, sedang barat hari ini (jika dianggap representasi Nasrani) adalah Nasrani yang telah sekuler. Mereka menjadikan simbol suci umat Islam sebagai bahan guyonan dan pelecehan lebih disebabkan kekhawatiran jika Islam semakin kuat, tersebar dan mendominasi barat, sistem kehidupan sekuler mereka yang melepas bebas hawa nafsu tanpa batas dan kendali itu, ‘sekali lagi’ diganggu oleh agama samawi (yakni Islam), setelah sebelumnya dibelenggu oleh tirani gereja dan tokoh-tokoh agama yang sok mewakili tuhan tetapi jumud.

Ketika barat, mentolerir kebebasan sampai batas ‘tanpa batas’, kemudian kebebasan itu digunakan oleh anggota masyarakatnya untuk menjadikan simbol-simbol kesucian pihak lain sebagai bahan olok-olok, guyonan, pelecehan bahkan penghinaan, efeknya terjadi benturan yang tidak dapat dihindarkan.

Tengok saja, korban penyerangan kantor redaksi charlie hebdo 12 orang, jumlah umat Islam yang meninggal terbunuh dalam serangkaian protes di berbagai negara muslim akibat bentrokan dengan aparat pemerintahannya sendiri, secara total lebih besar dari jumlah yang terbunuh di kantor charlie hebdo.

BACA JUGA : Membunuh Dua Burung Dengan Satu Lemparan

Benturan peradaban itu menjadi niscaya dan tidak terhindarkan karena kejahatan tersebut tidak dianggap perbuatan kriminal yang meniscayakan tindakan hukum. Sebaliknya dalam Islam pelecehan dan penghinaan kepada Nabi merupakan crime besar yang mewajibkan hukum bunuh laa yustatab (tanpa penawaran untuk bertaubat sebelum tindakan eksekusi).

Imam Ar-Rajihiy dalam Syarh Kitab as-Sunnah li al-Barbahariy menjelaskan bahwa orang yang berbuat seperti itu dibunuh dan tidak diterima taubatnya di dunia, meskipun dia bilang bahwa dia bertaubat. Karena kekafiran seperti itu termasuk kategori kekafiran berat, dan eksekusi terhadapnya mengandung peringatan bagi yang lainnya yakni agar manusia tidak lancang dan berani main-main dengan kekafiran berat tersebut. Di akherat diterima taubatnya antara dia dengan Allah (jika benar-benar taubat nasuha)… (Syarh Kitab as-Sunnah li al-Barbahariy, maktabah syamilah).

Dalam Islam awa muhditsan (orang yang melindungi pelaku kejahatan), adalah bentuk perbuatan kriminal yang dikenai sanksi, sementara sistem hukum barat justru menempatkan para pelaku kriminal penghinaan Nabi tersebut dalam perlindungan UU dan di-semati julukan sebagai pahlawan kebebasan. Menilik kekeraskepalaan barat tersebut, tampaknya benturan nilai-nilai peradaban seperti ini belum akan menampakkan tanda-tanda berakhir dalam waktu dekat. WalLohu a’lam

Menebas Benalu

Jika kita memperhatikan alam, sungguh telah banyak ditebar iktibar oleh Allah. Sebatang pohon buah yang produktif, jika salah satu cabangnya ditempeli oleh benalu, maka produktivitas buah di cabang tersebut pasti terganggu.

Jika benalu itu dibiarkan, tidak segera dipangkas, cabang yang bersangkutan bahkan akan mati. Jika benalu dibersihkan ketika baru mulai tumbuh, membersihkannya lebih mudah, karena akar tumbuhan pengganggu itu belum masuk kedalam inti batang. Apabila terlambat memangkasnya, akarnya masuk kedalam batang, tidak dapat dibersihkan kecuali cabang tersebut dipotong hingga ke ujungnya.

Mengontrol secara rutin untuk mengantisipasi agar pohon-pohon produktif tidak ditempeli oleh tumbuhan pengganggu merupakan keharusan, sehingga tindakan pembersihan dapat dilakukan sebelum terlambat, tidak ada cabang yang harus diamputasi.

Pemerintahan dan kekuasaan, dalam keadaan sehatnya, yakni ketika motivasi mengambilnya bukan untuk menikmatinya tetapi dalam rangka menunaikan amanah yang terkandung padanya dengan jujur dan adil, dan person yang mengambilnya mempunyai kapasitas untuk menunaikan amanah tersebut, akan membawa kemaslahatan rakyat yang diperintah. Jika motivasi dasarnya karena iman kepada Allah dan hari akherat, bahkan akan menjadi wasilah (sarana) bagi pelaksananya untuk mendekatkan diri kepada Allah, selain maslahat yang didapat oleh rakyat.

Mafia Merupakan Benalu

Sektor energi dalam kehidupan rakyat Indonesia yang populasinya kisaran 250 juta jiwa ini, merupakan sektor strategis. Menyediakan kebutuhan energi bagi rakyat sebanyak itu tentu merupakan beban yang menekan pundak siapapun yang memandang kekuasaan sebagai amanat yang harus ditunaikan hak-haknya.

Sebaliknya, bagi yang rakus terhadap dunia dan kemewahannya, sungguh merupakan peluang untuk memenuhi pundi-pundi kekayaan. Distribusi, subsidi, selisih harga, semua dapat dieksploitasi untuk memenuhi hasratnya terhadap kekayaan.

Para pemburu keuntungan itu, adalah mereka yang naluri bisnisnya tajam, tetapi dalam dirinya tidak dilengkapi dengan kendali keimanan, atau setidaknya kendali moral yang mengarahkan dan mengendalikan ketajaman naluri tersebut untuk tidak mengambil keuntungan di atas penderitaan orang banyak.

Mereka menempel, menembus dan merasuk dalam urat nadi sistem distribusi kebutuhan pokok rakyat secara permanen, sehingga karena menempel pada sistemnya, pergantian pejabat pemerintahan tidak secara otomatis memangkas eksistensi mereka. Mereka berusaha untuk menyesuaikan diri jika terjadi perubahan iklim pemerintahan, sehingga tetap bisa hidup dan mempertahankan eksistensinya.

Pada stadium lanjut, -dengan kekuatan uangnya- mereka bahkan dapat menekan dan menentukan siapa yang akan menjadi pejabat, tentu dengan konsesi dan keuntungan bagi kelompoknya. Berbagai kartel narkoba di Amerika Selatan merupakan contoh nyata.

Di Indonesia, mafia migas menjadi benalu kronis yang menghisap hak-hak rakyat. Pergantian rezim pemerintahan tidak mampu mengeliminasi eksistensi mereka, apalagi menghilangkannya. Pembentukan Komite Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri membuktikan, betapa benalu yang menghisap kebutuhan dan hak-hak rakyat tersebut sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan.

Faisal Basri berkata, sebagaimana dikutip oleh detikFinance, “Mafia migas adalah para pemburu rente yang memiliki kedekatan dan pengaruh terhadap para pejabat tinggi pengambil keputusan yang berdampak pada tidak optimalnya produksi migas, inefisiensi, dan ekonomi biaya tinggi pada penyediaan BBM serta mata rantai supply gas. Hal tersebut juga difasilitasi oleh kelemahan peraturan yang berlaku”. [detikFinance, selasa, 18/11/2014].

Misi mafia migas sangat jelas, mereka memburu keuntungan. Tetapi keuntungan itu dikejar tidak melalui mekanisme perdagangan yang wajar, bahkan sebagian dari mata rantai mafia tersebut mempertebal kantongnya dengan fee, sebagian yang lain dengan membuat regulasi (peraturan, perundangan). Mereka tidak hanya dekat dengan para pejabat tinggi pengambil keputusan, tetapi memiliki pengaruh ; suatu keputusan dikeluarkan atau tidak, sebuah regulasi harus seperti apa dictum-nya, sebuah tender proyek diserahkan kepada siapa, para mafia itu memiliki pengaruh.

Mereka tidak bertanda tangan atas keputusan suatu departemen, tetapi pengaruh mereka ada dalam keputusan itu. Regulasi tata kelola bahan bakar minyak dan suplai gas mereka tidak mengeluarkannya, tetapi mereka diuntungkan dengan regulasi itu, dst.

Lebih lanjut Faisal Basri menjelaskan, begitu besarnya kedekatan dan pengaruh para mafia tersebut, hingga seharusnya kilang minyak baru mesti dibangun untuk mencukupi kebutuhan rakyat yang populasinya terus bertambah, tidak dilakukan, akibatnya produksi turun drastis, sementara konsumsi terus menanjak. Sudah sejak 25 thn yang lalu keinginan untuk membangun kilang baru, tetapi hingga kini tidak ada realisasinya, padahal kemudahan dan insentif telah diberikan, demikian menurut Menkeu Bambang Brodjonegoro. [detikfinance, selasa, 18/11/2014].

Yang lebih tragis, peralatan kilang pengolahan yang dimiliki pertamina sudah begitu tertinggal, tidak efisien, sehingga biaya produksi membengkak. Lebih murah membeli minyak olahan dari Singapura dibandingkan mengolah sendiri. Kapasitas tangki untuk menimbun BBM yang seharusnya dibangun juga tidak dilakukan, gas bumi yang seharusnya lebih banyak untuk memenuhi kepentingan di dalam negeri, lebih banyak dieksport, karena mereka mengambil keuntungan disitu.

Hilangnya Amanah

Identifikasi sumber masalah, dalam batas tertentu telah berhasil ditemukan oleh kabinet yang baru ini. Selanjutnya, apakah solusi yang akan diambil benar ; baik benar dalam jangka pendek, menengah maupun panjang masih harus disimak sepanjang perjalanan pemerintahannya. Keberhasilan menjalankan solusi yang diambil sangat tergantung kepada ada tidaknya syarat internal dalam tubuh organisasi pemerintahan tersebut dan mampu tidak menghadapi tantangan eksternal yang pasti berusaha untuk menggagalkannya.

Syarat internal itu terutama adalah kekuatan dan sifat amanah sebagaimana disimpulkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taymiyah di dalam tulisannya ‘As-Siyasah asy-Syar’iyyah’. Kesederhanaan akan mengerem dari penggunaan anggaran secara boros, juga bisa mencegah gaya hidup mewah.

Efeknya dia dapat merasakan kesulitan yang dihadapi rakyat dan terdorong untuk menunaikan hak-hak rakyat sesuai dengan amanatnya. Hal ini akan menumbuhkan energi internal untuk menjalankan solusi ‘ideal-realistik-bertahap’ yang telah dirumuskan dan menghadapi tantangan eksternal yang timbul betapa pun besarnya.

Solusi realistik jangka pendek tentu saja menebas benalu mafia yang telah berurat berakar begitu lama, mencari keuntungan dari menghisap pengelolaan, distribusi dan subsidi kebutuhan pokok rakyat. Jika dipandang perlu struktur arteri dan urat nadi yang seharusnya melayani rakyat, ternyata telah berubah orientasi, menjadi inang yang melayani benalu tersebut, sekalian dibabat.

Dalam perspektif Islam, para mafia yang memiliki kedekatan dan pengaruh terhadap penentuan hajat hidup pokok rakyat banyak ini, termasuk kategori menempatkan orang yang tidak memiliki kompetensi dan bahkan korup terhadap suatu amanah. Tindakan itu, atau membiarkan tindakan tersebut tanpa koreksi, termasuk dalam kategori kriminal mengkhianati Allah, rasul-Nya dan kaum muslimin.

Ini tantangan pertama sekaligus pembuktian awal apakah mereka benar-benar berpihak kepada rakyat. Jika gagal pada babak ini, sepertinya tidak ada yang dapat diharapkan sesudahnya.

Refleksi Akhir Tahun 1435 H

Menggantungkan harapan, bukan suatu yang salah, bahkan sebuah keharusan. Harapan, cita-cita dan keinginan lah yang akan memberi orientasi hidup seseorang atau sebuah komunitas bahkan sebuah bangsa untuk bergerak, berkreasi dan melakukan inovasi agar hope yang dicanangkan berhasil diraih, present (menjadi nyata) dan actual. Masalahnya, apakah penggantungan harapan itu disertai pemenuhan sebab-sebab yang menjadikannya terwujud atau tidak.

Bagi kaum muslimin -yang sehat pemahaman Islamnya- harapannya di dunia adalah kehidupan yang memberi peluang dan kebebasan baginya untuk beribadah kepada Allah dengan aman tanpa gangguan, disertai dukungan untuk produktif melakukan aktivitas keduniaan yang dapat mendukung ibadahnya tersebut. Kehidupan yang didambakannya hanya mungkin terlaksana jika semua syarat yang dituntut untuk itu dipenuhi. Tanpa itu, maka akan seperti penggambaran pepatah melayu lama ‘seperti menggantang asap’.

Memang ada masalah di tengah masyarakat Islam, yakni tidak semua umat Islam memiliki ideal type yang tercetak di benaknya tentang bentuk masyarakat dambaan yang mereka inginkan. Hal itu dikarenakan terbatasnya asupan informasi dakwah yang mereka terima. Keterbatasan dalam masalah itu, sudah pasti disertai dengan ketidaktahuan terhadap sebab-sebab yang mengantarkan untuk meraihnya. Namun, bicara level awam, tak ada masyarakat yang selamat dari kekurangan ini.

Implementasi Syari’at dan Pengabaiannya, serta Akibat yang Timbul dalam Kehidupan Masyarakat
Tentang cita-cita dan harapan yang dirindukan oleh umat Islam sebagai sebuah entitas, untuk meraihnya diperlukan syarat yang cukup berat. Ketika masyarakat dambaan itu sudah hadir dan umat merasakan kesejukan iman di bawah naungannya, merawat syarat itu agar tidak raib juga bukan perkara yang mudah. Syarat-syarat itu terangkum di dalam peringatan Nabi yang diberitakan oleh ‘AbdulLah bin ‘Umar radliyalLahu ‘anhuma, “Wahai segenap kaum muhajirin, 5 (lima) perkara yang aku berlindung kepada Allah jangan sampai kalian mengalaminya, Tidaklah suatu kaum mengerjakan perbuatan keji sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali mereka akan ditimpa dengan berbagai wabah dan penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang sebelumnya. Tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan ditimpa paceklik (kekurangan pangan), tandusnya tanah dan zhalimnya penguasa. Dan tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat hartanya, kecuali akan ditahan turunnya hujan dari langit, sekiranya bukan karena binatang ternak (yang memerlukan air) mereka tidak akan diberi hujan. Dan tidaklah suatu kaum memungkiri janji, melainkan Allah akan mendatangkan musuh-musuh dari luar golongan mereka lalu mereka akan merampas sebagian dari harta kekayaan mereka. Dan selama para pemimpin mereka tidak mengamalkan apa yang Allah turunkan dalam kitab-Nya, niscaya benturan-benturan kekerasan akan menimpa diantara mereka. (Hadits Riwayat Ibnu Majah)

Keseluruhan dari hukum sebab akibat sosial kemasyarakatan yang dikhawatirkan oleh RasululLah itu, semua telah dirasakan oleh umat Islam -yang mayoritas- di negeri ini. Beragam penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang sebelumnya sekarang marak. Dunia kedokteran terus disibukkan dengan beragam variant penyakit baru yang belum diketahui obatnya.

Paceklik, kekurangan pangan, kerusakan lahan pertanian, hutan, rusaknya ekologi akibat eksploitasi tambang ugal-ugalan para pemegang izin. Kelangkaan bibit pertanian, pupuk dan obat-obat pertanian telah menghantui negara agraris dengan penduduknya begitu besar ini. Kedaulatan pangan dalam bahaya dan sewaktu-waktu dapat jauh ke dalam keadaan kritis tanpa mempunyai cadangan berarti. Begitu pula, kedaulatan energi telah diserahkan kepada pihak asing setelah sumber-sumber energi tidak terbarukan (fosil), gas alam dan batubara diserahkan eksploitasinya kepada asing.

Penyerahan kedaulatan pangan, energi, perdagangan, investasi dll itu, dilakukan dengan dalih swastanisasi sektor publik, komitment terhadap perdagangan bebas WTO atau argumen lain yang tidak lepas dari alasan liberalisasi ekonomi. Dengan ikut meratifikasi pendirian WTO melalui UU no. 7 thn 1994, seluruh kesepakatan dibawah WTO mutlak harus diikuti Indonesia. Semua hambatan perdagangan dan investasi internasional untuk masuk dan beroperasi di Indonesia sudah jebol. Proses pembuatan UU penanaman modal, investasi, Daftar Negatif Investasi (DNI) dilakukan dibawah pengawasan IMF, World Bank, Asian Development Bank dan institusi-institusi keuangan negara-negara maju.

Tindakan menahan zakat harta kekayaan diberitakan oleh RasululLah akan mendapat hukuman secara kauniy dengan ditahannya hujan. Sekiranya bukan karena Allah menyayangi binatang ternak yang ada di bumi niscaya Allah tidak akan menurunkan hujannya. Manusia yang durhaka dari menunaikan hak harta ini, justru numpang ‘pemenuhan’ kebutuhan dhoruriy-nya kepada binatang ternak, padahal seharusnya terbalik. Selain karena hukuman akibat melalaikan kewajiban zakat, efek lanjut kerusakan alam akibat pemanfaatan berlebihan tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelangsungan alam itu telah berimbas pada perubahan iklim akibat pemanasan bumi,fenomena elnino dan lanina (kemarau panjang yang menimbulkan kekurangan air yang parah, sebaliknya ketika hujan datang juga menimbulkan masalah).

Pada tataran kerusakan norma sosial kemasyarakatan, Nabi memberitahukan akibat lanjut dari kaum yang memungkiri janji, sehingga fihak asing intervensi dan merampas kekayaan mereka. Para pemimpin, para politisi yang mengingkari janji mereka untuk menunaikan amanah harta kekayaan yang seharusnya di-tashorruf-kan untuk rakyatnya agar mereka berkecukupan dan dengan harta itu mereka dapat melaksanakan perintah-perintah Allah, justru mereka ingkari. Regulasi dan perundangan yang dikeluarkan oleh mereka yang meng-klaim memikul amanah rakyat itu justru menyerahkan dan menjual kepada pihak asing. Sumber daya alam dikeruk dan dibawa keluar dalam bentuk bahan-bahan mentah untuk menghidupi industri asing, sementara rakyat hanya menjadi kuli.

Para pemimpin umat Islam, -meski proporsi umat Islam mayoritas-   juga tidak menerapkan hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya, umat yang mayoritas tersebut dijauhkan dari pelaksanaan dien-Nya, setelah sebelumnya mereka dijauhkan dari dakwah Islam sehingga pemahaman mereka rusak dan dangkal. Maka berkah kehidupan dicabut dari mereka, bahkan kesatuan hati mereka mulai retak. Sebagian kecil yang komitment dengan seruan dakwah yang benar, konsisten dengan tuntutan dilaksanakan syari’at Allah, mau tidak mau mereka berbenturan dengan umat Islam mayoritas yang telah sebelumnya dijauhkan dari dakwah Islam yang benar. Umat mayoritas tersebut telah dijejali stigma buruk bahwa kelompok kecil yang komitment dan konsisten itu sebagai kelompok ekstrem, fundamentalis dan terkait terorisme. Jadilah, persis dengan apa dikhawatirkan oleh Nabi, ‘sebagiannya merasakan kekerasan sebagian yang lain’.

Penutup
Hukuman qodariy akibat meninggalkan aturan syar’iy yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab-Nya, baik ketetapan yang tauqifiy maupun arahan umum untuk berbuat adil dalam segala sesuatu, telah benar-benar nyata dalam kehidupan bagi yang memiliki bashirah. Harapan untuk hidup nyaman di bawah naungan pelaksanaan hak-hak Allah dan keadilan sistem politik yang benar di bawah sistem Islam masih merupakan harapan jauh mengiringi kepergian tahun 1435 H dan menjemput kedatangan tahun 1436 H.

Memahami Kemarahan AS

Kekejaman rezim Asad sudah dikenal. Saudara muslim kita di Syiria, dalam waktu yang panjang berada dalam penindasan rezim keluarga Asad mulai zaman Hafizh Asad hingga anaknya, Basyar Asad. Begitu seriusnya keluarga Asad dalam memadamkan cahaya Allah. Begitu banyak kasus orang dipenjara di zaman kediktatoran bapak-anak tersebut ‘hanya’ karena rajin melakukan shalat shubuh berjamaah. Jika ibadah mahdhoh yang tidak secara langsung mengganggu kekuasaan politiknya saja diperlakukan seperti itu, apalagi melaksanakan ajaran Islam yang terkait langsung dengan eksistensi kekuasaannya, seperti misalnya amar ma’ruf nahi munkar.

Hal itu tidak jauh berbeda dengan kejahatan tetangga sebelahnya di Turki. Musthafa Kemal, setelah berhasil mengakhiri eksistensi Khilafah Utsmaniyah melarang pemakaian busana muslimah dan menggantikan pakaian wanita Turki dengan pakaian Eropa, melarang penggunaan bahasa Arab dan mengganti lafal Adzan dengan bahasa Turki. Bahkan, penutup kepala ‘thorbus’ khas Turki pun dilarang dan diganti dengan topi Eropa. Ya, dua pemimpin di dua negara bertetangga bentukan barat seusai perang dunia II tersebut mirip. Kedua pemerintahan itu sebagaimana pemerintahan pasca PD II, sama-sama bentukan penjajah, diserahkan kepada kader-kader Barat yang diyakini dapat mengamankan kepentingan Barat di negara-negara itu setelah secara fisik era kolonisasi (penjajahan) berakhir.

Sekarang ini pun, saat rakyat muslim Suriah belum benar- benar lepas dari kekejaman Basyar, ditambahi beban lagi harus menanggung kekejaman serangan udara Amerika Serikat dengan pesawat-pesawat tempur canggih, drone, dan serangan dari kapal-kapal perang dengan rudal Tomahawk. Dengan serangan udara, pesawat menjatuhkan bom-bom berukuran besar, peluru kendali dari kapal perang, betapapun pasti tidak dapat memilah dan memilih sasaran; kombatan atau sipil, laki-laki, perempuan, anak-anak atau orang jompo. Kerusakan infrastruktur yang ditimbulkan juga sangat parah. Dalam melakukan serangan, AS juga tak mau sendirian. Selalunya, ketika mengandung resiko kemungkinan menghadapi kemarahan umat Islam AS mesti menggandeng teman dan tidak sedikit, koalisi itu mencakup lebih dari 30 negara. Sedihnya lagi, tak hanya negara-negara yang notabene ‘kafir’ yang terlibat, bahkan negara-negara Arab pun terlibat: Saudi, Yordania, Qatar, dll.

Apa yang menyebabkan AS dan sekutu-sekutunya mau menerjunkan diri dalam perang di Suriah. Padahal sebelumnya AS tampak begitu enggan dan trauma atas kegagalan dan kerugian mereka dalam perang Afghanistan dan Iraq. Mengapa AS berubah, sebelumnya mendukung oposisi melawan Basyar Asad, sekarang melancarkan serangan udara mematikan terhadap pejuang oposisi yang melawan Basyar? Padahal Basyar yang sekarang, juga tetap Basyar yang kejam menindas rakyat. Sedangkan kelompok yang menjadi sasaran serangan AS juga tetap berjuang melawan Basyar demi membebaskan rakyat dari kediktatoran.

Tentunya ada argumentasi penting yang mendasari AS mengubah keputusannya. Begitu pula mengapa pemerintah Saudi dan Yordan ikut ambil bagian. Begitu cepatnya policy itu berubah. Perubahan kontradiktif dalam waktu yang begitu cepat, mengundang orang untuk berpikir dan bertanya-tanya. Perubahan kebijakan itu memang menyingkap kepentingan besar yang selama ini tersamar.

Islamic State of Iraq and Sham yang kemudian bermetamorfose menjadi Islamic State saja, memang memerangi rezim Basyar yang menindas rakyat. Akan tetapi agenda penegakan syariat Islam yang diimplementasikan oleh ISIS (IS) terhadap wilayah yang telah dikuasainya, sikapnya yang tidak mau kompromi sama sekali dengan Barat, apalagi pernyataan klaimnya sebagai Islamic State yang tidak mencantumkan batas teritorial negaranya, dianggap AS dan sekutunya sebagai bahaya nyata yang akan merusakkan tatanan dunia, khususnya kawasan timur tengah. Kelangsungan pemerintahan di timteng yang selama ini melayani Barat dalam mengamankan eksistensi negara Zionis-Israil juga di dalam ancaman. Selanjutnya hegemoni AS dan Barat atas kepentingan ekonomi (khususnya minyak bumi) akan mengalami goncangan.

Pelaksanaan Syariat Islam

Implementasi syariat Islam dalam kehidupan merupakan argumentasi AS dan sekutunya yang paling mendasar. Rezim-rezim Arab ikut serta dalam koalisi itu, sebab selama ini sekalipun memerintah rakyat muslim, mereka tidak mengimplementasikan syariat Islam secara total. Selain itu mereka membiarkan AS dan sekutunya menghisap kekayaan alam bumi Islam tersebut secara zalim dan tidak adil. Pada titik ini bertemu antara kepentingan AS dan sekutu Baratnya, dengan kepentingan rezim-rezim Arab lokal. Itu sebabnya mereka berkoalisi.

AS dan barat tahu betul bahwa pelaksanaan syariat Islam yang pure, totalitas dan serius, lambat maupun cepat akan membahayakan eksistensinya. Ideologi liberalisme-kapitalisme-sekuler yang berwatak materi terancam. Dalam pandangan AS dan barat, garis perjuangan Jabhah Nushrah yang dianggap sebagai representasi tandhim Al-Qaidah di Syam sama dan sebangun dengan ISIS (IS). Jika ada perbedaan tampilan kekinian antara kedua kelompok perlawanan itu, perbedaan tersebut bagi AS dan Barat tidak substansial, hanya perbedaan performa luar dan bersifat gradual. Jika dibiarkan, Jabhah Nushrah tidak beda dengan ISIS (IS). AS tidak kehilangan esensi pertarungan. Karena itu paket serangan udara yang dikirimkan oleh AS dan sekutunya ditujukan kepada kedua kelompok perlawanan tersebut.

Hal itu mengandung pesan kuat, pokoknya siapa saja yang mengusung agenda pelaksanaan syariat Islam, di timur atau di barat, di puncak pegunungan salju Tora Bora atau Mali di tengah gurun sahara, AS dan sekutunya tidak akan pernah rela, Wa lan tardho’anka al-Yahudu wa la an-Nashara hatta tattabi’a millatahum,…”Sekali-kali tidak akan pernah rela kepadamu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani hingga kamu mengikuti agama mereka…” (QS. Al-Baqarah: 120).

Memperhatikan Skala Prioritas, Melupakan Permusuhan dengan Basyar

Sikap AS mengubah arah permusuhan sungguh menarik. AS mengajari umat Islam untuk melupakan perbedaan gradual ketika menghadapi musuh yang lebih essensial. Pelaksanaan syariat Islam (tanpa menutup mata kekurangan ISIS dalam mengimplementasikannya) merupakan masalah hakiki bagi eksistensi AS yang ber-ideologi materialisme-sekuler. AS masih bisa mentolerir rezim Basyar yang tidak demokratis, otoriter dan kejam ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa musuh Basyar merupakan musuh hakiki bagi AS dan barat.

Benar, jika dikatakan ‘aduwwun ‘aqil (musuh yang cerdas) lebih baik daripada shodiqun jahil (kawan yang tidak cerdas). Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari musuh dan bertindak dewasa dalam memperlakukan teman seiring yang padanya ada kesamaan prinsip, sekaligus ada perbedaan dalam perincian.

Fenomena Timteng dan Nubuwah Nabi ShallalLahu ‘alayhi wa sallam

Hidup di era keterbukaan informasi sekarang ini membawa banyak implikasi. Positifnya, kita dapat mengakses sumber-sumber informasi dan memuaskan dahaga keingintahuan kita dengan mudah jika memerlukan informasi mengenai suatu persoalan. Negatifnya, jika tidak dapat mengendalikan keingintahuan dan pengetahuan yang kita perlukan, maka banjir informasi yang tidak perlu, setiap saat, boleh jadi justru menjadikan kita bingung dan terombang-ambing dengan informasi yang saling bertentangan.

Persoalan yang turut andil membuat kebingungan adalah masyarakat yang awam terhadap suatu masalah, tidak memiliki dasar pengetahuan tentang perkara yang sedang dibicarakan, sementara mau tak mau dia mendapatkan gelontoran informasi masalah tersebut pada tingkat lanjut. Lebih ruwet lagi jika dengan keterbatasan pengetahuannya, ikut-ikutan mengolah informasi dan men-share-nya. Serpihan-serpihan informasi, ditingkahi komentar-komentar dangkal, dibalut dengan kebencian terhadap sesuatu yang berlebihan atau sebaliknya nge-fans berat, sama-sama berpotensi membangun distorsi informasi di tengah masyarakat.

Studi Kasus ISIS

Fenomena Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) merupakan salah satu persoalan yang diselubungi oleh kompleksitas persoalan seperti digambarkan di atas.

Umat Islam secara umum telah mengetahui secara global terjadinya pergolakan di Timur Tengah yang terkenal dengan Arab Spring, musim perlawanan rakyat terhadap para penguasa yang memerintah secara diktator represif terhadap rakyatnya. Waktu lebih dari 3 (tiga) tahun cukup bagi publik untuk (setidaknya) mengerti secara garis besar krisis yang terjadi.

Tetapi untuk mengetahui permasalahan secara rinci, peta pergolakan, siapa saja yang berkepentingan dan posisi masing-masing yang terlibat dalam pergolakan, bukan perkara yang mudah. Konflik di timteng dan kelompok-kelompok yang terlibat memiliki akar sejarah yang panjang, ratusan, bahkan ribuan tahun. Pengelompokan agama dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing kelompok di sana, tidak sama dengan konstelasi agama dan keyakinan yang ada di sini. Selain agama-agama besar yang dikenal luas, ada komunitas-komunitas dengan keyakinan yang tidak dikenal dan tidak ada prakteknya di sini. Nushairiyah misalnya, atau Kristen Koptik, milisi Hizbullah (yang ber-afiliasi ke syiah Iran) atau Kristen Maronit, atau Milisi Druze, atau sekte Alawiy (yang belum tentu keturunan Ali), dll.

Umat Islam di Indonesia tidak memiliki gambaran yang benar dan kesulitan untuk memahami mengapa terjadi peperangan dan rebutan kepentingan di Iraq antara Nuri al-Maliki dengan Islamic State of Iraq (Negara Islam Iraq). Mengapa terjadi perang segitiga di Yaman antara AQAP, pemerintahan presiden Al-Hadi dan syiah Hautsi. Siapa saja yang terlibat dalam konflik kepentingan di Libya setelah kehancuran kekuasaan Qadzafi, dll.

Tingkat kerumitan yang lebih komplek dan sulit dipahami oleh masyarakat awam umat Islam ketika mencoba mengetahui peran pemerintah yang berkuasa di negara-negara seperti Saudi, Mesir, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, Kuwait dll. Ditambah lagi kepentingan AS dan sekutu baratnya di timteng. Juga kepentingan gerakan Islam yang dipelopori oleh Al-Qaidah di wilayah tersebut. Kemunculan Islamic State of Iraq (ISI) selain pemerintah Iraq dukungan AS yang didominasi kelompok syiah, kemudian munculnya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Belum lagi persoalan itu dimengerti, telah berlanjut kepada deklarasi Islamic State (IS) yang mengklaim sebagai Khilafah Islamiyah bagi umat Islam seluruh dunia.

Nubuwah RasululLah vs Nasionalisme

Paham kebangsaan yang muncul pada akhir era kolonialisme barat dan mendapatkan momentumnya pada perang dunia kedua, telah menghasilkan munculnya negara-negara baru yang merdeka bercorak nation state. Pada sebagian kasus antara bangsa dan faith (keyakinan agama) terintegrasi, tetapi banyak kasus dimana suatu suku bangsa dengan keyakinan yang berbeda dipaksakan masuk menjadi bagian dari suatu nation state dengan suku bangsa dan keyakinan yang berbeda. Bangsa Melayu muslim di wilayah selatan Muangthai dipaksakan menjadi bagian dari bangsa Thai yang beragama Budha, bangsa muslim Arakan dipaksakan menjadi bagian dari bangsa Burma yang beragama Budha, bangsa Kasymir muslim dipaksakan menjadi bagian dari India yang beragama Hindu. Bangsa muslim Bosnia dipaksakan menjadi bagian dari bangsa Slavia yang menganut Kristen Ortodoks, dll. Sementara bangsa-bangsa yang beragama Islam, dipecah-pecah menjadi berbagai negara yang saling berpisah berbasis kebangsaan (kesukuan) masing-masing.

Keadaan seperti itu dalam masa yang panjang telah menjadikan bangsa-bangsa muslim yang terpecah-pecah tersebut kehilangan gambaran bahwa di masa yang lalu, Nabi dan generasi-generasi muslim yang mengikutinya membangun state (negara) tidak berdasar kesukuan atau kebangsaan, tetapi berbasis keyakinan agama yang mewadahi semua suku bangsa, semua warna kulit.

Ketika sebaran umat Islam sudah sedemikian luas dan kemampuan sebuah state tersentral melemah, sehingga wujudnya negara berbasis keyakinan dan bercorak kebangsaan tidak dapat dihindari, tolong-menolong, saling membela dan menguatkan dalam menghadapi kekuatan dari luar (beragama lain) tetap berjalan dengan baik.

Tetapi hari ini, keadaan benar-benar berubah. Pemerintahan negara-bangsa muslim, hampir menyeluruh bergabung dengan AS dan sekutu barat-nya untuk menghadapi umat Islam yang memiliki paham bahwa bangsa-bangsa muslim pada dasarnya umat yang satu, mereka lintas suku bangsa dan wilayah, namun memiliki perasaan sebagai satu kesatuan dalam berhadapan dengan unsur-unsur dan pihak-pihak yang memusuhi Islam dengan kedok apapun.

Padahal Rasulullah juga yang telah me-nubuwah-kan (prediksi, tetapi dasarnya wahyu Allah, jadi pasti akan terjadi) bahwa suatu saat nanti bentuk negara yang mewadahi semua suku bangsa dan warna kulit serta beragam bahasa, yang negara tersebut diatur oleh suatu pemerintahan yang orientasi pemerintahannya adalah melaksanakan syari’at Allah, bakal muncul, eksist dan memerintah lagi.

Artinya, seharusnya seorang mukmin memahami, mengidealkan dan mengharap-harap datangnya masa yang telah di-nubuwah-kan oleh Nabinya, seperti tersebut di atas. Persoalannya, para ulama’ yang seharusnya meng-informasikan, meng-edukasi dan membangun persepsi agar harapan ideal umat adalah seperti yang diberitakan oleh Rasul-Nya ternyata tidak melaksanakan peran tersebut secara baik dan maksimal. Apalagi pihak-pihak yang berkuasa memerintah dan mengendalikan negara-negara umat Islam tidak mengerti, atau tidak mau mengerti bahwa fase seperti yang di-nubuwah-kan oleh Nabi tersebut pasti akan datang. Mereka malah melawannya sadar maupun tanpa sadar dengan doktrin bahwa ‘nation state’ yang ada sekarang merupakan harga mati, tidak mungkin diubah.

Meski ISIS, bahkan telah meng-klaim sebagai IS (bukan lagi ISIS), belum tentu merupakan perwujudan dari apa yang di-nubuwah-kan oleh Nabi, tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk ragu datangnya khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah seperti pada masa khulafaa’ ar-raasyidin al-mahdiyyin. Harus ada keyakinan bahwa nation state yang eksist sekarang ini, bukanlah harga mati, bahkan sebaliknya pada saatnya doktrin itu pasti mati, menghadapi kenyataan yang telah di-nash oleh Rasulullah.

Embun di Puncak Kemarau

Tanggal 18 Juni lalu, kompleks lokalisasi pelacuran terbesar di Surabaya (ada yang mengatakan terbesar di Asia Tenggara), secara resmi ditutup oleh Pemkot Surabaya. Tri Rismaharini, wali kota Surabaya saat ini menjadi orang yang paling berperan dalam penutupan pusat prostitusi itu. Wacana penutupan Dolly sebenarnya sudah lama, sejak pejabat-pejabat sebelumnya, tetapi berbagai persoalan dan beragam kepentingan tarik-menarik, mengakibatkan wacana tersebut tidak pernah sampai tahap pelaksanaan, hingga kemudian wali kota sekarang merealisirnya.

Jika para pejabat sebelumnya menjadikan issue penutupan itu sebagai politik penarik dukungan, walikota yang ini benar-benar melakukannya. Untuk sampai pada keputusan itu, ternyata melalui proses panjang yang memakan waktu dan pergulatan pertimbangan, sampai akhirnya memenangkan keputusan penutupan tersebut.

Kompleksitas Masalah

Beragam alasan dan berbagai kepentingan tumpang tindih dalam persoalan dolly. Para ulama dan kyai menuntut tempat kemaksiyatan tersebut harus hilang, karena dalam tinjauan agama kemaksiyatan yang dilegalkan mengundang datangnya kemurkaan Allah, berbeda jauh dibandingkan (meskipun tetap ada, tetapi) dilakukan dengan tidak terang-terangan.

Semula, sekalipun memahami dan sepakat dengan masukan para kyai tersebut, Risma belum berani melakukan karena harus memberi jalan keluar atas tuntutan kebutuhan hidup (atau tuntutan kemewahan?) orang-orang yang menggantungkan kehidupan (dan kemewahan) pada industri pelacuran tersebut. Para mucikari yang dalam masa panjang telah menikmati gelimang kemewahan dengan memperkerjakan para pekerja seks tersebut tentu saja menolak gagasan penutupan. Kemapanan yang salah telah membuat mereka takut dan tidak berani beralih profesi yang lebih halal dan terhormat.

Para pelacur sendiri, dengan beragam alasan dan latar belakang menerjuni profesi yang tidak terhormat tetapi menjanjikan itu, beragam sikap dan tanggapan. Ada yang sudah terlanjur menikmati kenyamanan haram itu dan berat untuk menatap kehidupan yang lebih terhormat, ada juga yang nuraninya masih hidup sehingga masih punya keinginan untuk terlepas dari jeratan kehidupan haram yang membuai tersebut, tetapi belum menemukan jalan keluar.

Pola hubungan antara para pelacur dengan para ‘induk semang’ mucikarinya juga tidak dalam satu pola hubungan yang konstan, perubahan keadaan dan perubahan cara pandang, berpengaruh merubah pola hubungan tersebut.

Suatu ketika nampak seperti simbiosis-mutualisme yang saling menguntungkan (tentunya jika mengabaikan pertimbangan keimanan dan agama), kadang berubah menjadi hubungan parasitis, dimana mucikari mengeksploitasi para pelacur untuk mendatangkan uang sebesar-besarnya bagi dirinya, dan hanya memberi bagian kecil untuk mereka.

Pola hubungan ini juga dapat berubah drastis ketika diantara pekerja seks tersebut ada yang menemukan kesadaran dan ingin keluar dari lingkaran setan industri kemaksiyatan tersebut. Ketika itu, sering kali nuansa hubungan tidak hanya parasitis-eksploitatif, bahkan disertai intimidasi. Di titik ini keterlibatan peran para ‘centeng’ untuk mengintimidasi dan menakut-nakuti pelacur yang mulai sadar, masuk.

Tak hanya mereka, masyarakat sekitar yang tidak secara langsung terlibat sebagai pelacur atau mucikari, tetapi diuntungkan dengan aktivitas industri kemaksiyatan itu, lambat laun tergantung juga dengan keberadaannya. Meskipun hanya dengan menyediakan rokok, ‘topi miring’, kondom, tissu atau ekstra joss.

Kepentingan tumpang-tindih dan saling-silang dalam bingkai sekularisme (yang mencampakkan nilai-nilai agama ke sudut-sudut kehidupan) itulah yang kemudian tampil terbuka dalam bentuk dinamika aksi-reaksi beradu kuat mempertahankan versus melikuidasi dolly. Spanduk dibentang, ada demonstrasi dengan memukul-mukul peralatan dapur, ada barikade di mulut gang untuk menghalangi satpol PP, ada dukungan puluhan ormas Islam men-support keputusan wali kota, dll.

Alasan Moral

Ketelatenan wali kota mencermati gejala, menguping informasi untuk mendapatkan data demi mengungkap fakta seputar industri kemaksiyatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar dan efeknya terhadap generasi muda, mengantarkannya mendapat temuan yang menguatkan tekadnya untuk menutup dolly.

Wawancaranya dengan salah seorang pelacur yang telah menjajakan dirinya sejak usia 19 th hingga berumur 60 th, sementara dia tetap miskin, menderita dan tersingkir pada usia tua, tinggal di tepian rel dengan gubuk tak lebih dari ukuran 2x2m mengantarkannya pada keputusan berani dan beresiko.

Perempuan itu, pada usianya yang begitu lanjut tetap melayani pelanggan dari kalangan anak-anak SD-SMP dengan imbalan seribu atau dua ribu rupiah. (Wawancara Risma Harini dengan Metro TV, 12 Peb 2014)

Temuan mengenaskan itu, dan gambaran betapa dini perusakan yang ditimbulkan oleh keberadaan tempat maksiyat tersebut, meskipun banyak pihak berkepentingan yang menolak, dihadapi dengan tabah oleh Risma. Pamitannya kepada keluarganya berkenaan dengan kemungkinan resiko terburuk yang dihadapi dengan keputusan itu, mengindikasikan kesungguhan tekadnya.

Oase di tengah gurun

Di tengah gelombang materialisme yang menerjang seluruh sudut kehidupan, ketika orientasi sekularistik mendorong manusia mencampakkan agama dan pertimbangan moral, keputusan itu menjadi begitu bermakna, bak oase di tengah gurun pasir, kesejukan ruhani di tengah panasnya iklim kebendaan.

Memang, efektivitas penutupan itu sendiri tidak menjamin hilangnya bisnis kemaksiyatan secara total dan permanen. Sebab untuk menekan itu hingga batas minimal diperlukan langkah yang komprehensif dan simultan, baik jaring pengaman sosial, penanganan kemiskinan, edukasi (tarbiyah) kepada masyarakat, hal mana keputusan politis merupakan salah satunya. Betapapun, keputusan politis penutupan tempat kemaksiyatan itu layak untuk diapresiasi.

Mengurangi kemungkaran

Dalam literatur Islam, apa yang dilakukan oleh wali kota Surabaya Tri Rismaharini disebut sebagai inkarul-munkar (pengingkaran dan penolakan terhadap perbuatan munkar, tindakan maksiyat dan kejahatan). Level paling tinggi dari penolakan terhadap kemungkaran adalah mencegahnya dengan tangan, level dibawahnya dengan peringatan lisan (mencelanya dengan lisan di tempat terbuka), dan yang paling rendah adalah penolakan dan pengingkaran dalam hati. Yang terakhir itu dinilai sebagai selemah-lemahnya iman.

Jika level terakhir itu sudah tidak ada, (tidak membenci kemungkaran dengan hati) maka tidak ada lagi iman,…tak ada jarak lagi antara orang tersebut dengan kemungkaran itu. Keputusan menutup dan mengawalnya dengan kekuatan pendukung, merupakan level inkarul-munkar tertinggi, selaras dengan posisi politis dia sebagai walikota.

Jika pun keputusan politis itu tidak dapat menghilangkan kemungkaran itu secara tuntas, setidaknya mengurangi dan menekannya, menempatkannya pada posisi perbuatan illegal dan menyematkan pada partisipannya sebagai musuh-musuh moral. Dan yang terpenting, tamparan bagi para pendekar sekularisme bahwa di tengah kampanye penyingkiran agama dan moral yang begitu massif, masih ada keputusan politis yang berani menjadikan agama dan moral sebagai konsideran.