Khutbah Jumat: Hati Gersang Karena Iman Telah Usang

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Jamaah jum’at rahimakumullah

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur kita panjatkan kepada Allah yang telah memberi kita nikmat kesehatan dan lisan. Semoga karunia tersebut dapat membuat kita bersyukur dengan sebenar-benarnya. Yaitu, menggunakan semua nikmat tersebut untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Shalawat dan salam tak lupa kita sanjungkan kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para shahabat dan ummatnya yang konsisten dan komitmen dengan sunnahnya. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Wasiat takwa kembali khatib sampaikan kepada para jamaah semuanya. Takwa adalah usaha kita menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Allah l tidak mewajibkan sesuatu melainkan ada manfaatnya bagi manusia. Tidak pula Allah mengharamkan sesuatu, melainkan ada madharat atau bahaya bagi kita. Karena itu, takwa menjadi bekal terbaik kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini dan kehidupan akhirat yang kekal abadi nanti.

 

Jamaah jum’at rahimakumullah

Saat dikalahkan Nabi Musa as, tukang sihir Fir’aun segera bertaubat. Mereka tersungkur sujud, dan menyatakan keimanannya di hadapan semua orang yang menyaksikannya, termasuk Fir’aun yang sebelumnya menjadi majikannya. Ujian berat pun langsung mereka hadapi,

“Fir’aun berkata, “Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu?, Sesungguhnya (perbuatan ini) adalah suatu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari padanya; Maka kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu ini);

“Demi, Sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kakimu dengan bersilang secara bertimbal balik, kemudian sungguh-sungguh aku akan menyalib kamu semuanya.”

Tapi lihatlah jawaban mereka terhadap ancaman Fir’aun,

“Sesungguhnya kepada Allah-ah Kami kembali. Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan Kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami”. (mereka berdoa): “Ya Rabb Kami, Limpahkanlah kesabaran kepada Kami dan wafatkanlah Kami dalam Keadaan berserah diri (kepada-Mu)”. (QS al-A’raf 123-124)

Bagitulah dahsyatnya iman saat pertama kali datang. Besarnya pengorbanan tak tanggung-tanggung untuk dikerahkan. Beratnya resiko dipikul dengan sepenuh kekuatan, meski nyawa harus dipertaruhkan.

Tapi, iman bukanlah keadaan yang stagnan. Iman bisa turun, bisa juga naik. Bisa usang seperti usangnya pakaian, bisa pula diperbaharui kembali. Iman itu bisa tumbuh dan berkembang, bisa semakin kokoh, akarnya menghunjam, namun bisa pula sebaliknya. Seumpama pohon yang ditelantarkan, makin layu daunnya, kian rapuh batangnya dan tidak mustahil akan tercabut akar dari tanahnya. Bagaimana perjalanan iman kemudian, tergantung cara merawat dan melestarikannya.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Proses lunturnya iman umumnya berbeda dengan keadaan saat pertama iman datang. Iman datang langsung meningkat tajam, tapi turun dan lapuk secara perlahan. Bahkan seringkali pemiliknya tidak merasa kehilangan, dan tidak pula mendeteksi terkikisnya iman sedikit demi sedikit.

Saat kita kehilangan gairah untuk melakukan ketaatan, tidak pula bergegas menyambut tawaran pahala yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya, saat itulah kita harus mulai waspada. Jangan-jangan iman kita mulai usang, dan keyakinan kita makin berkurang. Karena salah satu tanda lemahnya iman adalah lemahnya kemauan seseorang untuk menjalankan ketaatan.

Iming-iming menggiurkan di akhirat tidak lagi mampu membuat orang yang lemah iman untuk bersegera menyambut seruan kebaikan. Seperti keadaan orang munafik yang digambarkan oleh Nabi,

 

لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Tiada shalat yang lebih berat bagi orang munafik melebihi beratnya mereka menjalankan shalat fajar dan isyak (dengan berjamaah), seandainya mereka mengetahui pahala pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya, meskipun dengan merangkak.” (HR. Bukhari)

Seandainya iman di hati sehat, yakin akan kebenaran janji Nabi, tentu mereka akan mendatangi shalat jamaah, meskipun dengan susah payah. Tapi jika iman di hati telah pudar, maka kesehatan, kelonggaran waktu dan dekatnya posisi rumah dengan masjid masih belum dianggap kemudahan untuk mendatangi shalat jamaah.

Begitupun dengan tawaran pahala 27 derajat bagi siapa yang menjalankan shalat berjamaah di masjid, tidak juga menyebabkannya bergegas mengambil peluang ini. Berbeda ceritanya jika seandainya mereka dijanjikan hadiah uang 27 juta, tunai di dunia. Pasti mereka akan rela antri dan berdesak-desakan untuk memasukinya. Padahal 27 juta itu tak ada nilainya sama sekali bila dibandingkan dengan nilai 27 derajat di akhirat. Tapi, lemahnya keyakinan menyebabkan orang enggan untuk menunaikan shalat berjamaah.

Sebagaimana dalam urusan shalat, untuk amal ketaatan yang lain pun tak jauh beda. Lemah iman menyebabkan seseorang menjadi bakhil untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sebab dia tidak yakin, jika harta yang dikeluarkan itu benar-benar akan diganti dengan yang lebih baik, di dunia maupun di akhirat.

Belum lagi untuk urusan ketaatan yang menghajatkan pengorbanan, juga resiko di perjalanan, maka lebih berat lagi bagi mereka untuk menunaikannya. Seperti berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fii sabilillah.

Adapun orang yang sehat imannya, dia tak hanya sekedar menjalankan ketaatan. Ia bahkan merasa sangat ringan dan betah berada di atas ketaatan. Seperti yang diungkapkan oleh Utsman bin Affan, “Andai saja hati kita bersih, tentu kita tak akan bosan membaca al-Qur’an.” Atau seperti yang diungkapkan oleh seorang ulama salaf, “telah tua umurku, telah rapuh tulangku, sehingga aku hanya mampu membaca al-Baqarah, Ali imran dan an-Nisa’ saja ketika shalat malam.”

Subhanallah….!

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Ketika penyakit lemah iman mulai menjalar, maka secara perlahan pula, kepekaan seseorang terhadap dosa akan menjadi tumpul. Penyakit ini juga menyebabkan penderitanya kehilangan imunitas, kekebalan ataupun proteksi hati dari segala dosa. Berita tentang siksa akhirat dan ancaman bagi pelaku dosa, disikapi sebagai tak lebih dari sekadar informasi dan maklumat belaka. Bukan lagi sebagai peringatan keras, yang mampu membuatnya mundur dan menjauh dari daerah larangan Allah yang berupa dosa dan maksiat.

Faktor kebiasaan dan pengulangan menjadi penyebab lunturnya keimanan dan melemahnya tali keyakinan. Hingga akhirnya dosa dianggap sebagai perbuatan yang layak mendapat permakluman. Dari sinilah, setan mulai menggoyahkan pendiriannya. Alasan ‘keumuman’, suara mayoritas, adat yang meluas dipaksakan sebagai representasi suatu kebenaran.

Apa iya ini perbuatan dosa? Mengapa banyak yang melakukannya? Masak iya mayoritas manusia akan disiksa? Begitu setan mengikis batu demi batu dari benteng pertahanan iman kita. Terus menerus, hingga akhirnya runtuhlah bentengn itu secara keseluruhan.

Kita mungkin lupa, atau pura-pura lupa, bahwa Allah tidak pernah menjadikan suara mayoritas sebagai ukuran kebenaran. Dan Allah juga tidak mustahil menyiksa kaum mayoritas, jika mereka memang layak mendapatkan siksa. Seperti kaum Nuh, Kaum Luth dan kaum Nabi-nabi lain yang ternyata lebih didominasi orang yang sesat katimbang yang mengikuti hidayah.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Penyakit lemah iman tak hanya bisa diderita oleh orang awam. Orang alim pun tak mustahil menderita penyakit ini. Kuatnya iman seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan banyaknya pengetahuan seseorang terhadap ilmu syar’i. Ada kalanya, seseorang memiliki banyak pengetahuan tentang fikih, tafsir, hadits dan cabang-cabang ilmu lainnya, namun dia tidak selamat dari kelemahan iman. Padahal, jika lemah iman menjangkiti orang semacam ini, tingkat bahayanya jauh lebih besar dari orang biasa.

Karena orang yang alim mengerti celah-celah dalil, mengetahui siasat untuk bisa berkelit darinya, dan bisa menipu umat dengan kepandaiannya dalam berdalil. Ketika ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariat, ia bisa berargumen dan memelintir dalil. Dia menjadikan sebagai dalih di hadapan orang-orang awam.

Akhirnya, orang awam akan melakukan kemaksiatan yang sama, lalu menjadikan pendapat ulama’ suu’ itu sebagai argumen. Maka kerusakan pun semakin meluas.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Demikianlah khutbah pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat bagi khatib maupun bagi jamaah sekalian.

Akhir kata, marilah kita berdoa semoga kita diberi kekuatan untuk menjaga kualitas iman kita. Diberi Kekuatan untuk mengembalikan iman kita jika suatu saat lemah. Dan diberi bimbingan agar iman senantiasa ada di dalam jiwa, hingga ajal menjemput kita. amin.

 

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ 

 

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Khutbah Jumat

 

Baca Khutbah Jumat Lainnya: Minder Taat Akhirnya Maksiat, Kandas Karena Malas, Pejabat; Orang yang Paling Butuh Nasihat

 


Belum Baca Majalah Ar-risalah Edisi Terbaru? Dapatkan Di Sini

Majalah hati, majalah islam online yang menyajikan khutbah jumat, artikel islam keluarga dan artikel islam lainnya

Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat

Semua akan menemui Allah dengan bekal yang telah mereka usahakan di dunia. Meskipun pada akhirnya ada yang keliru membawa bekal. Apa yang dibawanya justru menjadi beban yang menyengsarakan dalam perjalanan dan berbuah penderitaan di akhir perjalanan.

Allah menyebutkan, bahwa bekal yang bermanfaat dan akan menyelamatkan manusia ketika bertemu dengan Allah adalah qalbun salim, hati yang selamat. Tanpanya, seluruh hal yang diusahakan manusia menjadi tidak berguna. Termasuk harta dan anak-anak.

 

 ,يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ, إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ 

“(Yaitu) pada hari dimana harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy Syu’ara`;88-89)

 

Makna Qalbun Salim

Tak ada yang menyanggah, bahwa unsur paling penting dalam jasad manusia adalah hati. Posisi hati bagi anggota badan yang lain laksana raja bagi rakyatnya, panglima bagi tentaranya, atau mirip pemegang remote control bagi barang elektronik. Segala gerak-gerik dan ucapan dikendalikan oleh hati.

 

Baca Juga: Rusaknya Jasad Lebih Ringan Daripada Rusaknya Hati

 

Hati yang mampu mengenali Allah, hati pula yang memiliki iradah, kemauan untuk mentaati Allah, sedangkan anggota badan hanyalah sebagai pelengkap dan alat yang membantu keinginan hati. Jika hati baik, jasad akan mengikutinya, dan jika hati rusak, anggota badan lain akan mentaatinya pula. Jika hati selamat, semua akan selamat, jika hati binasa, yang lain turut sengsara.

Lalu, seperti apakah gambaran hati yang selamat, yang mewakili karakter hati yang paling baik itu?

Persepsi sebagian orang, orang yang memiliki hati yang baik itu tidak memiliki musuh, tidak memiliki pantangan, bisa berbaur dengan siapapun, toleran kepada apapun, berkawan dengan kelompok manapun.

Sebagian lagi menyelisihi syariat yang zhahir, lalu berdalih “yang penting hatinya baik”. Seperti pernyataan seorang artis sepulang umrah, ia kembali membuka auratnya, melepas kerudungnya dengan alasan yang penting hatinya berhijab. Ini adalah jawaban yang hanya layak diutarakan oleh orang yang hatinya terhijabi dari kebenaran. Karena bukti kebaikan hatinya adalah tunduk dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad yang mengharuskan wanita untuk berhijab dari laki-laki yang bukan mahramnya.

 

Baca Juga: Agar Hati Tidak Terkunci Mati

 

Hati yang selamat, hati yang baik akan tercermin dalam seluruh aktivitas bathin dan lahir pemiliknya.

Hati yang selamat adalah hati yang selamat dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang selamat dari syubhat yang menyelisihi khabar-Nya.

 

Penyakit Syahwat dan Penyakit Syubhat

Semua kesesatan dan maksiat bersumber dari dua penyakit itu. Karena dorongan syahwat, orang yang telah memiliki ilmu tentang yang wajib menjadi enggan untuk melaksanakannya. Karena syahwat, maksiat dan dosa dilakukan dengan penuh kesadaran. Ia tahu, apa yang diperbuatnya adalah dosa, tapi ajakan syahwatnya mengalahkan ilmunya. Hingga ketika syahwat berkali-kali menang, ia menjadi raja bagi pemiliknya. Apa yang menjadi pilihannya adalah pilihan syahwatnya, dan apa yang dikerjakannya adalah order dari syahwatnya. Ia jadikan hawa nafsu sebagai tuhannya,

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?” (QS. al-Jatsiyah: 23)

Malik bin Dinar RHM berkata, “Allah menciptakan malaikat dengan menyertakan akal tanpa syahwat. Allah juga mencipatkan binatang dengan menyertakan syahwat tanpa akal. Lalu Allah mencipatakan manusia dengan menyertakan akal dan syahwat. Maka barangsiapa yang akalnya mengalahkan syahwatnya, ia lebih mulia dari malaikat, dan barangsiapa yang hawa nafsunya selalu mengalahkan ilmunya, ia lebih hina dari binatang.”

Pemilik qalbun salim, hatinya selamat dari penyakit syahwat, jika mencintai, ia mencintai karena Allah. Jika ia membenci, membenci karena Allah, jika ia memberi, memberi karena Allah. Jika ia menolak, menolak karena Allah. Tak hanya sampai disitu, ia bersihkan diri dari ketundukan dan berhukum kepada syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

 

Baca Juga: Risau Hati Saat Catatan Amal Dibagi

 

Adapun penyakit syubhat adalah penyakit yang menimpa pemahaman. Hal itu bisa disebabkan karena keliru dalam memilih sumbernya. Atau dari sumber yang benar, namun salah cara mengambilnya. Hasil akhirnya adalah keyakinan sesat, pemikiran yang menyimpang dan amalan-amalan yang bernilai bid’ah. Penyakit ini sangat fatal, karena dari sinilah penyimpangan bermula, sementara pelakunya menganggapnya telah berbuat yang paling baik. Allah berfirman,

“Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia (sesat) perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.“(QS. al-Kahfi: 103 –104).

Hati yang selamat akan mengambil dari sumber yang bersih, al Qur`an dan as Sunnah, serta ijma’ para ulama. Lalu mengambil dengan cara yang benar pula. Mereka memahami ayat dan hadits sebagaimana yang dipahami oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Seperti yang diingatkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, “Sesungguhnya kalian nanti akan mendapatkan suatu kaum, mereka mengklaim sedang mengajak kalian kepada al Qur`an, padahal sesungguhnya mereka telah membuangnya di belakang punggung mereka, maka hindarilah tindakan melampaui batas, berlebih-lebihan, dan perbuatan bid’ah, hendaknya kalian berpegang kepada ilmu dan hendaklah kalian berpegang kepada pemahaman para salaf.” Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah

Hati, Kekuatan Inti

Kekuatan adalah kemampuan untuk menggapai sesuatu yang dituju, menepis segala hal yang membahayakan, juga mengalahkan musuh yang menghalangi tujuan. Kekuatan tidak identik dengan tubuh yang tinggi besar, gagah atau berotot. Meski pada kasus tertentu, kondisi itu semakin menambah kesempurnaan kekuatan seseorang. Namun inti kekuatan seorang mukmin ada di hatinya. Selain berupa iradah (kemauan) untuk berusaha, juga kesempurnaan tawakalnya kepada Allah.

Pasrah adalah Kekuatan, bukan Kelemahan

Secara bahasa, tawakal berarti bersandar dan pasrah. Secara istilah, tawakal bermakna keseriusan hati dalam bersandar kepada Allah Azza wa Jalla, baik dalam mendatangkan kemaslahatan maupun menolak kemadharatan, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat. Demikian definisi tawakal menurut Ibnu Rajab al-Hanbali.

Kepasrahan seseorang kepada Allah bukanlah indikasi kelemahan, atau wujud keputusasaan. Tidak pula bertentangan dengan sifat optimis atau percaya diri. Bahkan di sinilah letak kekuatan dan kunci percaya diri. Ketika seseorang ingin meraih tujuan yang agung, atau cita-cita yang besar, dia tidak terbebani oleh minimnya pengetahuan, atau kecilnya kekuatan dibanding dengan besarnya harapan. Karena ada Allah yang diharapkan. Yang bisa berkehendak apa saja, berkuasa atas segala gala, dan tak ada yang mustahil bagi-Nya, jika Dia menghendaki. Maka orang yang paling besar tawakalnya kepada Allah adalah orang yang paling optimis dalam menggapai harapan dan paling kuat untuk berjuang meraih tujuan.

Karena itulah, Allah menyertakan hasungan tawakal bagi yang ingin meraih segala tujuan yang besar nan mulia, dalam urusan duniawi apalagi ukhrawi.

Tawakal dalam Hal Ukhrawi

Dalam hal merealisasikan ibadah, Allah perintahkan,

maka sembahlah Dia (beribadahlah kepada-Nya), dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 11:123)

Setelah perintah beribadah kepada-Nya, Allah menghasung kita untuk bertawakal. Karena ibadah adalah tugas yang paling agung. Butuh kekuatan besar untuk mampu menjalani segala sisinya. Banyak aral yang harus diterjang, banyak gangguan yang harus disingkirkan, dan butuh kekuatan super untuk mampu bertahan dalam bingkai yang telah digariskan. Karenanya, tawakal mutlak diperlukan untuk membekali diri dalam beribadah.

Di medan dakwah, tawakal adalah sumber energi yang dengannya para da’i tegar atas segala kemungkinan yang terjadi. Apakah berupa penolakan, permusuhan maupun jebakan yang menggelincirkan. Dengan tawakalnya hati kepada Allah pula, kekuatan lisan juru dakwah mampu menembus hati obyek yang dituju. Seperti yang dikatakan oleh Hasan al-Bashri, “innama minal qalbi yasiiru ilal qalbi”, yang bersumber dari hati akan bermuara di hati pula. Retorika, penguasaan tema, maupun keahlian memilih kata, meski diperlukan dan harus diupayakan, seringkali efeknya tak begitu membekas di hati pendengar. Kecuali jika dilandasi kuatnya pengharapan dan kepasrahannya kepada Allah, agar berkenan menyinarkan hidayah kepada mereka. Allah memerintahkan Nabi saw sekaligus juga para da’i yang mengikuti jejaknya agar menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah,

“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah :”Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah yang haq selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS. 9:129)

Medan jihad, lebih nyata lagi kebutuhannya akan tawakal. Membekali hati dengan tawakal saat berperang tidak kalah pentingya dari mempersenjatai diri dengan perlengkapan perang yang mematikan. Jika dua kubu berhadapan, maka yang berbicara bukan semata cacahnya pasukan, perimbangan persenjataan, atau kepiawaian dalam mengatur siasat perang. Namun kekuatan hati, kokohnya keyakinan, ketegaran menghadapi serangan lawan dan kuatnya pengharapan kepada Allah adalah senjata yang layak andalkan. Allah berfirman,

“Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ali Imran 122)

Wajar, jika Qutaibah bin Muslim, seorang Panglima Perang Islam pernah menyifati Muhammad bin Waasi’ dengan kalimatnya, “Sungguh, doa Muhammad bin Waasi’ lebih aku sukai dari seribu bilah pedang yang dipanggul oleh seribu jawara pilihan.” Pernyataan ini keluar seiring dengan bukti-bukti yang pernah beliau saksikan setiap  kali berjihad bersama Muhammad bin Waasi’ rahimahullah.

Tawakal untuk Kemaslahatan Duniawi

Sebagaimana kemaslahatan akhirat, untuk memperoleh kemanfaatan duniawi, tawakal juga mutlak diperlukan. Karena kebutuhan itu pasti, sedangkan Allah semata yang kuasa untuk mencukupi. Firman Allah,

”Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”(QS ath-Thalaq 3)

Nabi juga memberikan garansi dan jaminan,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Jikalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rejeki sebagaimana burung diberi rejeki, di pagi hari ia keluar dalam keadaan lapar dan pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR Tirmidzi, hasan shahih)

Yang perlu digarisbawahi, bahwa tawakal tidak menghilangkan unsur ikhtiar sama sekali. Bahkan ikhtiar adalah satu unsur atau fase dari tawakal itu sendiri. Bukankah Allah dan Rasul-Nya juga telah membimbing usaha fisik yang menjadi sebab kuatnya ibadah? Bukankah syariat juga mengajarkan cara bijak dan retorika yang baik dalam berdakwah? Bukankah hukumnya wajib untuk i’dad, menyiapkan kekuatan fisik bagi orang-orang yang hendak berjihad fi sabilillah? Begitupun dengan burung yang lapar di pagi hari, bukankah ia keluar untuk mencari makan dengan tetap membawa tawakalnya kepada Allah?

Karena itulah, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memberikan tambahan definisi tawakal dari yang disampaikan oleh Ibnu Rajab, “…dan dengan disertai menjalankan sebab yang telah Allah perintahkan.”

Maka jangan takut bercita-cita, jangan merasa lemah untuk berusaha, dan pasrahkan hasilnya kepada Allah semata. Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)