Kajian

Hati, Kekuatan Inti

Kekuatan adalah kemampuan untuk menggapai sesuatu yang dituju, menepis segala hal yang membahayakan, juga mengalahkan musuh yang menghalangi tujuan. Kekuatan tidak identik dengan tubuh yang tinggi besar, gagah atau berotot. Meski pada kasus tertentu, kondisi itu semakin menambah kesempurnaan kekuatan seseorang. Namun inti kekuatan seorang mukmin ada di hatinya. Selain berupa iradah (kemauan) untuk berusaha, juga kesempurnaan tawakalnya kepada Allah.

Pasrah adalah Kekuatan, bukan Kelemahan

Secara bahasa, tawakal berarti bersandar dan pasrah. Secara istilah, tawakal bermakna keseriusan hati dalam bersandar kepada Allah Azza wa Jalla, baik dalam mendatangkan kemaslahatan maupun menolak kemadharatan, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat. Demikian definisi tawakal menurut Ibnu Rajab al-Hanbali.

Kepasrahan seseorang kepada Allah bukanlah indikasi kelemahan, atau wujud keputusasaan. Tidak pula bertentangan dengan sifat optimis atau percaya diri. Bahkan di sinilah letak kekuatan dan kunci percaya diri. Ketika seseorang ingin meraih tujuan yang agung, atau cita-cita yang besar, dia tidak terbebani oleh minimnya pengetahuan, atau kecilnya kekuatan dibanding dengan besarnya harapan. Karena ada Allah yang diharapkan. Yang bisa berkehendak apa saja, berkuasa atas segala gala, dan tak ada yang mustahil bagi-Nya, jika Dia menghendaki. Maka orang yang paling besar tawakalnya kepada Allah adalah orang yang paling optimis dalam menggapai harapan dan paling kuat untuk berjuang meraih tujuan.

Karena itulah, Allah menyertakan hasungan tawakal bagi yang ingin meraih segala tujuan yang besar nan mulia, dalam urusan duniawi apalagi ukhrawi.

Tawakal dalam Hal Ukhrawi

Dalam hal merealisasikan ibadah, Allah perintahkan,

maka sembahlah Dia (beribadahlah kepada-Nya), dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 11:123)

Setelah perintah beribadah kepada-Nya, Allah menghasung kita untuk bertawakal. Karena ibadah adalah tugas yang paling agung. Butuh kekuatan besar untuk mampu menjalani segala sisinya. Banyak aral yang harus diterjang, banyak gangguan yang harus disingkirkan, dan butuh kekuatan super untuk mampu bertahan dalam bingkai yang telah digariskan. Karenanya, tawakal mutlak diperlukan untuk membekali diri dalam beribadah.

Di medan dakwah, tawakal adalah sumber energi yang dengannya para da’i tegar atas segala kemungkinan yang terjadi. Apakah berupa penolakan, permusuhan maupun jebakan yang menggelincirkan. Dengan tawakalnya hati kepada Allah pula, kekuatan lisan juru dakwah mampu menembus hati obyek yang dituju. Seperti yang dikatakan oleh Hasan al-Bashri, “innama minal qalbi yasiiru ilal qalbi”, yang bersumber dari hati akan bermuara di hati pula. Retorika, penguasaan tema, maupun keahlian memilih kata, meski diperlukan dan harus diupayakan, seringkali efeknya tak begitu membekas di hati pendengar. Kecuali jika dilandasi kuatnya pengharapan dan kepasrahannya kepada Allah, agar berkenan menyinarkan hidayah kepada mereka. Allah memerintahkan Nabi saw sekaligus juga para da’i yang mengikuti jejaknya agar menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah,

“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah :”Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah yang haq selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS. 9:129)

Medan jihad, lebih nyata lagi kebutuhannya akan tawakal. Membekali hati dengan tawakal saat berperang tidak kalah pentingya dari mempersenjatai diri dengan perlengkapan perang yang mematikan. Jika dua kubu berhadapan, maka yang berbicara bukan semata cacahnya pasukan, perimbangan persenjataan, atau kepiawaian dalam mengatur siasat perang. Namun kekuatan hati, kokohnya keyakinan, ketegaran menghadapi serangan lawan dan kuatnya pengharapan kepada Allah adalah senjata yang layak andalkan. Allah berfirman,

“Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ali Imran 122)

Wajar, jika Qutaibah bin Muslim, seorang Panglima Perang Islam pernah menyifati Muhammad bin Waasi’ dengan kalimatnya, “Sungguh, doa Muhammad bin Waasi’ lebih aku sukai dari seribu bilah pedang yang dipanggul oleh seribu jawara pilihan.” Pernyataan ini keluar seiring dengan bukti-bukti yang pernah beliau saksikan setiap  kali berjihad bersama Muhammad bin Waasi’ rahimahullah.

Tawakal untuk Kemaslahatan Duniawi

Sebagaimana kemaslahatan akhirat, untuk memperoleh kemanfaatan duniawi, tawakal juga mutlak diperlukan. Karena kebutuhan itu pasti, sedangkan Allah semata yang kuasa untuk mencukupi. Firman Allah,

”Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”(QS ath-Thalaq 3)

Nabi juga memberikan garansi dan jaminan,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Jikalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rejeki sebagaimana burung diberi rejeki, di pagi hari ia keluar dalam keadaan lapar dan pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR Tirmidzi, hasan shahih)

Yang perlu digarisbawahi, bahwa tawakal tidak menghilangkan unsur ikhtiar sama sekali. Bahkan ikhtiar adalah satu unsur atau fase dari tawakal itu sendiri. Bukankah Allah dan Rasul-Nya juga telah membimbing usaha fisik yang menjadi sebab kuatnya ibadah? Bukankah syariat juga mengajarkan cara bijak dan retorika yang baik dalam berdakwah? Bukankah hukumnya wajib untuk i’dad, menyiapkan kekuatan fisik bagi orang-orang yang hendak berjihad fi sabilillah? Begitupun dengan burung yang lapar di pagi hari, bukankah ia keluar untuk mencari makan dengan tetap membawa tawakalnya kepada Allah?

Karena itulah, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memberikan tambahan definisi tawakal dari yang disampaikan oleh Ibnu Rajab, “…dan dengan disertai menjalankan sebab yang telah Allah perintahkan.”

Maka jangan takut bercita-cita, jangan merasa lemah untuk berusaha, dan pasrahkan hasilnya kepada Allah semata. Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *