Cinta Kekuasaan, Lelah Berujung Penderitaan

Tak perlu heran bila melihat para penguasa saling bongkar dan sebar aib lawannya. Perang aib ini akan menjadi adegan wajib dalam setiap perseteruan antar penguasa atau penguasa dengan musuhnya. Jika tak temukan aib yang nyata, bikin aib rekayasa. Di jaman yang serba manipulatif seperti jaman ini, apa yang tidak bisa? Bukti aib seseorang dapat dibuat semirip dan senyata mungkin. Jangankan sekadar foto, gambar bergerak pun dapat diedit sedemikian rupa hingga mampu memastikan, ketokan palu hakim berpihak padanya.

Mengapa perang aib? Karena dalam kekuasaan, citra adalah tiang penopang utama selain dukungan. Rusaknya citra akan merusak dukungan. Dan itu berarti alarm darurat runtuhnya kekuasaan. Penguasa yang lihai membangun citra diri, mampu merebut hati dan dukungan. Dan yang paling licik dalam menjatuhkan citra lawannya, berpotensi panjang umur kuasanya.inilah salah petaka cinta kekuasaan.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Para pecinta kekuasaan akan mudah iri, bersikap berlebihan, suka bongkar dan sebar aib orang, dan dan tidak suka kebaikan orang lain disebut.”

Kekuasaan, seharusnya tidak menjadi sesuatu yang diburu dan dicintai. Kekuasaan ada karena keniscayaan. Ia ada dan dibutuhkan seperti dua saudara fitnahnya; harta dan wanita, namun bukan untuk menjadi obsesi. Kekuasaan adalah amanah, jika dibebankan harus dijalankan dengan kejujuran dan keadilan dan jika dijauhkan tak perlu dikejar mati-matian.

Mencintai kekuasaan dan memburunya ibarat mengoleksi anjing-anjing penjaga. Satu anjing akan memberikan manfaat. Tapi jika terlalu banyak dan tak adil dalam memberi makan dan merawat, anjing-anjing itu bisa berbalik menyerang.

Kapan seseorang dikatakan cinta kekuasaan dan bukan sekadar melaksanakan beban kewajiban?

Pertama,

manakala ia  ngotot mempertahankannya padahal sebenarnya sudah tak layak menjabatnya. Hal yang akan terjadi seperti yang kita saksikan hari ini. Apapun konsekuensinya, segala cara akan ditempuh demi mempertahankan kekuasaan. Siapapun yang berani merongrongnya, ia akan merasakan akibatnya.

Kedua,

sebagaimana disebutkan Syaikh Shalih al-Munajid dalam kitabnya, Mafsadatu Hubbur Ri’asah, pecinta kekuasaan adalah orang yang akan dengan mudah menentang Allah demi kekuasaanya. Seperti Firaun atau Iblis. Ia ingin tetap di atas dan sulit tunduk di bawah aturan Allah. Ukurannya adalah mendukung dan melanggengkan kuasanya, soal itu aturan Allah atau manusia, tak ada bedanya. Jika memang dengan sedikit membiarkan manusia mengikuti syariat mampu mendukung kekuasaannya, akan ia turuti. Tapi jika tidak, ia tak akan bersusah payah berusaha menegakkanya.

Ketiga,

seseorang dikatakan cinta kekuasaan manakala ia tak lagi mampu berbuat ikhlas dalam beramal. Semua kebaikan yang dilakukan hanyalah modus untuk menarik perhatian dan pencitraan. Buah yang ingin dipetik dari setiap kebaikan yang ditanam hanyalah buah yang bermanfaat untuk kuasanya, bukan yang bermanfaat di lam baka.

Ia selalu mengejar dan memburu pujian. Bahkan meski terhadap sesuatu yang sebenarnya bukan dia yang melakukan. Sangat berbeda sikapnya dengan penguasa tapi hatinya tak mecintai kekuasaan, seperti Umar bin Abdul Aziz. Usai mengentaskan penduduk Muassam dari kezhaliman dan memerintahkan rakyat agar berbuat baik kepada mereka, Beliau menulis surat yang dibacakan kepada seluruh penduduk. “Kalian tak perlu memuji semua itu kecuali kepada Allah. Karena sesungguhnya, andai saja Allah membiarkan hal itu terjadi dari diriku saja tanpa pertolongan-Nya, niscaya aku tak akan ada bedanya dengan yang lain.”

Kempat,

seperti yang dikatakan al-Fudhail di atas, saat seseorang mencintai kekuasaan, ia akan dengan mudah menelisik lalu mengumbar aib orang lain. Aib seseorang, apalagi lawannya, adalah kartu AS yang akan selalu ia cari atau rekayasa untuk menjatuhkan lawan atau digunakan saat terdesak.

Kelima,

meletakkan harga dirinya dalam kekuasaanya. Menurutnya, ia layak dihormati dengan kuasanya. Ia pun menjadi sombong dan sering bersikap arogan.

Tentu kita tak asing dengan arogansi oknum-oknum pejabat saat berhadapan dengan publik. Ada yang marah-marah karena dilarang main handphone saat di pesawat, ada yang main pukul dan damprat saat tak sabar dengan suatu pelayanan, dan sebagainya. Saat mobil pejabat lewat, semua pengguna jalan harus menyingkir. Ketergesaan kendaraan-kendaraan itu, bahkan kadang cenderung ngawur, melebihi ambulan pembawa pasien sakit jantung yang sekarat. Padahal belum tentu urusan mereka benar-benar penting dan tak bisa ditunda.

Kelima hal di atas, selain merupakan indikasi dari cinta yang berlebihan kepada kekuasaan, juga merupakan petaka cinta jabatan. kekuasaan memang menjanjikan kenikmatan, harta, kehormatan, dan kemasyhuran. Namun dibaliknya ada bahaya, lelah, takut, derita dan sesal di akhirat.

Dari Auf bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda,

“Kalau kalian mau, akan aku beritahukan sesuatu tentang apa itu kekuasaan” Aku (Auf) pun berseru, “Apa itu kekuasaan wahai Rasulullah” Beliau menjawab,

أَوَّلُهَا مَلاَمَةٌ وَثَانِيْهَا نَدَامَةٌ وَثَالِثُهَا عَذَابٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ عَدِلَ فَكَيْفَ يَعْدِلُ مَعَ أَقاَرِبِيْهِ

“Kekuasaan itu, permulaannya adalah celaan, pertengahannya adalah penyesalan dan akhirnya adalah azab di hari kiamat kecuali yang bersikap adil. Tapi bagaimana dia akan adil terhadap kerabatnya?” (HR. al-Bzzar dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani).

Berat. Saat berkuasa, selain pujian, anda juga bakal panen celaan dan hujan kritik. Rakyat atau masyarakat akan mengawasi dan mengomentari semua anda lakukan. Sebagian mungkin memuji, tapi akan lebih banyak yang mencela sesuka hati.

Dan di akhirat, cinta pada kuasa hanya akan berujung pada penderitaan. Hidup yang seharusnya digunakan mengumpulkan bekal di hari kiamat, habis untuk berpikir bagaimana caranya mempertahankan kekuasaan.

Wallahulmusta’an. Jika kita diuji dengan kekuasaan, hendaknya jalankan dengan penuh keadilan dan hanya mengharap ridha Allah. Jadikan kekuasan untuk mengakkan syariat-Nya, bukan menggantinya dengan aturan buatan manusia. Biarkan kekuasaan ada di tangan, bukan di hati.

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Muhasabah

Khutbah Jumat: Ketika Amanah Bertemu Pundaknya

:Khutbah Jumat
Ketika Amanah Bertemu Pundaknya

Oleh: Majalah ar-risalah

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَيْثُ قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

 

JAMAAH JUMAT YANG DIMULIAKAN OLEH ALLAH,

Menjadi kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur kepada Allah, atas segala limpahan dan karunia yang tak terhingga. Sungguh, kenikmatan itu datang karena syukur, dan syukur itu akan mengundang hadirnya  tambahan nikmat. Tambahan karunia dari Allah tak akan berhenti, kecuali jika hamba itu menghentikan syukurnya.

Di antara ulama mengartikan syukur dengan tarkul ma’aashi, meninggalkan maksiat. Maka barang siapa yang bermaksiat kepada Allah, dia telah menanggalkan syukurnya kepada Allah, sesuai dengan tingkat dosa yang dilakukannya. Namun, dengan kasih sayang Allah atas hamba-Nya, Dia memberikan kesempatan kepada setiap orang yang berdosa untuk bertaubat. Taubat yang sempurna tak hanya menghapus dosa, bahkan bisa jadi keadaan orang yang bertaubat lebih baik dari keadaannya sebelum berbuat dosa.

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Abdullah bin Mubarak pernah bercerita tentang kejadian yang ia alami, “Di Syam aku meminjam pena. Aku berniat mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya, tapi pena tersebut terbawa saat perjalananku sudah berada jauh di kota lain, yakni kota Marwu. Akhirnya akupun kembali ke Syam untuk mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya.” Begitulah penghayatan beliau terhadap amanah yang harus ditunaikannya.

Sebagaimana firman Allah,

إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,” (QS. an-Nisa’: 58)

Jika dalam urusan pena saja amanah harus dijaga, apalagi amanah lain yang lebih besar dan penting. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Amanah yang tersebut dalam ayat ini bersifat umum, meliputi semua amanah yang wajib ditunaikan oleh manusia. Macamnya ada dua; yang terkait dengan hak-hak Allah seperti shalat, shaum dan lainnya, dan yang kedua berkaitan dengan hak-hak makhluk seperti titipan dan yang lain.”

Amanah adalah beban tanggung jawab yang harus dijaga hingga aman berada pada posisi yang seharusnya. Sedangkan lawan dari sifat amanah adalah khiyanat. Begitu krusial sifat amanah ini hingga menjadi sifat wajib yang harus ada pada diri Rasulullah. Beliau digelari al-amiin (orang yang amanah) sebelum diangkat menjadi nabi, dan sifat khiyanat adalah mustahil saat beliau menjadi nabi dan rasul. Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda,

“Apakah kalian tidak mempercayai aku padahal aku adalah orang yang paling amanah di kolong langit, di mana berita langit mendatangiku di waktu pagi dan sore hari.” (HR. Bukhari).

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Tak hanya Nabi yang diperintahkan untuk menjaga amanah, namun umat manusia juga memiliki kewajiban untuk menunaikan amanah. Dari sekian banyak amanah, tak ada yang lebih agung dari amanah berupa agama (Islam) dan syariatnya. Sehingga para ulama mengistilahkannya dengan amanah al-‘uzhma, amanah yang agung.

Allah berfirman,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ﴿٧٢

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab: 72)

Imam al-Qurthubi berkata ketika menafsirkan ayat tersebut, “Amanah yang tersebut dalam ayat ini meliputi seluruh tugas-tugas yang berhubungan dengan agama ini.” Maka tugas manusia adalah menegakkan syariat yang telah Allah gariskan untuk manusia.

Termasuk di dalamnya amanah dakwah yang menjadi keniscayaan. Sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wasallam telah memerintahkan umatnya,

“Sampaikanlah apa-apa yang datang dariku, meskipun hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Termasuk amanah yang harus dijaga adalah segala nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita. Mata adalah amanah, telinga juga amanah. Begitu juga dengan kaki, lisan dan harta adalah amanah yang wajib dijaga dan dipergunakan sesuai kehendak Yang Memberi amanah. Termasuk kehormatan dan kesucian kemaluan juga merupakan amanah.

Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Termasuk amanah yang harus dijaga adalah amanah bagi wanita untuk menjaga kemaluannya agar tidak terjerumus kepada zina.”

Maka alangkah pentingnya kewajiban amanah ini diingatkan kepada umat di segala lininya. Terlebih saat kebanyakan manusia menggunakan amanah untuk kepentingan pemuas nafsu, bukan sesuai kehendak yang menitipkan amanah kepadanya. Banyak amanah yang wajib ditunaikan terlantar. Pun begitu masih berambisi untuk memburu amanah yang sebenarnya tidak wajib atas dirinya. Bisa jadi pula, bukan dirinya yang berhak untuk mengemban amanah ini. Yakni amanah jabatan dan kekuasaan.

Hari ini, betapa amanah itu diperebutkan laksana roti kecil yang diperebutkan banyak anak-anak. Dan karena ambisinya, merasa dirinyalah yang paling berhak mendudukinya. Sementara di sudut lain ada yang memiliki keinginan lain. Bukan untuk menjalankan amanah, tapi menggunakan amanah sebagai kendaraan untuk memburu popularitas diri, atau demi mengenyam lebih banyak lagi kenikmatan duniawi.

Karena itulah, amanah kepemimpinan di dalam Islam tidak didasarkan atas pengajuan dan pencalonan diri. Karena berpotensi membuka peluang menyimpangnya maksud dan tujuan sebuah amanah diemban. Hingga, ketika sahabat Abu Dzar yang memiliki kedekatan dengan Nabi shalallahu alaihi wasallam meminta beliau supaya mengangkatnya menjadi gubernur, beliau bersabda,

“(Jabatan) itu adalah amanah. Ia hanya menjadi kehinaan dan penyesalan pada Hari Kiamat, kecuali orang yang benar-benar mengambilnya dengan cara yang benar dan menunaikan amanahnya.” (HR. Ahmad).

 

JAMAAH JUMAT RAHIMAKUMULLAH

Tampaknya Kiamat memang sudah semakin dekat. Banyak orang memuji diri sendiri untuk dipilih sebagai pemimpin. Banyak pula acara yang tidak benar dilakukan demi mendapatkan amanah yang dilirik sebagai lahan basah untuk kenikmatan duniawi. Hingga kepemimpinan jatuh pada orang-orang yang bukan ahlinya. Persis seperti gambaran Nabi, “Apabila amanah telah ditelantarkan, maka tunggulah saatnya Kiamat.” Lalu beliau ditanya, “Bagaimana amanah itu ditelantarkan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ketika amanah dipikul oleh orang yang bukan ahlinya, maka tungguhlah saat datangnya Hari Kiamat.” (HR. Bukhari)

Sungguh indah tatkala amanah itu jatuh kepada orang semisal Umar bin Abdul Aziz, yang tidak berambisi menjadi khalifah dari awalnya. Namun tatkala beliau diangkat, ia benar-benar menjaga amanah itu sesuai dengan haknya. Itulah amanah tatkala menemukan pundaknya.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

KHUTBAH KEDUA

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

اللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُجَاهِدِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ،

اللَّهُمَّ وَحِّدْ صُفُوْفَهُمْ وَسَدِّدْ رَمْيَهُمْ وَثَبِّتْ أَقْدَامَهُمْ وَاجْمَعْ كَلِمَاتِهِمْ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ

اللَّهُمَّ أَفْرِغْ فِي قُلٌوْبِهِمْ صَبْرًا، يَا إِلَهَ الْحَقُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

اللَّهُمَّ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ مَزِّقْ صُفُوْفَهُمْ، وَشَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْ، وَمَزِّقْهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ، يَا عَزِيْزُ ذُو انْتِقَامٍ

اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ نِسَائَهُمْ وَصِبْيَانَ هُمْ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ ضُعَفَاءَ هُمْ، اللَّهُمَّ دَاوِ جَرْحَهُمْ وَاشْفِ مَرْضَاهُمْ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

وَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ، وَأَقِمِ الصَّلَاة

Ambisi Jadi Pejabat? Jangan! Kamu Tak Akan Kuat

Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu termasuk as-saabiquunal awwalun, sahabat yang awal-awal masuk Islam. Jasa dan kiprah dakwahnya tak diragukan lagi, terutama dalam mengislamkan penduduk Ghifar dan Aslam. Kedekatannya dengan Nabi ﷺ juga tak ada yang sangsi. Suatu ketika, muncul niatan beliau untuk menjadi pejabat atau mempin kaum dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pejabat/pemimpin?” Mendengar pengajuan itu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau seorang yang lemah sedangkan jabatan itu adalah amanah (yang berat), dan sesungguhnya ia menjadi sebab kehinaan dan penyesalan pada hari Kiamat kecuali yang menjalankannya dengan baik dan melaksanakan tanggungjawabnya.” (HR. Muslim)

Dalam bahasa kekinian nasihat Nabi tersebut seperti orang yang mengatakan, “Jangan! Kamu tidak akan kuat.” Biarlah orang lain yang memikul amanah yang berat itu. Ini bisa jadi karena Nabi ﷺ tahu, bahwa potensi Abu Dzar bukan di bidang itu, atau di balik sisi unggul Abu Dzar, beliau khawatir justru pintu kekuasaan itu justru menjadi ‘kuburan’ bagi Abu Dzar radhiyallahu anhu. Ketika seseorang mengajukan dirinya sebagai seorang pemimpin, maka ini menunjukkan sisi kelemahan dirinya.

Baca Juga: Apa Enaknya Jadi Pejabat?

Ketika seseorang mengajukan dirinya sebagai seorang pemimpin, maka ini menunjukkan sisi kelemahan dirinya.

Karena biasanya orang yang mengajukan diri sebagai pemimpin, perhatiannya lebih dominan pada sisi keuntungan duniawi, atau melihat besarnya kewenangan yang dimiliki. Padahal di balik itu, ada amanah dan tanggung jawab besar yang jika tidak ditunaikan dengan baik niscaya bencana akan meluas dan ia juga terancam dengan balasan yang berat di akhirat.

Tabiat Dasar Manusia

Potensi menyukai kedudukan, jabatan dan kekuasaan memang menjadi tabiat yang dimiliki umumnya manusia. Karena padanya berbagai kenikmatan dunia secara komplit bisa diraihnya. Imam ath-Thabari menjelaskan tentang firman Allah Ta’ala,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)

Beliau menafsirkan, “Telah dibuat indah untuk manusia sifat tertariknya mereka terhadap wanita dan anak keturunan serta segala hal yang disebutkan. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan hal ini hanyalah untuk menjelaskan sifat buruk orang-orang Yahudi. Mereka lebih mengutamakan dunia dan ambisi terhadap kekuasaan dibandingkan harus mengikuti Nabi Muhammad ﷺ, padahal mereka telah mengetahui kebenarannya.”

Yakni bahwa manusia itu punya tabiat suka kekuasaan yang terkumpul padanya beragam kenikmatan, maka ketika mereka berambisi terhadap kesenangan tersebut dan berpaling dari kebenaran, maka mereka menyerupai karakter Yahudi yang berpaling dari kebenaran karena kekuasaan.

Orang-orang yang memperturutkan ambisi jabatan, mereka mengejar kekuasaan untuk melampiaskan seluruh keinginan. Yaitu berkuasa di muka bumi, agar seluruh hati mengarah dan memperhatikan mereka, dan dengannya berbagai keinginan bisa terwujudkan. Sehingga ambisi untuk meraih kekuasaan akan melahirkan kerusakan-kerusakan yang tak mampu dihitung secara valid kecuali oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan muncul dosa, hasad, perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, dengki, kezaliman, fitnah, fanatik pribadi, tanpa memedulikan lagi hak Allah Subhanahu wa ta’ala. Orang yang terhina di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala akan dimuliakan sementara orang yang dimuliakan Allah Subhanahu wa ta’ala pasti dihina. Kekuasaan duniawi tidak mungkin sempurna kecuali dengan cara-cara kotor seperti itu. Kekuasaan duniawi tidak akan tercapai kecuali dengan menempuh tipu daya dan siasat yang kotor. Demikian di antara yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Kitab ar-Ruh.

Baca Juga: Khutbah Jumat: Pejabat, Orang yang Paling Butuh Nasehat

Sering luput dari bayangan orang yang berambisi terhadap jabatan, bagaimana kelak di akhirat seluruh rakyat yang hingga mencapai jutaan akan menuntutnya pada Hari Kiamat jika hak di dunia ada yang tak mereka dapatkan. Setiap tuntutan mengurangi pahalanya, dan jika pahalanya telah habis maka dosa rakyat yang dizhalimi akan ditimpakan kepadanya, wal iyadzu billah.

Alangkah mengerikan ancaman dari Nabi ﷺ bersabda, “Tiada seorang hamba yang diberi amanah untuk memimpin rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan hamba itu tidak akan mencium baunya jannah.” (HR Bukari dan Muslim)

Lantas apakah berarti seorang muslim yang memiliki potensi memimpin tidak boleh memimpin? Tentu saja boleh. Intinya adalah jangan berambisi menjadi pemimpin, dan agar kita tidak menjadikan pemimpin orang yang haus akan kekuasaan. Karena ambisinya lebih besar dari rasa takutnya kepada Allah. Bahwa jika kemudian umat memerikan kepercayaan dan dia memiliki kemampuan, tidak mengapa ia memgambilnya dengan memohon pertolongan kepada Allah. Ini sebagaimana nasihat Nabi ﷺ kepada Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu anhu,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Wahai Abdurrahman, janganlah kamu mengemis jabatan. Karena jika engkau diserahi jabatan karena ambisi meminta, engkau akan dibiarkan mengurusi sendiri. Tetapi jika engkau diberinya tanpa mencarinya, maka engkau akan ditolong Allah dalam mengurusinya.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Terkini

 

Apa Enaknya Jadi Pejabat?

Hiruk-pikuk pilkada serentak telah usai. Tinggal beberapa daerah yang masih menunggu putaran kedua untuk melihat hasilnya, siapa yang terpilih dia akan menduduki kursi jabatan pemerintahan. Terlepas dari bagaimana pemilihan itu berlangsung (entah curang atau memang benar-benar jujur), maraknya pendakwah agama yang menjual agamanya demi terwujud cita-cita si empunya, belum lagi menyoal kampanye dengan berbagai janji dan sumpah serapah, penodaan terhadap agama, uang pelicin dan berbagai dunia hitam dibalik perayaan pilkada versi demokrasi.

Memang, ketika ambisi telah di ubun-ubun, segala cara bisa ditempuh untuk mendapatkannya, meskipun agama menjadi taruhannya. Sampai seorang ulama’ berkata bahwa syahwat terhadap jabatan lebih menggoda daripada syahwat terhadap harta. Maha benar sabda Nabi, “Bahaya dua ekor serigala lapar yang dilepas kepada seekor kambing itu tidak lebih besar dari bahaya ambisi harta dan kehormatan terhadap agama seseorang.” (HR. Tirmidzi)

Betapa mengerikan nasib agama seseorang yang digambarkan Nabi tersebut. Bagaimana nasib domba yang dikeroyok oleh dua serigala lapar, masih mungkinkah ia akan selamat? Begitulah permisalannya, ambisi jabatan dan gila kehormatan, keduanya mampu merontokkan iman dari akarnya melebihi terkaman dua serigala pada seekor domba.

Baca Juga: Menahan Sendawa Meraih Pahala

Orang yang dulu memilihnya (mencoblosnya) pun tidak akan bisa berharap lebih dari pemimpin yang mengawali karirnya dengan kecurangan dan ambisi untuk meraih kehormatan. Karena mereka tidak memahami kepemimpinan sebagai amanah. Tetapi sebagai ajang untuk menunjukkan kehebatan dan kehormatannya.

Berbeda dengan konsep jabatan yang diapahami oleh para salafush Shalih. Dahulu, ketika Umar bin Khattab dicalonkan menjadi khalifah pasca wafatnya Nabi Muhammad, beliau berkata, “Demi Allah, leherku ditebas dengan pedang tanpa alasan, itu lebih aku sukai daripada menjadi khalifah yang di dalamnya ada Abu Bakar.” Keturunan beliau yang dijuluki Khalifah kelima yaitu Umar bin Abdul ‘Azis, ketika diamanati menjadi khalifah, dia mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun.” Karena mereka sadar betapa besar tanggung jawabnya di sisi Allah, karena seorang pemimpin bukan sekedar memamerkan kekuasaannya, tapi kelak akan ditanya tentang apa yang telah ia pimpin dan bagaimana ia memimpin dan memperlakukan rakyatnya. Kemudian sejarah mencatat keadilan mereka, mereka sangat hati-hati dan lebih mementingkan rakyatnya daripada diri mereka sendiri, menegakkan hukum Allah. Lalu berkah dari Allah turun dari langit dan bumi.

Begitulah seharusnya seorang mukmin memandang sebuah jabatan. Ia bagai serigala yang bisa menerkam iman kita kapan saja, ia adalah amanah yang begitu berat yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban. Bukan layaknya makanan yang pantas diperebutkan.