Tiga Cara Manusia Dihisab Sebelum Masuk Surga

Di dunia ini tidak ada dua orang beriman yang memiliki derajat keimanan yang sama. Sejuta orang beriman, sejuta pula tingkat keimanan mereka. Namun demikian, hanya ada tiga cara, bagaimana mereka akan masuk surga di hari akhir kelak. Ketiga cara itu adalah: masuk surga tanpa hisab, masuk surga dengan hisab yang ringan, dan masuk surga dengan hisab yang berat. Masing-masing orang yang beriman dipersilakan memilih salah satunya, dan tidak ada sesuatu pun yang memaksa mereka untuk memilihnya. Tidak juga Allah, karena Dia telah berfirman,

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insan: 3)

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS. Fathir: 32)

Ayat di atas juga menjelaskan bahwa mereka yang masuk surga tanpa hisab disebut dengan sabiq bilkhairat, mereka yang masuk surga dengan hisab yang ringan disebut muqtashid, dan mereka yang masuk surga setelah hisab yang berat disebut zhalim linafsih.

Jumlah mereka yang masuk surga tanpa hisab ini lebih sedikit dibandingkan mereka yang masuk surga dengan hisab, baik yang ringan ataupun yang berat. Demikian Ibnu Katsir menyitir pendapat ulama dalam tafsir beliau.

 

Masuk Surga Tanpa Hisab

Sabiq bilkhairat, yang akan masuk surga tanpa hisab, secara bahasa berarti orang yang bersegera menuju kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang aqidahnya lurus tiada tercampuri kemusyrikan. Tentang mereka dan kemurnian tauhid mereka yang menjadi syarat utama, Rasulullah ﷺ bersabda,

يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ هُمُ الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (رواه البخاري ومسلم)

Akan masuk surga tanpa hisab 70.000 orang dari ummatku. Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta untuk diruqyah, tidak melakukan tathayyur, dan hanya bertawakkal kepada Allah. (HR.  al-Bukhari dan Muslim)

Baca Juga: Keadaan Manusia yang Terakhir Kali Masuk Surga

Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa vol. VII menjelaskan bahwa mereka juga orang-orang yang melaksanakan semua kewajiban yang Allah bebankan dan menjauhi semua larangan-Nya. Selain itu, sisa waktu yang mereka miliki, mereka isi dengan amalan sunnah. Yang makruh? Jangankan yang makruh, untuk yang mubah pun mereka pilih-pilih demi menjaga diri dari terjerumus kepada yang haram.

 

Masuk Surga Dengan Hisab yang Ringan

Muqtashid berarti orang yang sedang, tidak buruk dan tidak istemewa. Perbedaan mereka dengan sabiq bilkhairat pada amalan sunnah dan sikap mereka terhadap yang makruh dan yang mubah. Untuk semua kewajiban dan larangan, muqtashid memenuhi aturan Allah sebagaimana mestinya. Begitu pula dengan aqidahnya.

Tentang hisab yang akan mereka jalani Rasulullah saw bersabda,

لَيْسَ أَحَدٌ يُحَاسَبُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلاَّ هَلَكَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ قَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ( فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا ) فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُمَّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَيْسَ أَحَدٌ يُنَاقَشُ الْحِسَابَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلاَّ عُذِّبَ (رواه البخاري ومسلم)

“Setiap orang yang menjalani hisab pada hari kiamat pasti celaka.”Aku pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah Allah ta’ala telah berfirman, Barangsiapa menerima kitabnya dengan tangan kanannya, maka ia akan dihisab dengan hisab yang ringan.’” Beliau saw menjawab, “Hanyasanya itu adalah al-‘aradl (sekedar diperlihatkan), dan tidak ada seorang pun menghadapi hisab pada hari kiamat kecuali ia akan diadzab.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Masuk Surga Dengan Hisab Yang Berat

Zhalim linafsih atau orang yang menzhalimi diri sendiri adalah orang yang tahu adanya kewajiban dan larangan, namun mereka sengaja melanggarnya, dan lalu ia meninggalkan dunia sebelum sempat bertaubat dari dosa itu (selain syirik dan kufur akbar). Lalu di akhirat, status mereka adalah tahtal masyiah (tergantung kepada kehendak Allah); jika Allah menghendaki bisa saja mereka langsung mendapatkan ampunan, dan jika Allah menghendaki lainnya, maka mereka mesti disucikan dulu di atas api neraka. Dalam hal ini Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. an-Nisa`: 116)

Kepastian masuknya zhalim linafsih ke dalam surga dapat dilihat secara jelas dan tegas dari kandungan dua hadits berikut ini.

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ يَقُولُ اللَّهُ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيَخْرُجُونَ قَدِ امْتُحِشُوا وَعَادُوا حُمَمًا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهْرِ الْحَيَاةِ فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الْحَبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَوْ قَالَ حَمِيَّةِ السَّيْلِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُمَّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَمْ تَرَوْا أَنَّهَا تَنْبُتُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً  (رواه البخاري ومسلم)

Apabila penghuni surga telah masuk surga dan penghuni neraka telah masuk neraka, Allah akan berfirman, “Barangsiapa di hatinya ada seberat biji sawi keimanan, keluarkanlah ia (dari neraka)!” Maka mereka akan keluar dalam keadaan hangus dan menghitam legam, kemudian mereka akan dilemparkan ke nahrul hayah (sungai kehidupan), lalu mereka akan tumbuh seperti tumbuhnya biji yang dibawa aliran air.” Lalu beliau melanjutkan, “Tidakkah kalian tahu bahwa biji tumbuh berwarna kuning dan meliuk.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنَ النَّارِ بَعْدَ مَا مَسَّهُمْ مِنْهَا سَفْعٌ فَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ فَيُسَمِّيهِمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَهَنَّمِيِّينَ  (رواه البخاري ومسلم)

Akan keluar dari neraka satu kaum setelah mereka terjilat oleh apinya, lalu mereka masuk ke dalam surga. Para penghuni surga menamai mereka dengan al-jahannamiyyun (mantan penghuni jahannam). (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Baca Juga: Meminta Surga Yang Paling Utama

Sebenarnyalah jika saja seseorang melanggar aturan Allah lalu ia bertaubat dengan tulus (baca: taubat nashuha) maka paling kurang ia masuk kategori muqtashid, dan akan masuk surga dengan hisab yang ringan. Bukankah Rasulullah ﷺ pun beristighfar sesedikitnya 70 kali dalam sehari-semalam?

Penutup

Tentu saja faktor anugerah Allah dan keadilan-Nya berhubungan erat dengan ketiga cara masuk surga ini. Jelas-jelas Rasulullah ﷺ bersabda,

لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ (رواه البخاري ومسلم)

“Sekali-kali amal seseorang dari kalian tidak akan menyelamatkannya.” Para sahabat bertanya, “Tidak juga dirimu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga aku, namun karena aku dinaungi Allah dengan rahmat(-Nya) (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Akhirnya, termasuk kategori yang mana pun masing-masing kita ~menurut pandangan kita sendiri~ selayaknya menyimak atsar yang dicantumkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau terhadap ayat ke-32 dari surat Fathir ini, supaya kita tidak tertimpa ‘ujub (bangga diri) atau ghurur (tertipu).

‘Uqbah bin Shahban al-Hanna`iy pernah bertanya kepada ummul mukminin, ‘Aisyah ra tentang siapakah yang dimaksud oleh Allah dalam surat Fathir ayat 32. Ibunda ‘Aisyah menjawab, “Wahai anakku, mereka semua akan masuk surga. Sabiq bilkhairat adalah mereka yang telah mendahului kita di masa Rasulullah ﷺ dan beliau menjanjikan surga bagi mereka. Muqtashid adalah para sahabat Nabi yang senantiasa meneladani beliau. Zhalim linafsih adalah orang-orang seperti diriku dan dirimu.” Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Imtihan as-Syafi’i/Akidah Islam

 

Keadaan Manusia yang Terakhir Kali Masuk Surga

Pintu-pintu surga akan dibukakan bagi orang-orang mukmin agar mereka memasukinya. Ketika semua telah masuk, tinggallah di dalam neraka orang-orang mukmin yang bermaksiat. Mereka akan dibakar hingga ketika sudah menjadi arang, mereka diizinkan mendapat syafaat. Termasuk orang mukmin yang dihukum di neraka karena dosa besarnya maka akhirnya diapun akan dikeluarkan darinya dan masuk ke dalam surga. Orang yang hanya memiliki sedikit sekali kebaikan asalkan mengucapkan La ilaha illallah ia akan dikeluarkan dari neraka. Mereka dibawa berombongan kemudian dimandikan di sungai surga. Lalu dikatakan kepada mereka, “Wahai penghuni surga, siramlah mereka.” Mereka pun tumbuh bagaikan biji yang tumbuh setelah disirami.

Tentunya ada orang yang terakhir keluar dari neraka dan masuk ke dalam surga. Karena rahmat dan keagungan Allah, orang tersebut mendapatkan kenikmatan yang melampaui khayalannya. Dia takjub dengan pemberian Allah sampai ia mengira bahwa Rabbnya mengolok-oloknya ketika memberikan kemurahan dan karamah-Nya. Rasulullah menjelaskan kisah orang ini.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

“Sungguh, aku mengetahui orang yang paling terakhir keluar dari neraka dan orang yang paling terakhir masuk surga. Dia adalah seorang lelaki yang keluar dari neraka sembari merangkak. Allah tabaraka wa ta’ala berkata kepadanya, ‘Pergilah kamu, masuklah ke dalam surga.’ Kemudian diapun mendatanginya dan dikhayalkan padanya bahwa surga itu telah penuh. Lalu dia kembali dan berkata, ‘Wahai Rabbku, aku dapati surga telah penuh.’ Allah tabaraka wa ta’ala berfirman kepadanya, ‘Pergilah, masuklah kamu ke surga.’.” Nabi berkata, “Kemudian diapun mendatanginya dan dikhayalkan padanya bahwa surga itu telah penuh.

Lalu dia kembali dan berkata, ‘Wahai Rabbku, aku dapati surga telah penuh.’ Allah tabaraka wa ta’ala berfirman kepadanya, ‘Pergilah, masuklah kamu ke surga. Sesungguhnya kamu akan mendapatkan kenikmatan semisal dunia dan sepuluh lagi yang sepertinya’ atau ‘Kamu akan memperoleh sepuluh kali kenikmatan dunia’.” Nabi berkata, “Orang itu pun berkata, ‘Apakah Engkau hendak mengejekku, ataukah Engkau hendak menertawakan diriku, sedangkan Engkau adalah Sang Raja?’.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh, ketika itu aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya.” Periwayat berkata, “Maka orang-orang pun menyebut bahwa dialah sang penghuni surga yang paling rendah kedudukannya.” Dalam riwayat lain disebutkan: Maka Ibnu Mas’ud pun tertawa, lalu berkata, “Apakah kalian tidak bertanya kepadaku mengapa aku tertawa?”. Mereka menjawab, “Mengapa engkau tertawa?”. Beliau menjawab, “Demikian itulah tertawanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. -Ketika itu- mereka -para sahabat- bertanya, ‘Mengapa anda tertawa wahai Rasulullah?’. ‘Disebabkan tertawanya Rabbul ‘alamin tatkala orang itu berkata, ‘Apakah Engkau mengejekku, sedangkan Engkau adalah Rabbul ‘alamin?’. Lalu Allah berfirman, ‘Aku tidak sedang mengejekmu. Akan tetapi Aku Mahakuasa melakukan segala sesuatu yang Kukehendaki.’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

“Orang yang terakhir kali masuk surga adalah seorang laki-laki, dia terkadang berjalan, terkadang menyungkur, dan terkadang api neraka mejilatnya. Ketika dia telah melewatinya, maka dia menoleh ke api tersebut seraya berkata, ‘Mahasuci Allah yang telah menyelamatkanku darimu. Allah telah memberikan sesuatu kepadaku yang mana Dia tidak pernah memberikannya kepada orang yang awal dan akhir.’ Lalu sebuah pohon diangkatkan kepadanya, lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, dekatkanlah kepadaku pohon ini agar aku dapat bernaung dengan naungannya dan minum airnya.’ Lalu Allah berfirman: “Wahai anak Adam, boleh jadi jika Aku memberikannya kepadamu, niscaya kamu akan meminta yang lain kepadaKu.’ Maka dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku.’ Lalu dia berjanji kepada Allah untuk tidak minta selain itu.

Sedangkan Rabbnya memberikan udzur kepadanya karena Dia melihat sesuatu yang dia pasti tidak dapat menahannya. Lalu pohon tersebut didekatkan kepadanya, lalu dia berlindung pada naungannya dan minum dari airnya. Kemudian diangkatlah sebuah pohon lain yang lebih bagus daripada yang pertama. Maka dia berkata, ‘Wahai Rabbku, dekatkanlah pohon ini kepadaku agar aku dapat minum dari airnya dan berlindung dengan naungannya, aku tidak akan meminta kepadaMu selainnya.’ Maka Allah berkata, ‘Wahai anak Adam, bukankah kamu telah berjanji kepada-Ku untuk tidak meminta selainnya.’ Lalu Allah berkata lagi, ‘Boleh jadi jika Aku mendekatkannya kepadamu niscaya kamu meminta hal lainnya’. Lalu dia berjanji untuk tidak meminta kepada Allah selain itu.

Sedangkan Rabbnya memberikan udzur kepadanya karena Dia melihat sesuatu yang mana dia tidak akan mampu menahan diri atasnya. Lalu Allah mendekatkan pohon tersebut untuknya, sehingga dia dapat berlindung dengan naungannya, dan minum dari airnya. Kemudian pohon lainnya diangkat untuknya di sisi pintu surga. Pohon itu lebih indah daripada keduanya. Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, dekatkanlah kepadaku pohon ini agar aku dapat berlindung dengan naungannya dan minum dari airnya, aku tidak akan meminta kepadamu hal lainnya. Maka Allah berkata, ‘Wahai anak Adam, bukankah kamu berjanji kepada-Ku untuk tidak memintaku selainnya.’ Dia menjawab, ‘Ya, memang benar wahai Rabbku. Kali ini aku tidak akan memintanya kepadamu selainnya’. Sedangkan Rabbmu memberikan udzur kepadanya karena dia melihat pada dirinya sesuatu yang mana dia tidak bisa menahan diri darinya. Lalu Allah mendekatkannya darinya.

Ketika Allah mendekatkannya darinya, maka dia mendengar suara penduduk surga. Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, masukkanlah aku kepadanya’. Maka Allah berkata, ‘Wahai anak Adam, apa yang bisa membuatmu tidak meminta lagi kepadaKu. Apakah kamu rela bila Aku memberikanmu dunia dan semisalnya bersamanya.’ Dia menjawab, ‘Wahai Rabbku, apakah kamu memperolok-olokku, padahal Engkau adalah Rabb alam semesta’.” Lalu Ibnu Mas’ud tertawa, seraya berkata, ‘Tidakkah kalian bertanya kepadaku tentang sesuatu yang membuatku tertawa? ‘ Mereka bertanya, ‘Apa yang membuatmu tertawa? ‘ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Demikianlah Rasulullah tertawa.’ Para sahabat, ‘Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah? ‘ Beliau menjawab: ‘(Aku tertawa) karena sesuatu yang membuat tertawa Rabb alam semesta ketika hamba tersebut berkata, ‘Apakah Engkau memperolok-olokku, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam.’ Allah menjawab, ‘Sesungguhnya Aku tidak memperolok-olokmu, akan tetapi Aku mampu untuk melakukan segala sesuatu yang Aku kehendaki’.” (HR. Muslim).

Demikianlah nikmat yang diberikan Allah kepada orang terkahir yang masuk surga. Lantas, bagaimana nikmat yang diterima oleh orang-orang yang lebih dahulu masuk ke dalamnya. Apa yang diberikan kepada mereka?

Kisah tersebut menjadi dorongan bagi kita untuk lebih giat beramal salih agar termasuk penduduk surga, dan peringatan dari kemaksiatan yang dapat menyeret ke dalam neraka.

Kenikmatan yang ada di Surga jauh lebih besar daripada kenikmatan dunia. Oleh sebab itu, tidak selayaknya kenikmatan yang sedemikian besar ditukarkan dengan kesenangan dunia yang sedikit dan sementara.

Oleh: Ust. Muhtadawan Bahri/Hadits 

Agar Kebersamaan Tak Hanya di Dunia

Alangkah bahagianya Nabiyullah Yakub mendengar jawaban anak-anaknya. Bahwa kelak mereka masih akan terus menyembah Rabbnya dan tunduk kepada-Nya. Bukankah itu tujuan utama dari pendidikan yang ia tanamkan kepada anak-anaknya.

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَـٰهَكَ وَإِلَـٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ 

“Adakah hamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya. “  (QS. al-Baqarah: 133).

Apalagi yang ditakutkan saat anak-anaknya berikrar bahwa kelak sepeninggalnya ia akan menyembah illah yang maha melindungi, maha memberi rezeki, maha pengasih dan maha penyayang. Yakub tak gelisah dengan kehidupan dunia anak-anaknya, seberapa mapan pekerjaan mereka, berapa penghasilan mereka, bisakah mereka mendapatkan kehidupan yang layak seperti saat ayahnya masih ada. Tidak. Karena ia yakin Rabb yang ia sembah tak akan menyia-nyiakan hamba yang tunduk menyembah kepada-Nya.

Jawaban anak-anak nabi Yakub bukanlah hasil tanpa usaha. Ada tarbiyah berkelanjutan dan dakwah tak kenal lelah yang ia patrikan di hati anak-anaknya. Bahkan, dari jawaban anak-anaknya kita bisa melihat kedekatan sang ayah dengan mereka. Mereka tidak menjawab, “kami akan menyembah Allah,” tapi mereka menjawab, “kami akan menyembah Rabbmu,” yang menunjukkan betapa dekat mereka dan betapa bangga mereka kepada ayahnya.

Demikian pula kehidupan anak-anak kita mendatang, sebakda kematian kita hari ini menentukannya. Tugas kita sebagai orang tua memberikan pendidikan agar kelak ketika mereka ditanya memberikan jawaban sebagaimana putra nabi Yakub.

Rasulullah telah menjelaskan bahwa pendidikan adalah persoalan yang sangat krusial dan faktor terkuat dalam membentuk kepribadian anak-anak. Rasulullah SAW bersabda, “Tiada seorang manusia pun, kecuali terlahir dalam keadaan fitrah. Lalu orangtuanya menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.

Lalu Abu Hurairah membaca ayat, “Wahai Muhammad, teguhkanlah hatimu mengikuti Islam sebagai ciptaan Allah, Allah ciptakan manusia sesuai dengan ajaran agama Allah. Tidak ada yang berubah dalam ciptaan Allah. Islam itu adalah agama yang benar. Akan tetapi sebagian besar manusia tidak mau menyadari kebenaran Islam.” (QS. Rum: 30).

Kewajiban setiap mukmin melindungi dan membentengi dirinya dan keluarganya dari neraka, sebelum kesempatan itu sirna dan sebelum alasan dan uzur itu tidak bermanfaat lagi diutarakan. Jangan seperti orang kafir yang mengemukakan uzur mereka pada saat itu, padahal mereka sedang berdiri menghadapi azab itu. Sehingga, alasan dan uzur mereka tidak diterima lagi dan mereka pun ditimpa oleh keputusasaan.

Keluarga Sampai di Surga

Semua tentu berharap hubungan ayah anak tak berbatas di kehidupan dunia. Namun hubungan itu kekal hingga di akhirat.

“Orang-orang mukmin masuk ke dalam surga dan merasakan kenikmatan. Penghuni surga menikmati segala kelezatan yang diberikan oleh Tuhan mereka. Tuhan mereka menyelamatkan penghuni surga dari adzab nereka Jahim. Para malaikat berkata kepada penghuni surga, “Makanlah dan minumlah dengan senang hati. Ini semua merupakan balasan amal shalih yang kalian lakukan di dunia dahulu. Para penghuni surga duduk bersandar pada dipan-depan yang tertata rapi. Mereka ditemani bidadari yang berkulit putih bersih dan bermata indah. Orang-orang mukmin berada di dalam surga disusul oleh anak keturunan mereka yang beriman. Kami kumpulkan orang-orang mukmin bersama dengan anak keturunan mereka. Kami tidak mengurangi sedikitpun pahal atas amal mereka. Setiap orang mendapatkan pahala sesuai aaml shalih yang dilakukan didunia. Kami karuniakan kepada para penghuni surga buah-buahan, sayur mayur dan daging yang mereka inginkan. Di dalam surga, mereka saling mengulurkan gelas berisi minuman. Di dalam surga tidak ada ucapan sia-sia dan tidak pula ada perbuatan dosa. Para penghuni surga di kelilingi pelayan-pelayan muda. Mereka itu putih bersih laksana mutiara dan berjajar rapi. Para penghuni surga duduk saling berhadapan untuk bercengkrama membicarakan keadaan mereka di dunia dahulu. Sungguh, Kami dahulu berada ditengah keluarga kami yang selalu takut akan adzab Allah. Lalu Allah memberikan karunia kepada kami. Allah menjauhkan kami dari adzab yang membinasakan di akhirat.” (QS. At-Thuur: 17-28)

Demi agar kelak anak-anaknya menjadi keluarga di surga, Setiap pagi yang masih gelap, Rasulullah selalu berjalan di depan rumah Ali bin Abi Thalib. Ia ketuk pintu rumahnya setiap kali hendak mendirikan shalat subuh. “Shalat, shalat, wahai keluargaku, sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa-dosa kalian dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.”   

Ali dengan kualitas keimanannya yang luar biasa. Seorang pemuda generasi awal yang mengimani kenabian Muhammad saw. Seorang yang rela tidur diranjang Rasulullah saat peristiwa Hijrah sementara orang-orang kafir mengelilingi rumah dengan menghunuskan pedang. Dan, ia adalah satu dari sepuluh orang yang telah dijanjikan surga (al-Asrah al mubassaruna bil jannah). Rasulullah tetap mengetuk pintu rumahnya, tetap mengajaknya untuk shalat berjamaah.

Demikian juga yang dilakukan oleh shahabat Abu Bakar as-sidik. ia lewati rumah putranya, Abdullah, ketika hendak pergi kemasjid. Di dengarnya sang putra masih bercengkrama dengan sang istri yang baru dinikahi. Tak tega ia mengganggu pasangan baru itu. Dengan permakluman, ia tinggalkan sang putra dengan harapan sang putra akan segera menyusulnya ke masjid. Ia tunggu putranya di masjid, sampai ketika iqamah telah dikumandangkan, tetap sosok yang ditunggunya tak kunjung tampak. Berulang kejadian serupa, hingga ayah yang shalih ini terpaksa memerintahkan sang putra untuk menceraikan istrinya. Demikianlah bila sebuah keluarga mendamba surga.

Membangun Rumah di Jannah

Menteri Agama Suryadharma Ali pernah melansir sebuah data bahwa pertambahan masjid di Indonesia lebih rendah prosentasenya jika dibanding dengan pertambahan gereja. Sejak tahun 1977 sampai 2004 penambahan Masjid dari 392.044 menjadi 643.834 buah, jadi kenaikannya hanya 64,22 persen. Sementara pertambahan Gereja Kristen,  dari 18.977 buah menjadi 43.909 buah atau naik 131,38 persen. Sehingga tidak berlebihan jika Hasyim Muzadi berkata bahwa Indonesia merupakan negara terbanyak gerejanya di Asia.

Ironis memang, penduduk Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim justru perkembangan tempat ibadahnya lambat. Sementara agama Kristen yang minoritas pertumbuhannya justru begitu pesat. Banyak faktor sebenarnya yang melatarbelakangi terjadinya hal ini, diantaranya adalah masalah dana. Sering kita saksikan pembangunan masjid yang akhirnya mandeg di tengah jalan karena tidak mendapatkan perhatian serius dari kaum muslimin. Pernah penulis didatangi dua orang yang mengaku sebagai panitia pendirian masjid yang mengeluhkan dana yang seret. Meski mereka sudah berusaha mencari dana dengan cara door to door (masuk dari rumah ke rumah) tapi tetap saja tidak mencukupi untuk menyelesaikan pembangunan masjid yang telah tertunda bertahun-tahun. Bahkan untuk menggali dana tersebut ada sebagian saudara kita yang rela ‘mengemis’ di dalam bis atau di pinggir jalan raya, karena sudah tidak ada lagi alternatif lain.

Memang tidak semua pembangunan masjid nasibnya seperti itu, ada yang mendapatkan dana yang melimpah hingga terkadang sisa. Maka dalam hal ini perlu ada pemerataan. Yang kebetulan mendapatkan dana melimpah selayaknya menengok  daerah-daerah lain yang gersang dalam pendanaan, terutama di daerah minoritas muslim. Ada sebagian kaum muslimin yang harus menempuh perjalanan beberapa kilometer karena tidak ada masjid jami’ yang bisa dipergunakan untuk menunaikan shalat jum’at. Sementara di tempat lain terkadang dalam satu desa ada dua masjid besar yang sama-sama dipergunakan untuk menunaikan shalat jumat.

Keikhlasan yang Diutamakan

Masjid sebenarnya memainkan peran penting dalam kehidupan umat Islam, sehingga perlu mendapatkan perhatian bersama. Karena pentingnya, pertama-tama yang dibangun oleh Rasulullah saw setelah tiba di Madinah -saat beliau hijrah dari Makkah- adalah masjid, yaitu Masjid Quba. Allah SWT juga menjanjikan jannah bagi orang yang membangun masjid. Nabi saw bersabda:

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ تَعَالَى قَالَ بُكَيْرٌ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah -Bukair berkata, ‘Seingatku beliau bersabda, ‘Dengan maksud mencari wajah Allah’-, niscaya Allah membuatkan rumah di surga untuknya.” (HR. Muslim)

Keutamaan tersebut hanya bisa dicapai dengan ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah semata, meskipun masjid yang dibangun itu berukuran kecil. Karena dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa membangun sebuah masjid karena Allah walau seukuran sarang (kandang) burung atau lebih kecil dari itu, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di dalam jannah.” (HR. Ibnu Majah dan Al Baihaqi)

Adapun bila seseorang membangun masjid dengan tujuan ingin dipuji oleh manusia atau hanya untuk berbangga-banggaan semata maka ia tidak akan memperoleh keutamaan ini. Dan jika hal ini merajalela di tengah-tengah manusia maka itu salah satu pertanda dekatnya hari kiamat.

Memakmurkan bukan sekedar membangun

Pembangunan masjid atau rehabilitasi yang dirancang oleh masyarakat, rata-rata menghendaki bentuk bangunan yang megah, lengkap dengan ornamen dan arsitektur mewah. Hal ini sudah menjadi tren di kalangan umat Islam. Mereka beralasan bahwa jika bangunan masjid dirancang dengan megah, tentu akan menarik minat kaum muslimin untuk lebih sering dan rajin datang ke masjid. Meskipun kenyataannya tidaklah demikian. Sering kita jumpai sebuah masjid yang begitu megah bangunannya namun sepi pengunjung. Jama’ahnya bisa  dihitung dengan jari, terlebih saat shalat shubuh. Hal ini terjadi karena banyak masjid yang dibangun hari ini bukan untuk dimakmurkan. Masjid belum difungsikan secara maksimal. Rata-rata hanya sekedar untuk mengerjakan shalat berjamaah, setelah itu pintu dikunci, gerbang ditutup rapat dan hanya dibuka kembali setelah waktu shalat tiba.

Fungsi masjid sebenarnya bukan hanya untuk menunaikan shalat  semata. Jika kita merujuk kepada sejarah perjuangan Rasulullah saw, kita akan melihat betapa masjid itu memiliki peran yang sangat besar dalam menanamkan dan memperkuat akidah, akhlak dan penegakan hukum Islam. Selain itu, masjid juga menjadi sentra pembinaan umat, kebersamaan, dan kepedulian kepada sesama.

Banyak hal yang dapat dilakukan dalam rangka memakmurkan masjid. Selain menjaga dan memelihara kebersihannya, masjid juga bisa dijadikan sebagai sarana meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT dengan melaksanakan shalat, iktikaf, membaca Al Qur’an serta memperbanyak doa dan dzikir di dalamnya.

Masjid juga bisa kita manfaatkan untuk menyampaikan ilmu dan membina umat, bisa melalui khutbah atau mengadakan berbagai kajian keislaman. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, empat khalifah rasyidah yang menjadi penerus kepemimpinan Rasulullah saw adalah guru, ekonom dan pemimpin umat yang lahir dari masjid. Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali adalah empat ulama besar yang lahir dari masjid. Mereka belajar dan mengajar di masjid. Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Imam Nawawi, dan ulama-ulama besar lainnya.

Yang tidak kalah pentingnya masjid juga bisa dimaksmimalkan fungsinya sebagai tempat pembinaan dan pengembangan ekonomi umat, yaitu dengan memfungsikannya sebagai sarana pengelolaan zakat, infak, sedekah dan wakaf .

Dari Masjidlah sebenarnya kemuliaan Islam bisa kembali tegak dan berkuasa di muka bumi ini. Asalkan umat Islam bukan hanya sekedar berlomba-lomba membangun masjid namun juga mau memakmurkannya. (abu hanan)

Berbekal Untuk Hidup Setelah Mati

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr 18)

Ayat ini mengajak kita untuk senantiasa mengingat dan meneliti kembali bekal yang kita persiapkan untuk kehidupan setelah kematian. Faedah besar akan kita dapatkan jika kita melihat sisi kurang perbekalan yang mesti kita siapkan. Karena ini akan memacu kita untuk menutup kekurangan dan memperbanyak amal ketaatan. Tapi jika kita ujub, merasa telah mencapai derajat tertentu dalam keimanan, merasa telah memiliki bsnyak tabungan kebaikan, maka hal ini akan membuat kita terpedaya.

Tiga Cara Mengusir Ujub

Imam Syafi’i memberikan tips kepada kita supaya tidak lekas berbangga dengan amal yang berhasil kita tunaikan, atau dosa yang mampu kita tinggalkan. Beliau berkata, “Jika kamu khawatir terjangkiti ujub, maka ingatlah tiga hal; ridha siapa yang kamu cari, kenikmatan manakah yang kamu cari, dan dari bahaya manakah kamu hendak lari. Maka barangsiapa merenungkan tiga hal tersebut, niscaya dia akan memandang remeh apa yang telah dicapainya.”

Alangkah dalamnya nasihat beliau. Mari kita jawab tiga pertanyaan tersebut, lalu kita selami kedalaman makna dari nasihat tersebut.

Pertama, ridha siapa yang kamu cari? Jawaban idealnya tentu ridha Allah yang kita cari. Tapi  bagaimana dengan aplikasinya? Kita tengok apa yang kita lakukan setiap hari, adakah setiap langkah, gerak-gerik kita, diam dan bicara kita, terpejam dan terjaganya mata kita selalu demi meraih ridha-Nya? Bahkan kegigihan dan pengorbanan manusia untuk mendapatkan ridha atasan, kekasih, atau untuk mendapat kewibawaan di kalangan masyarakat seringkali lebih hebat dari usaha dia untuk menggapai ridha Allah.

Kedua, Kenikmatan manakah yang kamu cari? Tentu kita akan menjawab, “kenikmatan jannah.” Sebagaimana doa yang selalu kita panjatkan,

?????????? ?????? ?????????? ?????????

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu jannah.” (HR Abu Dawud)

Tapi, sudahkah layak usaha yang kita lakukan sehari-hari itu diganjar dengan pahala jannah yang identik dengan kenikmatan tiada tara dan tak ada sesuatupun yang identik dengan kesengsaraan dan penderitaan? Berapa kalkulasi waktu yang kita pergunakan untuk beribadah kepada Allah, lalu bandingkan dengan keinginan kita untuk mendapatkan kenikmatan jannah.

Banyak orang rela bekerja sehari 8 jam, untuk mendapatkan rumah mewah sepuluh atau belasan tahun kemudian. Tapi, adakah rumah itu lebih mewah dari rumah dijannah yang digambarkan oleh Nabi, “batu-batanya dari emas dan batu-bata dari perak?” Manakah yang lebih luas, rumah dambaannya, ataukah rumah di jannah yang disebutkan Nabi saw,

???????? ???????? ??????

“Panjangnya sejauh 60 mil.” (HR Muslim)

Maka pikirkanlah, berapa waktu yang mesti kita pergunakan setiap harinya, agar kita mendapatkan rumah sebesar dan seindah itu? Barangsiapa merenungkan hal ini, niscaya akan menganggap bahwa amalnya belum seberapa. Belum sepadan antara usaha yang dia lakukan dengan ‘hadiah’ yang dijanjikan oleh Allah bagi orang mukmin di jannah.

Ketiga, dari bahaya manakah kita hendak lari? Tentu kita akan menjawab, “Dari siksa api neraka”, sebagaimana hal ini juga menjadi permohonan yang senantiasa kita panjatkan kepada Allah,

????????? ???? ???? ???????

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari neraka.” (HR Abu Dawud)

Masalahnya, adakah perbuatan yang kita lakukan setiap harinya sudah mencerminkan kondisi orang yang menghindar dari bahaya neraka yang amat dahsyat? Ataukah keadaan kita seperti yang digambarkan oleh seorang ulama salaf ketika memperhatikan banyak orang terlelap di waktu malam tanpa shalat, “Aku heran dengan jannah, bagaimana manusia bisa tidur lelap sedangkan katanya ia sedang memburunya. Dan aku heran terhadap neraka, bagaimana bisa manusia tidur nyenyak, sementara ia mengaku tengah lari dari bahayanya?”

Mungkin kita pernah melihat orang yang takut ditimpa suatu penyakit, takut ditangkap aparat, takut di PHK dari suatu perusahaan, takut dirampok dan lain-lain. Merekapun bertindak ekstra hati-hati dan waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi. Padahal itu semua bukan apa-apanya bila dibandingkan dengan ancaman neraka. Tapi adakah kita yang mengaku takut neraka lebih takut dan waspada dari keadaan mereka?

Tidak diragukan lagi, jika kita memikirkan ketiga perkara di atas, kita akan merasa, betapa amal kita masih jauh dari sempurna, masih jauh dari yang semestinya. Sehingga kita tak layak untuk ujub dan berbangga. Selayaknya kita menghitung kembali perbekalan kita, meneliti agar tak satupun tercecer, dan kita memilah dan memilih, mana yang harus dibawa, dan mana pula yang harus ditinggal.

Jangan Keliru Membawa Bekal

Semangat untuk beramal adalah baik. Namun setiap amal harus di dahului dengan ilmu yang benar. Jika tidak, bisa jadi bekal yang dibawa keliru. Ibarat seorang musafir yang membawa onggokan kerikil dalam perjalanan, disangkanya itu bekal yang membantunya dalam perjalanannya, tidak tahunya justru menjadi beban yang memberatkan perjalanannya. Ini perumpamaan bagi orang yang beramal tanpa dilandasi ilmu yang benar, sehingga ia terjerumus kepada bid’ah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maupun diajarkan oleh syariat. Allah mengabarkan nasib tragis di akhirat yang dialami oleh orang yang keliru membawa bekal,

“Katakanlah:”Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi :104)

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini,

“Ini adalah kondisi orang memiliki banyak amal, akan tetapi dia lakukan bukan untuk Allah atau tidak mengikuti sunnah Rasulullah saw.”

Kita berlindung kepada Allah dari kesesatan tujuan dan tindakan.