Khutbah Jumat: Tak Ada Rehat Kecuali di Jannah Kelak

KHUTBAH JUMAT

Tak Ada Rehat Kecuali di Jannah Kelak

Oleh: Majalah ar-risalah

Versi PDF: Di Sini

الْحَمْدُ للهِ الكَرِيمِ المَنَّانِ، صَاحِبِ الفَضلِ وَالجُودِ وَالإِحْسَانِ، يَمُنُّ وَلا يُمَنُّ عَلَيْهِ، سُبْحَانَهُ لا مَلْجَأَ مِنْهُ إِلاَّ إِلَيْهِ، أَحْمَدُهُ بِمَا هُوَ لَهُ أَهلٌ مِنَ الْحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، حَثَّ عِبَادَهُ عَلَى الإِخْلاصِ فِي العَطَاءِ، وَنَهَاهُمْ عَنِ المَنِّ وَالرِّيَاءِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، قَدَّرَ نِعَمَ اللهِ حَقَّ قَدْرِهَا، وَأَجْهَدَ نَفْسَهُ بِالقِيَامِ بِشُكْرِهَا، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَرَضِيَ اللهُ عَنِ التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ

أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ تَعاَلَى ، وَصِيَّةُ اللهِ لَكُمْ وَلِلأَوَّلِيْنَ. قَالَ تَعَالَى: ( وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ للَّهِ مَا فِى السَّمَاواتِ وَمَا فِى الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيّاً حَمِيداً) (النساء:131)

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Puji syukur alhamdulillah kita panjatkan kepada Allah l atas karunia dan nikmat-nikmatnya. Segala karunia tersebut pada hakikatnya merupakan ujian keimanan. Hamba yang bersyukur akan menggunakan nikmat tersebut untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Semoga kita termasuk golongan hamba tersebut dan bukan termasuk golongan manusia yang kufur nikmat.

Shalawat dan salam semoga selalu terhaturkan kepada rasul kita Muhammad ﷺ, kepada keluarga, para shabat dan segenap pengikutnya yang komitmen dengan sunnahnya hingga akhir masa. Aamiin ya rabbal alamin.

Selaku khatib, perkenankan saya menyampaikan pesan takwa kepada diri saya pribadi, dan kepada jamaah pada umumnya. Marilah kita bertakwa kepada Allah, dengan takwa yang sebenar-benarnya; yaitu dengan menjauhi setiap larangan Allah, dan mengamalkan segala perintah Allah, baik berupa ibadah fardhu maupun sunnah.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Dikisahkan seorang kakek senja usia pulang dari masjid kampungnya. Lalu ia segera mengetuk pintu rumahnya, namun sang istri tak membukakan pintu dengan segera. Hingga ia lelah dan pingsan di depan pintu rumahnya. Beberapa saat kemudian, sang istri yang tak mendengar ketukan pintu menyadari keterlambatan suaminya. Bergegas ia melihat keluar dan ternyata suaminya tergeletak pingsan di depan pintu karena menunggu lama. Ia pun panik, bersusah payah membawanya masuk ke dalam rumahnya.

Lalu menyeka wajahnya dengan air hingga suami siuman dari pingsannya. Sang istri meminta maaf atas keterlambatan ia membukakan pintu untuk suaminya. Akan tetapi sang suami tak memarahinya. Dia hanya berkata, “Saya pingsan bukan karena lamanya menunggu pintu dibuka, tapi karena saya ingat akan suatu hari,  ketika di hadapan Allah saya berdiri lama sementara pintu jannah tertutup di depan mata saya.”

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Begitulah hati yang peka, senantiasa terkait dengan Allah dan Hari Akhir. Dia membayangkan bagaimana kelak jika dia bersusah payah mendatangi jannah, namun pintu tak terbuka untuknya. Pelajaran ini membawa dirinya untuk senantiasa mengusahakan sebab dibukanya pintu jannah untuknya. Karana mudah atau susahnya ia memasuki jannah tergantung upayanya di dunia untuk mendatangi amal-amal yang memudahkan baginya untuk masuk jannah. Tak apalah kita berlelah-lelah di dunia, selagi kita dipermudah untuk memasuki jannah-Nya. Karena itulah, ketika Imam Ahmad bn Hambal ditanya, “mata ar-raahah?” Kapankah datangnya waktu rehat? Maka beliau menjawab, “Yakni saat engkau menginjakkan kakimu di jannah, saat itulah kamu bisa rehat.”

Itulah saat di mana seorang hamba berhasil mencapai sukses tertinggi, keberhasilan yang sebenar-benarnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ

“Maka barangsiapa dijauhkan dari neraka  dan dimasukkan ke dalam jannah maka sungguh ia telah beruntung. (QS. ali Imran: 185)

Maka kalimat al-fauzul ‘azhiem yang bermakna keburuntungan atau sukses besar banyak disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an setelah penyebutan tentang orang-orang yang masuk jannah dan terhindar dari neraka.

Inilah kesuksesan sesungguhnya. Karena kenikmatan jannah bersifat sempurna tanpa terselip kesedihan sedikitpun. Hanya ada kelezatan tanpa kepahitan, rasa aman tanpa ketakutan, semua keinginan tercapai tanpa sedikitpun penghalang, dan akan kekal selamanya tanpa akhiran.

Berbeda dengan apa yang diklaim sebagai kesuksesan di dunia ini. Yang sekarang sudah menduduki jabatan tinggi itu belum sukses yang sebenarnya. Mereka masih menghadapi keruwetan masalah yang di hadapinya, masih menanggung celaan dari orang yang tidak ridha dengan posisinya dan masih takut jika harus lengser dari jabatannya.

Begitupun yang sekarang sudah kaya raya, pun belum bisa dikatakan jaya dengan sebenarnya. Masih ada ambisi dan kehausan akan apa yang belum bisa dicapainya. Ada keresahan hati jika hartanya berpindah atau hilang, dna masih harus menghadapi kedengkian orang lain terhadapnya. Hal yang sama dialami oleh orang-orang tenar dan terkenal.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Memang begitulah isi dunia, semua manusia tanpa beda akan merasakan kesusahan dan kelelahan; mukmin maupun kafir.

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. al-Balad: 4)

Sa’id bin Jubeir menafsirkan makna ‘fi kabad’, yakni manusia mengalami kesusahan dan kesulitan dalam mencari mata pencaharian.” Sedangkan Hasan al-Bashri menyebutkan, “Yakni harus menghadapi kesulitan hidup di dunia dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kesusahan di akhirat.”

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Tak ada manusia yang terbebas total dari musibah, kesulitan hidup, kegelisahan, kesedihan maupun rasa sakit. Jangan disangka orang-orang kafir hanya merasakan kesenangan tanpa duka lara. Dari sisi bahaya dan musibah yang dihadapi, nyaris tak ada beda antara keduanya, meski berbeda corak dan variasi. Tak hanya itu, menjadi pejuang kebathilan juga mengharuskan mereka untuk bersusah payah dalam berusaha. Bedanya, ada pengharapan baik bagi orang mukmin sehingga bisa menjadi pelipur lara baginya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ ۖ إِن تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّـهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ وَكَانَ اللَّـهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan janganlah kalian berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka ketahuilah mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu rasakan. Sedang kamu masih dapat mengharapkan dari Allah apa yang tidak dapat mereka harapkan.” (QS. an-Nisa’: 104)

Bedanya lagi, sekecil apapun penderitaan yang dialami seorang mukmin bisa menjadi penggugur dosa. Sedangkan musibah yang dialami orang kafir adalah sebagai bonus siksa yang disegerakan di dunia. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى، إِلاَّ حَاتَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطَايَاهُ، كَمَا تَحَاتُّ وَرَقُ الشَّجَرِ

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Seorang mukmin takkan merasa bosan dan putus asa dalam berikhtiar dan berusaha, hingga tercapai kesuksesan jannah yang didambakannya. Jikalau ada keinginan duniawi yang belum bisa dicapainya, toh akan digantikan dengan yang lebih baik dan lebih kekal di akhirat.

Andaikan yang terjadi di dunia ini selalu sesuai dengan apa yang kita ingini, tentulah jannah tak dirindukan lagi. Dan andai tidak ada duka lara di dunia ini, niscaya tak ada istimewanya rehat di akhirat nanti. Karenanya, ucapan penghuni jannah saat memasuki jannah adalah,

“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.” (QS. Fathir: 34)

Semoga Allah memasukkan kita ke dalam jannah, aamiin.

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

 

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، تَفَضَّلَ وَأَكْرَمَ، وَأَعْطَى وَأَنْعَمَ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، عَطَاؤُهُ مَمْدُودٌ، وَنِعَمُهُ عَلَى عِبَادِهِ بِلا حُدُودٍ، وَكُلُّ شَيْءٍ مِنْهُ وَإِلَيْهِ، لا مِنَّةَ لأَحَدٍ مِنْ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ البَشِيرُ النَّذِيرُ، أَعْطَاهُ رَبُّهُ مِنَ الخَيْرِ الكَثِيرَ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَأصَحْابِهِ أَجْمَعِينَ، وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى إِمَامِ الْمُرْسَلِيْن، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللهُ تَعَالَى بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَيْهِ فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ حَيْثُ قَالَ عَزَّ قَائِلاً عَلِيْمًا
(( إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا))

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ

رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ

رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ :(( إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ )).وَ أَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ لَذِكْرَ اللهِ أَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.

 

Download versi PDF nya: Di Sini

 

 

 

Melunasi Cicilan Barang Haram

Saya membeli biola kepada B seharga 500 ribu rupiah dengan cara mencicil. Saya sudah membayarnya 200 ribu rupiah. Lalu saya mendapatkan hidayah dan membakar biola tersebut. Apakah saya masih harus membayar kekurangannya? Apakah saya berdosa melakukannya? (Abi—Semarang)

الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اتَّبَعَ هُدَاهُ
Dalam kasus yang saudara hadapi, harus dilihat siapakah si B ini, apakah ia seorang muslim ataukah seorang kafir. Jika ia seorang muslim, maka saudara tidak perlu melunasinya. Sebab, ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah pun mengharamkan harganya. Jika ia bersikeras dan memaksa saudara untuk melunasinya, maka hendaklah saudara melunasinya dan memohon ampun kepada Allah karena telah melakukan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya.

 

Baca Juga: Transaksi Ribawi Yang Sering Dianggap Bukan Riba

 

Adapun jika si B adalah seorang kafir, maka saudara harus melunasinya. Sebab orang kafir tidak memandang halal-haramnya suatu barang. Tentu saja seiring dengan itu saudara tetap harus memohon maghfirah kepada Allah. Wallahu a’lam.

 

 

Baca Juga:

 

Perbedaan Antara Khutbah Jumat dan Khutbah Ied

Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullah, Ustadz, sekilas khutbah dalam shalat jumat dan shalat ied (Iedul fitri dan Iedul Adha) sama. Adakah perbedaan antara kedua khutbah tersebut?

 

Jawaban:
Waalaikumussalam, keduanya merupakan khutbah yang disampaikan seorang khatib kepada para jamaah. namun ada beberapa perbedaan mendasar tentang tata cara pelaksanaan antara kedua khutbah tersebut. Antara lain berikut ini:

Pertama, Khutbah ied dilakukan setelah melaksanakan shalat sebagaimana hadits Abu Said yang menuturkan, “Bahwasanya Nabi tatkala keluar di hari iedul adha dan iedul fitri dan menuju tempat shalat, pertama kali beliau melakukan shalat, usai shalat lalu berdiri menghadap jamaah dan jamaah dalam barisannya masing-masing. lalu Rasulullah memberikan wasiat dan nasihat kepada mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, khutbah ied tidak diatas mimbar dan tidak mengeluarkan mimbar dari masjid, serta adzan dan iqamat. Ibnu Qayim menuturkan, “Tidak ada mimbar dalam khutbah ied yang akan meninggikan posisi khatib dan tidak pula mengeluarkan mimbar madinah, hanyasanya beliau berdiri di atas tanah. Sebagaimana perkataan Jabir, ‘Aku saksikan langsung shalat beliau shalallahu alaihi wasallam di hari ied, beliau mulai dengan shalat sebelum khutbah tanpa adzan atau iqamah lalu berdiri tegak menghadap bilal.” (HR. Mutafaqun alaih).

Dapatkan Kumpulan Materi Khutbah DI SINI

Ketiga, disunahkan memperbanyak takbir disela khutbah ied. Imam Malik berkata dalamal-Ausath, “temasuk dari sunnah hendaknya seorang khatib iedul adha dan iedul fitri memperbanyak takbir di dalamnya.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa mengatakan, “Dan takbir itu disyariatkan dalam khutbah ied lebih banyak daripada khutbah Jumat.”

Keempat, Menurut Dr. Suud bin Ibrahim bin Muhammad Suraim dalam Asy-Syamil fi fiqhi khatib wa khutbah, tidak ada duduk sebelum khutbah ied dilaksanakan, sebagaimana pendapat Asy-Syaukani karena duduk sebelum khutbah itu untuk adzan (sebagaimana dalam khutbah jumat).

Demikian pula bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang shalat iedain; Iedul Fitri dan Iedul Adha tidak menunjukkan bahwa Nabi duduk sebelum khutbah.

Demikian beberapa hal mendasar yang membedakan tata cara pelaksanaan antara khutbah jumat dan khutbah di hari ied. Semoga bermanfaat.

Oleh: Redaksi/Majalah ar-risalah

Hukum Menjamak Mandi Junub Dengan Mandi Jumat

Mandi Jumat dan mandi junub adalah dua amalan yang sama-sama bertujuan untuk mensucikan diri namun memiliki perbedaan faktor penyebab, hukum, dan konsekuensi. Meski demikian, apa benar mandi Jumat dan mandi junub itu boleh dijamak menjadi satu?

Seorang muslim yang hendak melaksanakan shalat Jumat disyariatkan untuk melaksanakan mandi Jumat. Mandi Jumat yang hukumnya sunnah ini dilaksanakan mulai sejak terbit matahari sampai sebelum berangkat menuju ke masjid.

Karena mandi Jumat ini hukumnya sunnah, maka ini berimbas pada konsekuensi hukumnya. Bagi seorang muslim yang telah melaksanakan mandi Jumat, tetap wajib untuk melaksanakan wudhu jika ingin melaksanakan shalat. Mandi Jumat tidak bisa mengangkat hadats yang ada pada tubuh.

Dalil syariat mandi Jumat dapat dijumpai dalam kitab-kitab hadits. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi di hari Jumat wajib bagi setiap muhtalim (orang yang telah mimpi basah; dewasa).” (HR. Al-Bukhari no. 879 dan Muslim no. 846).

Dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ

“Apabila salah seorang di antara kalian akan mendatangi shalat Jumat, hendaklah dia mandi.” (HR. Muslim no. 1399)

Dalam kesempatan lain beliau bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ

“Barangsiapa berwudhu di hari Jumat, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih utama.” (HR. An-Nasai no. 1380, At-Tirmidzi no. 497 dan Ibnu Majah no. 1091). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Baca Juga: Hukum Membangunkan Orang di Sela-sela Khutbah Jumat

Lain halnnya dengan mandi junub atau mandi janabah. Mandi junub dilakukan untuk mengangkat hadats besar yang ada pada tubuh karena sebab keluar mani, melakukan hubungan suami istri, selesai haidh, selesai nifas, orang kafir masuk Islam, dan muslim yang meninggal. Sehingga, mandi junub ini hukumnya wajib. Disebut juga dengan mandi wajib.

Dalilnya, firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy tentang perintah mandi setelah haidh berhenti. Beliau bersabda,

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى

“Apabila kamu mendapati haidh, tinggalkanlah shalat. Apabila darah haidh berhenti, segeralah mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333)

Karena dalam tata cara mandi junub telah ada wudhu, maka bagi orang yang telah mandi junub jika hendak melaksanakan shalat tidak perlu wudhu lagi.

Berkaitan dengan menjamak mandi Jumat dengan mandi junub menjadi satu, mayoritas Ulama Fikih membolehkan seseorang yang menjamak niat mandi Jumat dan mandi junub dalam satu mandi.

Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa meskipun ketika mandi seseorang meniatkan diri untuk mandi junub dan mandi Jumat, maka ia akan mendapat keduanya dan sah. (Al-Majmu’, 1/368)

Senada dengan itu, Imam Ibnu Qudamah juga berpendapat bahwa jika mandi dengan dua niat; mandi Jumat dan mandi junub, itu boleh. Beliau melihat tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah tersebut. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/257)

Salah seorang ulama kontemporer, syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz rahimahullah, juga pernah ditanya tentang masalah hukum menjamak mandi Jumat dengan mandi junub. Jawaban beliau sama, boleh, jika dilakukan di siang hari (sebelum shalat Jumat).

Baca Juga: “Sunnah Rasul Malam Jumat”, Katanya

Beliau menegaskan bahwa yang lebih utama adalah tetap meniatkan dengan dua mandi; mandi Jumat dan mandi junub. Dengan demikian, dia mendapat pahala keutamaan mandi Jumat juga. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/406)

Sementara itu, syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan lebih rinci lagi hukum menjamak mandi Jumat dengan mandi junub. (ar.islamway.net)

Jika seseorang mandi di hari Jumat dengan niat mandi junub, maka ia tak perlu melakukan mandi Jumat. Asalkan mandi dilakukan setelah terbitnya matahari. Kemudian jika meniatkan untuk dua mandi; mandi Jumat dan mandi junub, maka ia akan mendapat pahala keduanya.

Namun jika dia hanya meniatkan mandi Jumat saja, itu belum cukup untuk mengganti mandi junub. Sebab mandi junub itu hukumnya wajib yang bertujuan untuk mengangkat hadats, sehingga harus ada niat. Jika demikian, ia harus mandi lagi dengan niat mandi junub. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 16/137) Wallahu a’lam.

 

Oleh: Redaksi/fikih

Klik Di Sini Untuk Membaca Artikel Serupa

Khutbah Jumat: Tak Takut Celaan, Tak Haus Pujian

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Kita bersyukur kepada Allah ta’ala atas segala limpahan nikmat dan karunianya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi agung Muhammad n, keluarga juga siapapun yang mengikuti sunahnya hingga akhir zaman.

Tak lupa, kami sampaikan wasiyat takwa kepada hadirin semuanya, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah ta’ala. Kita tingkatkan kepatuhan kita, ketaatan kita dan keihklasan kita.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Setiap perbuatan yang dilakukan manusia, mengandung konsekuensi dipuji atau dicela. Dipuji oleh satu pihak, dicela oleh pihak yang lain. Tak ada satupun tindakan yang dipuji oleh semua manusia, meskipun itu tindakan yang sangat-sangat baik. Tak satupun pula tindakan yang dibenci oleh semua manusia di dunia, meskipun itu tindakan yang jelas-jelas jahat dan buruk.

Karena itu, mengharapkan ridho dan dukungan semua manusia hanyalah khayalan semata. Ini mustahil untuk terjadi, betapapun kita menginginkan. Anehnya, masih ada orang yang ingin menarik simpati semua kalangan. Ingin ‘bersahabat’ dengan malaikat, tapi berkawan dengan setan. Sesekali berbuat taat untuk menyenangkan teman-temannya yang taat, sesekali menyengaja berbuat dosa untuk meraih simpati para durjana.

Kalaupun cara ini ditempuh, pun tidak bisa menyenangkan kedua belah pihak. Maka, orang yang beramal dan berbuat untuk dipuji semua orang, atau meningalkan sesuatu karena ingin menghindar dari celaan semua orang, dipastikan bakal menjadi orang bingung. Langkahnya terus dibayangi kebimbangan, ingin berbuat begini, takut dicela pihak yang ini, ingin begitu takut dicaci pihak yang itu.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Orang yang berakal, senantiasa menjadikan kebenaran sebagai acuan setiap tindakan. Bukan karena landasan pujian atau celaan. Karena apapun pilihan yang diambil, tetap tidak mampu memuaskan semua orang. Pada kebenaran ada potensi celaan, pada keburukan ada pula peluang cercaan. Hanya saja, bersabar menghadapi celaan karena menjalankan ketaatan bernilai pahala besar, sedangkan dicela karena maksiat adalah kehinaan di dunia, kesengsaraan di akhirat.

Janganlah kita takjub, kenapa pada kebenaran juga menuai celaan. Karena memang kebenaran memiliki musuh, pada ketaatan ada pula penghalang. Bahkan, bisa jadi musuh kebenaran itu lebih banyak daripada musuh kesesatan. Karena kebanyakan manusia justru cenderung kepada kesesatan. Sebagaimana firman Allah,

 

,وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. al-An’am: 116)

Ayat ini sekaligus menjadi rambu-rambu bagi kita, agar tidak menjadikan suara kebanyakan sebagai barometer kebenaran. Kebenaran adalah apa yang dikatakan benar oleh Allah dan Rasul-Nya, meski sedikit pendukungnya. Allah berfirman,

 

الْحَقَُ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. al-Baqarah: 147)

Menyimak dua ayat di atas, tergambar oleh kita, bahwa kebenaran tak selalu berada dipihak mayoritas. Malah seringnya, kebenaran hanya diikuti oleh sedikit orang saja, wajar jika mereka menuai celaan dari para penentangnya.

Karena itulah, tatkala menyebutkan cirikhas orang yang mencintai dan dicintai Allah, Al-Qur’an menyebutkan salah satu karakternya, “Dan tidak takut celaan orang yang suka mencela.” (QS. al-Maidah: 54)

Ibnu Katsier menyebutkan, “Yakni tidak ada yang menghalangi mereka untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan memerangi musuh-musuh-Nya, untuk menegakkan hukum-Nya, menyeru yang ma’ruf, mencegah yang mungkar. Para pencegah tidak akan menghentikan mereka, para penghalang tidak akan menyurutkan langkahnya, dan para pencela tidak mengendorkan mereka untuk itu.”

Bergabung di jalan kebenaran berarti bersabar untuk menghadapi celaan dari para penentang kebenaran. Dan ini adalah mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah. Ketika seseorang menyadari konsekuensi ini, maka selagi dia di atas kebenaran, lalu menuai kritikan dan celaan, justru semakin menguatkan apa yang dia lakukan. Celaan yang ditimpakan orang kepada kita sebenarnya tidak akan memadharatkan kita, bahkan madharatnya akan kembali kepada si pencela. Kecuali jika kita menganggapnya besar, memikirnya dalam-dalam, atau melekatkannya dalam ingatan, ketika itu, umpan akan menemukan korbannya. Karena itu, jangan hiraukan celaan selagi Anda berada di atas kebenaran, sesuai dengan tuntutan kondisi, tempat dan zaman menurut syariat.

Janganlah kita seperti orang-orang munafik, mereka bingung lantaran tidak siap berhadapan dengan celaan orang-orang kafir atau dan cercaan orang-orang sesat. Karena itu, mereka datang kepada orang mukmin dengan membawa bendera keimanannya, lalu datang kepada orang-orang fajir dengan bendera kefajirannya.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Bagi orang yang menjadikan Allah sebagai tujuan ketika beramal kebaikan, maka pujian atau celaan tak memengaruhi kebaikan yang ia lakukan. Tidak lantas loyo karena dicela, tidak pula terbuai karena disanjung orang. Dia senantiasa bersemangat dalam menjalankan ibadah yang terkait langsung kepada Allah. Baik dalam kesendiriannya, maupun di tengah keramaian. Karena dia sadar, Allah melihatnya saat dia sendirian, Allah juga memantaunya saat ia di keramaian. Meski tak ada seorangpun melihat, ibadahnya tak berkurang dibanding ketika banyak orang. Minimal kadarnya sama, atau bahkan sebagian ulama menjadikan amal sirriyah (rahasia)nya lebih bagus dibanding amal jahriyahnya. Imam al-Mawardi dalam Kitabnya Adabud Dunya wad –Dien, ketika menafsirkan firman Allah,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan…” (QS. an-Nahl: 90)

Beliau berkata, “Makna berbuat adil adalah ketika amalnya untuk Allah sama bagusnya antara saat sendiri dan saat di tengah keramaian. Makna ihsan (berbuat kebajikan) adalah ketika amalnya di saat sendiri lebih bagus dari amalnya di tengah keramaian. Sedangkan makna keji dan mungkar adalah ketika amalnya yang terang-terangan lebih bagus dari amalnya saat sendirian.”

Meskipun makna ayat lebih luas dari itu, tapi setidaknya ini menunjukkan perhatian ulama akan pentingnya memperbaiki amal saat sendirian. Karena hal ini bisa lebih melatih keikhlasan. Untuk itulah, dalam banyak hal, terutama ibadah yang sifatnya tathawwu’, para ulama memilih untuk merahasiakan amalnya lebih banyak dari yang ditampakkan. Seperti untuk shalat sunnah, bersedekah, berdzikir, membaca al-Qur’an dan lain-lain. Diantara hikmah dianjurkannya memperbanyak shalat sunnah dirumah adalah untuk menjaga keikhlasan karena lebih minim dari pandangan orang.

Secara otomatis, jika amalnya saat sendirian bagus, amalnya yang terlihat orang juga baik. Maka jika suatu kali sebagian orang mengapresiasi bagusnya amal yang dia lakukan, ini diluar tujuan yang diidamkannya. Sebagai langkah hati-hati, ada baiknya dia tidak menegaskan atau mengukuhkannya, meskipun dia tidak harus mengingkari amal yang telah dilakukannya. Seperti Muhammad bin Samak rahimahullah. Ketika utusan Khalifah Harun ar-Rasyid berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin telah mengutusku kepada Anda, Beliau tlah mendengar perihal kebaikan Anda, banyaknya dzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan banyaknya do’a Anda bagi umat.”

Maka Ibnu Samak berkata, “Adapun berita yang telah sampai kepada amirul mukminin tentang kebaikan kami, semata-mata itu karena Allah menutupi aib kami. Kalau saja Allah menampakkan dosa-dosa kami kepada manusia, niscaya tak seorangpun menaruh simpati kepada kami, tak satupun lisan yang akan memuji kami.. “

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Sebagaimana ibadah yang terkait langsung dengan Allah, seperti itu pula perbuatan baik yang terkait dengan manusia. Orang yang ikhlas tidak terpengaruh oleh banyak sedikitnya orang yang melihat atau mendengar. Tidak mengharapkan balas budi, dan bahkan tidak terpengaruh oleh sikap orang yang telah dibantunya.

Dia tidak menyesal atas bantuan yang telah dia berikan, meski si penerima tidak membalasnya dengan ucapan terima kasih. Bahkan meskipun maksud baiknya justru mendapat tanggapan yang tidak menyenangkan. Keadaannya seperti orangyang dikisahkan oleh Allah,

“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. al-Insan: 9)

Selain lebih bisa menjaga keikhlasan, sikap ini juga lebih menenangkan jiwa. Sungguh kita akan kecewa, jika setiap berbuat baik kepada orang lain kita menunggu ucapan terimakasih atau ‘kembalian’ yang lebih besar. Karena kebanyakan manusia memang tidak mau berterima kasih,

“dan (kebanyakan) manusia itu selalu tidak berterima kasih…” (QS. al-Isra’: 67)

Berbuat dan bertindak sesuai petunjuk Allah, dan mengharapkan pahala Allah adalah pangkal kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Maka, tidak sepantasnya kita takut dicela selagi berbuat karena Allah dan dia atas jalan yang telah digariskan-Nya. Tidak pula kita haus pujian, karena jika kita berada di atas ketaatan, semata-mata itu adalah  karena karunia-Nya, Allahlah yang layak untuk dipuji. Wallahu a’lam bishawab.

Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan semoga dapat diambil manfaatnya. Kurang dan salahnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

 

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

 

Khutbah Kedua

 

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Khutbah Jumat

 

Materi Khutbah Lainnya: 

Sabar dan Syukur; Dua Tali Pengikat Nikmat

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Mendulang Manfaat Kala Sakit dan Sehat

 

 

Khutbah Jumat – Sabar dan Syukur Dua Tali Pengikat Nikmat

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Alhamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta Alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, keluarga, shahabat dan orang-orang yang mengikuti sunahnya sampai hari kiamat.

Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Takwa adalah inti diri kita. Semakin besar dan kuat ketakwaan, semakin tinggi derajat kita di sisi-Nya.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Al Imam Ibnul Qoyim al Jauziyah berdoa dalam pembukaan tulisannya dalam kitab al-Wabilush Shoyib,

 

وأَنْ يَجْعَلَكُمْ مِمَّنْ إِذَا أَنْعَمَ الله عَلَيْهِ شَكَرَ, وَ إِذَا أُبْتُلِيَ صَبَرَ, وَإِذَا أَذْنَبَ اسْتَغْفَرَ

“…Semoga Allah menjadikan anda sekalian orang yang jika diberi nikmat bersyukur, jika diberi musibah bersabar dan jika berbuat dosa dosa beristighfar.”

Ketiganya, lanjut beliau, merupakan kunci kebahagiaan dan kesuksesan dunia akhirat. Dalam menjalani hidup, seseorang tidak akan lepas dari tiga kondisi ini.

Pertama, saat Allah memberinya nikmat. Nikmat sifatnya tidak tetap, bisa bertambah, bisa musnah. Tali pengikatnya adalah syukur. Dan syukur mewujud dalam tiga hal; pengakuan dalam hati, mensyukuri dan membicarakan bahwa nikmat itu dari Allah dengan lisan, kemudian menggunakan nikmat dalam berbagai aktifitas yang diridhai Allah.

Kedua, sabar saat ditimpa musibah. Musibah adalah ujian bagi kesabaran. Oleh karenanya, saat tertimpa musibah, kita wajib bersabar. Sabar mewujud dalam tiga hal; menjaga hati agar tidak marah pada ketentuan Allah, menahan lisan jangan sampai mengeluh dan protes, dan ketiga, menahan anggota tubuh agar tidak mengekspresikan kemarahan dan ketidakrelaan secara berlebihan dan melanggar syariat. Dengan sabar, musibah akan berubah menjadi berkah dan mendatangkan hikmah.

Ketiga, jika berbuat dosa segera bertaubat dan beristighfar. Taubat dan istighfar adalah wujud cinta dan karunia Allah atas seorang hamba. Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri seseorang, Allah akan bukakan pintu taubat, penyesalan, rasa hina dan perasaan tak pantas di hadapaan Allah. Lalu, semua itu dikuti dengan munajat dan ketaatan kepada Allah.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Nikmat dan musibah, keduanya adalah ujian. Nikmat merupakan ujian bagi kesyukuran dan musibah adalah ujian bagi kesabaran. Keduanya juga merupakan ujian bagi ubudiyah kita kepada Allah. Ubudiyah atau penghambaan kepada Allah semestinya dilakukan saat senang maupun susah, sempit maupun lapang, saat diberi nikmat maupun saat tertimpa musibah.

Saat diberi nikmat, semestinya ubudiyah lebih meningkat. Bukan malah terlena dengan karunia, lalu melupakan Allah yang telah memberinya. Saat diberi musibah, ubudiyah juga harus ditambah demi mengharap pertolongan Allah. Bukan malah berputus asa dan merasa tidak ada gunanya beribadah kepada-Nya.

Penghambaan dan ketaatan juga wajib pada sesuatu yang disukai maupun tidak disukai. Kebanyakan manusia hanya suka melaksanakan syariat yang mereka sukai tapi mudah meninggalkan apa yang mereka benci.

Saat seorang wanita, misalnya, dikaruniai penyakit kulit, dia begitu bersyukur dengan syariat hijab dan rajin memakai hijab. Ada manfaat yang dia peroleh dari hijab. Namun tatkala Allah sembuhkan penyakitnya dan Allah berikan kulit yang halus padanya, dia pun menjadi benci dengan jilbabnya lalu mengumbar auratnya. Diapun berpikir, untuk apa Allah berikan kulit halus ini jika hanya untuk ditutupi?

Contoh lain, Poligami. Poligami merupakan ibadah sunnah yang disukai oleh kaum pria. Dibolehkan memiliki istri lebih dari satu menjadi ibadah yang terlihat begitu indah. Namun, ibadah lanjutannya berupa bersikap adil dalam harta, tanggung jawab untuk mendidik anak-anak dan isteri-isterinya, menjaga hubungan baik dengan mertua yang lebih dari satu, dan semua tanggung jawab rumah tangga yang berlipat dua, adalah konsekuensi dari syariat poligami yang juga harus disukai.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Adapun kondisi ketiga, yaitu saat kita berbuat dosa. Dosa, di satu sisi memang merupakan kesalahan yang bisa mendatangkan hukuman. Namun jika diikuti dengan istighfar dan taubat, dosa dapat berubah menjadi penyebab datangnya kebaikan.

Sebagian salaf mengatakan, “Ada seorang hamba yang melakukan dosa tapi malah masuk surga, sedangkan ada seorang hamba yang melakukan ketaatan tapi justru masuk neraka.” Saat ditanya, “Mengapa bisa begitu?” Dijawab, “Dia berbuat dosa, tapi dosa itu selalu terbayang di matanya, ia dihinggapi rasa takut dan khawatir, selalu menangis dan menyesal, merasa sangat malu pada Rabbnya, merasa rendah di hadapan-Nya, dan hatinya hancur. Itulah yang menjadi sebab kebahagiaan dan keberuntungannya. Dosa itu justru lebih bermanfaat daripada ketaatan-ketaatan sebelumnya. Berangkat dari dosa ini, dan beragam ketaatan yang mengikutinya, dia pun masuk surga.

Dan hamba yang kedua berbuat taat tapi dia terus saja menyebut-nyebut ketaatannya, sombong, riya’, ujub, dan terus saja seperti itu, Ia berkata, “Saya sudah berbuat ini dan itu”, dan itu menjadi penyebab kebinasaannya.”

Meski tentunya, kita tidak boleh menyengaja berbuat dosa terlebih dahulu agar bisa seperti itu. Bisa jadi, setelah kita berbuat dosa, Allah justru menutup hati kita dan malah terjerumus ke dalam dosa demi dosa hingga tak bisa lepas darinya.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Saat ini, kita pasti tengah berada dalam salah satu dari keadaan ini. Entah itu tengah diberi nikmat atau diberi musibah atau kondisi telah melaksanakan ketaatan atau baru saja melakukan dosa dan maksiat. Jika kita sedang berada dalam kesejahteraan, ketenangan dan kedamaian, jauh dari masalah, maka saat itulah waktu untuk bersyukur agar nikmat Allah tak hilang. Jika kita tengah diberi musibah, maka tidak ada jalan terbaik selain jalan sabar. Atau kita diberi dua-duanya sekaligus; diberi nikmat sekaligus musibah, maka syukur dan sabar harus kita berikan pada masing-masing pemberian.

“Sungguh luar biasa keadaan orang beriman, jika dia diberi nikmat dia bersyukur dan itu lebih baik baginya, dan jika dia diberi musibah dia bersabar dan itu juga terbaik baginya.”

Semoga Allah menjadikan kita sebagai mukmin yang senantiasa bersyukur, bersabar dan bersitighfar karena inilah jalan orang-orang sukses dunia akhirat. Aamin ya rabbal alamin.

 

 

 

أقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ،  وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ   إِنَّهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ

 

Khutbah Kedua

 

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

 

Oleh: Taufik Anwar/Khutbah Jumat

Materi Khutbah Lainnya: 

Kebaikan Penentu Akhir Kehidupan

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Islam Akan menang Bersama Atau Tanpa Kita

Khutbah Jumat- Empat Bentuk Nasib Manusia

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Puji Syukur kepada Allah yang telah mengaruniakan nikmat iman dan Islam. nikmat yang dengannya, kita akan selamat di dunia dan akhirat. Karenanya, nikmat iman ini harus kita jaga, sampai ajal tiba.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, para shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunah beliau hingga hari Kiamat.

Kemudian, kami wasiyatkan kepada khatib pribadi dan kepada para hadirin sekalian agar meningkatkan takwa kepada Allah Ta’ala. Takwa adalah penentu arah kehidupan manusia. Arah yang akan menentukan nasibnya; bahagia atau sengsara, selamat atau celaka. 

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Dilihat dari segi nasib, bahagia atau sengsara saat di dunia dan di akhirat, manusia akan mengalami salah satu dari empat nasib; bahagia di dunia-bahagia di akhirat, sengsara di dunia-bahagia di akhirat, bahagia di dunia-sengsara di akhirat dan sengsara di dunia-sengsara pula di akhirat.

Sebelum keempat nasib ini dirinci, perlu dicatat bahwa “bahagia di dunia” yang dimaksud bukanlah kebahagiaan hakiki berupa kebahagiaan dan ketenangan ruhani karena berada di bawah naungan ridha ilahi. Tapi yang dimaksud adalah kebahagiaan yang oleh kebanyakan orang dipersepsikan sebagai kebahagiaan; harta melimpah, hidup nan serba mudah dan musibah yang seakan-akan enggan untuk singgah.

Nah sekarang mari kita rinci satu persatu.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Pertama, orang yang bahagia di dunia juga bahagia di akhirat. Inilah nasib yang paling diidamkan semua orang. Semboyan “kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya mati masuk surga” menjadi puncak khayalan yang diinginkan manusia. Tapi benarkah ada orang yang di dunia kaya dan saat di akhirat beruntung mendapat Jannah-Nya? Tentu saja ada. Itulah orang yang mendapat fadhlullah, anugerah istimewa dari Allah.

Dalam sebuah hadits yang cukup panjang, diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa suatu ketika para shahabat yang ekonominya lemah mengadu pada Nabi tentang rasa iri mereka terhadap shahabat lain yang kaya. Yang kaya bisa infak banyak tapi juga melakukan ibadah yang sama dengan yang mereka lakukan saban hari. Lalu Nabi mengajarkan dzikir-dzikir yang dapat mengimbangi pahala infak. Tapi ternyata shahabat yang kaya juga mendengar dzikir ini lalu mengamalkannya. Saat dikomplain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “ Itulah anugerah Allah yang akan diberikan kepada siapapun yang dikehendaki.”

Itulah anugerah Allah. Allah membagi rezeki sesuai kehendak-Nya. Ada yang sedikit ada yang banyak. Sebagian orang ada yang dikarunia rezeki melimpah, hidupnya pun serba mudah. Namun begitu, ternyata semua itu tidak memalingkannya dari cahaya hidayah. Harta yang dikaruniakan gunakan untuk membangun rel yang memuluskan jalan mereka menuju jannah. Rel-rel yang dibangun adalah besi-besi berkualitas dari infak fi sabilillah, sedekah kepada fakir miskin dan yatim dan berbagai proyek amal jariyah. Lebih daripada itu, harta itu juga digunakan untuk membeli berbagai fasilitas yang dapat membantu meraup ilmu mulai dari buku hingga biaya untuk belajar kepada para guru. Kesehatan dan kemudahan hidup digunakan untuk meningkatkan kualitas ibadah dan pengabdian kepada Allah.

Dengan semua ini, insyaallah, kebahagiaan yang lebih abadi di akhirat telah menanti. Kalau sudah begini, manusia semacam ini memang sulit ditandingi. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Kedua, orang yang sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat.

Ini nasib kebanyakan orang-orang beriman. Kehidupan di dunia bagi mereka seringnya menjadi camp pelatihan untuk menempa iman. Kesulitan hidup berupa sempitnya kran rezeki memicu munculnya ujian-ujian kehidupan seperti tak terpenuhinya kebutuhan logistik, pendidikan, sandang dan papan. Atau kesulitan hidup berupa kekurangan dalam hal fisik; buta, bisu, buntung, lumpuh dan sebagainya. Dera dan cobaan yang kerapkali menguras airmata dan menggoreskan kesedihan dalam jiwa.

Namun begitu, iman mereka menuntun agar bersabar menghadapi semua dan tetap berada di jalan-Nya. Dan pada akhirnya, selain iman yang meningkat, semua kesengsaraan itu akan diganti dengan kebahagiaan yang berlipat. Rasa sakit, sedih dan ketidaknyamanan hati seorang mukmin akan menjadi penebus dosa dan atau meningkatkan derajat. Sedang di akhirat, hilangnya dosa berarti hilangnya halangan menuju kebahagiaan di dalam jannah dengan keindahannya yang memikat. Dan tingginya derajat keimanan adalah jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan kemuliaan di akhirat.

 Allah berfirman:

 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ، الَّذِينَ إِذَآ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

 “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadam, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al Baqarah:155-157)

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Ketiga, orang yang bahagia di dunia tapi sengsara di akhirat

Kalau yang ini adalah gambaran rata-rata kehidupan orang-orang kafir dan manusia durhaka. Sebagian mereka bergelimang harta, hidup mewah dan dihujani kenikmatan-kenikmatan melimpah. Bukan lain karena mereka bebas mencari harta, tanpa peduli mana halal mana haram. Sebagian yang lain barangkali tidak mendapatkan yang semisal. Tapi mereka mendapatkan kebebasan dalam hidup karena merasa tidak terikat dengan aturan apapun. Aturan yang mereka patuhi hanya satu “boleh asal mau atau tidak malu”.

Merekalah yang menjadikan dunia sebagai surga dan berharap atau bahkan yakin bahwa yang Mahakuasa akan memaklumi kedurhakaan dan kelalaian mereka dari perintah-Nya, lalu memasukkan mereka ke jannah-Nya. Padahal sejak di dunia mereka telah diperingatkan:

 

نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلاً ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلَى عَذَابٍ غَلِيظٍ

 “Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. Luqman: 24)

Kebahagiaan dunia itu akan musnah rasanya setelah celupan pertama di neraka.  Na’udzubillah min dzalik.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Keempat, Orang yang sengsara di dunia sengsara pula di akhirat.

Inilah orang paling celaka dalam sejarah kehidupan manusia, dunia akhirat. Di dunia hidup miskin, susah payah mencari sesuap nasi dan hutang menumpuk karena usaha selalu tekor hingga hidup pun tak nyaman karena diburu-buru debt kolektor. Atau hidup dalam keterbatasan karena cacat di badan dan masih ditambah ekonomi yang pas-pasan. Dan dengan semua itu, mereka tidak memiliki harapan untuk hidup bahagia di akhirat meski hanya seujung jari, karena iman sama sekali tidak tumbuh dalam hati. 

Di penghujung hidup mereka mati dalam kondisi kafir, menolak beriman kepada Rabbul Izzati. Dan di akhirat, neraka yang menyala-nyala telah menanti. Karena ketiadaan iman, mereka tidak akan mendapatkan belas kasihan. Hukuman akan tetap dijalankan karena di dunia mereka telah diperingatkan. Na’udzu billah, semoga kita terhindar dari keburukan ini.

Padahal yang didunia sempat merasakan kesenangan saja, apabila dicelupkan ke dalam neraka, akan musnah semua rasa yang pernah dicecapnya. Lantas bagaimana dengan yang sengsara di dunia dan berakhir dengan siksa di neraka?

 

عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ {3} تَصْلَى نَارًاحَامِيَةً

 “Bekerja keras lagi kepayahan, -sedang di akhirat- memasuki api yang sangat panas (QS. Al-Ghasiyah:3-4)

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Dari keempat kondisi di atas, sebisanya kita tempatkan diri kita pada yang pertama. Caranya dengan sungguh-sungguh bekerja agar kehidupan dunia sukses dan mulia. Bersamaan dengan itu, kesuksesan itu kita gunakan untuk membeli kebahagiaan yang jauh lebih kekal di akhirat. Jika tidak bisa, pilihan kita hanya tinggal kondisi kedua karena yang ketiga hakikatnya sama-sama celaka dengan yang dibawahnya. Meskipun hidup di dunia kita harus berkawan dengan sengsara, tapi dengan iman di dada kita masih layak tersenyum karena harapan itu masih ada. Harapan agar dimasukkan ke dalam jannah yang serba mewah, atas ijin dan ridha dari Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pemurah. Wallahua’lam bishawab, wa astaghfirullaha ‘ala kulli khati`ah.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Demikianlah khutbah pada siang hari ini, semoga dapat diambil manfaat dan pelajarannya. Kurang dan salahnya kami memohon maaf yang sebesar-besarnya.

 

أقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ،  وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ   إِنَّهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ

 

Khutbah Kedua

 

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

 

Oleh: Redaksi/Khutbah Jumat

Materi Khutbah Lainnya: 

Kebaikan Penentu Akhir Kehidupan

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Islam Akan menang Bersama Atau Tanpa Kita

 

 

Khutbah Jumat- Kebaikan Penentu Akhir Kehidupan

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Puji syukur kepada Allah atas seluruh limpahan rahmat dan nikmat-Nya. Nikmat hidup, nikmat sehat dan utamanya adalah nikmat iman dan Islam. kalau saja Allah tidak memberi kita petunjuk untuk beriman dan berislam, tentulah kita menjadi orang-orang sesat yang terancam hidupnya.

Shalawat dan Salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabiyullah Muhammad, keluarga, para shahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jalannya sampai tiba ajalnya.

Pesan takwa harus senantiasa menjadi hiasan bibir bagi kita. Karena takwa adalah nasihat terbaik. Menasehatkan takwa berarti menasehatkan diri dan orang lain untuk menjaga nikmat iman dan hidayah dalam hati. Dengan takwa iman akan semakin kuat, sebaliknya menurunnya takwa berarti rapuhnya iman yang bisa berujung pada kemusnahan. Dan musnahnya iman berarti musnahnya hidayah.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Hidayah memang salah satu misteri takdir yang tak terduga. Siapa sangka orang yang tak pernah beribadah seumur hidupnya. Tapi, di ujung hayatnya Allah membuka hatinya untuk memeluk Islam dan mengamalkan satu atau dua amalan.‘Sedikit’ amal tersebut ternyata bisa menjaminnya masuk jannah, insyaallah.

Abu Hurairah menceritakan kisah seorang pemuda bernama Ushairim dari bani Abdil Asyhal. Sebagai catatan, ia enggan memeluk Islam sebagaimana kaumnya. Ketika pecah perang Uhud beliau turut bahu membahu membela Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan kaum muslimin. Dia menyerang musuh dan memberikan perlawanan sehingga terluka di beberapa bagian tubuhnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir dia ditanya tentang motif keikutsertaannya pada perang uhud. “Apakah untuk mengangkat nama bani Abdil Asyhal atau untuk membela Islam?” Ia menjawab, “Aku mencintai agama Islam. Aku telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Lalu aku masuk Islam dan mengangkat senjata untuk berperang bersama Nabi.”  Rasulullah yang mendengar penuturannya berani menjamin Ushairim sebagai ahlu jannah atau penghuni surga.

Kisah di atas menunjukkan bahwa Allah sungguh berkuasa terhadap nasib dan takdir manusia. Tidak sedikit orang yang dhahirnya buruk, hidup bergelimang dosa, hingga orang lain menyangka tidak ada sisi kebaikan dalam dirinya. Namun, orang tersebut berhasil berubah di ujung hayatnya dan menjadi ahlu jannah. Begitu pula sebaliknya, ada orang yang menghabiskan umur dan waktunya dalam beribadah. Namun, karena setitik dosa kekufuran seluruh amalnya gugur dan ia termasuk ahlun nar atau penghuni neraka.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Dalam Islam ukuran seseorang baik atau buruk adalah bagaimana kondisi seseorang di akhir hayatnya. Akhir yang baik disebut dengan khusnul khatimah. Sedangkan kebalikannya yaitu suul khatimah. Rasulullah SAW bersabda,

 

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَـوَاتِيْمُ

“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya”. (HR Bukhari)

Hal ini kadang membuat sebagian orang over estimate (terlalu optimis) terhadap ampunan Allah. Ia pun mengabaikan kewajiban yang harus ditunaikan. Umur dan waktunya digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan mengejar kenikmatan hidup. Ia menganggap bahwa saat ini merupakan waktu bersenang-senang, sebab masih ada hari esok untuk bertobat dan kebaikan di hari tua nanti akan menghapus segala kesalahan terdahulu. Namun, siapakah yang bisa menjamin bahwa ia masih hidup hingga hari esok?

Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan seseorang harus menakar kadar raja’ atau pengharapannya kepada Ampunan Allah dan kadar khauf atau takut kepada Allah dengan tepat. Selain itu, khusnul khatimah bagi ahlu maksiat belum tentu terjadi pada setiap orang. Sebab, Kebaikan di ujung hayat merupkan tanda Allah menginginkan seseorang menjadi baik. Dalam sebuah hadits disebutkan.

 

 إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَسَّلَهُ .؛ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ ، وَ مَا عَسَّلُهُ ؟ ، قَالَ : يَفْتَحُ لَهُ عَمَلاً صَالِحًا بَيْنَ يَدَيْ مَوْتِهِ ، حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ مَنْ حَوْلُهُ.

Dari Amru bin al hamiq mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Allah SWT menginginkan seorang hamba menjadi baik, dia membuatnya terpuji.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah bagaimana Allah SWT membuatnya terpuji?” “Allah SWT membuka pintu amal shalih di ujung hayatnya sehingga orang di sekitarnya ridha kepadanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Hadits di atas minimal menunjukkan dua hal.

Pertama, kesempatan menjadi baik merupakan bentuk hidayah yang diberikan kepada orang tertentu. Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali, faktor yang menyebabkan orang shalih mengalami suul khatimah adalah (ad-dasiysah) makar atau maksud kotor tersembunyi dalam hati. Hal tersebut memang tidak bisa dibaca oleh orang lain karena tidak tampak. Namun, dampaknya mempengarhui nasibnya di akhir hayat.

Kebalikannya, ahlu maksiat yang memperoleh nikmat husnul khatimah, ada orang yang memiliki karakter atau kebiasaan baik yang tersembunyi. Kebaikan tersebut baru nampak saat ajalnya telah mendekat dan membuatnya berhak mendapatkah akhir yang baik.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Kedua, jenis kebaikan yang mendatangkan husnul khatimah. Akar kata `assalahu yang bermakna membuatnya terpuji dalam hadits di atas, hampir sama dengan kata asal `asal  yang berarti madu.  Madu yang merupakan jenis makanan yang sangat bermanfaat. Jika madu dicampurkan dengan makanan atau minuman lain, membuatnya menjadi berasa manis. Secara tersirat Rasulullah SAW mentamsilkan (memisalkan)  amal shalih tersebut dengan madu untuk menunjukkan jenis amal shalih yang berpahala besar. Manfaat amal tersebut berguna bagi diriya dan orang lain disekitarnya. Oleh karena itu, amal tersebut memperoleh balasan yang besar meski amalnya kecil. Rasulullah SAW bersabda,

 

عَمِلَ قَلِيْلاً وَأُجِرَ كَثِيْرًا

“Beramal sedikit, namun memperoleh pahala yang banyak.” (HR. Bukhari)

Ibnu rajab mengatakan bahwa secara umum, suul khatimah atau khusnul khatimah merupakan buah dari perbuatan yang dilakoni sepanjang hidup. Karena itu, para ulama pada zaman dahulu sangat mengkhawatirkan nasibnya saat sakaratul maut dan mencemaskan akibat perbuatan yang dulu pernah dilakukan. Seorang ulama makkah bernama Abdul Aziz bin Abu Ruwad menceritakan bahwa beliau pernah menjenguk orang yang sedang sekarat. Orang-orang disekitarnya memandunya mengucapkan kalimat tahlil. Namun, kalimat tersebut tak mampu ia ucapkan. Kalimat terakhir yang keluar justru ucapan kekufuran. Abdul Aziz pun menanyakan latar belakang orang tersebut. Menurut orang di ruangan tersebut, pada waktu hidup dia adalah pecandu miras. Sehingga lidahnya menjadi kelu saat tak dapat mengucapkan kalimat tahlil. Oleh sebab itu Abdul Aziz bin Ruwad memberi nasehat, “Berhati-hatilah, karena maksiat menyebabkan suul khatimah.”

Semoga Allah berkenan menjaga ketakwaan kita, menjaga keimanan kita dan menjaga agar hidayah ini tetap menyertai kita hingga akhir hayat.

 

أقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ،  وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ   إِنَّهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

 

Khutbah Kedua

 

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Khutbah Jumat

Materi Khutbah Lainnya: 

Jika Dosa Berbau

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Islam Akan menang Bersama Atau Tanpa Kita

 

 

 

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Alhamdulillah, kalimat pujian dan syukur kembali kita panjatkan kepada Allah atas limpahan nikmat dan hidayah-Nya. Terutama nikmat iman dan Islam yang merupakan karunia terbesar yang diperoleh ummat manusia. OIeh karena itu, sudah selayaknya kita menjadi hamba yang bersyukur dengan selalu menggunakan potensi yang kita miliki untuk menjadi hamba yang selalu taat kepada-Nya.

Kemudian, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para shahabat serta ummatnya yang selalu berpegang teguh dengan ajarannya.

Tak lupa khatib mewasiatkan untuk para jamaah, marilah kita selalu meningkatkan takwa kepada Allah. Sebab, bekal terbaik untuk kehidupan dunia dan akherat ternyata bukan banyaknya materi. Tapi, bekal terbaik adalah takwa kepada Allah. Adapun gambaran orang bertakwa adalah seperti orang yang melewati jalan penuh lubang dan duri. Ia pasti berhati-hati. Begitu pula hidup di dunia ini yang penuh jebakan maksiat dan dosa. Kita harus berhati-hati melangkah agar tidak terperosok ke lubang kemaksiatan.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Langkah awal untuk mendirikan sebuah bangunan adalah memasang pondasi yang kokoh lagi kuat. Agar bangunan yang berada di atasnya bisa lebih langgeng, lestari dan tak mudah goyah oleh terpaan angin, tidak pula roboh karena terkikis air di sekitarnya.

Begitupula dengan bangunan yang bersifat non fisik. Semua akan baik dan lestari ketika dibangun di atas pondasi yang kuat. Baik berupa bangunan rumah tangga, komunitas, aturan masyarakat, maupun lembaga dakwah dan perjuangan.

Allah berfirman,

 

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَبِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka Apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan Dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim.” (QS. at-Taubah: 109)

Meskipun ayat ini terkait dengan masjid dhirar yang dibangun untuk memecah belah kaum muslimin, namun lafazh ayat ini menunjukkan keumumannya. Sehingga Imam al-Qurthubi menafsirkan, “Ayat ini menjadi dalil, bahwa segala sesuatu yang didasari takwa kepada Allah dan mengharap wajah-Nya, itulah yang akan membuat langgeng, pemiliknya berbahagia dan akan diangkat sebagai pahala di sisi Allah.”

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Dalam berkeluarga misalnya. Ketika rumah tangga dibangun dengan pondasi takwa, niscaya menjadi bangunan yang elok dan kokoh, indah dan lestari. Dengan pondasi kuat yang disepakati itu, segala bentuk keindahan dan kebahagiaan makin terjamin kelestariannya. Tak hanya harmonis di dunia semata, keluarga semisal ini bahkan akan terjaga kelanggenggannya hingga di jannah. Allah Ta’ala berfirman,

”(yaitu) jannah ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shalih dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.. (QS. ar-Ra’du: 23)

Ibnu Katsier menjelaskan bahwa, ”Allah mengumpulkan mereka semua, agar menjadi penyejuk mata dan kebahagiaan dengan berkumpulnya mereka dalam satu tempat yang sangat istimewa. Sebagaimana firman Allah,

”Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS. ath-Thuur: 21)

Maksudnya, Kami samakan kedudukan mereka dalam satu tempat, agar menjadi penyejuk mata. Kami tidak memisahkan yang tinggi derajatnya dengan yang rendah derajatnya. Bahkan Kami angkat derajat (anggota keluarga) yang amalnya kurang, lalu Kami samakan dengan yang banyak amalnya, sebagai anugerah dan kenikmatan dari Kami.”

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Adapun keluarga yang dibangun tanpa didasari pondasi takwa, ia seumpama bangunan yang didirikan di tepi jurang, sebentar kemudian akan runtuh dan jatuh beserta seluruh isi dan penghuninya. Baik itu berupa tujuan, kedudukan maupun kecantikan yang tidak disertai takwa. Ia mudah sekali goyah, gampang sekali runtuh dan hanya mampu bertahan ’seumur jagung’. Lihat saja bagaimana rumah tangga para publik figur yang berkiblat pada budaya Barat. Mereka menjadi ikon dalam hal ketampanan dan kecantikan. Dan kekayaan?siapa yang menyangsikan banyaknya kekayaan mereka? Begitupun dengan status sosial dan ketenaran, mereka juga memilikinya. Tapi soal rumah tangga, bukan lagi menjadi rahasia, betapa rumah tangga mereka paling riskan dengan problem dan perceraian.

Karenanya, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاك

”Wanita itu dinikahi karena empat alasan; karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka utamakan agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari)

Harta tanpa takwa, bukanlah pengikat cinta, bukan pula jaminan harmonisnya keluarga. Bahkan sangat berpeluang menjadi pemicu konflik yang tak terjinakkan. Begitupun dengan kedudukan dan kehormatan di mata manusia. Tanpa takwa, dalam sekejap akan berubah menjadi kehinaan. Seperti yang pernah dialami seseorang yang bertanya kepada Sufyan bin Uyainah, ’Wahai, Abu Muhammad (yakni Sufyan), aku adalah lelaki yang paling hina dan rendah di mata isteriku.” Lalu Sufyan mencoba menebak, ”Mungkin, engkau menikahinya demi meraih kedudukan dan kehormatan?” Lelaki itu menjawab, ”Ya, memang benar wahai Abu Muhammad”. Kemudian Sufyan memberikan nasihat, ”Barang siapa berbuat karena ingin mencari kehormatan, niscaya akan diuji dengan kehinaan.”

Tak terkecuali kecantikan. Betapa singkatnya keharmonisan rumah tangga yang hanya dibangun atas dasar keelokan rupa tanpa takwa. Bukankah kecantikan fisik seorang wanita hanya bertahan sangat sementara? Terkadang, belum lagi kecantikan luntur, musibah telah terjadi lebih awal. Mungkin karena istrinya yang cantik tergoda oleh laki-laki lain, atau setidaknya bertingkah dengan sesuatu yang selalu memantik kecemburuan suami, la haula wa laa quwwata illa billah.

Bila ada kondisi lain, di mana rumah tangga dibangun bukan karena takwa, namun bisa harmoni sampai mati, pun tidak bisa dikatakan lestari dan langgeng. Seperti keharmonisan antara Abu Lahab dan Ummu Jamil, yang seia sekata untuk memusuhi dakwah Nabi. Karena keharmonisan itu hanya bertahan di dunia yang sangat sementara. Adapun di akhirat, hubungan itu akan berubah menjadi permusuhan, tidak ada lagi istilah akur, kompak, apalagi harmoni. Allah Ta’ala berfirman,

”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS az-Zukhruf 67)

Maka jika kita mendambakan rumah tangga yang langgeng lagi berpahala, bangunlah dengan pondasi takwa. Rabbana hablana min azwaajinaa, wu dzurriyaatina qurrata a’yun, waj’alnaa lil muttaqiina imaaman. Aamiin.

 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُهُ

يَغْفِرْلَكُمْ إِنَِّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

Khutbah Kedua

 

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

 

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

 

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

 

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا

يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

Oleh: Redaksi/Khutbah Jumat

 

Jika Dosa Berbau

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, atas nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat dapat membaca firman-firman-Nya yang terangkum dalam al-Quranul Karim. Itulah nikmat terbesar dalam hidup ini. Nikmat paling istimewa karena tanpanya, nikmat yang lain tidak akan berguna.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Juga kepada para shahabat, tabi’in dan orang-orang yang teguh mengikuti sunah Rasulullah sampai hari Kiamat.

Rasulullah senantiasa menasihatkan taqwa dalam setiap khutbahnya.Maka, khatib pun akan mengikuti sunah Beliau dengan menasehatkan wasiat serupa. Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Berusaha menjalankan perintah-perintah-Nya dengan penuh cinta dan tidak  asal gugur kewajiban semata. Berusaha meninggalkan larangan-Nya, juga dengan penuh cinta meski sebenarnya nafsu sangat menginginkannya.

 

Jamaah jumat Rahimakumullah

Selain nikmat Islam dan al Quran, ada satu nikmat besar lagi yang Allah berikan kepada kita yang sering tidak kita sadari. Di dalam surat Luqman ayat 20 Allah berfirman,

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّـهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…. (QS. Luqman:20)

Imam adh Dhahak, seorang pakar tafsir pada masa Tabi’in menjelaskan, maksud nikmat yang sifatnya lahiriyah adalah al-Islam dan al-Quran. Adapun nikmat yang sifatnya bathiniyah adalah Allah telah tutupi aib-aib kita. (Kitab Makarimal Akhlaq: 488)

Nikmat terbesar itu adalah ditutupinya aib-aib kita. Apa aib-aib itu? penyakit kulit yang memalukan? penyakit ayan? Kemandulan? Bukan! Penyakit-penyakit itu bisa jadi merupakan aib bagi kita tapi kita tidak perlu malu mengidapnya. Mengapa? Karena penyakit itu pemberian Allah. Lantas apa aib-aib memalukan yang Allah tutupi itu? Bukan lain adalah dosa-dosa kita. Dosa-dosa yang kita perbuat, tapi Allah tutupi dari pandangan manusia.

Dengan apa Allah menutupi dosa-dosa kita? Yaitu dengan mewujudkan dosa dalam bentuk abstrak; tidak berwujud, tidak berbau, tidak terasa, namun kita sebagai orang beriman yakin bahwa dosa itu ada. Catatan-catatan kesalahan dan kemaksiatan itu benar-benar nyata. Berada dalam genggaman malaikat-malaikat yang telah Allah perintahkan mengawasi kita saban hari. Raqib dan Atid.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Bayangkan jika dosa itu berwujud. Taruhlah wujudnya berupa titik hitam pada organ manusia yang melakukan dosa. Sekali melakukan ghibah, misalnya, ada titik hitam di lidah. Sekali mata melihat maksiat, ada titik hitam pada area mata. Sekali tangan melakukan kemungkaran, ada titik hitam pada pergelangan. Dengan frekuensi dosa dan kesalahan yang kita lakukan, dalam kurun waktu lima tahun, barangkali tubuh kita sudah lebih hitam daripada kulit orang-orang Negro. Legam dipenuhi tanda dosa dan kesalahan.

Bayangkan pula jika dosa itu mewujud dalam bentuk bau. Sekali mulut mengucap kata keji, bau menyengat menyertai nafas. Sekali tangan melakukan kezhaliman, bau tak sedap keluar dari telapak tangan. Dan sekali telinga digunakan mendengar kemaksiatan, bau busuk keluar dari lobang telinga hingga tercium oleh siapa saja di dekatnya. Sebagai manusia awam yang sering kalah oleh nafsu, mungkin saat ini kita sudah jauh lebih bau daripada penampung kotoran.

Dan terakhir, jika dosa Allah wujudkan sebagai rasa sakit, subhanallah, entah sudah seperti apa jasad kita saat ini. Sekali saja hati bersuudzan kepada Allah, jantung terkena penyakit. Sekali saja kaki melangkah menuju tempat maksiat, rasa pegal, nyeri atau apapun bentuk rasa sakitnya segera menyerang daerah kaki. Demikian pula anggota badan yang lain. Dan saat kita menapaki umur yang mulai uzur, sementara taubat kita terus saja mundur, entah akan seperti apa raga kita akibat terpaan rasa sakit akibat dosa dan kesalahan yang kita lakukan.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Memang, di satu sisi, tidak berwujudnya dosa justru melenakan jiwa. Kita jadi sering tidak sadar setelah melakukan dosa bahkan ketika dosa kita sudah sebanyak air di samudra. Namun di sisi lain, sebagai makhluk yang tidak bisa lepas dari dosa, salah dan lupa, tentu nikmat ini adalah nikmat yang besar bagi kita. Sebuah karunia yang nyata adanya, meski wujudnya adalah ketiadaan.

Nikmat ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Meskipun dosa telah tercatat, tapi masih ada taubat. Masih ada waktu untuk memperbaiki yang telah lalu. Masih ada maaf dan ampunan yang dapat menghapuskan kesalahan. Allah tidak serta merta memberikan hukuman atas segala kesalahan, tidak pula serta merta mengazab setiap perbuatan biadab. Allah wujudkan dosa hanya dalam sebuah catatan. Itupun hanyalah catatan yang sangat rapuh karena dapat segera luruh hanya dengan sekelumit istighfar dalam taubat yang utuh. Dapat terkikis habis hanya dengan penyesalan dan senggukan tangis, dan dapat musnah bahkan terganti dengan catatan kebaikan, jika diiringi taubat nasuha dan iringan iman juga amal keshalihan.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Oleh karena Allah telah menutupi dosa kita, maka janganlah kita beberkan dosa-dosa kita di hadapan manusia. Satu hal yang paling Alalh murkai adalah ketika manusia membeberkan perbuatan dosanya, padahal Allah telah menutupinya.

Rasulullah bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan mujaharah (yaitu melakukan dosa terang-terangan).” (HR. Bukhari)

Dan celakanya, di masa ini, tidak sedikit orang tidak sadar telah melakukan Mujaharah (melakukan dosa terangan-terangan) dengan mengunggah perbuatan dosanya di media sosial. Ada muda-mudi yang mengunggah foto pacaran mereka, mengunggah foto saat minum minuman keras, mengunggah foto mesum, status atau tulisan yang berisi fitnah dan ghibah, dan lain sebagainya. Naudzubillah, semua itu sama saja dengan mempertontonkan dosa di hadapan manusia di dunia nyata. Itu mujaharah dosa, dan itu sangat dimurkai oleh Allah. Semoga Allah menghindarkan kita dari perbuatan semacam ini.

Sebagai akhir dari khutbah ini, marilah kita tambah rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya. Berusaha mengurangi kesalahan dan dosa dengan memohon ampunan dan melaukan amal kebaikan. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang senantiasa mampu bertaubat dan beristighfar atas setiap dosa yang kita lakukan. Dan semoga pula, Allah senantiasa menutupi dosa-dosa kita lalu berkenan mengampuninya. Aamiin ya Rabbal ‘alamin. 

 

Oleh: Taufik Anwar 

 

Khutbah Lainnya: Belajar Syukur dari Lelaki Buntung, Agar Iman Tak Goyah Di Zaman Fitnah

Waktu Mustajab di Hari Jum’at

Pertanyaan :

Apakah penghujung waktu Ashar pada hari Jum’at merupakan waktu mustajab? Dan apakah seorang Muslim diharuskan berada di masjid saat itu dan wanita diharuskan berada di rumah?

 

Jawab :

Pendapat yang paling kuat tentang waktu mustajab pada hari Jum’at ada dua:

Pertama; Waktu tersebut adalah setelah Ashar hingga terbenamnya matahari bagi orang yang duduk menunggu tibanya shalat maghrib, baik di masjid ataupun di rumah dengan berdoa kepada Allah, baik laki-laki maupun perempuan. Inilah saat yang paling dekat untuk diperkenankan. Tapi bagi laki-laki tidak boleh shalat Mahgrib atau shalat lainnya di rumah, kecuali karena udzur yang dibenarkan syari’at, sebagaimana yang telah diketahui dari dalil-dalil syari’at.

Dari Jabir bin Abdullah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda; “Hari jum’at itu dua belas -maksudnya jam- dan tidak di dapati seorang muslim pun yang meminta kepada Allah kecuali Allah ta’ala akan mengabulkannya, maka bersegeralah untuk mendapatkannya pada waktu-waktu akhir setelah Ashar.”(HR. Abu Daud, dishahihkan Al Albany)

 

Kedua; Waktu tersebut adalah dari saat duduknya imam/khatib di atas mimbar untuk menyampaikan khutbah Jum’at hingga selesainya pelaksanaan shalat Jum’at. Doa di dua waktu ini lebih dekat untuk dikabulkan.

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membicarakan perihal hari Jum’at. Beliau mengatakan: “Pada hari Jum’at itu ada satu waktu, tidaklah seorang hamba Muslim mengerjakan shalat lalu dia berdo’a tepat pada saat tersebut melainkan Allah akan mengabulkan do’anya tersebut.” Kemudian beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya saat tersebut”. (HR. Bukhari)

Kedua waktu tersebut merupakan waktu yang paling mustajab pada hari Jum’at, keduanya berdasarkan hadits-hadits shahih yang menunjukkannya. Selain itu, perlu kiranya mengusahakan saat mustajab tersebut pada waktu-waktu lainnya, karena karunia Allah itu sangat luas.

Adapun waktu-waktu mustajab dalam shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah adalah ketika sujud, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Keadaan seorang hamba yang paling dekat dari Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca al-Qur’an dalam keadaan rukuk atau sujud. Adapun rukuk maka agungkanlah Rabb azza wajalla, sedangkan sujud, maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa, sehingga layak dikabulkan untukmu.” (HR. Muslim)

(dari Fatawa Syaikh Ibnu Bazz) dinukil dari Fatwa-Fatwa Terkini jilid 1 hal 224-225, Darul Haq,dengan sedikit tambahan dalil).