Sayang Anak, Antara Tabiat dan Ujian

Anak adalah anugerah sekaligus amanah yang Allah hibahkan kepada orangtua. Keberadaan anak sangat dinanti-nantikan oleh orangtua sebagai penyempurna kebahagiaan dalam keluarga. Sudah lumrah ketika orangtua itu mencintai dan menyanyangi anaknya. Buah hati termasuk di antara deretan perhiasan dunia sebagaimana firman Allah Ta’ala,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّـهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ ﴿١٤

“Dijadikan indah pada pandangan (manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali-Imran: 14)

Sebagai perhiasan dunia, keberadaan anak juga sekaligus menjadi ujian bagi orangtuanya. Kecintaan orangtua kepada anaknya pun akan dinilai kadar, sebab maupun bagaimana cara orangtua menyanyangi anaknya.

Dengan cinta yang benar, maka anak bisa menjadi penyejuk pandangan mata orangtua, sebagaimana cita-cita seorang muslim yang tersirat dalam doa,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا ﴿٧٤

“Wahai Tuhan kami, anugerahkan kepada kami pasangan kami dan anak keturunan kami sebagai penenang hati.” (QS. al-Furqon: 74)

Imam Hasan al-bashri ketika ditanya makna penyejuk pandangan mata dalam ayat ini beliau berkata, “Yakni ketika Allah memperlihatkan kepada hamba-Nya yang muslim di mana istri, saudara dan anaknya dalam keadaan taat kepada Allah.

Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim melebihi ketika ia melihat anaknya, cucunya, saudaranya atau istrinya mentaati Allah Azza wa Jalla.”

Anak bisa menjadi ‘mesin produksi’ pahala bagi orangtuanya. Yakni ketika orangtua mendidik anaknya dengan keshalihan, maka orangtua yang mendidiknya mendapatkan pahala setiap amal shalih yang dikerjakan anaknya. Sebagimana ia juga mendapat keberuntungan doa yang dipanjatkan anak yang shalih untuk orangtuanya.

Bahkan karenanya, orangtua diangkat derajatnya di jannah kelak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

إنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي اْلجَنَّةِ, فَيَقُوْلُ: أنَّي لِي هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, maka ia berkata,”Dari manakah balasan ini?” Dikatakan,” Dari sebab istighfar anakmu kepadamu”. (HR. Ibnu majah dan Ahmad)

Begitu pula orangtua akan dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan anaknya, di tempat paling tinggi levelnya di antara mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ ﴿٢١

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS Ath Thur:21).

Mereka akan disatukan di level yang sama, sedangkan Allah berjanji tak akan mengurangi sedikitpun keutamaan mereka, maka mereka ditempatkan di level tertinggi yang diraih dalam anggota keluarga, sebagaiman pendapat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.

Begitulah ketika orang tua mencintai anaknya dengan tulus dan benar, ia menjadi anugerah dan pahala bagi orangtua. Akan tetapi, ia juga bisa menjadi sumber petaka dan musuh bagi orang tua. Cara mencintai yang salah, bisa memposisikan anak sebagai musuh yang akan mencelakakan orangtuanya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (QS. ath-Thagabun 14).

Menjadi musuh yang dimaksud bukan berarti bermusuhan atau saling berhadadapan untuk saling mencelakakan secara fisik. Bisa jadi keduanya sejalan dalam kebiasaan dan kesenangan. Tetapi
maksudnya ketika anak membujuk, mengajak atau meminta kepada orangtuanya untuk memberikan fasilitas kemaksiatan, maka dalam kondisi seperti ini, anak adalah layaknya musuh yang mencelakakan orangtuanya. Bukankah banyak di antara orangtua gemar memperturutkan setiap keinginan anak dengan alasan sayang, padahal apa yang diminta itu sesuatu yang merusak agamanya.

Allah Ta’ala juga mengingatkan agar anak-anak tidak melalaikan kita dari mengingat-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّـهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ ﴿٩

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.” (QS. al-Munafiqun: 9)

Walhasil, anak adalah aset bagi orangtua. Lantas orangtua memiliki obsesi yang berbeda bagi anak-anaknya. Ada yang menginginkan anaknya kelak menjadi orang kaya, ini yang menjadi prioritasnya.
Padahal, belum tentu ketika kelak anaknya menjadi orang kaya orangtua masih hidup. Atau taruhlah ketika orangtua masih hidup saat anaknya menjadi orang kaya, tanpa didikan takwa maka anak takkan berbakti kepadanya.

Begitupun dengan orang yang berambisi anaknya menjadi pejabat. Belum tentu orangtua masih hidup saat anaknya menjadi pejabat. Atau kalaupun masih hidup, belum tentu anaknya berbakti dan memuliakan orangtua.

Maka rasa cinta kepada anak seharusnya mengarahkan buah hati tersebut kepada keshalihan, sebagaimana doa Nabi Ibrahim, “Rabbi habli minash shaalihin, Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku seorang putera yang shalih.”

Keshalihan anak secara otomatis mengundang pertolongan Allah kepadanya. Sebagaimana janji Allah Ta’ala, “wahuwa yatawallash shaalihin, dan Dia Allah menolong orang-orang yang shalih.” (QS. al-A‘raf: 196)

Wallahu a’lam.

 

Oleh: Redaksi/Keluarga

Bijak Mengelola Harta ala Istri Shalihah

[bs-quote quote=”“Kini, kau tlah jadi milikku dan aku telah menjadi milikmu. Semoga jiwa dan raga kita menyatu selamanya dalam cinta di bawah naungan-Nya…”.” style=”style-4″ align=”left” color=”#2677bf”][/bs-quote]

Sah-sah saja mengungkapkan kalimat mesra di samping setelah ijab-qobul dinyatakan. Setelah menikah, istri memang menjadi milik suami, begitupun sebaliknya. Keduanya disatukan oleh sebuah ikatan yang kuat, mitsaqan ghalidza. Sebuah ikatan yang menghalalkan jiwa dan raga masing-masing untuk pasangannya.

Cinta, kasih dan perhatian harus menyatu untuk menyongsong masa depan. Hanya saja, ikatan nikah bukanlah akad yang melebur hak kepemilikan atas suatu harta. MOU dalam nikah hanya mengikat suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri serta mu’asyarah bil ma’ruf, dan istri menaati suami dalam hal yang ma’ruf. Artinya, status kepemilikan harta masing-masing tidak lantas sama sekali melebur; milikku jadi milikkmu dan milikmu jadi milikku. Perpindahan tangan atas hak milik suatu harta disyaratkan adanya kerelaan dari pemiliknya atau ketentuan lain.

Allah berfirman;

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka.” (QS. al Baqarah: 229)

فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya.” (QS. an Nisa’: 4).

Ayat ini menegaskan bahwa istri berhak atas hartanya sendiri. Dalam ayat ini, harta tersebut berupa mahar yang diterimanya dari suami. Harta mahar itu mutlak menjadi miliknya. Demikian pula harta yang ia terima sebagai nafkah dari suami, atau harta warisan dari orangtuanya, atau ia peroleh dari bekerja.

Syaikh asy -Syinqithi menjelaskan bahwa harta wanita adalah miliknya pribadi. Ia berhak mengelolanya sesuai keinginan. Suami tidak berhak turut campur apalagi mengambil paksa. Sebab ada beberapa kasus, suami mengambil paksa semua harta istri yang diperoleh dari usahanya. Ini jika istri mampu mengelola hartanya dengan benar; tidak boros dan dihambur-hamburkan. Adapun jika istri tidak rasyidah (bijak) dalam mengelola hartanya, suami berhak ikut mengendalikan. Dasarnya adalah ayat 4 surat an nisa’. (Syarhul Mustaqni’ li Syinqithi VII/311).

Pun demikian pula harta suami. Selain harta yang diberikan kepada istri sebagai nafkah, hak milik suatu benda yang dibeli suami tetap menjadi miliknya. Istri tidak berhak mengambil alih hak kepemilikannya tanpa seijin suami. Kecuali jika suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga, barulah istri berhak mengambilnya, bahkan meski dengan cara mengambil diam-diam. Seperti istri Abu Sufyan yang sampai harus mencuri harta suaminya karena saking pelitnya sang suami, pada saat itu, untuk mencukupi kebutuhannya. Disebutkan dalam hadits;

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ هِنْدٌ أُمُّ مُعَاوِيَةَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ ، فَهَلْ عَلَىَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ سِرًّا قَالَ « خُذِى أَنْتِ وَبَنُوكِ مَا يَكْفِيكِ بِالْمَعْرُوفِ

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Hindun Ibu Muawiyah berkata kepada Rasulullah, “Abu Sufyan itu orangnya sangat pelit. Bolehkah saya mengambil hartanya diam-diam? “ Rasulullah bersabda, “ Ambillah yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu dengan ma’ruf.” (HR. Bukhari)

(Ma’ruf artinya kadar harta yang diambil cukup untuk menutupi kebutuhan menurut standar umumnya orang).

Jadi, istri berhak atas hartanya, suami juga berhak atas segala yang dimilikinya. Pemahaman mengenai hak harta ini sangat diperlukan agar jangan sampai terjadi kezhaliman. Misalnya suami menganggap bahwa harta istrinya adalah miliknya. Ia pun mengambil dan menggunakannya tanpa ijin tanpa memedulikan isteirnya. Menurut Syaikh asy-Syinqiti dalam lanjutan keterangan ayat di atas, perbuatan suami tersebut termasuk “aklu amwalin nas bil bathil” memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Atau sebaliknya, merasa sudah mendapat ijin dari Rasulullah, istri seenaknya saja menggunakan dan mengakuisisi harta suami, padahal semua kebutuhannya telah dicukupi. Semua ini dilarang. Namun begitu, jika suami atau istri ‘mencuri’ harta dari istri atau suaminya, tidak lantas dikenai had potong tangan meskipun jumlahnya mencapai nishab had.

Oleh karenanya, idealnya memang harus ada pembagian yang jelas antara nafkah untuk istri pribadi, hal mana harta tersebut akan menjadi miliknya, dengan anggaran untuk kebutuhan keluarga. Fungsinya agar istri benar-benar nyaman ketika hendak menggunakan suatu harta untuk keperluan pribadinya. Misalnya memberi uang saku untuk anak saudaranya atau bersedekah. Bukankah wanita disuruh banyak-banyak sedekah? Rasulullah bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ ، فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ

“Wahai para wanita, bersedekahlah karena aku lihat kalian menjadi mayoritas penduduk neraka.” (HR. Bukhari )

Jadi, para istri berhak meminta nafkah kepada suami dan menggunakannya sesuai keinginannya dengan baik. Kalaupun toh pada akhirnya uang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ya, memang seperti itulah yang dianjurkan. Bukankah orang yang paling berhak menerima sedekah seorang istri adalah suami dan anak-anaknya?

Dalam lanjutan hadits di atas dikisahkan bahwa setelah bersabda demikian, Zainab, istri Ibnu Mas’ud menemui rasulullah dan berkata, “ Wahai Nabi Allah, hari ini Engkau memerintahkan sedekah, saya punya perhiasan dan saya ingin menyedekahkannya. Tapi Ibnu Mas’ud mengklaim bahwa Dia dan anak-anaknyalah yang paling berhak atas sedekah saya.” Rasulullah bersabda, “ Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anak-anakmu adalah orang yang peling berhak menerima sedekahmu.”

Jadi meskipun harta tersebut kembali lagi untuk keluarga, para istri bisa mendapat pahala sedekah. Benefitnya jadi berlipat; kebutuhan keluarga tercukupi, istri mendapat pahala sedekah dari Allah. Wallahua’lam.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Keluarga

 

Suami, Tunaikan Hak Istri Agar tak Merasa Dieksploitasi

Wanita-wanita shalihah adalah pemimpin rumah tangga suami-suami mereka. Merekalah para penjaga benteng keluarga dari unsur-unsur perusaknya, agar tidak menerobos masuk dan menghancurkannya tanpa sisa. Mereka bukan hanya menyuapkan makanan dan memberikan ASI sebagai minuman anak-anak. Namun, juga menyuapkan santapan iman dan memberi minuman berwujud prinsip-prinsip mulia yang barakah. Mereka perdengarkan untaian dzikir dan shalawat kepada Rasulullah agar ketakwaan menghunjam ke dalam dada seluruh anggota keluarga, dan agar kecintaan kepada Islam semakin mengkristal dari hari ke hari.

Karenanya, mereka haruslah wanita cerdas, pandai, terampil dan bertakwa kepada Allah. Dari para wanita shalihah inilah akan lahir generasi pembangun masyarakat menuju kebaikan dan kekuatan, atau suami-suami yang menemukan surga dunia. Dan terbentuklah pondasi bangunan komunitas masyarakat muslim. Keterlibatan wanita dalam proses pendidikan anak-anak dan pelayanan terhadap suami, setara dengan Jihad kaum laki-laki di medan perang dan Shalat di masjid. Sebuah karir yang akan mengangkat mereka menuju derajat yang tinggi dan mulia di sisi Allah, dan menempatkan mereka di barisan wanita-wanita agung sepanjang sejarah peradaban manusia.

Baca Juga: Untukmu Muslimah, Agar Berhiasmu Bernilai Ibadah

Tugas menjadi ibu dan istri ini sangatlah berat. Dan karenanya itulah, di samping kewajiban-kewajiban yang mereka kerjakan, mereka pun memiliki sejumlah hak yang harus mereka peroleh. Bukan saja agar mereka tidak merasa dieksploitasi, namun juga sebagai alat bantu agar pekerjaan mereka tidak terasa memberatkan, di samping sebagai bentuk penghargaan Islam untuk mereka. Allah berfirman,

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang makruf”. (QS Al Baqarah; 228)

Tegasnya, ayat ini merupakan petunjuk bagi para suami bagaimana mereka menyeimbangan antara tuntutan yang mereka ajukan kepada para istri dan kewajiban yang harus mereka tunaikan. Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya aku berhias untuk istriku, sebagaimana dia berhias untukku”.

Berikut ini hak istri yang harus dipenuhi:

  1. Hak Mendapat Bimbingan

Karena setiap aktifitas seorang muslim hakikatnya adalah ibadah, maka para istripun berhak mendapatkan bantuan guna menjaga kualitas ibadah dan ketakwaan mereka. Para suami berkewajiban membimbing dengan mengajarkan agama Islam agar mereka terhindar dari mengerjakan kedurhakaan kepada Allah Subhanaahu Wa Ta’ala. Atau memberi kesempatan kepada mereka untuk menghadiri majelis-majelis ilmu selama terjaga dari fitnah dalam ilmu-ilmu yang tidak dimampui para suami.

Termasuk di dalamnya adalah kewajiban menjaga kualitas ibadah istri dan anak-anak. Seperti membimbing mereka untuk menegakkan shalat, puasa, juga akhlak-akhlak islami dan ibadah-ibadah yang lain. Allah berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu…”. (QS. At Tahrim: 6)

Menurut Muqatil, peliharalah diri kalian adalah keharusan mendidik diri dan keluarga dengan cara memerintahkan mereka mengerjakan kebaikan dan melarang mereka berbuat kejahatan. Sdn Imam Ali bin Abi Thalib menjelaskannya dengan, “Ajarkan kebaikan kepada diri dan keluarga kalian”.

  1. Hak diperlakukan Secara Makruf

Allah berfirman,

“Dan pergaulilah mereka secara makruf”. (QS. An Nisaa’: 19)

Wujudnya adalah memperlakukan mereka dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka secara patut menurut ukuran yang wajar, dan pada batas-batas syariat. Seperti memberi mereka makan seperti apa yang di makan para suami. Demikian pula dalam hal minum, pakaian dan tempat tinggal. Tentu saja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki para suami itu sendiri.

Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dab Ibnu Majah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam pernah ditanya tentang hak istri dari suaminya oleh seorang shahabat. Kemudian beliau menjawab,

“Engkau memberinya makan jika engkau makan. Engkau memberinya baju jika engkau berpakaian. Dan janganlah engkau memukul wajah, jangan menghinakannya dan jangan memisahkannya kecuali di dalam rumah”.

Termasuk di dalamnya adalah segera pulang ke rumah setelah shalat Isya’ apabila tidak ada keperluan yang sangat penting, agar mereka tidak cemas, dan melahirkan kecemburuan.

  1. Hak Mendapat Penjagaan

Karena para suami adalah pemimpin bagi para istri, maka mereka bertanggung jawab dalam menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka, dengan mewaspadai hal-hal yang bisa merendahkan dan menodai martabat mereka. Para suami harus melarang istri-istri mereka untuk berhias ala jahiliyah dan bergaul dengan selain mahram. Para suami juga harus memiliki kecemburuan atas istri-istri mereka sebagai bukti kepedulian mereka atas kehormatan para istri. Bukan malah bangga ketika istri-istri mereka dipuji kecantikan dan kemolekan mereka.

Termasuk di dalamnya adalah penjagaan atas aib mereka dengan tidak membeberkannya kepada khalayak ramai, baik fisik maupun akhlak. Sedang untuk urusan ranjang, larangan dari Rasulullah lebih tegas lagi. Sebab itu seperti setan laki-laki yang bersetubuh dengan setan perempuan di jalan dan dilihat orang lain.

  1. Hak Mendapatkan Maaf

Para wanita adalah manusia biasa yang kadang salah dan lupa. Mereka kadang juga memiliki kemampuan menunaikan sesuatu kewajiban yang tidak sesuai dengan keinginan para suami. Karenanya terlarang para suami mencari-cari kesalahan dan kekurangan istri-istri mereka, karena pasti akan mereka dapatkan. Namun akan lebih baik mencari kelebihan-kelebihan dan kebaikan mereka, ridha terhadap semua itu dengan berusaha membantu dan memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan kemampuan, serta tidak mempersulit memberi maaf kepada mereka jika ada hal-hal yang mengecewakan.

Sabda Rasulullah di dalam hadits riwayat Muslim,

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ada satu akhlak yang tidak disenanginya, maka bisa jadi ada (akhlak) yang lain yang diridhainya”.

Bukan hanya menahan diri dari perilaku tidak terpuji kepada mereka, namun juga bersabar atas gangguan, kekeliruan dan kemarahan mereka.

  1. Hak diperlakukan dengan Adil

Ini apabila seorang suami memiliki lebih dari satu istri. Keadilan di antara para madu adalah dalam pemberian makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan giliran bermalam. Condong kepada salah satu di antara mereka adalah perilaku sewenang-wenag, tidak adil dan haram hukumnya di sisi Allah Subhanaahu Wa Ta’ala. Rasulullah bersabda di dal hadits riwayat At Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan  An Nasaai,

“Barangsiapa memiliki dua istri sedang dia lebih condong kepada salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan miring separuh tubuhnya”.

Alangkah indahnya jika masing-masing pihak yang bersekutu dalam membangun sebuah keluarga muslim mengetahui dan menunaikan kewajiban mereka. Tidak hanya saling menuntut dan menyalahkan, tapi mampu melihat kekurangan diri dan mengalah jika da hal-hal yang belum memuaskannya. Para suami harus thu bahwa mereka adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungan jawab di hadapan Allah. Juga bahwa para istri ternyata memiliki serangkaian hak yang seimbang dengan kewajiban mereka. Dan itu berarti kewajiban bagi para suami.

Baca Juga:Istri Shalihah pendukung Dakwah

Rasulullah bersabda dalam hadits riwayat At Tirmidzi dan Ibnu Majah,

“Ketahuilah, sesungguhnya kalian memiliki hak atas istri-istri kalian, dan mereka pun memiliki hak atas kalian”.

Bagaimana seorang suami bersikap di dalam rumah tangganya, sesungguhnya menunjukkan kualitas imannya. Tengok saja sabda Rasulullah di dalam sebuah hadits riwayat At Tirmidzi,

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istri mereka”.

Wallahu A’lam.

Oleh: Redaksi/Keluarga Islami

Tips Meraup Pahala Sambil Memasak

Bagi seorang istri dan seorang ibu, masak adalah tuntutan dan bisa dibilang lumrahnya seorang wanita. Karenanya, waktu dan tenaganya banyak dihabiskan di dapur untuk memasak dan menyiapkan hidangan untuk keluarga. Nah, bagaimana agar kegiatan memasak tersebut bisa dimanfaatkan untuk meraup pahala? Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan di dapur.

  • Meniatkan karena Allah

Niat merupakan hal mendasar dari setiap amal, termasuk saat memasak. Bila diniatkan untuk ibadah maka kegiatan tersebut akan bernilai pahala, sementara bila niatnya tidak benar tidak ada imbalan yang diperoleh. Gabungkan beberapa niat saat memasak sehingga kita juga akan mendapat pahala yang berlipat. Niatkan memasak untuk melayani suami dan memberikan hak pada anak-anak. Memasak juga bisa diniatkan untuk mengasah keterampilan dan meningkatkan kualitas seorang wanita.

Ingat, sabda Rasulullah, “Sesungguhnya amal itu tergantung niat dan setiap orang akan mendapat pahala sesuai yang diniatkan.” (HR. Bukhari).

  • Ibadah sembari memasak

Ada beberapa amalan ibadah yang bisa dilakukan sambil memasak. Di antaranya,

  • Mendengarkan murotal Al-Qur’an atau kajian keislaman saat berada di dapur.

Saat ini sangat mudah untuk mendapatkan alat pemutar murotal al-Qur’an atau kajian keislaman, diantaranya dengan menggunakan HP. Kita bisa memutar langsung dari internet atau mendownload beberapa murotal syaikh atau memilih satu yang paling kita sukai dan juga kajian islam dari para asatidz. Yang perlu diperhatikan jangan letakkan Hp terlalu dekat dekat dengan kompor.

  • Murojaah hafalan Al-Qur’an.

Sambil memasak kita bisa menghafal dan memurajaah ayat-ayat Al-Qur’an yang coba kita hafalkan dengan melafalkalnya secara keras atau di dalam hati.

  • Dzikir dan istighfar

Ada beberapa bacaan yang layak dibaca berulang-ulang disela-sela pekerjanan di antaranya mengucapkan subhanallah, lailaha illallah, Allah Akbar, astagfirullah. Hendaknya lisan kita senantiasa basah dengan zikir kepada Allah Ta’ala. Dengan begitu, kita aka mendapatkan pahala yang agung melalui sedikit ucapan yang kita lakukan.

Rasulullah bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

”Setiap pagi, seluruh persendian tulang kalian hendaknya melakukan shadaqah; setiap tasbih(subhanallah) adalah shadaqah, setiap tahmid (alhamdulillah) adalah shadaqah, setiap tahlil (lailaha illallah) adalah shadaqah, setiap takbir (Allahu Akbar) adalah shadaqah, menyuruh berbuat kebaikan adalah shadaqah, melarang melakukan kemunkaran adalah shadaqah. Dan dua rakaat yang dia lakukan pada shalat Dhuha dapat menggantikan itu (semua).”  (HR. Muslim, no. 720)

Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Dua kata yang ringan di lisan, berat di timbangan dan dicintai oleh Ar-Rahman (Allah), adalah,

 سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

“Maha suci Allah dan dengan (segala) pujian-Nya, Maha suci Allah yang Maha Agung” (HR. Bukhari, no. 6682, dan Muslim, no. 2694)

Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Barangsiapa mengucapkan,

 سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ

“Maha suci Allah yang Maha Agung dan dengan segala pujianNya” maka ditanamkan pohon kurma baginya di surga.” (HR. Tirmidzi, no. 3465, dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Tirmizi)

Sabda beliau sallallahu ’alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mengucapkan

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

“Saya memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung yang tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri dan saya bertaubat kepadaNya”, maka dia akan diampuni meskipun lari dari (medan) perang.” (HR. Abu Daud, no. 1517, Tirmizi, no. 3577 dan dishahihkan oleh Al-Albany dalama shahih Abu Daud)

Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi: “Setiap kali seorang muslim di atas bumi ini berdoa kepada Allah dengan suatu doa, niscaya Allah akan mengabulkannya, atau (jika tidak) dia akan dijauhkan dari keburukan yang setara dengannya, selama dia tidak berdoa untuk perkara dosa atau memutus  silaturrahim. Ada seseorang dari kaum berkata: “Kalau begitu kita akan perbanyak (berdoa).” Beliau menjawab: “Allah lebih banyak (mengabulkan doanya).” (HR. Tirmizi, no. 3573, dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Tirmizi).

Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Jika kalian mendengar muazin (orang  yang mengumandangkan adzan) maka ucapkan seperti yang dia ucapkan. Kemudian hendaklah kalian bershalawat kepadaku. Karena siapa yang bershalawat kepadaku satu shalawat, Allah akan memberinya shalawat (rahmat) kepadanya sebanyak sepuluh kali. Kemudian mintalah kepada Allah al-wasilah untuk diriku. Karena dia adalah kedudukan di surga yang tidak diperuntukkan melainkan untuk seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Dan aku berharap orang itu adalah diriku. Barangsiapa memohon (kepada Allah) al-wasilah untukku, maka dia berhak mendapatkan syafaat(ku).” (HR. Muslim, no. 384)

Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Siapa yang mengucapkan (doa) setelah adzan:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ

(Ya Allah,Tuhan pemilik doa yang sempurna ini. Dan shalat yang akan ditunaikan. Berikanlah kepada Muhammad al-wasilah dan fadhilah (keutamaan). Dan bangkitkanlah dia ke tempat yang terpuji  yang telah Engkau janjikan). Maka dia berhak mendapatkan syafaatku (nanti) di hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 614).

Selain amalan tersebut tak ada salahnya bersedekah dengan memberikan sebagian hidangan tersebut kepada orang-orang terdekat (kerabat atau tetangga), meskipun hanya kuahnya saja.  Sebagaimana Nabi menganjurkan ketika seseorang memasak agar memperbanyak kuahnya dan bisa dibagi-bagikan kepada saudara dan tetangga yang dekat. Wallahu a’lam

Oleh: Ust. Muhtadawan Bahri/Motivasi

Ayah Ideologis, Tak Skeptis Menghadapi Krisis

Banyak di antara kita, para ayah, yang akhir-akhir ini bermuka masam. Nilai tukar dollar naik, imbasnya harga sembako melambung, kebutuhan meningkat, namun uang semakin tipis saja yang tertinggal di kantong. Boro-boro menyisihkannya untuk ditabung, hidup sederhana saja terasa demikian sulit. Bayangan masa depan yang suram, sulit, dan lesu telah menjadi trauma bagi mereka. Merosostnya ekonomi nampaknya menjadi kambing hitam yang dituding menjadi biang penyebab masalah. Benarkah krisis ini serupa monster mengerikan yang akan melumat kita bulat-bulat?

Seperti kehilangan akidah, banyak yang sedih, murung, stress, skeptis hingga depresi menghadapi hari-hari. Hingga kita lupa bahwa Allah-lah yang menjadi penentu segalanya, bukan asing dan aseng, merosotnya rupiah, atau apapun nama makhluk yang bisa kita sebut. Padahal, Sang Mahakaya yang memiliki seluruh perbendaharaan yang ada, bahkan dalam semua yang tidak pernah kita duga, telah menjamin rezeki bagi seluruh makhluk-Nya yang melata. Lalu, adakah jalan keluar?

Pertama

Harus kita sadari, bahwa melambungnya harga, bahan pokok dan melemahnya rupiah saat ini adalah buah dari kecongkakan manusia dengan sistem ekonomi ribawinya. Sistem zhalim yang penuh kecurangan itu benar-benar telah terbukti menyengsarakan umat manusia. Hal yang akan membuat kita tahu bahwa solusinya, mestinya, adalah kembali kepada sistem ekonomi syariah yang menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Sistem yang jauh dari kezhaliman antar sesama; lebih adil, manusiawi, menguntungkan, dan barakah.

Kedua

Insyaallah, inilah saatnya merenung tentang tujuan pernikahan yang sebenarnya. Bahwa ia bukan semata mencari kemapanan finansial belaka, hal yang memang seringkali dianggap sebagai indikator keberhasilan, bahkan harga diri seseorang. Hingga segalanya tampak mudah dan selesai dengan uang. Yang berarti pula, semua masalah akan muncul dengan ketiadaannya. Jika tanpa krisis saja, kita sudah pontang-panting mengumpulkan materi, apa jadinya kita di masa kritis begini?

Padahal, tujuan pernikahan jelas lebih luas daripada itu. Kemapanan mental emosional, sosial, bahkan spiritual juga sangat dihajatkan. Saat-saat seperti ini sangat tepat jika kita pergunakan untuk mengatur ulang prioritas hidup. Melancarkan komunikasi dan meneguhkan peran serta masing-masing anggota keluarga. Seberapa sebenarnya jumlah materi yang kita butuhkan, dan seberapa yang kita inginkan. Kemudian, hal lain apa yang ingin kita capai dengan keluarga ini? Inilah yang akan membuat hidup menjadi selaras seimbang, dan tidak terjebak menjadi penghamba materi. Hal yang akan menyeret kita ke dalam pusaran pencarian yang melelahkan dan mengorbankan banyak hal.

Mereka yang fokus pada kemapanan materi, sebenarnya melalaikan fakta bahwa banyak kebutuhan non finansial, dan banyak masalah yang tidak akan pernah selesai dengan uang. Ia terpendam menjadi bom waktu yang mengancam keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, dan akan meledak saat krisis finansial datang. Apalagi bagi mereka yang mengidap sindrom ingin lebih, berapapun capaian materi yang mereka dapatkan, selalu ada keinginan untuk menambahnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, ia tiada berkesudahan kecuali jika kematian datang. Terus, bagaimana dengan mereka yang gagal mencapai keinginan materinya? Jelas lebih mengerikan!

Ketiga

Kita harus belajar berhemat; hanya membeli hal-hal yang benar-benar kita butuhkan. Demi untuk keberhasilannya, selain komitmen yang tinggi, teladan dari orangtua dan dukungan seluruh anggota keluarga mutlak diperlukan. David Hochman, seorang penulis barat, pernah berlatih hidup sederhana, dan dalam sebulan, dia bisa menghemat uang belanja keluarga hingga 2000 dollar. Nilai yang sangat besar, tentu saja. Nah, kalau David bisa, kenapa kita tidak? Meski dengan jumlah uang yang jauh lebih kecil, penghematan tetaplah pilihan yang cerdas dan terpuji. Dan kalau ternyata ada sisa uang belanja, kita harus menabungnya, seraya memikirkannya agar kelak bisa kita gunakan sebagai modal investasi.

Satu hal yang harus kita ingat, bahwa apa yang akan terjadi besok adalah hal ghaib yang tidak kita ketahui, hingga tidak ada alasan untuk takut menghadapinya. Agar siap menghadapi apapun keadaan yang akan kita temui nanti, kita harus menambah kadar keimanan. Bukankah keadaan orang yang beriman itu sangat menakjubkan? Bersyukur di saat mendapatkan kelapangan, dan bersabar saat menemui kesempitan. Alangkah indahnya!

Jangan lupakan untuk membangun komunitas muslim yang saling berta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan, termasuk dalam perekonomian. Sebab menurut Ibnu Abbas, loyalitas sesama muslim yang dilandasi kecintaan dan kebencian karena Allah, akan menjadi jalan tergapainya pertolongan Allah.

Selain itu, kita harus tetap berbuat kebaikan sebanyak mungkin. Karena kita percaya sunatullah, bahwa mereka yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan, dan demikian juga sebaliknya. Karena Allah Mahaadil yang tidak mungkin berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya, inilah saatnya kita memperbanyak tabungan kebaikan.

Jadi, tetap optimis menghadapi krisis. Semoga Allah memudahkan urusan kita semua!

Oleh: Redaksi/Keluarga

Buat Para Wanita; Awas Bidadari Marah Padamu

Menyakiti suami dan berperilaku buruk kepadanya merupakan dosa yang harus dijauhi oleh para istri. Karena, hal itu bisa menimbulkan dampak negatif yang sangat merusak, baik berkaitan dengan masa depan kehidupan rumah tangga, maupun masa depan ‘kepribadian’ kedua pasangan. Berapa banyak kemaksiatan dan kasus-kasus perselingkuhan yang membelit kehidupan suami-istri, karena salah satu pihak atau keduanya merasa pasangannya tak lagi mampu memberikan ‘keteduhan’?

 

Protes Sang Bidadari

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasul SAW bersabda, “Aku telah melihat neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.” Seorang perempuan bertanya, “Wahai Rasul, ada apa gerangan dengan kaum wanita?” Beliau bersabda, “Mereka mengkufuri.” Dikatakan, “Apakah mengkufuri Allah?” Beliau bersabda, “Mengkufuri suami dan banyak melaknat. Apabila kalian (para suami) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka seumur hidup, lalu ia melihatmu berbuat satu kesalahan, maka ia akan berkata, ‘Aku tak pernah melihat kebaikan pada dirimu sama sekali’.”

 

Baca Juga: Kabar Gembira Untuk Para wanita

 

Mengkufuri suami dan tidak berterima kasih kepada kebaikannya merupakan salah satu tindakan ‘menyakiti suami’. Dan, hal itu termasuk salah satu faktor yang dapat menjerumuskan para istri ke dalam kobaran api neraka. Wal ‘iyadzu billah.

Bahkan, para bidadari surga pun akan murka kepada seorang istri yang suka menyakiti suaminya. Rasul n bersabda:

 

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا، إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ، قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ دَخِيْلٌ عِنْدَكَ، يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari yang bermata jeli akan berkata, ‘Jangan kau sakiti dia. Semoga Allah membinasakanmu. Sesungguhnya dia di sisimu tak ubahnya seperti orang singgah, yang hampir meninggalkanmu menuju kepada kami’.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, serta dishohihkan oleh Al-Albani)

Wahai Saudariku! Bisa jadi, engkau saat ini bukanlah istri yang hakiki bagi suamimu di dunia ini. Maka, para bidadari pun berujar, “Suamimu laksana tamu bagimu, dan engkau bukanlah istrinya yang hakiki. Sungguh, kamilah istrinya yang sebenarnya. Dia akan segera berpisah denganmu dan berjumpa dengan kami!” Para bidadari itu memprotes keras seorang istri yang suka menyakiti suaminya, “Jangan sakiti ‘suamiku’. Semoga Allah melaknatmu.” (Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’it Tirmidzi).

 

Jangan Sakiti Dia!

Terdapat beberapa perilaku dan sikap yang harus dihindari oleh para istri, karena itu bisa memercikkan lelatu kesengsaraan dalam kehidupan rumah tangganya. Antara lain bisa menyebabkan suaminya ‘tersakiti’, baik tersakiti hatinya maupun jasmaninya. Sudah pasti, bahwa sesuatu yang dilarang dalam Islam, tentu memiliki ‘bom keburukan’ yang siap meledak dan merusak tatanan kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan keluarga. Hindarilah dosa-dosa berikut ini, wahai para istri!

Pertama,

Menentang dan membantah suami (nusyuz). Yakni istri tidak menaati perintah suami, padahal suaminya tidak menyuruhnya untuk bermaksiat kepada Allah. Nusyûz artinya adalah ‘naik atau tinggi’. Nusyûz az-zaujah, berarti meningginya istri dari suami, dengan mengabaikan perintahnya dan berpaling darinya. Berbuat nusyuz kepada suami berarti telah berbuat durhaka dan menyakiti hatinya. Rasul n menegaskan pentingnya ketaatan istri kepada suami, hingga beliau bersabda, “Jikalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka benar-benar akan aku perintahkan istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)

Kedua,

Kebutuhan biologisnya ‘terhujat’. Yakni istri enggan melayani keinginan suami untuk berjimak, sehingga kebutuhan biologis suami tak mampu tersalurkan. Hal ini jelas sangat menyakitkan hati suami, dan sangat berpotensi merusak keharmonisan kehidupan rumah tangga. Rasul n bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang lelaki mengajak istrinya ke ranjang, lalu si istri menolaknya, hingga ia bermalam dalam keadaan marah, niscaya para malaikat akan melaknat si istri tersebut hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Baca Juga: Bila Wanita Melamar Pria

 

Ketiga,

Meminta talak tanpa sebab. Istri yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan syara’ berarti telah memutuskan tali pernikahan yang agung. Dan itu terlarang dalam Islam. Disebutkan dalam hadits, “Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya, maka ia haram mencium aroma surga.” (HR. Ashabus Sunan dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Keempat,

Berkhalwat dengan lelaki yang bukan mahram. Berapa banyak bermula dari ‘lezatnya’ khalwat, hingga akhirnya banyak istri yang terjerumus ke dalam perbuatan terlaknat? Yakni selingkuh, menjalin hubungan asmara dengan lelaki lain. Na’udzubillah. Betapa tersakitinya hati suami, melihat istrinya ‘berkhianat’ kepadanya. Rasul SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian juga, termasuk perbuatan menyakiti suami, jika istri suka menyebarkan rahasia suaminya, dan membelanjakan harta suami secara tidak benar. Sungguh, Allah akan melaknat istri yang berbuat zhalim kepada suaminya. Sebagaimana juga ‘doa kemurkaan’ akan meluncur dahsyat dari bibir para bidadari yang bermata jeli sebagai sebuah bentuk protes abadi, “Jangan sakiti ‘suamiku’. Semoga Allah membinasakanmu!” Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Oleh: Redaksi/Wanita/Keluarga

 

 

Bila Rasa Bosan Dengan Pasangan Mulai Menjangkiti

Jika anda bertemu dengan konsultan rumah tangga, tanyalah, sudah berapa banyak klien yang mengadu bahwa mereka sudah tidak lagi cinta pada pasangannya. Rasa cinta pada pasangan tidak seperti pohon yang semakin lama semakin besar, kuat, rindang dan menyejukkan, tapi seperti mesin yang makin hari makin aus, banyak masalah dan sering mogok. Pasangan mungkin masih hidup bersama, masih melakukan hubungan badan, tapi semua terasa hambar dan diselimuti kejenuhan.

Kondisi seperti ini dapat terjadi pada siapapun, bagaimanapun cara mereka menikah. Pasangan yang memulai mahligai rumah tangga dengan cinta pertama, tatapan yang serasa membuat dunia berhenti, pacaran yang penuh romansa, pernikahan yang membuat bujangan dan perawan lain patah hati, dan awal kehidupan berumah tangga yang terlihat bahagia, pun bisa dihinggapi kejenuhan pada akhirnya.

 

Baca Juga: Menjadi Suami Rumah Tangga Seperti Nabi

 

Waktu yang berlalu, membuka semua tabir diri masing-masing; masa lalu, rahasia-rahasia pribadi, sifat-sifat yang tak disukai, sikap-sikap yang sering salah dan menyakiti, juga perubahan-perubahan fisik maupun perilaku dan sebagainya. Semua ini membuat cinta yang dulu berseri serasa layu bahkan mati.

 Atau pasangan yang mememulai rumah tangga dengan cara islami; tanpa pacaran, ta’aruf, istikharah, dan akhirnya menikah dengan niat awal hanya mencari ridha Allah pun tidak menutup kemungkinan tertimpa masalah yang sama. Ada yang sejak awal, ternyata memang tak mampu menumbuhkan cinta sebagaimana cintanya Romeo dan Juliet, Zainudin dan Hayati atau Ainun dan Habibi. Waktu berlalu dan sekian kali mencoba, namun rasa klik itu tak kunjung tiba. Atau ada yang sempat merasakan indahnya menikah tanpa pacaran, namun beberapa tahun kemudian, kebosanan pun melanda dan mereka pun menghadapi masalah yang sama dengan dua contoh sebelumnya.

 

Harus Bagaimana?

Dari sisi sunnah kauniyah, munculnya kejenuhan setelah lama menjalani rumah tangga, pada dasarnya wajar adanya. Hanya pasangan-pasangan yang memang dikaruniai cinta seperti pohonlah yang barangkali tak merasakannya. Pertemuan yang lama dengan intensitas luar biasa dalam rumah tangga, tentu sangat mungkin menimbulkan rasa bosan.

Nabi sendiri pernah menyatakan bahwa setiap amal memang mungkin mengalami syirrah, masa bosan, masa jenuh. Tak hanya menikah, menjalankan shalat pun, bisa pula dijangkiti rasa bosan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Setiap amal perbuatan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat ada masa jenuhnya. Barang siapa yang masa jenuhnya tetap menuju sunnahku, maka sungguh dia telah mendapatkan petunjuk. Namun barang siapa yang masa jenuhnya menuju pada yang lainnya, maka sungguh dia telah binasa.” (HR. Ahmad).

Menurut hadits ini, rasa bosan itu tidak akan menjadi masalah jika diatasi dengan benar. Yaitu tidak berpindah dari garis sunnah menuju maksiat. Begitu pula saat mengalami kejenuhan dalam menjalani pernikahan. Jika rasa ini menjangkiti, pastikan tetap berada di atas sunnah. Tetap berada di atas sunnah dalam hal ini wujudnya bisa beragam. Tetap menjaga hak-hak pasangan dan melaksanakan sunnah lain berupa mu’asyarah bil ma’ruf, berinteraksi dengan cara yang baik, juga sunnah Nabi dalam berumah tangga. Melakukan hal-hal baru seperti berlibur, pergi mencari ilmu atau berdakwah selama beberapa waktu agar tumbuh kerinduan, juga merupakan sunnah. 

 

Baca Juga: Istri Shalihah Pendukung Dakwah

 

Bagaimana dengan poligami? Jika pun sunnah ini dianggap sebagai solusi, tentu akan menjadi solusi sepihak, bagi lelaki saja. Perlu diingat juga, tanggung jawab sunnah poligami tak bisa diremehkan. Jika alasannya semata karena bosan, poligami malah bisa mendatangkan masalah lebih serius daripada kebosanan itu sendiri. Diperlukan manajemen yang baik agar solusi ini benar-benar menjadi solusi. Jangan sampai setelah poligami, justru menghadapi kejenuhan double dengan dua istri atau bahkan kejenuhan quadrople karena istrinya empat dan keempatnya tengah mengalami masa yang sama.

Intinya, tetap berada di atas sunnah dan jangan sampai menjadikan maksiat sebagai pelarian. Tidak sedikit pasangan yang dengan alasan merasa jenuh, akhirnya selingkuh. Seakan hal itu bisa dibenarkan. Mulai dari sekadar curhat sampai maksiat yang lebih terlaknat. Padahal semestinya setiap pasangan harus menyadari bahwa fase jenuh dalam pernikahan boleh dikata merupakan salah satu konsekuensi dalam sebuah hubungan yang sangat intens seperti pernikahan. Pernikahan tidak selalu berada dalam kondisi bahagia, damai dan tanpa masalah. Akan ada masalah, akan ada yang salah, akan datang masa jenuh, akan datang pula masa penuh problema. Harus dihadapi dan diobati, bukan ditinggal lari.

 

Baca Juga: Milikilah Rasa Cemburu

 

Lari dari kejenuhan dalam berumah tangga dengan berselingkuh seperti mengobati pegal-pegal dengan minum minuman keras. Saat minum, pegalnya tidak terasa tapi sebenarnya tidak hilang, malah isi perut, ginjal dan organ lain harus menanggung akibat buruk dari alkohol. Selingkuh tidak akan mengobati kejenuhan malah pasti menimbulkan masalah dalam rumah tangga, rumah tangga sendiri, bahkan orang lain. Sampai walaupun akhirnya rumah tangga harus berakhir, lalu menikah dengan selingkuhan, kejenuhan ini akan kembali menjangkit. Apakah akhirnya juga akan diakhiri dengan perselingkuhan dan perceraian lain?

Cinta memang bisa layu, hambar dan memudar. Namun sebagaimana ia bisa tumbuh dan mati, cinta juga bisa hidup kembali. Sebagaimana cinta pernah mekar dan berseri, dia juga bisa disirami agar tumbuh kembali. Wallahua’lam.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Pasutri

 

Tidak Tahan dengan Penampilan  & Kelakuan Istri

Pertanyaan:

Assalamualaikum, maaf ustadz, saya sudah menikah 7 bulan yang lalu dengan seorang wanita, sekarang dia sedang hamil 4 bulan. Saya tidak bahagia dan betah dengannya semenjak pertama kali menikah. Selain karena berat badannya semakin meningkat dan tingkah lakunya yang kelewatan, dia kudapati telponan dengan temannya yang merendahkan saya dan keluarga saya dan ketika saya perintah untuk memasak, dia beberapa kali sengaja menaburi garam yang banyak sehingga saya tidak suka memakannya. Saya sudah berkali-kali mencoba untuk mendekatinya dan bicara baik-baik, akan tetapi tiada hasil. Saya menyesal menikah dengannya. Tolong Ustadz berikan nasihat, apa yang harus saya lakukan.

Kholid, Bumi Allah

 

Jawaban:

Waalaikumussalam, Saudaraku yang dirahmati Allah, pernikahan tidak lepas dari pertikaian dan perselisihan.

Ada dua hal yang saya sampaikan. Pertama, berilah nasihat dengan lembut dan peringatkan kepadanya sekali lagi bahwa ia keliru, semoga ia bisa berubah. Jangan lupa mendoakannya setiap saat agar Allah yang merubahnya. Karena dengan berubahnya istri akan menentramkan bayi yang dikandung dan keutuhan keluarga.

Kedua, Bila dengan segala cara yang baik tidak ditemukan ishlah, tapi justru masalahnya bertambah, solusi yang memungkinkan adalah mengambil jalan Thalaq, meskipun thalaq itu seperti pengobatan Kay yang membakar, tapi semoga Allah memudahkannya. Sebagaimana Allah berfirman,

Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.” (QS. an-Nisa’: 130)

Rasulullah juga bersabda,

“Tiga orang yang berdoa kepada Allah dan tidak dikabulkan doa mereka; seorang yang mempunyai istri yang buruk akhlaknya dan ia tidak mentalaknya dan seorang yang mempunyai harta atas seseorang dan ia tidak menyaksikan atasnya dan seorang yang memberikan kepada seorang yang sangat bodoh hartanya, padahal Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan janganlah kalian memberikan kepada orang-orang yang sangat bodoh harta-harta kalian.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 1805).

Yang perlu diingat, jika sudah yakin dan mantap dengan perceraian setelah melakukan berbagai ishlah, jangan khawatirkan nasib si jabang bayi. Allah yang akan menjaganya, kita pasrahkan semua urusan kepada-Nya. Allah akan mempermudah kita selama kita kembali kepada-Nya. Wallahu a’lam

 

 

 

 

 

 

Dalam Lelah dan Hampa

Kemunculannya mengejutkan saya. Pada suatu hari, berpakaian trendi tanpa hijab, dia mengambil tempat duduk di samping saya selepas usainya kajian di sebuah instansi. Mau berkonsultasi Ustadz, tadi saya mendengarkan kajian tanpa sengaja dan ada dorongan kuat dalam diri saya untuk mengikutinya hingga selesai, katanya membuka pembicaraan saat menemukan wajah saya yang kebingungan karena tidak mengenalnya. Dan pembicaraan kami satu jam ke depannya semakin membuat saya terkejut-kejut.

Seorang wanita menjelang tigapuluh tahun yang belum juga menyelesaikan kuliahnya. Penampilannya memberi kesan matang, mapan dan modern yang bisa jadi menarik bagi banyak laki-laki pemuja fisik lawan jenis. Bekerja di sebuah lembaga keuangan merangkap guru di sebuah sekolah menengah, juga memiliki bisnis sendiri dalam memberi pinjaman uang kepada sejumlah pedagang di pasar. Apa yang kurang, kecuali penampilannya yang menganggu saya?

Keterkejutan saya pun dimulai saat dia memulai kisah hidupnya. Lulusan sebuah SMU milik organisasi Islam ini ternyata tidak menjalankan sholat. Menjadi simpanan anggota dewan selama beberapa tahun dan sekarang mejalin hubungan dengan seorang polisi. Dia kebingungan di antara keinginan berkata jujur kepada si polisi dengan kekhawatiran ditinggal pergi padahal mereka pernah tidur bersama, atau tidak bercerita tentang masa lalu tapi khawatir suatu saat nanti si polisi malah mengetahuinya dari orang lain, dan kemudian meninggalkannya karena marah besar.

Dia juga bercerita tentang ‘hasil’ kerja kerasnya menjadi simpanan anggota dewan. Sebuah rumah yang layak, mobil Honda jazz, berbagai barang dan perhiasan, serta tercukupinya biaya hidup dengan standar tinggi untuk ukuran sebuah kabupaten kecil yang UMRnya bahkan belum menyentuh satu juta rupiah. Kisah sukses palsu sebab di tengah tatapan kagum beberapa teman dan tetangga, sebenarnya, hatinya menderita karena merasa hina.

Dia bagikan kepada saya kisah tentang ibunya yang sekarang sakit dan adik yang menjadi pecandu, juga gelisahnya batin karena hidup yang hampa dan melelahkan di satu sisi, dengan perasaan dikejar rasa bersalah dan kekhawatiran dicampakkan, suatu saat nanti di sisi yang lain. Hal yang mengantarkannya mengunjungi paranormal untuk meminta bantuan atas masalah yang sedang dihadapinya.

Saya terkejut karena kisah mirip sinetron itu terjadi di sebuah kota kecil dan Jawa. Kisah tentang kegagalan pendidikan dan kekaburan visi kehidupan. Gaya hidup hedonis dan materialis yang menjadi panutan, serta bagaimana identitas religi bernama agama mengalami kemandulan. Kisah yang mungkin klise, namun saat berhadapan langsung dengan pelakunya dan mencoba menyelami apa yang dirasakannya, ada sebongkah kemarahan yang menyesakkan dada.

Marah pada orang tua yang gagal mewujudkan sakinah di dalam keluarga, berbicara dengan bahasa hati dan merasakan kepada anggotanya kenikmatan immateriil yang lebih manusiawi daripada mengejar kelezatan benda. Marah kepada pendidikan yang hanya mencetak lulusan siap kerja, tapi bukan siap menjadi manusia pemberi manfaat bagi sesama. Marah pada diri sendiri yang sulit menemukan senjata untuk menyadarkan orang-orang seperti ini, selain doa dan kata-kata. Pagi itu saya nelangsa. Berkali-kali mengucap istighfar!

Saya berfikir tentang betapa sulitnya, ternyata, memiliki kemampuan mengambil pelajaran dari kisah hidup orang lain. Di saat media massa melaporkan banyaknya orang yang sakit jiwa, bahkan beberapanya di tengah popularitas yang menjulang dan kekayaan materi yang menggunung, kita seringkali merasa menjadi pengecualian, bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi kepada kita.

Padahal sunatullah akan tetap berjalan bagi semua makhlukNya. Bahwa hanya Allah lah yang menentramkan jiwa, dan ketaatan kepadaNya mengayakan dan menyamankan hati. Bahwa hidup bukan sekedar proses mencari kenikmatan ragawi, namun lebih dari itu menjalani peran sebagai penegak kebenaran dan penumpas kebatilan adalah rahasia terpentingnya agar terbebas dari kelelahan dan kehampaan jiwa.

Dari sinilah keluarga menjadi ladang penyemaian benih dan pengkaderan yang terpenting. Agar misi dan visi kehidupan tidak kabur dan menghilang, untuk kemudian berubah arah layaknya binatang yang dalam hidupnya, hanya bekerja untuk makan, minum, seks, dan bersenang-senang. Menunggu saat berpisah dengan dunia penuh gelisah dan berjalan pasti menuju kehampaannya.

Keluargalah tempat para pejuang dibentuk dan dipersiapkan untuk tugas besar menjadi pelaku peradaban yang cemerlang. Seraya mencicipi hidangan surgawi bernama sakinah, mawaddah, wa rahmah. Agar mereka kuat dan hebat, berjalan pasti memikul tugas suci memberi manfaat bagi sesama, dan bukan menjadi beban dan sampah peradaban.
Mari merenung lagi! Berapa banyak waktu, tenaga, biaya, dan pikiran yang tersita untuk membesarkan anak-anak. Dan jika bukan keshalihan yang kita dapatkan, bukankah kita berjuang terlalu keras, membayar terlalu mahal, berfikir terlalu dalam, dan memberi waktu terlalu banyak untuk hasil mengecewakan bernama kelelahan raga dan kehampaan jiwa? Alangkah kasihannya diri kita ini!

Tak Sekadar Tak Bercerai

Ada banyak pelajaran berharga yang saya temukan, sejauh ini, dalam perjalanan hidup sebagai dai dan konsultan keluarga. Berbagai rahasia besar dan kecil yang tak terduga, mengiringi sejumlah kasus yang saya hadapi, menyadarkan saya tentang arti sakinah yang sangat personal. Lengkap dengan sejumlah kejutan yang membuat saya terdiam, kaget, bahagia, terharu, dan merenung. Dan sakinah, dengan semua kata padanannya, selalu kembali kepada suasana hati yang nyaman, tenang, dan tenteram menjalani peran dan menghadapi berbagai masalah kehidupan berkeluarga dengan iman. Ia tak jauh-jauh dari kata qanaah, ridha, taat, dan sabar sebagai pengiringnya. Hati yang ikhlas dan sabar dengan apapun yang menjadi takdir hidupnya, sehingga semua aktivitasnya diarahkan untuk menggapai keridhaan Allah. Karena dalam hidup ini, tidak ada capaian yang lebih tinggi daripada keshalihan amal. Inilah aktualisasi ibadah yang sesungguhnya, dan ia menentramkan, dan ia berada dalam ketaatan kepada Allah. Maka sakinah, akan selalu beriringan dengan upaya menjalani ketaatan kepada Allah, dan bekerja keras menjauhi laranganNya. Sebagaimana Imam Hasan al Bashri pernah berkata, “Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menentramkan hati seorang muslim, melebihi saat dia melihat anak, orangtua, pasangan, atau saudaranya menjadi hamba yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Sebaliknya, dalam kemaksiatan hanya ada gelisah, resah dan gundah gulana. Perasaan bersalah karena melanggar larangan Allah yang secara personal menimbulkan luka hati dan kecewa. Dan meski ia dibungkus dengan pencapaian materi yang mengagumkan, menuai puja puji dari orang lain, hakikatnya ia tetap menggelisahkan. Kecuali mereka yang bodoh, menghamba nikmat dunia, mati hati, atau gabungan dari ketiganya, hidup dalam maksiat itu sangat-sangat tidak nyaman. Dari sudut inilah seharusnya kita menilai sebuah keluaga, jika sakinah adalah capaian idealnya. Bahwa pada kulit yang terlihat elok rupawan, seringkali tersimpan luka batin yang mencengangkan. Sebab banyak di antara kita menilai kesuksesan sebuah keluarga dari tidak terjadinya perceraian, jumlah anak-anak yang dilahirkan beserta tingginya jenjang pendidikan, atau melimpahnya pencapaian materi dan tingginya status sosial. Faktanya, pada banyak fenomena mengagumkan itu terselip hati yang gelisah. Menangis malam-malam dalam pengaduan kepada Allah sebab beratnya beban hidup berkeluarga yang harus ditanggung. Banyak juga di antaranya yang nyaris putus asa sebab tak kuasa lagi berkompromi dengan keadaan yang menyakitkan. Tak kuat lagi berpura-pura memakai topeng kepalsuan atas nama perasaan dan peduli kepada penilaian orang lain. Sedang ‘life is too short to worry about what others think’, hidup terlalu singkat untuk khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain. Maka saya menemukan seorang ibu dalam pernikahan 28 tahun yang menderita, dalam pernikahan 15 tahun yang tersiksa, bahkan lebih dari 30 tahun yang merana. Kesemuanya dengan balutan capaian dunia yang fantastis. Yang mayoritas kita nyaris tidak percaya bahwa ada luka di dalam istana. Dalam limpahan materi yang sangat-sangat mencukupi, kesenangan dunia yang membuat iri, bahkan ada yang hampir setiap tahun umrah dan rajin datang ke majelis pengajian. Mereka berkecukupan dan tidak bercerai, jika itu yang ingin kita ketahui. Beberapa terlihat sangat islami dan bahkan menjadi aktivis keislaman. Namun jujur, mereka tidak bahagia! Menderita oleh banyak faktor yang muaranya adalah ketidaksesuaian antara apa yang terjadi di dalam keluarga dengan apa yang seharusnya dilakukan menurut syariat. Dan ibarat bom waktu, perjalanan kehidupan berkeluarga yang panjang hanyalah mengantarkan mereka kepada batas waktu ledaknya. Dan saat itu terjadi, rasanya sangat menyakitkan. Saya sangat nelangsa melihat ibu yang menangis karena beban yang sangat berat. Lebih-lebih beban itu sangat personal sebab tidak mudah bagi orang lain untuk mengidentivikasinya. Bagaimanapun, sakinah adalah istilah syariat. Yang dalam realisasinya tidak bisa kita curangi dengan jalan-jalan yang melanggar syariat itu sendiri. Melakukan banyak pelanggaran agama namun berharap hidupnya sakinah, adalah hal yang aneh dan membingungkan. Sesuatu yang mustahil adanya namun banyak yang tidak mengerti. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Aku adalah yang terbaik di antara kalian kepada keluargaku.” Adalah sebuah informasi tentang wajibnya meneladani beliau dalam upaya pencapaian keluarga sakinah itu. Dan ini harga mati! Bahwa pada akhirnya hidup tidak selalu sejalan dengan apa yang kita inginkan, itu kita mengerti. Namun persoalannya adalah bagaimana kita menghadapinya sesuai dengan syariat, mengembalikannya kepada Allah dan Rasul sebagai sebaik-baik jalan dan akibatnya, juga mengikhlaskan diri dalam kesabaran agar semua derita ini tidak sia-sia dan bisa menentramkan jiwa. Melihat semua masalah dengan jernih, dan jika ada pelanggaran syariat, maka bagaimana bisa bertaubat dan terus berupaya memperbaiki diri. Maka sakinah bukanlah berkompromi dengan syariat atau pelaku pelanggaran syariat meski dia adalah anggota keluarga. Kecuali ia adalah proses dakwah dan tarbiyah yang seringkali memang membutuhkan waktu. Namun bukan dalam arti mengijinkan, membiarkan, atau bahkan mengembangbiakkannya. Dan dalam hal ini, air mata saja tidak bisa menyelesaikan masalah, jika tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan. Membiarkannya, meremehkannya sambil berharap perubahannya, seringkali hanyalah menunggu bom waktu yang meledak, menghabiskan umur, dan memanen buah yang gagal. Maka tanyakan pada hati kita, sudah sakinahkah keluarga kita?

Kuncinya adalah Sakinah

 

Semua yang menikah, normalnya mengharapkan keluarganya menjadi sakinah. Sebuah capaian istimewa yang khas karena kata itu menyiratkan kebahagiaan tingkat tinggi. Kata yang dipilih Allah sebagai tujuan sebuah pernikahan, lengkap dengan mawaddah dan rahmah. Dan seyogyanya, kita semua berjuang sekuat tenaga untuk meraihnya, karena ialah aroma surgawi yang dihadirkan di dunia.

Namun, banyak sekali pernikahan yang menderita. Gagal meraih sakinah, atau malah kandas karena memilih untuk berpisah. Banyaknya energi yang terpakai seolah sia-sia, sedang waktu yang dijalani juga tidak akan kembali lagi. Penyesalan yang datang kemudian, seringkali tidak berarti lagi, kecuali kita bisa mengambil hikmah dari kejadian yang ada, dan berubah menjadi jauh lebih baik. Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

Awalnya adalah pemahaman yang benar bahwa sakinah adalah wilayah hati. Dimana kenyamanan, ketenangan, ketentraman, kebahagiaan, kepuasan, kesejahteraan, kedamaian atau kepuasan sebagai derivatnya, semua mengacu kepada suasana hati. Khas manusia, karena hal inilah yang membedakan manusia dari makhluk Allah yang lain. Juga adil karena ia bisa menjadi milik siapapun yang peduli kepada bahasa dan nutrisi hati.

Sebuah wilayah yang bukan saja khas, namun juga rumit kalau kita tidak memahaminya dengan baik. Pencapaiannya sangat relatif dan personal, dimana masing-masing dari kita memiliki standarnya sendiri-sendiri. Apa yang membuat Anda nyaman, mungkin bukan hal yang sama untuk saya. Pun demikian sebaliknya, apa yang menyedihkan Anda, bisa jadi justru membuat saya bahagia. Tempat dimana kejujuran dan keikhlasan sangat diperlukan. Bukan melimpahnya harta, menjulangnya tahta, termasyurnya nama atau keelokan raga.

Berkomunikasi secara sehat, terutama tentang apa yang disukai dan tidak kepada pasangan menjadi sangat penting untuk dijalani. Selain untuk mengenali standar yang relatif itu, kemudian fokus pada upaya pencapaiannya, juga agar kita tidak membandingkan dengan yang lain. Karena masing-masing keluarga memang berbeda, sehingga perbandingan yang tidak fair seringkali mendatangkan sakit hati, alih-alih memperbaiki situasi. Bukankah rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau?

Namun yang harus kita fahami adalah, meski relatif, sakinah memiliki standar baku, yaitu ketaatan kepada Allah. Karena di dalam ketaatan kita kepada Allah, kedamaian hati serta perasaan nyaman akan tercapai, sementara dalam maksiat kita, gelisah, gundah gulana, galau dan semua kesedihan hati akan menjadi buahnya. Sehingga dalam pernikahan, fokus kita adalah menjadikan anggota keluarga sebagai hamba-hamba yang taat kepada Allah, melebihi berbagai upaya kita untuk mendapatkan beraneka kesenangan duniawi lainnya.

Hal ini sebagaimana pernah dikatakan oleh Imam Hasan al-Bashri, “Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menentramkan hati seorang muslim, melebihi saat dia melihat anak, orangtua, pasangan, atau saudaranya menjadi hamba yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Yang kedua adalah bersikap qanaah. Yaitu menerima dengan lapang dada siapa yang kini menjadi pasangan kita, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, dan seringkali membuat kita kecewa. Selain faktanya tidak ada manusia yang sempurna, sehingga setiap pencarian akan kekurangan seseorang pasti dengan mudah didapatkan, juga karena persoalan pasangan kita adalah takdir Allah yang sempurna ilmu dan keadilanNya.

Karena kita percaya bahwa seekor lalat Allah-lah yang menerbangkan, dan sebutir benih Dia juga yang menumbuhkan, sehingga pasti ada hikmah di balik pertemuan kita dengan siapa yang kini menjadi pasangan. Allah tidak mungkin menzhalimi hambaNya karena hal ini telah Dia haramkan atas diriNya. Untuk itu, lebih baik jika kita melakukan muhasabah kenapa dia yang menjadi pasangan kita karena kepantasan itu merupakan sunatullah. Dan jika kita kecewa kepadanya, bisa jadi dia lebih kecewa lagi kepada kita. Dalam hal ini, sikap qanaah untuk bisa menerima pasangan kita apa adanya merupakan sikap hamba yang beriman, dewasa dan tidak egois.

Setelah menerimanya dengan baik, kita bisa lebih fokus menjalani fase-fase kehidupan ini. Fokus kepada perbaikan di banyak sisi yang masih kurang, kemudian melakukan tugas hidup lain yang sangat banyak jumlahnya. Misalnya pendidikan anak shalih atau perbaikan ekonomi.

Selanjutnya adalah mengasah kepekaan hati. Karena mewujudkan sakinah adalah seni yang membutuhkan kepekaan yang cukup. Menentukan pilihan kata, memilih waktu dan tempat, hingga menetapkan tindakan yang tepat agar hati tetap nyaman adalah sejumlah ketrampilan yang harus terus diasah. Keelokan raga, kecerdasan intelektual, kemapanan ekonomi serta status sosial yang tinggi bisa saja mengecewakan jika tidak disertai kemampuan menjaga perasaan pasangan.

Pernah Rasulullah memutuskan untuk berpuasa sunnah saat tidak menemukan makanan di rumah ibunda ‘Aisyah, namun di hari lain membatalkan puasa beliau karena ibunda ‘Aisyah telah menyimpankan hais, makanan dari kurma, untuk beliau. Makanan kesukaan beliau itu adalah hadiah dari tetangga hari kemarin. Juga kisah tentang beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam yang bisa mengenali kemarahan dan keridhaan ‘Aisyah hanya dari pilihan kata yang diucapkan. Subhanallah, alangkah indahnya!

Atau kisah tentang Ummu Sulaim yang mengatur strategi untuk memberitahukan kematian putranya kepada Abu Thalhah, suaminya, yang baru pulang dari perjalanan jauh. Sehingga kematian si putra tidak mengguncangkan sendi-sendi rumah tangga mereka.

Bukankah kisah-kisah inspiratif ini menjadi sarana pembelajaran yang ampuh bagi kita? Bahwa model keluarga sakinah itu ada dan nyata. Tinggal kejujuran dan tekad kuat kita untuk meneladani mereka. Menjauhi sikap arogan, sok-sokan dan mau menang sendiri, ygg seringkali menjadi batu sandungan gagalnya sakinah diwujudkan di baik pesona fisik, kecerdasan intelektual, status sosial, kemapanan ekonomi, atau masyurnya nama. Wallahu a’lam.

Kudengar Curhatmu

Syahdan, sebelas wanita berkumpul dan bersepakat untuk bercerita tentang suami mereka tanpa menyembunyikan sedikit pun rahasia tentang suami mereka itu. Dan cerita tentang para suami versi istri- istri mereka itu pun bergulir jauh hingga ke zaman kita ini. Termaktub dalam kitab-kitab tentang pernikahan dan tersampaikan di mimbar-mimbar kajian. Dari kisah mereka, kita belajar tentang berbagai tipe suami, yang sejatinya sama saja dengan tipe-tipe suami masa kini, meski sudah sedemikian jauh waktu berlalu.

Kisah ini pun hadir dalam keluarga Rasulullah melalui lisan ibunda Aisyah ketika beliau berdua bercengkerama, seperti biasa. Saat dimana ibunda Aisyah menyampaikan berbagai masalah yang mengganjal di dada untuk mencari solusi atau sekadar berbagi kabar. Saat-saat indah yang dinantikan dan, seharusnya, diadakan dan dilazimi sebuah keluarga perindu sakinah.

Sebab meski tampak sepele, berbincang berdua secara akrab dari hati ke hati, ampuh mengusir kepenatan raga dan keterasingan di dalam jiwa, serta menjadi pelumas yang baik bagi roda keluarga yang seringkali seret. Sebuah sentuhan kecil dan sederhana namun sangat besar dampaknya. Dan ternyata, di tengah kesibukan yang padat dan tugas keumatan yang menumpuk, Rasulullah junjungan kita masih menyempatkan diri untuk mendengar curhatan istri beliau.

Lihatlah bagaimana Rasulullah memberi teladan kepada kita, para suami, untuk menyediakan waktu guna membangun komunikasi dan mendengar keluh kesah istri. Menunjukkan kasih sayang dan perhatian secara wajar, kemampuan menempatkan semua pada tempat dan waktunya secara proporsional, penyediaan wadah bagi tabiat wanita yang suka bercerita, juga keterampilan mengatur waktu agar berbagai tuntutan kerja tidak tumpang tindih .

Pelajaran sederhana yang membuat kita, mestinya, merasa malu. Sebab banyak di antara kita tidak memiliki cukup waktu untuk keluarga, melakukan aktivitas kebersamaan, bahkan sekadar duduk berdua dan bicara secara intim dengan pasangan. Seringkali, tugas dakwah dan agenda keumatan yang dijadikan kambing hitam. Padahal Rasulullah yang pasti lebih sibuk dari kita, masih memiliki waktu untuk melakukan hal itu. Hal yang seharusnya membuat kita melakukan instropeksi diri dan berkaca lebih jernih. Adakah yang salah di sana?

Allah berfirman, “Dan bergaullah dengan para istri kalian secara patut! Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisaa’: 19).

Ada banyak penjelasan arti bermu’asyarah bil ma’ruf nya suami kepada para istri seperti tersebut dalam ayat mulia di atas. Namun dalam konteks ini, maknanya kurang lebih adalah; suami hendaknya mengkhususkan sebagian waktunya untuk dijalani bersama keluarga secara syar’i. Sebagai sebuah kebiasaan baik yang semestinya dirutinkan, dan bukan hanya dijalani sewaktu-waktu kalau merasa perlu. Bukankah kisah di atas adalah sebuah kisah panjang, yang tentu membutuhkan waktu tidak sedikit bagi baginda Rasul untuk mendengarnya secara utuh dan lengkap dari ibunda Aisyah?

Di sisi lain, kita juga mendapatkan informasi dari hadits shahih bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Dan salah arti kebengkokan kaum wanita, salah satunya adalah, bahwa mereka tidak bisa memendam masalah berlama-lama. Dimana setiap kali mereka memiliki masalah, keinginan untuk berbagi dengan orang lain sangatlah kuat.

Aneh, atau ajaibnya, dalam sharing-sharing mereka kepada orang lain, kaum wanita seringkali tidak mementingkan solusi. Sekadar berbagi cerita untuk melepaskan beban di dada, pada banyak kasus, hal itu sudah cukup bagi mereka. Yang penting ada yang mendengar, ada yang bisa diajak berbicara, terlepas bagaimana akibatnya nanti. Bahkan bahaya tersebarnya aib keluarga pun, seakan menjadi ringan dibandingkan keasyikan berbagi cerita.

Hal inilah yang terjadi sebagaimana kisah di atas. Para wanita yang bertemu sekadar untuk menceritakan kondisi suami masing-masing tanpa merasa sungkan dan malu. Meski bukan hal yang terpuji, karena ini adalah kisah yang terjadi di masa jahiliyah, kita mendapatkan manfaat darinya. Selain informasi tentang berbagai tipe suami sebagaimana kita sebutkan di atas, darinya kita juga mengetahui tentang kebengkokan para wanita yang suka bocor lisan mereka. Lebih dari semua itu, kita belajar tentang bagaimana sikap Rasulullah dalam bergaul dengan istri beliau.

Dari sini, menyediakan waktu untuk mendengarkan curhat istri jelas memiliki banyak manfaat. Meneladani Rasululullah salah satunya, membangun komunikasi yang lebih baik adalah hal yang lain. Menampung curhatan istri yang di dalamnya berkemungkinan mengandung penyebaran aib keluarga sehingga bisa kita bendung agar tidak menyebar kemana-mana, juga bisa kita raih. Selain itu, memberi kesempatan istri untuk berpendapat, berkomentar, dan melakukan relaksasi dari kejenuhan rutinitas kegiatan harian yang bejibun, juga upaya pendidikan, sebab di dalamnya kita bisa menyisipkan pengarahan dan bimbingan kepada para istri. Coba lihat, alangkah banyaknya hal positif di dalamnya!

Sehingga para suami yang egois, tidak memberi waktu kepada para istri untuk berbicara, bersikap kasar, sok sibuk, hingga yang menganggap hal itu tidak penting, sesungguhnya menunjukkan piciknya cara mereka berfikir. Selain bahwa mereka gagal memenej waktu dan menempatkan sesuatu pada tempatnya masing-masing. Dan jika sesuatu ditempatkan bukan di tempat selayaknya, bukankah hal itu merupakan sebuah kezaliman?

Kini, siapa yang bisa sejenak merenung tentang masa depan keluarganya? Menatanya pelan-pelan berdasar ilmu yang benar dan peneladanan akan pribadi baginda Rasulullah, sehingga membuahkan hasil yang memuskan; keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.