Abawiyah

Kudengar Curhatmu

Syahdan, sebelas wanita berkumpul dan bersepakat untuk bercerita tentang suami mereka tanpa menyembunyikan sedikit pun rahasia tentang suami mereka itu. Dan cerita tentang para suami versi istri- istri mereka itu pun bergulir jauh hingga ke zaman kita ini. Termaktub dalam kitab-kitab tentang pernikahan dan tersampaikan di mimbar-mimbar kajian. Dari kisah mereka, kita belajar tentang berbagai tipe suami, yang sejatinya sama saja dengan tipe-tipe suami masa kini, meski sudah sedemikian jauh waktu berlalu.

Kisah ini pun hadir dalam keluarga Rasulullah melalui lisan ibunda Aisyah ketika beliau berdua bercengkerama, seperti biasa. Saat dimana ibunda Aisyah menyampaikan berbagai masalah yang mengganjal di dada untuk mencari solusi atau sekadar berbagi kabar. Saat-saat indah yang dinantikan dan, seharusnya, diadakan dan dilazimi sebuah keluarga perindu sakinah.

Sebab meski tampak sepele, berbincang berdua secara akrab dari hati ke hati, ampuh mengusir kepenatan raga dan keterasingan di dalam jiwa, serta menjadi pelumas yang baik bagi roda keluarga yang seringkali seret. Sebuah sentuhan kecil dan sederhana namun sangat besar dampaknya. Dan ternyata, di tengah kesibukan yang padat dan tugas keumatan yang menumpuk, Rasulullah junjungan kita masih menyempatkan diri untuk mendengar curhatan istri beliau.

Lihatlah bagaimana Rasulullah memberi teladan kepada kita, para suami, untuk menyediakan waktu guna membangun komunikasi dan mendengar keluh kesah istri. Menunjukkan kasih sayang dan perhatian secara wajar, kemampuan menempatkan semua pada tempat dan waktunya secara proporsional, penyediaan wadah bagi tabiat wanita yang suka bercerita, juga keterampilan mengatur waktu agar berbagai tuntutan kerja tidak tumpang tindih .

Pelajaran sederhana yang membuat kita, mestinya, merasa malu. Sebab banyak di antara kita tidak memiliki cukup waktu untuk keluarga, melakukan aktivitas kebersamaan, bahkan sekadar duduk berdua dan bicara secara intim dengan pasangan. Seringkali, tugas dakwah dan agenda keumatan yang dijadikan kambing hitam. Padahal Rasulullah yang pasti lebih sibuk dari kita, masih memiliki waktu untuk melakukan hal itu. Hal yang seharusnya membuat kita melakukan instropeksi diri dan berkaca lebih jernih. Adakah yang salah di sana?

Allah berfirman, “Dan bergaullah dengan para istri kalian secara patut! Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisaa’: 19).

Ada banyak penjelasan arti bermu’asyarah bil ma’ruf nya suami kepada para istri seperti tersebut dalam ayat mulia di atas. Namun dalam konteks ini, maknanya kurang lebih adalah; suami hendaknya mengkhususkan sebagian waktunya untuk dijalani bersama keluarga secara syar’i. Sebagai sebuah kebiasaan baik yang semestinya dirutinkan, dan bukan hanya dijalani sewaktu-waktu kalau merasa perlu. Bukankah kisah di atas adalah sebuah kisah panjang, yang tentu membutuhkan waktu tidak sedikit bagi baginda Rasul untuk mendengarnya secara utuh dan lengkap dari ibunda Aisyah?

Di sisi lain, kita juga mendapatkan informasi dari hadits shahih bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Dan salah arti kebengkokan kaum wanita, salah satunya adalah, bahwa mereka tidak bisa memendam masalah berlama-lama. Dimana setiap kali mereka memiliki masalah, keinginan untuk berbagi dengan orang lain sangatlah kuat.

Aneh, atau ajaibnya, dalam sharing-sharing mereka kepada orang lain, kaum wanita seringkali tidak mementingkan solusi. Sekadar berbagi cerita untuk melepaskan beban di dada, pada banyak kasus, hal itu sudah cukup bagi mereka. Yang penting ada yang mendengar, ada yang bisa diajak berbicara, terlepas bagaimana akibatnya nanti. Bahkan bahaya tersebarnya aib keluarga pun, seakan menjadi ringan dibandingkan keasyikan berbagi cerita.

Hal inilah yang terjadi sebagaimana kisah di atas. Para wanita yang bertemu sekadar untuk menceritakan kondisi suami masing-masing tanpa merasa sungkan dan malu. Meski bukan hal yang terpuji, karena ini adalah kisah yang terjadi di masa jahiliyah, kita mendapatkan manfaat darinya. Selain informasi tentang berbagai tipe suami sebagaimana kita sebutkan di atas, darinya kita juga mengetahui tentang kebengkokan para wanita yang suka bocor lisan mereka. Lebih dari semua itu, kita belajar tentang bagaimana sikap Rasulullah dalam bergaul dengan istri beliau.

Dari sini, menyediakan waktu untuk mendengarkan curhat istri jelas memiliki banyak manfaat. Meneladani Rasululullah salah satunya, membangun komunikasi yang lebih baik adalah hal yang lain. Menampung curhatan istri yang di dalamnya berkemungkinan mengandung penyebaran aib keluarga sehingga bisa kita bendung agar tidak menyebar kemana-mana, juga bisa kita raih. Selain itu, memberi kesempatan istri untuk berpendapat, berkomentar, dan melakukan relaksasi dari kejenuhan rutinitas kegiatan harian yang bejibun, juga upaya pendidikan, sebab di dalamnya kita bisa menyisipkan pengarahan dan bimbingan kepada para istri. Coba lihat, alangkah banyaknya hal positif di dalamnya!

Sehingga para suami yang egois, tidak memberi waktu kepada para istri untuk berbicara, bersikap kasar, sok sibuk, hingga yang menganggap hal itu tidak penting, sesungguhnya menunjukkan piciknya cara mereka berfikir. Selain bahwa mereka gagal memenej waktu dan menempatkan sesuatu pada tempatnya masing-masing. Dan jika sesuatu ditempatkan bukan di tempat selayaknya, bukankah hal itu merupakan sebuah kezaliman?

Kini, siapa yang bisa sejenak merenung tentang masa depan keluarganya? Menatanya pelan-pelan berdasar ilmu yang benar dan peneladanan akan pribadi baginda Rasulullah, sehingga membuahkan hasil yang memuskan; keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *