Sisipkan Satu Ketaatan Di sela Seribu Kemaksiatan

Suatu kali Suhail bin Amru melakukan suatu perjalanan bersama istrinya. Di tengah perjalanan keduanya bertemu dengan kawanan perampok dan merampas semua yang dibawanya, baik harta maupun makanan. Para perampok duduk menikmati makanan dan bekal yang didapatkan, terlihat pemimpin perampok tidak ikut makan. Ketika itu Suhail bertanya kepadanya, ‘Kenapa kamu tidak ikut makan bersama mereka?” Dia menjawab,”Saya sedang puasa.” Maka heranlah Suhail lalu ia bertanya,”Kamu merampok tetapi berpuasa?”

Ia menjawab, “Aku biarkan satu pintu antara aku dengan Allah agar suatu kali aku bisa masuk (bertaubat) kepadanya.”

Setelah selang beberapa lama, Suhail bertemu dengan perampok itu dalam keadaan berhaji. Ia telah menjadi seorang ahli ibadah yang zuhud.

Baca Juga: ‘Wukuf’ di Negeri Sendiri

Sebuah pelajaran berharga, jangan sampai kita menutup pintu yang terbuka antara kita dengan Allah, meskipun banyak kesalahan dan dosa yang kita lakukan. Karena bisa jadi dari satu pintu itu Allah hendak memperbaiki kita di pintu-pintu ketaatan yang lain sekaligus menutup bagi kita pintu-pintu kemaksiatan. Karena setiap kebaikan akan menghasilkan kebaikan setelahnya.

Seperti juga orang yang berdoa sementara ia masih terbiasa menikmati yang syubhat atau bahkan yang haram. Jangan sampai berfikir untuk berhenti berdoa dengan asumsi doanya tak terkabul. Bisa jadi melalui pintu doa Allah bukakan pintu muhasabah (mawas diri), lalu memberi taufik untuk meninggalkan yang haram, sekaligus memberi anugerah terkabulnya doa.

Baca Juga: Cara Allah Menjaga Iman Hamba-Nya

Kasus lain dalam hal shalat, jangan sampai berfikir untuk berhenti karena belum mendapatkan buahnya, yakni tercegah dari perbuatan keji dan mungkar. Yang seharusnya adalah berusaha memperbaiki kualitas shalat hingga Allah akan memberikan buahnya.

Sebagaimana kita tidak meremehkan satu pintu kebaikan di tengah banyaknya kemaksiatan yang dilakukan, begitupun sebaliknya. Jangan meremehkan satu pintu maksiat di tengah banyaknya ketaatan yang dilakukan. Bisa jadi melalui satu pintu maksiat ini setan masuk dan hendak menyeretnya kepada maksiat-maksiat yang lain. Banyak pula kisah tragis orang yang murtad karena bermula dari satu maksiat yang diremehkan. Dan memang tabiat dosa akan berbuntut munculnya dosa berikutnya. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita kepada ketaatan, dan melindungi kita dari dosa dan kemaksiatan, Amiin.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muhasabah

Cara Menepis Godaan Kemaksiatan

Mujahid bin Jabr menceritakan bahwa seseorang menulis pertanyaan yang ditujukan kepada Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Amirul mukminin, ada seseorang yang tidak tertarik dengan suatu maksiat lalu dia tidak melakukanya, dan satunya lagi seseorang yag tertarik terhadap suatu maksiat, namun ia tidak melakukannya, manakah yang lebih utama? Maka Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab dengan tulisan, “Sesungguhnya orang yang tertarik kepada kemaksiatan namun ia tidak melakukannya (lebih utama, karena), lalu beliau membaca ayat,

 

أُولئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوى

“Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa”. (QS. al-Hujurat: 3)

Ujian berat itu adalah ketika seseorang berhadapan dengan jenis kemaksiatan yang disukainya, lalu ia memilih meninggalkannya karenatakutnya kepada Allah. Maka sesuai tatangannya itu didapatkan pahala yang besar.

Seperti orang yang menundukkan pandangan mata, tetu berbeda tingkat tantangannya antara berhadapan dengan wanita yang cantik dan mnarik dengan wanita yang biasa saja. Pada saat seseorang tetap menundukkan pandangan mata terhadap wanita cantik yang sangat ingin ia lihat maka pahalanya lebih besar.

 

Baca Juga: Ulama’ Penghamba Dunia Dipermisalkan Seperti Anjing

 

Ini berbeda dengan propaganda para pengumbar syahwat yang menganggap tindakan menahan diri dari kesenangan yang haram sebagai kemunafikan. Mereka sering memperolok-olok orang yang mengingkari maksiat dengan kata-kata, “tidak usah munafik, tidak usah menipu diri sendiri, paling-paling kamu juga suka!” Inilah syiar pengumbar hawa nafsu.

Memang benar  bahwa beberapa jenis atau bahkan banyak dari jenis kemaksiatan itu disukai, karena memang neraka itu dihiasi dengan berbagai hal yang disukai oeh hawa nafsu sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

“Jannah itu dihiasi dengan berbagai hak yang disukai syahwat.”

Justru ketika seseorang yang berhadapan dengan maksiat yang disukai nafsunya ia mampu menahan diri, dialah orang yang kuat atas ujian iman yang berada di hadapannya. Justru inilah yang disebut dengan ash-shabru ‘anil ma’shiyah, sabar dalam menghadapi maksiat, yakni dengan meninggalkannya meski nafsu menginginkannya.

Karena itulah Maimun bin Mahran rahimahullah berkata, “Sabar itu ada dua macam; sabar dalam menghadapi maksiat itu baik, dan yang lebih utama dari itu adalah sabar dalam usaha menjauhi maksiat.”

Sisi beratnya adalah dari sisi kuatnya dorongan untuk melakukan maksiat pada saat ia mampu melakukannya, namun rasa takutnya menghalanginya dari berbuat maksiat.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Beratnya kesabaran tergantung pada kekuatan dorongan untuk melakukan suatu perbuatan, dan tergantung pula pada kemudahan perbuatan tersebut untuk dilakukan seorang hamba. Jika terkumpul dua kondisi tersebut pada sebuah kondisi, maka kesabaran untuk mengahadapinya adalah hal terberat bagi orang yang bersabar.

Oleh karena itu, kesabaran seorang penguasa untuk tidak melakukan kezaliman padahal ia punya kekuasaan, kesabaran seorang pemuda mencegah syahwatnya padahal ia punya peluang atau kesabaran seorang yang kaya untuk tidak menghamburkan hartanya demi kesenangan, di sisi Allah lebih mendapatkan nilai dan kedudukan. Karena kuatnya dorongan berbarengan dengan terbukanya kesempatan sehingga kesabaran yang dibutuhkan lebih besar.

Ada beberapa kiat untuk menguatkan dorongan kesabaran terhadap bujukan kemaksiatan yang disukai syahwat,

Pertama,

hendaknya selalu mengagungkan Allah sembari menghadirkan kesadaran bahwa Allah selalu melihat dan mendengar. Orang yang hatinya selalu mengagungkan Allah, hatinya tidak akan terdorong untuk maksiat.

Kedua,

selalu menanamkan rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika cinta telah tumbuh, maka seseorang akan meninggalkan maksiat karena cintanya itu.

 

Baca Juga: Warisan Terbaik Itu Bernama Islam

 

Ketiga,

menanamkan rasa kemenangan pada diri pribadi; menang dalam melawan hawa nafsu dan menang dalam menaklukkan godaan setan. Barang siapa bertekad kuat, ia akan mendapatkan manisnya iman, kebahagiaan, dan kemudahan. Kemenangannya melawan nafsu dan godaan setan lebih hebat daripada kemenangannya melawan musuh-musuhnya dari kalangan manusia. Dengan demikian, lebih manis dan lebih sempurna pula kebahagiaan di saat berhasil meninggalkan kemaksiatan.

Keempat,

menyibukkan diri dengan ketaatan untuk mengalihkan nafsu dari kemaksiatan. Karena nafsu itu jika tidak disibukkan dalam ketaatan, maka ia akan condong kepada kemaksiatan.  

Kelima,

hendaknya seorang hamba menyadari dirinya berada di antara dua arah tarikan yang saling bertentangan. Ia diuji di antara dua daya tarik tersebut; satu daya tarik akan menariknya menuju Allah dan menjadikannya orang yang mulia. Sementara itu, daya tarik lainnya menariknya ke jurang kenistaan dan menjadikannya orang yang hina. Setiap kali mengikuti daya tarik pertama, ia akan naik ke suatu derajat sedikit demi sedikit hingga tiba di suatu tempat tertinggi yang layak baginya. Sebaliknya, jika tunduk pada daya tarik kenistaan, ia pun akan jatuh terjerembab dalam kehinaan.

Rasa takut dan rasa malu juga bisa mencegah dari jurang kemaksiatan. Yakni rasa takut terhadap balasan atau hukuman yang timbul karena maksiat, dan rasa malu untuk menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya. Ia juga tidak berani bermaksiat karena nantinya ia malu hendak memohon pertolongan kepada Dzat yang telah didurhakainya. Semoga Allah menjauhkan kita dari maksiat yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, aamiin.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah

Berbuat Nakal Dengan Alasan Karena Takdir

 

Pertanyaan: 

Ustadz, ana pernah ditanya adik kelas mengenai takdir Allah. Dia adalah mantan anak nakal. Dia ingin taubat dan memperbaiki dirinya, tapi di sela perjuangannya itu, terlintas perasaan yang meragukan. Katanya, Allah sudah menetapkan takdir baik dan buruknya seseorang, berarti percuma kalau kita ingin baik sedangkan kita telah dicatat di Lauh Mahfuzh sebagai orang buruk.

Bagaimana memahamkan anak seperti ini? Jazaakallah khairan katsiran.

Muslimah- Lamongan

 

Jawaban:

Saudari yang shalihah, beriman kepada takdir Allah merupakan salah satu rukun iman, hingga masalah ini harus kita perhatikan dengan hati-hati agar tidak keliru. Dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus kita padukan. Yaitu tentang keadilan Allah, ilmu-Nya, kuasa-Nya, dan usaha manusia beserta hukum sebab akibatnya.

Kita harus percaya bahwa Allah Mahaadil yang akan memberi balasan setiap perbuatan makhuk-Nya sesuai dengan keadilan-Nya secara layak. Sehingga setiap kebaikan dan keburukan akan mendapatkan balasan yang pantas. Selain itu, kita percaya bahwa kuasa Allah meliputi segala sesuatu, yang tidak akan pernah mampu ditolak oleh siapapun.

Ilmu Allah sangatlah luas. Dia Mahatahu atas segala yang terjadi di alam semesta ini, baik yang sudah,sedang, maupun belum terjadi, bahkan sebelum langit dan bumi ini diciptakan-Nya. Tidak ada sehelai daun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya. Demikian juga seluruh kejadian yang ada, mustahil terjadi di luar ilmu-Nya.

 

Baca Juga: Istri Sering Memakai Baju Seksi

 

Sebagai manusia kita dikaruniai kemampuan dan akal untuk memilih dan berusaha. Dalam konteks inilah berlaku hukum sebab akibat, dimana siapa menanam akan memanen. Semua yang kita lakukan karena kita memang ingin melakukannya. Sehingga tidak ada alasan untuk berhenti berikhtiar dan menyalahkan Allah (naudzubillah min dzalik) ketika kita terjerumus ke dalam maksiat dengan alasan takdir. Lagipula, bukankah takdir Allah adalah rahasia yang kita tidak pernah tahu rinciannya? Dia tidak membeberkan apa yang akan terjadi besok pagi kepada kita secara detil.

Untuk itu, tidak ada alasan untuk menyerah tanpa daya sebelum berusaha.

Kita baru boleh mengatakan bahwa ini takdir Allah jika telah terjadi. Dan jika yang terjadi adalah kemaksiatan, kita percaya ada hikmah di balik peristiwa itu karena Allah Maha Bijaksana disertai perasaan menyesal dan janji untuk tidak mengulanginya. Namun jika yang terjadi adalah kebaikan, kita harus bersyukur karena Allah memberi kemudahan. Semoga hari-hari berikutnya juga seperti ini.

Terakhir, jangan terlalu banyak berbicara tentang takdir agar setan tidak mempermainkan kita untuk kemudian menyesatkan kita. Wallahu a’lam

 

Oleh: Redaksi/Konsultasi

Cari Aman di Tempat Rawan

Manusia diciptakan memiliki sisi lemah. Lemah menghadapi penyakit, lemah menghadapi kefakiran, lemah kesiapannya menghadapi kenyataan yang berbeda dengan harapan. Ia juga lemah secara fisik dan lemah untuk menggapai cita-cita yang tinggi.  Begitupun untuk menghindar dari besarnya bahaya yang datang silih berganti mengancam sepanjang hayat. Terlebih lagi untuk menggapai kenikmatan surgawi dan terbebas dari neraka yang siksanya tak terperi.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. an-Nisa’: 28).

Bahkan manusia juga memiliki sisi lemah dalam hal kemuan dan tekad. Mudah berubah pendirian, mudah tergoda dan putus asa. Ibnu Katsir menafsirkan makna lemah dalam ayat tersebut, lidha’fihi fi nafsihi wa dha’fi ‘azmihi wa himmatihi, yakni lemah jiwanya, lemah tekad, dan semangatnya.

 

Tempat Perlindungan yang Rawan

Dengan kelemahan itu manusia berusaha mencari ‘kekuatan lain’ untuk menolong dirinya meraih apa yang dicita dan melindungi diri dari bahaya yang mengancam dirinya. Akan tetapi, amat disayangkan di antara manusia justru mencari perlindungan kepada makhluk yang lemah seperti dia atau bahkan lebih lemah lagi.

Padahal, tempat perlidungan selain Allah yang mereka sangkakan itu sejatinya tempat yang rawan dari bahaya yang menimpa. Bahkan Allah mengumpamakannya dengan sarang laba-laba. Allah berfirman,

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. al-Ankabut [29]: 41).

Secara fisik, rumah laba-laba adalah rumah yang lemah, rapuh, tidak bisa melindungi dari panas dan hujan, dari angin, dari dingin, apalagi dari timpukan batu atau ranting yang patah menimpanya. Meskipun secara unsur pembuatannya konon sangat kuat dan bentuknya tampak indah.

Itulah perumpamaan orang yang mengambil perlindugan selain Allah dan bertawakal kepada selain-Nya, hakikatnya ia sedang berlindung di sarang laba-laba.

Seperti orang yang mencari keselamatan ketempat para dukun yang dianggap memiliki kekuatan lebih. Mendatangi dukun berarti mendatangi bahaya, seperti layaknya bersembunyi di sarang laba-laba. Ia seperti serangga yang masuk ke jaring laba-laba, tidak tahunya itu adalah jerat laba-laba untuk menjebak mangsanya.

Hal ini persis dengan kehidupan para dukun yang memasang jaring untuk mencari mangsa dan memeras masyarakat yang bodoh. Dan tak jarang kita dengar, ada dukun yang akhirnya membunuh pelanggannya setelah memerasnya.

Ada yang menjadikan jin sebagai tambatan pengharapan dan tempat perlindungan. Dia mengira bahwa jin mampu mengatasi segala problemnya, dan melindungi segala kepentingannya. Ini juga tempat yang rawan bahaya, bukan tempat perlindungan yang aman. Karena jin hanyalah makhluk seperti manusia juga, sama-sama lemah, menanggung beban dan memiliki masalah sendiri dalam hidupnya. Jikalau jin memberikan sebagian ‘keuntungan’, maka kerugian dan kemadharatan yang ditimpakan lebih banyak. Maka, tidaklah dihasilkan dari usaha manusia ini selain dosa dan kerugian. Maksud hati terhindar dari bahaya dan gangguan, tapi yang dimintai perlindungan justru menjadi sumber dosa dan bencana.

Allah Ta’ala berfirman,

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. al-Jin: 6)

Ada dua kemungkinan makna dari ayat tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh as-Sa’di. Pertama bahwa perbuatan tersebut menambah dosa dan keburukan bagi jin yang dimintai bantuan. Dikarenakan jin tersebut akan menjadi sombong, pongah merasa dirinya hebat dan semakin suka memperdaya manusia. Kemungkinan kedua, perbuatan tersebut menambah dosa dan keburukan bagi manusia yang meminta bantuan. Dikarenakan manusia itu akan senantiasa was-was dan takut akan gangguan jin sehingga akhirnya selalu ber-isti’adzah kepada jin ketika menemui sesuatu yang membuatnya khawatir, dan jatuhlah ia kepada kesesatan.

Ibnu Katsier rahimahullah menjelaskan ayat tersebut, “Yakni kami dahulu berpandangan bahwa kami (jin) lebih utama daripada manusia karena manusia sering meminta perlindungan kepada kami. Bila mereka berada di sebuah lembah atau suatu tempat yang mengerikan seperti hutan dan tempat-tempat lain yang dianggap angker. Sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab di masa jahiliyah mereka. Mereka meminta perlindungan kepada pemimpin jin ‘penunggu’ di tempat mereka beristirahat agar mereka tidak diganggu oleh kaumnya. Persis seperti ketika seseorang memasuki kota musuh mereka di bawah jaminan perlindungan orang besar yang berpengaruh di kota itu. Ketika jin melihat bahwa manusia itu selalu meminta perlindungan  kepada mereka karena takut kepada para jin, maka justru jin-jin itu makin berulah untuk membuat manusia lebih takut, lebih was-was dan kecut hatinya. Dan ketika manusia semakin takut kepada jin, maka mereka lebih banyak meminta perlindungan kepada jin, inilah yang dijelaskan oleh Qatadah rahimahullah sehubungan dengan firman-Nya, “Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS al-Jin 6)

Yakni makin menambah manusia berdosa dan jin pun makin bertambah berani kepada manusia. Maka, meminta perlindungan kepada jin berarti menjerumuskan diri ke jurang sengsara dan dosa.

 

Tempat Rawan yang Disangka Aman

Ada lagi orang yang menggantungkan keselamatan dan pengharapannya kepada jimat yang dikalungkan di leher, atau dipakai sebagai gelang tangan. Atau diletakkan di bagian tertentu di rumahnya untuk melindungi harta dan rumah tangga mereka dari bahaya yang tampak dan tidak tampak sebagaimana yang mereka yakini. Sungguh, ini juga menjadi sarana perlindungan yang rapuh dan rawan dengan bahaya. Dia sudah terlanjur mempercayakan keselamatannya kepada jimat itu, sementara jimat itu tidak tak berfaedah apa-apa dan tak mampu berbuat apapun untuk meolongnya. Sedangkan Allah juga tidak sudi menolong mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ

Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat pemudah urusan), maka Allah tidak akan menyempurnakan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan wada’ah (jimat penangkal bahaya), maka Allah tidak akan menjamin (keselamatan)nya. ” (HR. Ahmad, hadits hasan)

Bahkan, selagi dia masih menggantungkan keselamatannya kepada jimat, maka selamanya dia tidak akan bahagia dan beruntung. Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria ada gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “Ini adalah wahinah (pengusir sial dan kelemahan). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً

 “Justru ia tdiak menambah untukmu selain kelemahan. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Adapun sebagian manusia yang mengaku modern, ada yang mengandalkan perlindungan keselamatan mereka dengan teknologi. Bukanlah sisi cela itu pada kreasinya dalam mengembangan teknologi. Namun jika hal itu disertai kesombongan dan menantang murkanya Allah dengan maksiat, lalu mengandalkan teknologi sebagai antisipasi, maka sungguh murka Allah tak dapat dicegah oleh teknologi. Jikalau mereka menemukan alat pencegah bencana, Allah Mahakuat untuk menimpakan adzab dengan cara yang lebih kuat atau jenis bencana yang tidak akan mampu mereka hadapi. Simaklah firman Allah Ta’ala,

“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. al-Hajj: 73).

Berapa banyak juga manusia yang menyangka bahwa harta kekayaan yang ia miliki akan dapat menjaganya dari kemiskinan. Atau penguasa yang ia pilih dan dukung akan dapat melindungi kepentingannya, atau melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang ia kira akan dapat menjaganya. Namun demikian semua ternyata tidak dapat melindungi mereka dari marabahaya di dunia, apalagi kelak di akhirat. Harta bisa ludes seketika, penguasa bisa ingkar janji atau tumbang, dan ilmu pengetahuan serta teknologi tidak dapat menangkal beragam bahaya dan bencana. Maka tidak ada tempat perlindungan paripurna selain Allah, dengan mendekat kepada-Nya, memohon belas kasih-Nya dan mentaati segala aturan-Nya. Wallahu a’lam bishawab.

(Abu Umar Abdillah)

 

 

Dosa Itu Kini Tumbuh Besar

Sebagai manusia, kita terkesan biasa melihat hal-hal kecil dan remeh dalam hidup kita. Kita tidak terlalu memikirkan apalagi mengkaji hal tersebut, karena pikiran kita mengenai hal tersebut adalah hal yang tidak penting dan tidak tidak memberi keuntungan. Begitu juga sebagian kaum muslimin memandang remeh perkara dosa kecil.

Abu Hamid al-Ghazali mengungkapkan, “Dosa adalah ungkapan untuk segala pelanggaran terhadap perintah Allah denga berbuat jahat dan meninggalkan yang wajib.” Adapun dosa kecil menurut para Ulama adalah : “Dosa yang tidak sampai pada ukuran dosa besar yang terkecil atau dosa yang pelakunya tidak dikenakan Hadd (Hukuman dunia) atau wa’id (ancaman siksa akhirat).”

Namun jangan pernah meremehkan dosa-dosa kecil. Dosa kecil yang luput dari perhatian kita, akan tumbuh terakumulasi menjadi dosa besar. Faktor-faktor penyebabnya adalah,

 

1.Apabila dilakukan dengan konsisten dan terus-menerus. Oleh sebab itu para ulama sepakat, “Tidak ada namanya dosa kecil apabiladilakukan dengan terus-menerus. Dan tidak ada namanya disa besar bila diiringi dengan taubat.”

 

2.Ada unsur meremehkan. Sesungguhnya perbuatan dosa itu apabila dianggap berat oleh hamba, akan menjadikannya kecil di sisi Allah. namun sebaliknya, apabila diremehkan ia akan menjadi besar di sisi Allah. karena anggapan sebuah dosa sebagai dosa yang besar berpangkal dari hati yang benci kepadanya dan berupaya menghindarinya.

 

3.Apabila seorang hamba merasa senang melakukannya. Jika rasa senang telah mendominasi pada diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa itu dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hati. Sesungguhnya dosa-dosa itu membinasakan. Apabila seorang hamba terjerumus pada semua bentuk dosa dan pelanggaran, setan berhasil menggiringnya ke arah lembah hitam. Hendaklah ia segera sadar bahwa dirinya telah dikalahkan setan dan dirinya semakin jauh dari Allah.

 

4.Apabila dosa dilakukan terang-terangan. Yaitu jika seseorang menyebut dan menceritakan kepada orang banyak tentang perbuatan dosa atau kemaksiatan yang ia perbuat. Dampak perbuatan ini adalah menimbulkan dan mengundang hasrat orang lain yang mendengarnya, sehingga tertarik untuk untuk menirunya. Jadilah dua macam dosa terkumpul menjadi satu yang konsekwensinya pun lebih berat.

 

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf. (QS. at-Taubah: 67).

Sebagian Ulama salaf berpendapat: Tidak pernah seorang hamba itu melanggar kehormatan seseorang paling besar daripada menolong saudaranya melakukan maksiat dan memudahkan jalan maksiat kepadanya.

Hukum Ta’ziyah dan Mensholatkan Pelacur, Gay dan Lesbian

Para Pelacur, Gay dan Lesbian termasuk dalam katagori Fasik. Dan fasik secara bahasa berasal dari ‘fasaqa ‘ yang artinya keluar. Orang Arab menyebutkan : “ Fasaqa ar-Rutabu “ (Kurma basah yang terkelupas dari kulitnya ). Maka Orang Fasik adalah seorang muslim yang banyak meninggalkan ( keluar ) dari ajaran-ajaran Islam dengan melakukan dosa- dosa besar, seperti berzina, mencuri, membunuh orang tanpa hak, minum khamr dan perbuatan sejenis. Atau yang melakukan dosa-dosa kecil yang sangat banyak dan secara terus menerus. ( ar-Raghib al-Ashfahani(W.502 H), al-Mufradat fi Gharibi al-Qur’an, hlm.380 ) 

Salah satu ayat al-Qur’an yang menyebutkan lafadh fasik yang berarti “keluar” adalah firman Allah :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

 

“ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia keluar (durhaka )dari perintah Tuhannya.  Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang lalim.( Qs. al-Kahfi : 50)

 

Mayoritas ulama mengatakan bahwa ta’ziyah disunnahkan untuk orang yang meninggal dunia dalam keadaan fasik dan bermaksiat. Sebagian kecil dari ulama asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa ta’ziyah untuk orang fasik hukumnya makruh. ( Nihayatu al-Muhtaj : 3/13, Hasyiatu al-Qalyubi :1/432)

Adapun dalil disunnahkan ta’ziyah untuk mereka adalah sebagai berikut :

Pertama : Keumuman hadist-hadist yang menunjukkan anjuran dan keutamaan ta’ziyah  untuk kaum muslimin yang terkena musibah secara umum. Dan belum ada dalil yang membatasi ta’ziyah khusus orang-orang yang taat saja.

Kedua : orang yang fasik ahli maksiat termasuk dalam katagori muslim selama tidak melakukan hal-hal yang menyebabkannya keluar dari Islam. Diantara dalilnya adalah firman Allah :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“ Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.’ (Qs.al-Hujurat: 9)

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ( 7/374 ) :

 فسماهم مؤمنين مع الاقتتال. وبهذا استدل البخاري وغيره على أنه لا يخرج من الإيمان بالمعصية وإن عظمت، لا كما يقوله الخوارج ومن تابعهم من المعتزلة ونحوهم

“ Mereka masih disebut orang-orang beriman walaupun saling berperang. Dengan ayat ini, al-Bukhari dan lainnya berdalil bahwa seseorang tidak keluar dari keimanan dengan maksiat walaupun berupa dosa besar, tidak seperti yang dikatakan oleh al-Khawarij dan pengikutnya seperti al-Mu’tazilah dan sejenisnya. “

Begitu juga firman Allah :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

 

“  Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Qs. al-Baqarah : 178)

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang muslim yang dengan sengaja membunuh  orang muslim lainnya masih disebut saudara, yaitu saudara seiman. Ini menunjukkan bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan.

 

Berkata Syekh Abdul Aziz bin Baz di dalam Majmu’ Fatawanya : “ Tidak apa-apa, bahkan dianjurkan untuk berta’ziyah, walaupun yang mati adalah  pelaku maksiat seperti bunuh diri atau yang lainnya. Begitu juga dianjurkan berta’ziyah kepada keluarga yang salah satu anggotanya dihukum qishas karena membunuh orang lain, atau dirajam sampai mati karena berzina padahal dia sudah menikah, begitu juga peminum khamer yang mati karenanya. Maka tidak dilarang untuk berta’ziyah kepada keluarganya, dan tidak dilarang pula  mendo’akannya untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. “

 

Hukum Mensholatkan Orang Fasik

 

Boleh mensholatkan orang fasik atau ahli maksiat yang meninggal dunia, karena dia masih dianggap muslim. Diantara dalilnya adalah hadist Zaid bin Khalid al-Juhani  radhiyallahu ‘anhu :

 

 أَنَّ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تُوُفِّىَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ». فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ فَقَالَ « إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ». فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لاَ يُسَاوِى دِرْهَمَيْنِ.

                “ Bahwa seorang laki-laki dari sahabat nabi meninggal dunia dalam perang Khibar. Maka mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliaupun bersabda :“Sholatkanlah teman kalian.” Maka wajah para sahabat berubah(merasa aneh) dengan pernyataan tersebut. Maka beliaupun bersabda :“Sesungguhnya sahabat kalian telah melakukan kecurangan di jalan Allah.” Kemudian kami periksa barangnya, maka kami dapatkan dompet miliknya orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham.“(HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Berkata Syu’aib al-Arnauth : Ini hadist shahih )

Hadist di atas menunjukkan kebolehan mensholatkan orang yang berbuat curang (mengambil ghanimah sebelum dibagi) dalam perang. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memilih untuk tidak mensholatkannya sebagai bentuk teguran kepadanya dan kepada siapa saja yang berbuat seperti perbuatannya.

Ibnu Abdil Bar al-Maliki di dalam al-Istidzkar(5/85) berkata : “ Hadist di atas merupakan dalil bahwa imam dan para pemimpin agama tidak menshalatkan pelaku dosa. Akan tetapi tidak boleh juga melarang shalat jenazah terhadapnya. Bahkan dia harus menyuruh orang lain. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alihi wa sallam : ‘Shalatkanlah teman kalian.”

 

Ini dikuatkan dengan hadist Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu :

 أُتِيَ اَلنَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ, فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

 

“ Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah, maka beliau tidak mensholatkannya.” ( HR. Muslim )

Selain orang fasik dan ahli maksiat, beliau juga tidak mau mensholatkan orang yang mempunyai utang dan belum melunasinya sampai meninggal dunia, sebagaimana di dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ اَلْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ اَلدَّيْنُ, فَيَسْأَلُ: ” هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ? ” فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ, وَإِلَّا قَالَ: ” صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ” فَلَمَّا فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْفُتُوحَ قَالَ: ” أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ, فَمَنْ تُوُفِّيَ, وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ

“ Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam suatu ketika dihadirkan kepadanya seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan punya utang. Maka ditanyakan:“ Apakah meninggalkan sesuatu untuk membayar utangnya ?“ Jika dijawab bahwa ada yang ditinggalkan untuk membayarnya, maka beliau mensholatkannya, jika tidak, maka beliau bersabda:“ Sholatlah kalian untuk saudara kalian ini.“ Ketika terjadi pembukaan kota-kota, beliau bersabda : “ Saya lebih berhak ( untuk membantu ) kaum muslimin daripada mereka sendiri, maka barang siapa yang meninggal dunia dan mempunyai utang, maka saya yang bertanggung jawab untuk membayarnya.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Akan tetapi jika orang fasik atau pelaku tersebut sudah bertaubat dan dihukum oleh pemerintah Islam, maka beliaupun ikut mensholatkannya. Seperti dalam hadist  Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ جَاءَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْتَرَفَ بِالزِّنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ آحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا أَذْلَقَتْهُ الْحِجَارَةُ فَرَّ فَأُدْرِكَ فَرُجِمَ حَتَّى مَاتَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرًا وَصَلَّى عَلَيْهِ

“Bahwa seseorang yang berasal dari suku Aslam datang kepada nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengaku telah berbuat zina, nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak menanggapinya, sehingga dia bersaksi kepada dirinya empat kali, maka nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepadanya : “ Apakah anda sudah gila ?” Dia menjawab :“Tidak”, Nabi bertanya : “Apakah anda sudah menikah “? Dia menjawab :‘Ya‘, maka beliaupun memerintahkan agar orang tersebut dirajam di musholla (tempat lapang), ketika batu-batu menimpanya, diapun lari, dan berhasil ditangkap lagi dan dirajam sampai mati. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata tentangnya dengan sesuatu yang baik dan mensholatkan jenazahnya.“ ( HR. Bukhari, 6820)

Memang ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mensholatkannya, tetapi Imam Ahmad ketika ditanya masalah ini, beliau mengatakan :

 

لا يعلم أن النبي – صلى الله عليه وسلم – ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه.

“ Tidak diketahui bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mau mensholatkan jenazah sahabatnya kecuali orang yang mencuri harta rampasan perang dan yang melakukan bunuh diri. (al-Hasan ash-Shan’ani( 1276H), Fathu al-Ghaffar, 2/721)

 

Hal ini dikuatkan dengan hadist Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهِىَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَى فَقَالَتْ يَا نَبِىَّ اللَّهِ أَصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَىَّ فَدَعَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلِيَّهَا فَقَالَ « أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا وَضَعَتْ فَائْتِنِى بِهَا ». فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ تُصَلِّى عَلَيْهَا يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ فَقَالَ « لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

 “ Bahwa seorang wanita dari Juhainah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hamil karena zina. Wanita itu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, aku telah melanggar sesuatu yang menyebabkan hukuman rajam, maka tegakkanlah hukuman tersebut atas diriku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil wali wanita tersebut, lalu beliau berkatanya : “Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan, maka bawalah dia kepadaku.”Maka diapun melaksanakan perintah tersebut. Setelah itu beliau memerintahkan agar wanita diikat pakaiannya dengan erat dan dilaksanakan hukuman rajam. Kemudian beliaupun mensholatkannya. Saat itu Umar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau mensholatkannya wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang jika taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?”  (HR. Muslim)

Agar yang Taubat kembali Maksiat

Dalam teori pemasaran dikenal istilah win back. Yaitu strategi mengembalikan pelanggan yang berhenti menjadi pelanggan karena suatu hal hingga tidak mau membeli lagi produk yang dipasarkan. Penyebabnya bisa karena kecewa terhadap kualitas produk, pelayanan dari produser atau ada produk lain yang lebih baik. Nah, win back adalah usaha persuasif untuk membujuk ‘mantan pelanggan’ ini agar mau menjadi pelanggan kembali. Caranya adalah dengan mencari faktor yang membuat pelanggan tidak membeli produk. Jika penyebabnya adalah kualitas, produser akan mencoba memperbaiki kualitas, jika karena pelayanan, produser berusaha meningkatkan pelayanan dan jika karena ketiadaan barang karena tersendatnya pengiriman (delivery), maka produser akan mencari cara untuk melancarkan distribusi. Usaha itu disertai  ‘hasutan-hasutan’ persuasif yang memotivasi si mantan pelanggan agar kembali mengenakan ID card kepelanggananya.

Dan rupanya, di dalam menjual produk-produk maksiatnya, ada kemiripan antara strategi setan dengan strategi marketing di atas. Kalau kita renungkan, tidak jarang setan  juga menggunakan teori win back; berusaha mengembalikan manusia yang bertaubat dan berhenti menjadi pelanggankemaksiatan agar kembali menjadi pelanggannya.

Caranya, harus dicari faktor primer dan sekunder dari taubatnya manusia. Faktor primer yang membuat manusia adalah sebuah kesadaran sepenuhnya bahwa produk setan berupa kemaksiatan adalah sesuatu yang buruk dan berbahaya. Faktor sekundernya bisa jadi karena produk kemaksiatan mahal dan sulit didapat dan konsekuensi yang berat.

Untuk lebih mudahnya kita aplikasiakn langsung pada sebuah contoh. Untuk mendapatkan win back dari mantan pelanggan produk kemaksiatan berupa penghasilan yang haram; korupsi, jual ganja atau jual aurat setan akan memanfaatkan dalil “kebaikan akan menghapus keburukan”. Manusia akan dihasung agar tidak perlu khawatir hingga harus bertaubat dari korupsi, asalkan sebagiannya diinfakkan kepada rakyat miskin, itu akan menghapus dosa korupsi. Minimal antara dosa dan pahalanya bisa seimbang. Persis seperti yang dilakukan tokoh dongeng Ali baba yang merampok orang-orang kaya untuk kemudian sebagian hasil rampokan diberikan kepada rakyat miskin. Untuk menambah daya tarik, manusia mantan koruptor ini juga akan dijanjikan jaringan korupsi yang lebih rapi. Kalaupun tertangkap, yang bakal tertangkap hanyalah mediator-mediator yang sudah siap untuk bungkam atau beraksi menyuap para penegak hukum agar jaringan aman. Kalau sudah begini siapa yang tidak tertarik?

Sedang bagi pelanggan produk riba, manusia-manusia yang sudah tidak mau lagi mengonsumsi produk haram ini akan diundang kembali untuk menjadi pelanggan. Caranya, dengan mengganti nama produk ribawi dengan nama-nama yang lebih islami. Sayangnya yang berubah hanya namanya saja, secara esensi akad-akad itu masih seperti yang dulu, tanaman uang yang berbunga riba. Dengan sedikit mengutak-atik sistem akad, manusia pun berhasil dikelabui.

Mantan preman akan dibujuk dengan iming-iming backingan kuat atau kedudukan yang menjanjikan dengan anak buah yang banyak. Peminum khamr, setan akan mengutus kawan-kawannya ‘semajelis’ dulu untuk membujuk dirinya agar kembali menikmati minuman yang tak jauh beda dengan bahan bakar itu. Bisa dengan cara yang halus atau sedikit kasar. Misalnya, saat si mantan peminum ini tertimpa masalah, kawan-kawannya akan berusaha membantu dan bersimpati. Konsekuensinya, ia akan merasa tidak enak hati dan jika suatu saat ditawari untuk menenggak lagi cairan laknat itu, hantinya akan sulit menolak karena merasa berhutang budi.

Sedang dosa-dosa yang lain seperti, setan akan memanfaatkan dalil luasnya ampunan Allah untuk mengundang mereka agar kembali menikmati produknya. Tak usah takut dosa, bukankah rasulullah bersabda, “

إِنَّاللَّهَعَزَّوَجَلَّيَبْسُطُيَدَهُبِاللَّيْلِلِيَتُوبَمُسِىءُالنَّهَارِوَيَبْسُطُيَدَهُبِالنَّهَارِلِيَتُوبَمُسِىءُاللَّيْلِحَتَّىتَطْلُعَالشَّمْسُمِنْمَغْرِبِهَا».

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membentangkan tangannya di malam hari untuk menerima tau bat para pendosa di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat para pendosa di malam hari sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim)

Peluang win back memang selalu ada karena hati manusia sering berbolak balik. Kadang rajin kadang malas, kadang taat kadang maksiat. Yang paling ekstrim, hati manusia bisa berbolak balik dari iman menjadi kafir, iman lagi lalu kafir lagi. Seperti disebutkan dalam ayat:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yanglurus. (QS. An Nisa:137)

Sebenarnya, Allah juga memberikan peluang yang sama kepada manusia. Yaitu membuka pintu rahmat dan taubat agar manusia yang terjerumus mengonsumsi produk setan dapat kembali menjadi pelanggan ketaatan dan kebaikan. Hanya saja, pemaknanya bukan sebagaimana yang telah diplesetkan setan. Tapi, Allah membuka pintu taubat siang dan malam adalah sebagai rahmat bagi hamba yang beriman dengan syarat, taubatnya adlaah taubat nashuha. Taubat yang benar-benar dilandasi keinginan untuk berhenti mengonsumi produk maksiat. Bukan sebagai peluang agar manusia bisa bermain-main, meloncat-loncat dari garis ketaatan menyeberangi garis kemaksiatan sesuka hatinya, berulang kali.

Oleh karenanya kita tidak bisa merasa aman meskipun telah berhenti dan jauh dari kemaksiatan. Kewaspadaan terhadap tipuan setan yang bervariasi harus terus ditingkatkan. Wallahul musta’an. (T.anwar)