Seni Menjawab Keingintahuan Anak

 

“Ma, katanya Allah Maha Melihat. Tapi mengapa Allah menyuruh malaikat untuk mencatat dan melaporkan  semua amal manusia? Bukankah Allah bisa melakukannya sendiri?”

 

#senyum

Pernahkah Bunda menghadapi anak dengan pertanyaan seperti ini? Inilah sebuah keingintahuan yang terlontar dari mulut seorang balita. Mengapa begini atau mengapa begitu. Entah apa yang mereka pikirkan. Namun yang pasti, setiap orang tua maupun para pendidik yang berinteraksi aktif dengan anak, harus selalu siap menjawab semua pertanyaan mereka.

Pertanyaan anak-anak jaman sekarang, memang jauh berbeda dibanding masa kecil kita dulu. Media informasi yang diwakili oleh gadget dan televisi, telah banyak mereformasi cara berpikir setiap orang, termasuk anak-anak. Terlebih gaya pendidikan masa kini telah menjadikan mereka untuk bebas bertanya kepada orang-orang terdekatnya.

Namun bila kita perhatikan, pertanyaan yang muncul biasanya tidak jauh dari apa yang mereka lihat,amati dan rasakan. Ya, semua didorong oleh rasa ingin tahunya yang besar terhadap segala sesuatu.

Bekal rasa ingin tahu ini memang telah ada sejak manusia lahir. Kehebatan rasa ingin tahu inilah yang membuat bayi bisa merangkak, berjalan dan bicara. Selanjutnya rasa ingin tahu ini akan menentukan kualitas perkembangan otak seseorang. Ketika seorang bunda berkata “Tidak boleh!” Reflek mereka akan berkilah, “Memangnya kenapa kok tidak boleh?”

Baca Juga: Parenting Islami; Mama Galak, Kasihan si Anak

Sayangnya, tak sedikit orang tua yang memberikan intervensi negative sehingga naluri penting ini terkubur begitu saja. Sebagian mereka terkadang merasa tidak perlu menjawab pertanyaan anak yang terdengar konyol, lugu dan dibuat-buat. Bahkan menganggapnya tak berarti dan hanya membuang waktu. Tahukah bunda, hal membuat anak belajar untuk mematikan rasa ingin tahu. Ketika pertanyaan-pertanyaan mereka tidak terjawab dengan baik, mereka menjadi malas bertanya, apatis, dan tidak peduli dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tentu saja, ini sangat tidak mendidik dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak kelak.

Kita mungkin mengira, balita masih terlalu kecil dan tidak mengerti apa-apa tentang semesta kehidupannya. Padahal salah besar kalau kita menganggap seperti itu. Mereka justru memiliki daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari apa yang kita pikirkan. Dari sekian pertanyaan yang diajukan, pasti ada yang masuk dan direkam baik dalam otaknya. Mengapa? Karena otak mereka yang masih terus berkembang ini belum terpengaruh untuk memikirkan hal-hal komplek. Sehingga satu pertanyaan saja, bagi mereka ibarat mempelajari sebuah bab pelajaran sekolah sebagaimana yang dipelajari kakak-kakaknya. Maka setiap jawaban atas pertanyaan yang diajukannya akan mengasah ketajaman otaknya.

 

TRIK MENJAWAB PERTANYAAN ANAK

 

  1. Sabar

Orang tua biasanya merasa tidak punya waktu mendengarkan dan menjawab semua pertanyaan anak karena sempitnya waktu bersama mereka. Seorang ibu yang sudah disibukkan oleh berbagai pekerjaan rumah, mungkin akan lelah menghadapi seribu satu pertanyaan yang diajukan mereka. Ujung-ujungnya, tak jarang si anak malah mendapat bentakan, “Sudah diam. Ibu capek!” Jadi, salut kepada orang tua yang bersedia duduk diam menghentikan pekerjaannya, demi menjawab setiap keingintahuan anak.


  1. Jawab dengan Benar

Jawablah setiap pertanyaan anak dengan bahasa mereka yang singkat dan mudah dimengerti. Jika tidak tahu jawaban yang benar, lebih baik katakan tidak tahu. Jadi jangan bersikap sok tahu. Alih-alih mendapat jawaban yang tepat, anak justru menelan informasi yang ternyata salah. Respon yang baik dari orang tua akan membantu proses berpikir dan pemahaman mereka kelak. Tidak masalah bila ternyata mereka belum puas dengan jawaban yang diberikan sehingga kemudian bertanya lagi, lagi dan lagi. Orang tualah yang kemudian dituntut mencari jawab dengan bertanya, membaca, dan sebagainya.


  1. Mengajak Anak Ikut Mencari Jawab atas Pertanyaan yang Sulit

Mengajak anak membuka buku bersama atau bertanya kepada orang yang lebih tahu. “Yuuk… kita tanya ayah. Siapa tahu ayah lebih mengerti.” Dengan demikian si kecil akan belajar, bila kelak menghadapi masalah ia akan mencari orang yang bisa membantunya memecahkan masalah atau mencarinya di berbagai literatur.


  1. Adakalanya Tidak Langsung Dijawab.

Untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’, biarkan mereka berpikir dengan ikut mencari jawabnya. Maklumi jika jawabannya juga masih sangat sederhana karena kemampuan berpikirnya juga masih sangat terbatas. Khusus untuk pertanyaan ‘mengapa’ yang berhubungan dengan akidah, ibadah dan akhlak, giringlah mereka kepada perintah ittiba’ Rasul yang telah disyari’atkan.

 

Jadi, biarkan anak-anak bertanya. Karena itu adalah bagian dari hak mereka. Sesungguhnya selama 24 jam penuh, kitalah yang bertanggungjawab atas titipan Allah ini. Ya, untuk meluruskan, memperbaiki kesalahan dan membiarkan mereka berbuat kebaikan. Wallahu ‘alam.

 

Oleh: Redaksi/Parenting Islami

Parenting Islami: Mama Galak, Kasihan Si Anak

Karakter ‘galak’ tidak semata dimiliki oleh ibu saja. ‘Galak’ bisa pula tersematkan menjadi sebuah hiasan sikap yang nggegirisi dalam pribadi seorang ayah. Namun, melihat kedekatan anak dengan ibu yang secara fitrah jauh lebih lekat ketimbang dengan ayahnya, terutama di masa kanak-kanak, maka fenomena ‘ibu galak’ patut diperbincangkan secara serius. Lebih serius lagi, kalau ternyata ayah dan ibu dalam sebuah keluarga sama-sama berkarakter galak dan keras dalam menyikapi perilaku anaknya. Sungguh, dentuman bentakan dan kegalakan yang terekspresikan dalam sikap ayah dan ibu, akan menjadi sebuah pupuk perdana yang akan menyemaikan watak keras dan nakal dalam diri anak. Dan, kerasnya anak maupun nakalnya anak merupakan bencana kehidupan bagi ayah-ibunya!

 

Dampak Buruk Sikap Galak

Banyak faktor yang menyebabkan ibu bersikap keras terhadap anaknya. Kondisi keluarga yang sedang dirundung masalah, atau suasana batin ibu yang tertekan oleh berbagai problema, sangat berpotensi memekarkan ‘sikap galak’ pada diri ibu. Sesekali bersikap keras mungkin masih bisa ditolerir, namun jika kegalakan itu hampir setiap hari ditembakkan kepada anaknya, maka jangan berharap kelembutan dan kesantunan budi akan menghiasi kepribadian anak Anda. Bukankah Rasulullah SAW menghasung kita untuk bersikap lembut dan kasih sayang? Beliau bersabda :

عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ وَإِيَّاكِ وَالْعُنْفَ وَالْفُحْشَ

 “Hendaknya kamu bersikap lemah-lembut, kasih sayang dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR. Bukhari)

Salah satu bentuk kegalakan yang sering dilakukan oleh orang tua adalah mengeluarkan kata-kata kasar dan ungkapan-ungkapan buruk yang ditujukan kepada si anak. Muhammad Rasyid Dimas dalam bukunya Siyasat Tarbawiyyah Khathi’ah mengutip beberapa contoh kalimat yang kerapkali diucapkan para orang tua –umumnya ketika sedang marah– dan disinyalir dapat melukai jiwa anak. Yakni ungkapan-ungkapan seperti, “Goblok!”, “Kamu tolol!”, “Diam, dungu!”, “Kemarilah, hai anak nakal!”, “Kamu seperti keledai, tidak paham juga!”, “Aku tidak merasa bangga kamu jadi anakku!”, “Kamu orang paling bodoh yang pernah saya lihat!”, “Mengapa kamu tidak seperti adikmu!”, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Ajarkan Muraqabah Pada Anak, Agar Selamat Dunia Akhirat

Kalimat-kalimat semacam itu, menurut Rasyid Dimas, sangat berbahaya bagi jiwa anak, dan hendaknya dihindari oleh para orang tua. Kalimat-kalimat seperti itu jika terlalu sering diucapkan akan menjadikan anak merasa diintimidasi, dizhalimi dan diitindas, sehingga menyebabkan luka di dalam jiwanya. Luka tersebut tidak akan hilang dalam waktu yang cepat, melainkan akan menempel kuat dan membuat parit yang dalam pada perasaan dan jiwanya. Dan itu akan menghambat proses perkembangan jiwa si anak dan membuatnya menjadi orang yang introvert (tertutup), murung, merasa tidak aman dan membenci diri sendiri; serta akan menumbuhkan sikap aprioiri, pembangkang, frustasi, pasif dan suka bermusuhan dengan orang lain. Yang lebih parah lagi, hal itu akan memangkas rasa percaya diri dan motivasi anak, sehingga anak menjadi mudah putus asa, minder dan tidak memiliki semangat untuk maju.

Melihat efek negatif sikap galak terhadap kejiwaan anak, maka ibu (maupun ayah) dituntut harus bisa mengerem dan menahan diri. Jangan sampai kegalakan itu cepat tersulut setiap waktu, sehingga anak kerapkali menjadi bulan-bulanan kemarahan dan sikap keras orang tua. Kalau ini yang terjadi, maka sungguh kasihan si anak!!

 

La Taghdhab!

Islam sebenarnya telah mengajarkan kepada kita untuk menghindari sifat marah dalam hidup ini, apalagi itu ditujukan kepada anak. Diriwayatkan dari Abu Hurairah a, bahwasanya ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi SAW, “Berilah wasiat kepadaku.” Beliau menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki tersebut mengulang-ulang perkataannya beberapa kali. Beliau pun selalu menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari)

Seseorang mendatangi Ibnul Mubarak –semoga Allah merahmatinya– dan berkata, “Coba rangkumkan akhlak yang baik dalam satu kalimat!” Maka, Ibnul Mubarak menjawab, “Hindari marah!”

Baca Juga: Salah Kaprah Dalam Mendidik Anak

Sungguh, wasiat la taghdhab (jangan marah) yang disampaikan oleh Nabi kepada kita, akan membawa kemaslahatan yang berlimpah jika kita bisa ‘membumikannya’ dalam realitas kehidupan kita, termasuk dalam keluarga kita. Seorang ibu yang mengedepankan kelembutan dan membuang jauh-jauh kegalakan saat berinteraksi dengan anaknya, akan lebih berpeluang menggapai kesuksesan dalam mencetak anak shalih-shalihah. Karena, Allah Ta’ala akan mencintai dan mencurahkan kebaikan kepada keluarga yang dinaungi oleh sifat kelembutan. Nabi SAW bersabda :

إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ أَهْلَ بَيْتٍ أَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ

 “Sesungguhnya Allah jika mencintai penghuni sebuah rumah, Dia akan menanamkan kepada mereka sikap lemah-lembut.” (HR. Ibnu Abi Dunya dan selainnya, terdapat dalam Shahihul Jami’, no. 1704)

 

Tips Meredam Kegalakan

Apabila suatu ketika, karena beberapa faktor, ketegangan tak dapat dihindarkan, marah telah membuncah, emosi telah meninggi, dan kegalakan telah terpancing untuk diledakkan, maka Islam memberikan tips syar’i untuk meredam kemarahan. Yang jelas, pertama kali, ia harus segera sadar bahwa marah adalah penyakit kronis yang akan menimbulkan berbagai bencana yang hebat. Lalu, hendaklah ia menjauhi hal-hal yang bisa semakin membakar emosinya, dan hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan. Karena, pada hakikatnya, marah itu berasal dari setan. Berwudhu saat marah juga sangat positif untuk dilakukan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Maka, apabila salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia berwudhu.” (Sunan Abi Dawud, No. 4784, hal. 678)

Hendaklah ia tetap berada pada posisinya semula. Jika orang yang marah dalam kondisi duduk, maka janganlah ia berdiri, karena gerakan tertentu saat marah bisa membangkitkan emosi lebih besar lagi. Namun, mengubah posisi kepada yang lebih rendah lagi saat marah, bisa dilakukan. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian marah dan ia sedang berdiri, maka hendaklah ia duduk. Dan jika marahnya belum sirna dari dirinya, hendaklah ia berbaring” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah). Juga, hendaklah ia menahan diri dari berkata-kata saat sedang marah, karena ucapan yang meluncur dari bibir yang gemeretak karena marah, berpotensi untuk semakin menyulut emosi. Beliau bersabda, “Dan apabila salah seorang dari kalian marah, maka hendaklah ia diam.” (HR. Ahmad)

Demikian. Semoga setelah membaca tulisan singkat ini, Anda tak lagi menjadi ibu yang galak. Anda akan berubah menjadi ibu yang ramah-menyejukkan saat berinteraksi dengan anak-anak dan suami Anda. Wallahul musta’an

 

Oleh: Redaksi/Parenting Islami

Salah Kaprah Mendidik Anak

Ibu merupakan salah satu aktor pendidik yang utama dalam keluarga, di samping seorang bapak. Peran ibu sebagai pendidik dalam keluarga tak bisa diremehkan. Berapa banyak tokoh umat dan ‘orang besar’ yang muncul karena hasil sentuhan pendidikan seorang ibu muslimah yang bijak.

Sebagai alarm dan rambu bagi para ibu dalam mendidik anaknya, setidaknya ada dua pola pendidikan anak yang ‘salah kaprah’ tapi sudah menjamur di kalangan para orangtua dan pendidik lainnya.

 

Sikap keras yang menindas

Berangkat dari asumsi yang keliru, banyak para ibu dan orangtua pada umumnya agar anak mereka disiplin, langkah yang diambil adalah dengan kekerasan, keras dalam berinteraksi dan keras dalam menghukum. Dalam benak para pendidik, yang demikian akan menjadikan anak disiplin dan teratur. Ucapan kasar, terkadang juga pukulan diyakini dapat memperlihatkan kewibawaan orangtua. Dengan begitu anak akan terbius dengan wibawa sang orangtua dan tunduk patuh terhadap perintah mereka.

Dalam kondisi seperti ini, hubungan orangtua menjadi timpang-tindih antara atas dan bawah. Orangtua laksana majikan yang memiliki wewenang penuh untuk mendikte anak, memarahinya jika salah dan memberinya hukuman jika melakukan tindakan yang tidak diinginkan oleh orangtua. Anak bagaikan budak yang hanya bisa tunduk, ‘sendika dawuh’ terhadap permintaan juragannya. Dengan demikian anak telah kehilangan emas dari sakunya, usia emas pertumbuhan, kebebasan berekspresi dan bermain dengan ceria.

Orangtua yang demikian tidak sadar bahwa dalam diri anak ada gejolak pertumbuhan dan menggali potensi dini yang kelak akan jadi harta karun saat mereka menginjakkan usia dewasa. Adapun anak yang dibimbing dalam tekanan dan pukulan akan berpotensi menjadi anak yang nakal dan pembangkang ketika kelak dewasa. Karena ketidakpuasan dan bara dendam terhadap perilaku dan sikap orangtua kepadanya waktu masih kecil.

Muhammad Rasyid Dimas dalam bukunya ‘Siyasat Tarbawiyyah khati’ah’ menegasakan bahwa pola kekerasan dalam mendidik anak berbahaya bagi jiwa anak. Menjadikan anak merasa diintimidasi, dizhalimi dan ditindas akan membuat luka dalam diri anak yang akan menempel kuat dan sulit untuk menghilanginya dalam waktu cepat. Yang demikian akan menghambat proses perkembangan anak dan akan membuatnya menjadi orang yang tertutup, murung, pembangkang, dan akan mengikis rasa percaya diri anak, sehingga anak mudah putus asa, minder dan tidak memiliki semangat untuk maju.

 

Sikap sayang yang memanjakan

Kebalikan dari yang diatas, jika yang pertama ibu atau orangtua terlalu keras dan kasar dalam mendisiplinkan anak, pola yang kedua inipun juga berbahaya dan seringkali dijumpai dalam sebuah keluarga. Sikap ibu yang terlalu sayang dan cinta pada anaknya, sampai ia sangat memanjakan dan memberi apa saja yang anak minta. Menyayangi dan mencintai anak itu baik, tapi terlalu memanjakan anak sangatlah berbahaya.

Para pakar pendidikan anak menegaskan bahwa memanjakan anak secara berlebih adalah kesalahan besar orangtua yang akan menyebabkan jiwa anak rapuh. Muhammad Al-Hamd dalam bukunya berkata bahwa mendidik anak dengan memanjakannya akan merusak fitrah (naluri) anak, melenyapkan keistiqamahan, merusak kewibawaan dan keberanian, sehingga anak akan tumbuh dan terbiasa hidup mewah, royal, egois, dan tidak peka dengan keadaan sekitar.

Sedangkan menurut Muhammad Rasyid Dimas memanjakan anak akan menimbulkan 6 dampak buruk. Pertama, anak menjadi tidak mandiri, tidak mau melakukan sesuatu kecuali bila dibantu orang lain. Kedua, anak terus-menerus meminta perlindungan ke orangtua dan takut terlepas dari mereka. Ketiga, anak tidak memiliki kesadaran akan tanggung jawab dan tidak menghormati tanggung jawab. Keempat, anak memiliki sikap egois dan posesif. Kelima, anak kehilangan percaya diri, dan merasa selalu gagal. Keenam, anak tumbuh menjadi pribadi yang acuh tak acuh.

Demikian dua pola yang salah dan sudah menjamur di kalangan para pendidik. Adapun pendidik yang cerdas adalah yang mampu bersikap tegas dan bersikap lunak secara bervariasi sesuai keadaan dan kebutuhan si anak, bukan melulu mendidik dengan kekerasan dan bukan pula dengan kelembutan terus-menerus.

Semoga bermanfaat.

 

(Majalah ar-risalah edisi niswah, 104/2010)

Saat Berharga Bersama Anak

Ada saat-saat berharga dimana orang tua dapat mengajarkan banyak hal kepada anak. Ada saat-saat rutin seperti makan dan bermain. Ada juga kejadian besar seperti saat bepergian. Saat-saat tersebut dapat dijadikan wasilah bagi orang tua untuk menanamkan keimanan dan akhlak mulia pada anak.

Pendidikan pada momentum tertentu memiliki pengaruh yang besar pada jiwa dan pikiran anak. Sebab peristiwa kaya akan pemahaman dan tak terbatas pada satu hal saja. Momentum tertentu juga membuka pintu dialog antara guru dan murid yang bisa mengarah pada pengembangan ide dan pengetahuan yang dimiliki anak.

Memanfaatkan saat-saat bersama anak sebagai sarana mendidik,

1.Saat makan

Makan bersama keluarga merupakan salah satu momentum yang sangat berharga. Pada saat itu anak dapat leluasa bercerita tentang apa yang dialami sehingga hubungan orang tua dan anak terjalin baik dan orang tua dapat mengetahui kondisi anak-anaknya. Bagi orang tua, saat makan juga bisa dimanfaatkan untuk memberikan pengajaran karena semua anggota keluarga dalam kondisi rileks.

Pernah suatu kali Rasulullah makan bersama seorang anak dalam satu piring. Anak tersebut belum mengetahui bahwa ketika makan ada etika yang harus diperhatikan. Rasulullah kemudian mengajarkannya etika makan yang baik. Hal ini diceritakan sendiri oleh si anak, yaitu Umar bin Abi Salamah. Ia bercerita, “Ketika aku masih kecil, aku pernah berada dipangkuan Rasulullah saat makan. Tanganku sering berpindah-pindah. Lalu Rasulullah bersabda,

يا غلام سم الله وكل بيمينك و كل مما يليك

“Nak, ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kanan, dan ambillah yang dekat darimu.” (HR. Ibnu Majah]

Sayangnya, saat ini jarang sekali keluarga yang mempraktikkan makan bersama keluarga kecuali pada saat-saat tertentu saja. Kalaupun makan dalam waktu yang bersamaan, mereka berada di tempat yang berbeda-beda. Atau berada dalam satu ruangan namun setiap anggota keluarga sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Bila kita mampu merutinkan makan bersama seluruh anggota keluarga, setidaknya saat makan malam, sambil mengobrol ringan, insyallah banyak manfaat dan pelajaran yang bisa kita ambil.

2.Saat ayah pulang

Dahulu, para sahabat sering berkumpul bersama Nabi sampai tengah malam untuk membicarakan masalah umat. Meskipun begitu, sahabat tidak pernah menyia-nyiakan waktunya yang hanya sedikit untuk berkumpul bersama keluarga. Makan bersama, duduk bersama, menanyakan perkembangan anak-anaknya.

Suatu ketika salah seorang sahabat terlambat pulang dan tidak sempat berkumpul dengan keluarga. Ketika pulang, ia mendapati anak-anaknya sudah tertidur. Istrinya pun menghidangkan makanan. , namun ia enggan karena merasa telah melalaikan anak-anak. Karena rasa bersalah, ia bersumpah tidak akan makan pada malam itu.

3.Saat masuk rumah

Anas bin Malik, salah seorang sahabat yang bekerja membantu Rasulullah pernah masuk ke rumah Nabi tanpa meminta izin terlebih dahulu. Karena itu Rasulullah mensihatinya, “Nak, jangan masuk tanpa izin karena bisa saja di dalam terjadi sesuatu yang kamu tidak boleh tahu.” (HR. Bukhari)

4.Saat jalan-jalan

Akhdar bin Muawiyah pernah berjalan bersama pamannya, Ma’qil bin Yasar. Saat itu mereka menemukan duri di tengah jalan dan Ma’qil memungutnya kemudian menyingkirkannya. Akhdar pun melakukan hal yang sama ketika menemukan duri. Ma’qil pun bertanya, “Nak, kenapa kamu melakukan itu?” Akhdar menjawab, “Paman, aku melihatmu melakukannya maka aku pun mengikutinya.” Ma’qil berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
Siapa yang menyingkirkan duri dari jalan kaum muslimin, dicatat baginya sebagai kebaikan dan siapa yang kebaikannya diterima maka ia akan masuk surga.”
(HR. Thabrani).

5.Saat naik kendaraan

Abdullah bin Abas berkata,“Pernah suatu hari aku diboncengkan oleh Nabi. Beliau bersabda kepadaku, Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi)

Memanfaatkan saat-saat di dalam kehidupan anak mempunyai pengaruh yang sangat besar. Meskipun momentum itu sederhana, akan melahirkan manfaat luar biasa bila dimanfaatkan dengan sempurna. Sebaliknya, sebuah momentum besar tidak akan berfaedah bila tidak bisa memanfaatkannya.

Dakwaan Palsu

Anak shalih! Ya, anak shalih! Sebuah kata yang menjadi pengharapan besar atas nama regenerasi orangtua yang beriman. Sebuah kata yang memberi energi luar biasa bagi orangtua untuk berjuang, berkorban, mengalah dan bersabar demi hasil fantastis tersebut. Ya, fantastis sebab ia bukan hanya menjadi standar keberhasilan sebuah kebaikan kemanusiaan, namun juga kenyamanan rasa atas pertunjukkan kebaikan yang menentramkan jiwa, serta bekal menuju akhirat yang luar biasa. Bukankah doa anak shalih akan menjadi amal ‘abadi’ yang terus menerus memberi manfaat bagi orangtua, pasca kematian mereka?

Tapi, seringkali harapan tinggallah harapan jika upaya untuk mewujudkannya tidak sesuai dengan prosedur yang benar, kesungguhan yang meragukan, hingga kerja yang kontra produktif. Jauh asap dari api jika harapan hanyalah angan-angan semu diiringi kebodohan, sikap tak peduli, juga usaha setengah hati. Ia akan tetap tertinggal di benak dan tidak akan mewujud dalam kenyataan, hingga hanya akan menorehkan kecewa dan sesal yang tak berguna.

Berapa banyak anak- anak yang menyandang nama mengandung keshalihan namun gagal menjadi anak-anak shalih dalam arti yang sebenarnya, meski mereka juga berasal dari pengakuan akan kerja dan usaha maksimal dari para orangtua? Tentu akan lebih menyakitkan jika panggilan keshalihan seumur hidup itu tidak menemukan kenyataannya. Lalu, apa atau siapa yang salah dalam hal ini?

Ada pernyataan menarik dari Imam Ibnul Qayyim dalam hal ini. Di dalam kitab Tuhfatul Maudud beliau mengatakan, “Betapa banyak orangtua yang menyengsarakan anak dan buah hatinya di dunia dan akhirat dengan mengabaikannya, meninggalkan pendidikannya, dan memfasilitasi syahwatnya. Dia mengaku telah memuliakannya padahal dia telah merendahkannya. Dia juga mengaku telah menyayanginya padahal dia telah menzhaliminya. Maka hilanglah bagiannya pada anak itu di dunia dan akhirat.”

Pakar pendidikan kita ini menjelaskan kesalahan orangtua yang terjadi bersamaan dengan pengakuan atau dakwaan kebaikan mereka. Mendakwakan diri telah memuliakan padahal malah menghinakan, mengaku telah menyayangi padahal justru menzhalimi. Orang Jawa menyebutnya dengan kalimat ‘welas tanpa alis’ atau mengasihi namun menjerumuskan. Hal ini terjadi, tentu saja bukan karena salah niat. Tapi lebih karena kebodohan dan kerja yang tidak maksimal. Niat saja tidak cukup! Itu intinya.

Beliau rahimahullah menyebutkan tiga kesalahan utama orangtua, yaitu mengabaikan, tidak mendidik, serta memfasilitasi syahwat anak-anak mereka. Kesalahan yang tidak difahami kecuali oleh mereka yang mengerti. Bahkan bagi kebanyakan orangtua, melakukan hal- hal tersebut dianggap benar dan lazim, hingga mereka mendakwakan diri telah memuliakan dan menyayangi anak-anak dengan cara tersebut. Padahal menurut Ibnul Qayyim, tindakan para orangtua itu berkebalikan adanya; yaitu justru menghinakan dan menzhalimi.

Lalu, adakah yang lebih menakutkan dari fakta tentang ketidaktahuan akan sesuatu namun sangat percaya diri telah mengetahuinya? Tidak faham tentang konsep keshalihan, aplikasi teknisnya, hingga berbagai variabel pendukungnya, hingga berjalan di jalan yang salah, namun sangat yakin telah melakukan kebenaran dan kebaikan demi anak-anak tercinta. Bukankah padi akan berbuah padi juga?

Sebagai kesalahan pertama, mengabaikan anak adalah indikasi ketidakpedulian dan lemahnya tanggung jawab. Sedang tidak mendidik anak dengan baik mengisyaratkan ketidaktahuan peran dan kebodohan tentang prioritas hidup. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Tidak ada pemberian bapak kepada anaknya yang lebih utama daripada pendidikan yang baik.” HR. At Tirmidzi.

Adapun memberi fasilitas kesenangan kepada anak-anak tanpa pengetahuan tentang kebutuhan asasi mereka sesuai usia, tanpa pembatasan berdasarkan kebutuhan akan hiburan, juga tanpa kontrol yang baik, alih-alih mendidik anak-anak menuju kebaikan, hal itu malah akan menjerumuskan mereka menjadi penghamba syahwat, pemalas, juga pemuja dunia. Meski kadang ada motif tersembunyi yang menemukan kendaraannya; kebanggaan orangtua akan prestasi duniawi mereka yang mereka perlihatkan melalui kemanjaan berlimpah kepada anak-anak.

Padahal, berbagai fasilitas syahwat hari ini rentan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Mulai dari ajaran kekerasan yang masif, jiwa individual yang menonjol, nihilnya nilai-nilai utama dan luhur, hingga sikap hedonis yang akut. Sebagian besar dari sarana kesenangan itu malah memudahkan anak-anak mengakses berbagai kekejian dan kekotoran yang terlalu dini untuk usia mereka. Sehingga akibat paling logis dari tindakan orangtua seperti ini adalah kehilangan bagian kebaikan dari anak-anak mereka di dunia dan akhirat.

Maka bagi para orangtua, pengambilan amanah sebagai pendidik anak-anak yang utama dan pertama harus dilakukan dengan sepenuh jiwa. Diiringi dengan ilmu yang mencukupi dan ketrampilan teknis yang memadai. Juga keikhlasan hati agar Allah memberikan kemudahan dan menutupi kekurangan.

Sehingga sebelum menyalahkan anak-anak yang gagal menjadi shalih, alangkah lebih baik jika para orangtua melakukan instropeksi diri tentang apa yang telah mereka lakukan. Sebab Ibnul Qayyim pernah berkata, “Perintah Allah kepada para bapak untuk mendidik anak-anak mereka datang lebih dulu daripada perintah Allah kepada para anak untuk berbakti kepada bapak-bapak mereka.”

Agar kewajiban kita sebagai orangtua adalah kerja nyata, dan bukan sekadar dakwaan dusta bahwa kita telah pantas menjadi teladan bagi anak-anak kita.