Hukum Jual Kulit Qurban & Memberi Upah Bagi Tukang Sembelih

Sebentar lagi kaum muslimin kedatangan hajat berupa penyembelihan hewan qurban di hari iedul adha. Banyak kaum muslimin yang belum memahami sepenuhnya tentang fikih qurban. Olehnya tidak sedikit yang menyamakan qurban dengan ibadah menyembelih seperti biasa. Padahal tentu beda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan; di antaranya tentang menjual daging dan kulit hewan qurban dan memberi upah panitia qurban dengan daging. Bagaimana hukumnya? kita simak berikut ini,

Haram hukumnya memberikan daging sembelihan kepada tukang sembelihan sebagai upah baginya, sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan ahlu ra’yu, sebagaimana sabda Rasulullah:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا . قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

Dari Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ supaya mengurus untanya, serta kulit dan kelasanya (punuk), dan kiranya aku tidak akan memberikan sedikitpun dari binatang udhiyah tersebut kepada tukang sembelih, Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi. (HR. Bukhari & Muslim)

Berkaitan dengan menjual daging dan kulit hewan kurban, maka tersebut dalam hadits berikut ini,

Dari Sa’id, sesungguhnya Qatadah bin Nu’man memberitahu kepadanya, bahwa Nabi berdiri lalu bersabda, “Aku pernah memerintahkan kalian agar tidak makan daging udhiyah sesudah tiga hari untuk memberi kelonggaran kepada kamu, tetapi sekarang aku halalkan bagi kalian, karena itu makanlah daripadanya sesukamu. Dan janganlah kamu jual daging hadya dan daging udhiyah, makanlah, sedekahkanlah dan pergunakanlah kulitnya tetapi jangan kamu jual dia, sekalipun sebagian dari dagingnya itu kamu berikan, maka makanlah sesukamu”. (HR. Ahmad )

Al-Qurthubi berkata, “Hadits ini menunjukkan, bahwa kulit binatang udhiyah atau hadya dan punuknya tidak boleh dijual, karena kata julud (kulit) dan Ajillah (punuk) itu ma’thuf (dihubungkan) dengan lahm (daging) jadi hukumnya sama. Para ulama’ sepakat, daging udhhiyah itu tidak boleh dijual. Maka begitu pula kulitnya dan punuknya.

Adapun bila diberikan kepada tukang sembelih karena kefakirannya, atau sebagai hadiah maka tidak mengapa, karena dia juga berhak untuk mengambilnya sebagaimana orang lain. Bahkan, dia lebih pantas untuk menerimanya, karena dia telah mengurusnya dan telah mengorbankan dirinya untuk hal itu. Wallahu a’lam

Oleh: Redaksi/Fikih

Khutbah Iedul Adha 1440 H: Kebahagiaan Butuh Pengorbanan

Khutbah Iedul Adha 1440 H

Kebahagiaan Butuh Pengorbanan

DOWNLOAD PDF KLIK DI SINI!

 

إنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِالله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ

فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِوَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ؛

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

 

Merayakan Iedul Adha kita mengenang kembali pengorbanan Nabi Ibrahim untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Sebagai bukti iman dan ketundukan hamba kepada Rabbnya. Kita berusaha mewarisi jiwa pengorbanan beliau sebagaimana para shahabat Rasulullah rela mengorbankan harta, tenaga, dan nyawanya untuk Islam.

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Dalam kitab ar-rahiq Al-Makhtum, Syaikh Shafiyur Rahman Mubarakfuri menceritakan banyak sekali kisah pengorbanan para shahabat Rasulullah pada masa awal dakwah Islam di Makkah. Salah satu yang beliau kisahkan adalah shahabiyah Sumayyah binti Khayyat, istri dari Yasir radhiyallahu ‘anhuma. Dia adalah hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah.

Ketika mengetahui keislamannya, Musyrikin Quraisy tidak rela jika keluarga ini mengenyam manisnya Islam, hingga Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari Islam, mereka memaksa dengan cara mengeluarkan mereka ke padang pasir saat terik matahari panas menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan sebongkah batu besar di atas dadanya. Akan tetapi, tiada terdengar rintihan atau pun ratapan, melainkan ucapan, “Ahad … Ahad ….

Saat Rasulullah ﷺ menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa dengan kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru,

صَبْرًا آلَ يَاسِرٍفَإِ نِّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ

Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.” (HR al-Hakim)

Mendengar seruan Rasulullah ﷺ maka Sumayyah binti Khayyat bertambah tegar dan optimis. Dengan kewibawaan imannya, dia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”

Baginya kematian adalah sesuatu yang remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para tagut yang zhalim; mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya, sekalipun hanya satu langkah semut.

Hingga tatkala musuh-musuh Allah telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah binti Khayyat maka Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkan sangkur yang berada dalam genggamannya kepada Sumayyah binti Khayyat. Terbanglah nyawa beliau dari raganya, dan beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau syahid setelah memberikan contoh baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan pengorbanan.

Beliau relakan nyawanya demi meraih puncak kemuliaan. Beliau jual nyawanya untuk mendapatkan ‘barang dagangan’ yang paling berharga dari Allah, yakni jannah.

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Surga itu mahal. Surga itu istimewa luar biasa nilainya. Kebahagiaan tiada tara, kemewahan tiada banding, kemuliaan tiada tanding, dan kenikmatan yang tak ada akhirnya. Tak terselip sedikit pun derita atau kesusahan di dalamnya. Maka siapapun yang ingin mendapatkannya hendaknya sadar, bahwa ia hendak memiliki sesuatu istimewa tiada tara. Selayaknya ia mengorbankan apapun yang ia punya untuk mendapatkannya dan membayarnya dengan seberapapun harganya.

Rasulullah bersabda,

أَلَا إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ غَالِيَةٌ أَلَا إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ الْجَنَّةُ

Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah surga.” (HR. Al-Tirmidzi, beliau berkata hadits hasan. Dishahihkan Al-Albani)

Jika kita rela berpayah-payah sepanjang hari untuk bisa membeli rumah, memeras keringat demi mendapatkan kendaran roda empat dan mengorbankan waktu dan harta agar bisa menjadi seorang pejabat, lantas dengan apa kita hendak membeli Jannah? Dengan apa kita hendak mendapatkan rumah yang panjangnya 60 mil dengan batu bata terbuat dari emas dan perak di jannah. Dengan apa kita hendak memperoleh kendaraan yang terbuat dari Yaqut dan bisa terbang kemana pun kita suka?

Sangat mengherankan bila ada orang yang hendak membayar sesuatu yang luar biasa berharga hanya dengan sisa receh di sakunya. Mengherankan jika ada orang yang menyumbangkan sisa-sisa waktu dan tenaga lalu berharap menempati kedudukan mulia di surga. Alangkah percaya dirinya seseorang yang merasa cukup dengan ibadah-ibadah yang dilakukan dengan tergesa-gesa dan jauh dari sempurna, lalu mengharapkan ganjaran yang tiada tara.

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Ada pelajaran menarik dari kisah seorang shalih. Suatu kali ia melakukan suatu perjalanan dan di tengah perjalanan ia mencari tempat untuk menunaikan hajatnya. Tampak seorang pemuda berjaga di tempat tersebut, lalu mengatakan, “jika kamu mau masuk ke tempat ini, maka kamu harus membayarnya.” Mendengar ucapan tetersebut orang shalih tadi terdiam dan menitikkan air mata. Pemuda itu pun heran dan berkata, “Jika kamu tak punya uang, carilah tempat lain.” Laki-laki itu berkata, “Aku menangis bukan karena tidak memiliki uang. Aku menangis karena merenungi, jika tempat sekotor ini saja harus membayar untuk memasukinya, apalagi surga yang begitu indahnya.”

Selayaknya kita merenungi, apa yang telah kita lakukan untuk mendapatkan jannah. Berapa durasi waktu yang kita sediakan kemudian kita bandingkan dengan waktu dan usaha yang kita habiskan ketika hendak memperoleh sebagian dari kenikmatan dunia. Kita mengetahu surga itu mahal, tapi seringkali kita menghargainya terlalu murah.

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

 Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Allah telah menawarkan ‘barang dagangannya’ kepada hamba-Nya dengan harga yang telah ditetapkan. Sebagaimana firman-Nya,

 إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah: 111)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia memberi ganti dari jiwa dan harta benda para hamba-Nya yang beriman dengan surga, lantaran mereka telah rela mengorbankannya di jalan-Nya. Ini merupakan karunia, kemuliaan dan kemurahan-Nya.”

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Basyir bin al-Khashashiyyah Radhiyallahu ‘Anhu sebagiamana diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam mustadraqnya menuturkan, “Aku pernah mendatangi Rasulullah untuk bersyahadat. Maka beliau mensyaratkan kepadaku:

تَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَتُصَلِّي الْخَمْسَ ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

Engkau bersaksi  tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, engkau shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berjihad di jalan Allah.

Dia melanjutkan, “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, ada dua yang aku tidak mampu; pertama zakat, karena aku tidak memiliki sesuatu kecuali sepuluh dzaud (sepuluh ekor unta) yang merupakan titipan dan kendaraan bagi keluargaku. Kedua jihad, karena orang-orang yakin bahwa yang lari ketika perang maka akan mendapat kemurkaan dari Allah, sedangkan aku takut jika ikut perang lalu aku takut mati dan ingin (menyelamatkan) diriku.”

Kemudian Rasulullah menggenggam tangannya lalu menggerak-gerakkannya sembari bersabda,

لَا صَدَقَةَ وَلَا جِهَادَ فَبِمَ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟

Tidak shadaqah dan tidak jihad? Dengan apa engkau masuk surga?

“Lalu aku berkata kepada Rasulullah,” kata Basyir, “Aku berbaiat kepadamu, maka baiatlah aku atas semua itu.”

Pertanyaan Rasulullah, “dengan apa engkau hendak masuk surga” menjadi tamparan keras bagi siapa saja yang ingin mendapatkan surga dengan harga yang murah. Seakan jannah bisa dimiliki hanya dengan sedikit pengorbanan. Atau hanya dengan mendermakan sisa-sia miliknya yang tidak lagi berharga. Sedangkan sesuatu yang berharga miliknya justru dia belanjakan untuk memenuhi keinginan nafsunya. Mereka merasa cukup menggunakan modal yang kecil untuk mendapatkan jannah…” Dengan modal apa engkau hendak masuk jannah?”

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Kemuliaan seseorang, juga kenikmatan yang akan diraih seseorang tergantung pada pengorbanan yang ia curahkan. Namun, banyak orang yang belum memahami makna pengorbanan tersebut.

Secara bahasa, at-tadhhiyah atau pengorbanan adalah ketika seseorang mendermakan dirinya, ilmunya, dan hartanya tanpa imbalan. Adapun pengorbanan yang dituntut secara syar’i adalah mendermakan jiwa, waktu maupun harta demi tujuan paling mulia, untuk target yang paling diharapkan di mana pengharapan itu tertuju kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pengorbanan bisa dilakukan dengan harta. Yakni ketika dia mendermakan hartanya di jalan Allah tanpa mengharap apapun selain Allah. Baik mendermakan sebagai bentuk ibadah seperti udhhiyah (menyembelih hewan qurban), berhaji, berzakat, dan semisalnya, maupun terkait dengan sedekah kepada sesama dengan mengharap imbalan kepada Allah. Begitupun mendermakan harta untuk kepentingan jihad fi sabililah. Bahkan, ketika seseorang rela keluar dari pekerjaan yang haram karena mengharap ridha Allah, maka dia telah berkorban dengan hartanya.

SUDAH PUNYA MAJALAH AR-RISALAH EDISI TERBARU? KLIK DI SINI UNTUK MENDAPATKAN

Pengorbanan juga bisa dilakukan dengan mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menuntut ilmu syar’i, mengamalkan dan mendakwahkannya. Dan sesuatu yang paling berharga untuk dikorbankan adalah nyawa yang dipersembahkan di jalan Allah.

Generasi pilihan di kalangan para sahabat memahami konsekuensi untuk meraih jannah. Bahwa ia harus ditebus dengan sesuatu yang paling berharga miliknya. Seperti Mush’ab bin Umair setelah keislamannya, ia rela diboikot keluarganya demi keimanannya. Yang semula dimanja dengan kemewahan, pakaian indah nan wangi harus memakai pakaian yang kasar. Dia habiskan masa mudanya untuk berdakwah ke Madinah dengan dakwah yang begitu berkah, hingga pada akhirnya dia gugur sebagai syahid, beliau korbankan nyawanya untuk Allah.

Setidaknya kisah hidup beliau menjadi cermin bahwa kita belum apa-apa, belum seberapa pula pengorbanan kita untuk Pencipta. Sekaligus menjadi pengingat bahwa pengorbanan kita mestinya fokus demi penghambaan kita kepada Allah Ta’ala. Bukan demi pujian atau kenikmatan dunia yang sementara. Agar terwujud ikrar yang kita ucapkan, “Inna shalaati wa nusuki wamahyaaya wa mamati lilahi Rabbil ‘alamin”, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah bagi Rabb semesta alam.

Baarakallahu lii walakum fil quraanil kariim wa nafa’ani wa iyyaaku bimaa fiihi minal aayaati wa dzikril hakiim, innahu huwal ghafuurur raahiim.

Marilah kita akhiri khutbah Ied ini dengan berdoa kepada Allah:

الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَىخُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

اللهم اغفِرْ لِلْمُسْلِمينَ وَالمْسُلْماتِ والمؤمنينَ والمؤمناتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَاَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ

اللهمَّ انْصُرْ جُيُوسَ المُسْلِمِيْنَ وَعَسَاكِرَ المُوَحِّدِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّينِ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إلي يَوْمِ الدِّينِ اللهُمَّ انْصُرْ دُعَاتَنَا وَعُلَمَائنَاَ المَظْلوُمِيْنَ تَحْتَ وَطْأَةِ الظالِمِين وَفِتْنَةِ الفَاسِقِينَ وَحِقْدِ الحَاقِدِيْنَ وَبُغْضِ الحَاسِدِين وَخِيَانَةِ المُنَافِقِيْنَ

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا ، وَأَبْصَارِنَا ، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلي خَيْرِ خَلْقِكَ وَأَفْضَلِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلي آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا

وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالمَين

 

DOWNLOAD PDF KLIK DI SINI!

Khutbah Iedul Adha: Taat Saat Ringan dan Berat

TAAT SAAT RINGAN DAN BERAT

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Majalah ar-risalah

 

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنسْتعِينُهُ وَنسْتغْفِرُهُ وَنعُوذ باللهِ مِنْ شُرُورِ أَنفُسِنَا وَمِنْ سَيّئاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ ولا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون
يَاأَيُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أما بعد

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَديثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ اْلأُمُورِ مُحْدَثاَتِهَا وَكُلَّ مُحْدَثــَةٍ بدْعَةٌ وَكُلَّ بدْعَةٍ ضَلاَلةٌ وَكُلَّ ضَلاَلةٍ فيِ النَّارِ
الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله الله أكبر الله أكبر ولله الحمد

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Hari ini kita merayakan hari raya Idul Adha. Kita kenang dan kita hayati bersama kisah sebuah keluarga di dalam mencapai dan mencari ridha Allah subhanahu wataala. Keluarga yang senantiasa taat kepada Allah, baik di saat ringan maupun berat.

Allah telah mengisahkan kepada kita, ketika Ibrahim alaihissalam berbahagia dengan kelahiran puteranya yang bertahun lamanya dinanti. Muhammad Ali As-shabuni di dalam tafsir beliau mengatakan bahwa Allah mengaruniakan putra pertama kepada Ibrahim ketika beliau berusia 120 tahun. Kurang lebih 75 sampai 80 tahun setelah usia pernikahan beliau. Allah perintahkan beliau membawa istrinya, Hajar dan juga puteranya yang bernama Ismail ke Bakkah atau Mekah, tempat yang sangat sepi, tandus tak ada pepohonan maupun cadangan air.

Saat beliau hendak meninggalkan keduanya, Hajar alaihassalam bertanya, “Mengapa Kau tinggalkan kami di sini?” Ibrahim tak mampu menjawab apa-apa. Lalu Hajar bertanya, “Apakah ini perintah Allah?” Beliau menjawab, “Iya.” Hajar pun berkata, “Kalau begitu, pastilah Allah tidak akan menelantarkan kami!”

Hajar alaihassalam tidak menyangka bahwa nantinya Mekah menjadi begitu makmur dan tak pernah sepi sedikitpun dari orang-orang yang mengunjunginya. Mata air zam-zam yang Allah anugerahkan untuk beliau berkahnya hingga sekarang dirasakan jutaan manusia setiap harinya.Yang beliau tahu ketika itu adalah beliau harus taat terhadap perintah Allah, dan kesudahan yang baik diberikan kepada hamba-Nya yang bertakwa.

Pun demikian ketika Ismail, putra yang kelahirannya ditunggu selama bertahun-tahun itu sudah dapat pergi bersama dengannya, pada saat anaknya betul-betul menjadi penyejuk matanya, beliau bermimpi diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putra yang dicintainya, sedangkan mimpi para Nabi adalah wahyu.

Kita dapat merasakan betapa berat ujian Nabi Ibrahim alaihissalam ketika itu, namun bagi beliau perintah Allah adalah segalanya, sehingga beliau berkata kepada putranya,

بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ

“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”

Kita saksikan betapa taatnya ia kepada Allah sehingga dengan mantap ia berkata,

يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّـهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

 

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Di dalam tafsir Ibnu Katsir dikisahkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah yang menceritakan tentang keluarga Nabi Ibarahim alaihissalam. Ketika Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih putranya, setan berkata, “Jika kau tidak bisa menggoda mereka kali ini maka aku tidak akan menggodanya selama-lamanya.”

Ketika Ibrahim alaihissalam keluar bersama putra beliau, setan mendatangi istri beliau dan berkata, “Kemana Ibrahim pergi berasama anakmu?”

Beliau menjawab, “Untuk suatu keperluan.”

Setan menyangkal, “Dia pergi bukan untuk satu keperluan, tetapi dia pergi untuk menyembelih anakmu.”

Beliau berkata, “Mengapa dia hendak menyembelih anakku?”

Setan menjawab, “Ibrahim mengaku bahwa Rabbnya telah memerintahkan ia untuk itu.”

Beliau menjawab, “Alangkah baiknya jika dia melaksanakan perintah Rabbnya.”

Kemudian setan pergi dan menyusul putra Ibrahin lalu berkata, “Nak, hendak diajak kemana kamu oleh ayahmu?”

Beliau menjawab, “Untuk suatu keperluan.”

Setan berkata, “Dia mengajakmu bukan untuk satu keperluan, tetapi untuk menyembelihmu.”

Beliau bertanya, “Dengan alasan apa ayah hendak menyembelihku.”

Setan menjawab, “Dia mengaku bahwa Rabbnya memerintahkan hal itu.”

Maka beliau berkata, “Demi Allah jika Allah memerintahkan itu maka sudah seharusnya ayah mengerjakannya. Maka setan pun pergi meninggalkannya dengan putus asa.”

 

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Saat Ibrahim alaihissalam diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih puteranya, beliau tidak tahu sebelumnya bahwa nantinya Ismail akan digantikan dengan seekor domba. Yang beliau tahu bahwa beliau harus menjalankan perintah Rabbnya. Lalu Allah memberikan kejutan yang membahagiakan kepadanya, sebagai balasan atas kesetiaan beliau terhadap perintah Rabbnya. Maka kesudahan yang baik adalah bagi orang yang bertakwa.

Sebagaimana juga Nabi Musa alaihissalam tidak tahu sebelumnya, bahwa nantinya laut akan terbelah setelah tongkat beliau dipukulkan ke lautan. Yang beliau tahu bahwa itu adalah perintah Allah dan pasti Allah memberikan jalan keluar.

Nabi Nuh alaihissalam juga tidak tahu bahwa akan terjadi banjir bandang, saat beliau membuat kapal di musim kemarau hingga ditertawakan kaumnya. Beliau hanya menjalankan perintah, lalu Allah memberikan kesudahan yang baik bagi beliau dan orang-orang yang mengimaninya.

 

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Jalan itu pula yang diikuti oleh para sahabat Nabi yang merupakan generasi terbaik umat ini. Mereka berjalan dengan menggunakan instrumen keimanan. Semangat keimanan melahirkan ruh-ruh ketaatan. Semboyannya adalah sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami taat. Tanpa ada keraguan apalagi kecurigaan terhadap syariat. Karena semua itu datang dari Yang Mahatahu dan Mahabijaksana.

Sepenggal kisah di malam Perang Ahzab bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita. Saat itu udara sangat dingin menusuk tulang, kelaparan mendera, dan musuh mengancam kaum muslimin. Ketika itu Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan tawaran kepada para sahabat,

“Adakah seseorang yang mau berangkat untuk melihat apa yang dilakukan musuh lalu melaporkan kepada kita?” Nabi mempersyaratkan ia kembali dan Allah akan memasukkannya ke dalam jannah. Namun tak satupun berdiri karena memang beratnya kondisi mereka ketika itu. Nabi shallallahu alaihi wasallam mengulangi tawarannya dan menjanjikan bagi yang bersedia menjalankan tugas itu maka akan menjadi teman dekatnya di jannah. Pun tidak ada yang berdiri menyambut tawaran. Ketika tak ada satupun yang berdiri, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

يَاحُذَيْفَةُ، فَاذْهَبْ فَادْخُلْ فِي الْقَوْمِ فَانْظُرْ مَايَفْعَلُونَ وَلاَتُحْدِثَنَّ شَيْئًاحَتَّى تَأْتِيَنَا

‘Hai Hudzaifah, pergilah menyusup ke tengah-tengah mereka dan lihat apa yang mereka lakukan. Jangan kau bertindak apapun sampai engkau menemuiku.” (HR Ahmad)

Hudzaifah menyadari bahwa ini bukan lagi tawaran, melainkan perintah yang tidak ada alasan untuk membantah. Maka beliau pun berangkat meski dalam kondisi berat. Karena tidak ada jawaban lain bagi seorang mukmin ketika mendapat perintah dari Allah dan Rasul-Nya melainkan ucapan, “sami’na wa atha’na”, kami mendengar dan kami taat.

 

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Tatkala larangan khamr diberlakukan dengan turunnya ayat tentang haramnya khamr maka serentak mereka mengatakan, “intahaina ya Rabb, Kami berhenti wahai Rabb!” Tak ada pilihan lain lagi selain itu.

Tatkala turun syariat hijab, para shahabiyah tidak meminta waktu untuk membuat mode hijab yang membuat mereka semakin cantik, tapi mereka langsung menyambar kain apapun yang ada didekat mereka.

Begitupun tatkala syariat jihad ditegakkan atas para shahabat, meski mengandung resiko harta dan nyawa, mereka berangkat menunaikan perintah Allah,

“Berangkatlah baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. at-Taubah: 41)

Ayat ini menampik alasan-alasan orang yang malas dan was-was, dan para sahabat mampu menepis semua itu, mereka mendengar dan taat. Begitulah jawaban dan reaksi orang yang beriman pada saat menerima titah dari Rabbnya.

Ini berbeda dengan ahli kitab yang tatkala mendapat perintah dari Allah mereka berkata sami’na wa ashaina, kami mendengar dan kami durhaka. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengar tetapi tidak mentaati.” (QS. al-Baqarah: 93)

Berbeda pula dengan respon orang-orang munafik yang mengatakan “sami’na” kami mendengar, wahum laa yasma’un, padahal mereka tidak sudi mendengarkan. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) vang berkata “Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan.” (QS. al-Anfal: 21)

Itulah tiga tipe manusia yang Allah sebutkan di dalam al-Qur’an tatkala merespon perintah dan larangan dari Allah, hendaknya kita mawas diri, di kelompok mana kita berada. Mengikuti para Nabi dan para sahabat, ataukah ahli kitab dan munafiqin yang mewarisi tradisi Iblis dalam keengganannya untuk taat.

 

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Marilah kita mantapkan di dalam hati sanubari kita bahwa kecintaan kita kepada keluarga, istri dan anak-anak kita, kepada harta benda yang kita kumpulkan diletakkan dibawah kecintaan kita kepada Allah subhanahu wataala.

Nabi Ibrahim mencintai istri dan anak-anak beliau, namun jelas kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah jauh lebih tinggi dibandingkan kecintaan kepada mereka. Kecintaannya kepada Allah menyebabkan ia siap berpisah dengan apapun ketika itu merupakan perintah dari Allah subhanahu wataala.

Marilah kita bermuhasabah, introspeksi diri. Jangan sampai hanya karena mencari harta yang tak seberapa ibadah kita menjadi tak sempurna. Hanya karena istri dan anak-anak tercinta kita lakukan hal-hal yang membuat Allah murka. Semuanya kita cinta tapi cinta kita kepada Allah lebih dari segalanya.

Semoga Allah jauhkan kita dari kesombongan dan pembangkangan dan menjadikan kita hamba yang senantiasa taat baik di saat ringan maupun berat.

Marilah kita akhiri khutbah Ied pada hari ini dengan berdoa kepada Allah:

الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَى خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

 اللهم اغفِرْ لِلْمُسْلِمينَ وَالمسْلِمَاتِ والمؤمنينَ والمؤمناتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَاَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ

اللهمَّ انْصُرْ جُيُوسَ المُسْلِمِيْنَ وَعَسَاكِرَ المُوَحِّدِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّينِ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إلي يَوْمِ الدِّينِ اللهُمَّ انْصُرْ دُعَاتَنَا وَعُلَمَائنَاَ المَظْلوُمِيْنَ تَحْتَ وَطْأَةِ الظالِمِين وَفِتْنَةِ الفَاسِقِينَ وَحِقْدِ الحَاقِدِيْنَ وَبُغْضِ الحَاسِدِين وَخِيَانَةِ المُنَافِقِيْنَ

اللَّهُمَّ ارزُقنا حُبَّكَ، وحُبَّ مَنْ يَنْفَعُنا حُبُّهُ عندَك، اللَّهُمَّ مَا رَزَقْتَنا مِمَّا أُحِبُّ فَاجْعَلْهُ قُوَّةً لَناَ فِيمَا تُحِبُّ، اللَّهُمَ مَا زَوَيْتَ عَنِّا مِمَّا نحِبُّ فَاجْعَلْهُ فَرَاغاً لنا فِيمَا تُحِبُّ

اللَّهُمَّ إِنِّا نعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ

اللهُمَّ اكْفِنَا بِحَلالِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

وَصَلِّ عَلي خَيْرِ خَلْقِكَ وَأَفْضَلِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلي آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا

وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالمَين

 

DOWNLOAD VERSI PDF NYA DI SINI: Khutbah Iedul Adha 1439 H

 

 

Udhiyah Untuk Luar Daerah

 

Bolehkah saya menyerahkan binatang udhiyah (hewan qurban) saya kepada seorang kawan yang tinggal jauh dari kota saya tinggal untuk disembelih di kampungnya, lantaran kesadaran masyarakat kampungnya untuk menjalankan syariat udhiyah masih rendah. Pernah pada suatu hari raya Iedul Adha, hanya ada satu orang yang menjalankan syariat udhiyah, bahkan pernah tidak ada yang menjalankannya sama sekali. (Abu Fatih—Sukoharjo, Jawa Tengah)

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ

Pada asalnya yang paling utama bagi seseorang yang hendak menjalankan syariat udhiyah adalah ia menyembelihnya sendiri. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Anas bin Malik r.a bahwa Nabi saw menjalankan syariat udhiyah dengan dua ekor kambing yang gemuk dan menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri.
DR. Wahbah az-Zuhayli menyatakan, disunnahkan bagi orang yang hendak menjalankan syariat udhiyah untuk menyembelih sendiri binatang udhiyahnya bila ia mampu. Sebab hal itu adalah qurbah (ibadah, pendekatan diri kepada Allah). Mengerjakan qurbah secara langsung lebih utama daripada mewakilkannya kepada orang lain. Namun jika seseorang tidak ahli menyembelih, lebih baik baginya untuk mewakilkannya kepada seseorang yang ahli. Dalam hal ini, disunnahkan baginya untuk menyaksikannya. Yang demikian itu karena Nabi saw pernah bersabda, “Wahai Fathimah, berdiri dan lihatlah binatang udhiyahmu yang sedang disembelih!”
Selanjutnya DR. Wahbah menjelaskan, para ahli fiqh madzhab Hanafi memakruhkan pemindahan pelaksanaan penyembelihan binatang udhiyah ke luar daerah orang yang melaksanakannya, kecuali kepada kerabatnya atau kepada orang-orang yang lebih membutuhkan daging binatang udhiyah daripada orang-orang di daerahnya. Menurut para ahli fiqh madzhab Maliki, tidak boleh memindahkan pelaksanaan penyembelihan binatang udhiyah melebihi jarak bolehnya seseorang mengqashar shalat (sekitar 80 km), kecuali daerah yang lebih jauh itu lebih membutuhkan. Para ahli fiqh madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, boleh dipindah ke jarak kurang dari jarak bolehnya mengqashar shalat—seperti halnya zakat, namun tetap sah jika pemindahan lebih jauh dari itu dilakukan.
Para ahli fiqh kontemporer seperti DR. Nashir al-‘Umar, Syaikh Ibnu Jibrin, dan yang lain menyatakan bolehnya memindahkan pelaksanaan penyembelihan binatang udhhiyah ke luar daerah jika masyarakat daerah tersebut lebih membutuhkan. Hal itu sesuai dengan maqashidusy syari’ah: meratakan kemaslahatan untuk seluruh umat. Satu catatan lagi mereka tambahkan, orang yang memindahkannya—baik mengirimkan uang untuk dibelikan binatang udhhiyah maupun mengirimkan binatang udhhiyahnya, harus memastikan binatang udhhiyahnya disembelih pada hari yang benar.
Kiranya keterangan para ulama di atas sudah menjawab pertanyaan Antum. Wallahu al-Muwaffiq.

Hadyu bukan Udhiyah
Ustadz, insya Allah tahun ini saya dan istri akan menunaikan ibadah haji. Apakah di saat saya melaksanakan ibadah haji saya juga masih terkena kewajiban menyembelih binatang udhiyah? Jika masih, di mana saya harus melaksanakannya, di Mekah atau di kampung halaman saya? (Djoko Soesilo—Bontang, Kalimantan Timur)

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Menurut para ahli fiqh madzhab Maliki, orang yang melaksanakan ibadah haji tidak perlu lagi menyembelih binatang udhiyah. Yang disyariatkan baginya adalah menyembelih binatang hadyu. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah pada saat beliau melaksanakan haji wada’. Demikianlah pula yang dipraktikkan oleh para shahabat seperti Umar bin Khaththab, Aisyah, dan Ali bin Abu Thalib; dan generasi sesudah mereka seperti Mujahid, Ibrahim an-Nakha’i, Nafi’ bin Jubair, Alqomah, Abul Ahwash, Abdurrahman bin Yazid, dan asy-Sya’bi. Asy-Sya’bi berkata, “Saya melaksanakan haji tiga kali dan dalam pada itu saya tidak mengalirkan darah (baca: menyembelih binatang udhhiyah).”
Para ahli fiqh madzhab Hanafi sependapat dengan para ahli fiqh madzhab Maliki dalam hal ketidakdisyariatkannya orang yang melaksanakan ibadah haji untuk menyembelih binatang udhiyah. Hanya, alasan mereka adalah karena orang yang melaksanakan ibadah haji sedang dalam kondisi bersafar, sedangkan salah satu syarat disyariatkannya menyembelih binatang udhiyah adalah seseorang dalam keadaan muqim (tidak bersafar).
Para ahli fiqh yang berpendapat demikian juga menyatakan bahwa syariat udhiyah terkait dengan shalat Idul Adha, sedangkan orang yang melaksanakan ibadah haji tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat Idul Adha.
Adapun para ahli fiqh madzhab Syafi’i dan Ibnu Hazm berpendapat, disunnahkan bagi orang yang melaksanakan ibadah haji untuk juga menyembelih binatang udhhiyah. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’. Alasan mereka, pada waktu haji wada’ Rasulullah memang tidak menyembelih binatang udhiyah atas nama diri beliau, tetapi beliau menyembelih atas nama istri-istri beliau. Hadits tentang beliau menyembelih atas nama istri-istri beliau ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Dus, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Maka, jika Bapak meninggalkan keluarga Bapak di kampung, baik kiranya jika Bapak meninggalkan untuk mereka sejumlah uang untuk dibelikan binatang udhhiyah dan disembelih atas nama mereka Dengan demikian, Bapak menyembelih hadyu di Mekah dan keluarga bapak menyembelih udhiyah di kampung halaman. Wallahu a’lam.