Hukum BPJS Menurut Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) menurut wikipedia merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. (lihat Peraturan BPJS No.1/ 2014, Pasal 1)

BPJS Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan (dahulu bernama Jamsostek) merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014.

BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014

Hukum BPJS

Sebelum menentukan hukum BPJS, harus diketahui terlebih dahulu sistem dan akad yang digunakan di dalam BPJS tersebut. Setelah menela’ah beberapa rujukan, didapatkan beberapa poin bawah ini, berikut pandangan syari’ah terhadapnya:

Pertama: Menarik iuran wajib dari masyarakat. (UU SJSN/No. 40 Th. 2004, Pasal 1 ayat 3) (UU BPJS/No.24 Th.2011, Pasal 14 dan 16) (Peraturan BPJS No.1/ 2014, Pasal 26)

Tanggapan:  Iuran yang wajib dibayar kepada Pemerintah bisa berupa zakat yang harus dibayarkan kepada pemerintah yang menerapkan Syariat Islam. Bisa juga berupa pajak, sedangkan hukum pajak di dalam Islam masih terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama. Dari hasil pajak inilah seharusnya pemerintah memberikan dana sosial kepada masyarakat dalam pendidikan dan kesehatan. Seandainya BPJS ini dialihkan menjadi pajak wajib bagi masyarakat dan dikhususkan untuk melayani kesehatan masyarakat, maka hukumnya boleh menurut sebagian ulama. Apalagi ada rencana mewajibkan BPJS kepada seluruh rakyat pada tahun 2019 .

Jika menggunakan sistem Asuransi Konvensional, maka peserta yang mendaftar wajib membayar premi setiap bulan untuk membeli pelayanan atas resiko ( yang belum tentu terjadi), dan ini hukumnya haram.  ( Fatwa No : 21/DSN-MUI/X/2001)

Adapun jika ingin menggunakan sistem Asuransi Takaful, maka pesertanya memberikan hartanya secara suka rela – bukan terpaksa – demi kemaslahatan bersama, tanpa mengharapkan dari harta yang diberikan tersebut. Maka dalam hal ini hukumnya boleh. ((Fatwa No : 21/DSN-MUI/X/2001).  Hal ini berdasarkan hadist Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ الأشْعَرِيِّينَ إِذَا أرْمَلُوا في الغَزْوِ ، أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بالمَديِنَةِ ، جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ في ثَوْبٍ وَاحِدٍ ، ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ في إنَاءٍ وَاحدٍ بالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأنَا مِنْهُمْ

“Sesungguhnya keluarga al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau menepisnya makanan keluarga mereka di Madinah, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di dalam satu kain, kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu bejana, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka. “ (HR Bukhari, 2486 dan Muslim,2500)

Jika peserta Asuransi Takaful mengharapkan dari harta yang sudah diberikan, maka ini bertentangan dengan pengertian hibah, yang secara hukum Islam, harta yang sudah dihibahkan hendaknya jangan ditarik kembali. Ini sesuai dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلرَّ جُلِ أَنْ يُعْطِيَ الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يرْخِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَ الِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَه            

 “Tidaklah halal jika seseorang memberikan pemberian kemudian dia menarik lagi pemberiannya, kecuali orang tua (yang menarik lagi) sesuatu yang telah dia berikan kepada anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa-i, dan Ibnu Majah, dishahihkan Syekh Al-Albani)

Ini dikuatkan dengan hadist hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu lainnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْعَائِدُ فِى هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِى قَيْئِهِ

“Orang yang mengambil kembali pemberian ( yang telah diberikan kepada orang lain ) seperti anjing yang menjilat muntahannya ( HR. Bukhari dan Muslim )

Kedua: Memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi  yang menimpa peserta. (UU SJSN/No. 40 th 2004, Pasal 1 ayat 3)

Tanggapan: Memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta berdasarkan jumlah premi yang dibayarkan adalah salah satu ciri asuransi konvensional yang diharamkan, karena menjual sesuatu yang tidak jelas dan bersifat spekulatif ( gharar ). Jika peserta mendapatkan resiko, dia mendapatkan pelayanan, tetapi jika tidak mendapatkan resiko, maka premi yang dibayarkan tiap bulan akan hangus.

Ketiga: BPJS bertujuan agar masyarakat saling membantu satu dengan yang lainnya.

Tanggapan: Di dalam BPJS tidak selalu didapatkan  unsur saling membantu ( ta’awun ) dalam arti yang sebenarnya. Karena tidak setiap peserta BPJS ketika membayar premi berniat untuk membantu orang lain, tetapi cenderung untuk kepentingan diri sendiri, agar jika sakit, ia  mendapatkan  pelayanan yang maksimal dengan biaya minimal. Dan tidak selalu didapatkan orang kaya membantu orang miskin, karena pada kenyataannya justru banyak dari orang kaya yang  terbantu biaya pengobatannya dari iuran orang miskin yang tidak sakit.

Bentuk ta’awun yang dianjurkan adalah orang-orang kaya membantu orang-orang miskin, tanpa mengharap timbal balik dari orang miskin. Hal itu bisa diwujudkan dalam bentuk zakat, pajak, maupun pengumpulan dana sosial.

Keempat: Dana yang terkumpul dari masyarakat dikembangkan oleh BPJS, baik dalam bentuk investasi maupun di simpan di Bank-bank Konvensional, yang secara tidak langsung juga mengambil keuntungan. ( UU BPJS/No.24 Th.2011, Pasal 11)  dan (UU SJSN/No. 40 th 2004, Pasal 1 ayat 7) (Peraturan BPJS No.1/ 2014, Pasal 33). Ini juga disebutkan dalam UU 24/2014, bahwa jaminan sosial harus disimpan dalam bank pemerintah yang ditunjuk .

Tanggapan: Pelayanan yang diterima oleh peserta BPJS adalah hasil dari investasi ribawi. Peserta BPJS telah sengaja melakukan akad investasi yang di simpan di Bank-bank Konvensional, kemudian hasilnya akan mereka terima berupa pelayanan kesehatan. Ini berbeda dengan dana haji ataupun dana-dana lain dari Pemerintah yang diterima masyarakat, karena di dalamnya tidak ada akad investasi, tetapi hanya akad mendapatkan pelayanan, yang mana masyarakat tidak mempunyai pilihan lain kecuali melalui pemerintah.

Selain itu, di dalam Asuransi Sosial tidak dibolehkan mengambil keuntungan kecuali  sekedar gaji bagi pengelola sesuai dengan kerjanya.

Kelima: Peserta BPJS jika meninggal dunia, maka haknya untuk mendapatkan dana BPJS gugur secara otomatis.

Tanggapan: Seseorang jika mempunyai hak berupa harta benda atau sesuatu yang bernilai, jika dia meninggal dunia, maka hak tersebut akan berpindah kepada ahli warisnya. Jika hak tersebut menjadi hangus, maka di sini  ada unsur kedhaliman dan unsur merugikan pihak lain. Jika hal itu dianggap kesepakatan, maka tidak boleh ada kesepakatan yang mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan sesuatu yang haram, sebagaimana dalam hadist hadist Amru bin ‘Auf Al Muzani radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. (Hadist Hasan Shahih Riwayat Tirmidzi)

Ini dikuatkan dengan hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

       كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ , وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap syarat yang tidak terdapat di dalam Kitab Allah adalah batil, walaupun seratus syarat . “(HR Bukhari dan Muslim)

Keenam: Memberikan sanksi atau denda bagi peserta yang menunggak atau terlambat dalam membayar premi. (Peraturan BPJS No.1/ 2014, Pasal 35, ayat 4 dan 5)

Tanggapan: Seseorang yang berutang dan terlambat dalam pembayarannya, maka tidak boleh dibebani dengan membayar denda, karena ini termasuk riba yang diharamkan, kecuali jika dia mampu dan tidak ada i’tikad baik untuk membayar, maka – menurut sebagian ulama – boleh dikenakan denda yang diperuntukkan sebagai dana sosial dan sama sekali tidak boleh diambil manfaatnya oleh yang mengutangi. (Fatwa DSN, No: 17/DSN-MUI/IX/2000) Hal ini sesuai dengan hadits Ali bahwasanya radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا.

“Setiap pinjaman yang membawa manfaat (yang meminjamkan) maka dianggap riba “ (HR. Baihaqi dan Hakim, berkata al-Bushairi di dalam Ittihaf al- Khirah al-Mahirah (3/380): Sanadnya lemah karena di dalamnya terdapat Siwar bin Mush’ab al-Hamdani. Tetapi dia mempunyai penguat secara mauquf dari Fidhalah bin Ubaid)

Apakah denda tersebut masuk dalam katagori asy-Syarth al-Jazai (Syarat Bersangsi), yaitu syarat berupa denda atas keteledoran dalam bekerja?  Sebagian ulama membolehkan memberikan sangsi atas keteledoran atau keterlambatan dalam bekerja, tetapi tidak membolehkan denda di dalam utang piutang. Denda di dalam BPJS termasuk dalam katagori denda karena utang piutang.

Ketujuh: Belum ada badan pengawas syariah (BPS) dan belum ada audit oleh Dewan Syariah Nasional (DSN)

Kedelapan: Belum menerapkan Asuransi Syariah

Kesimpulan:

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa BPJS masih menyisakan banyak masalah, selain sistem administrasi yang belum rapi, terdapat beberapa penyimpangan dari sisi hukum Islam. Oleh karenanya, diharapkan ke depan pemerintah membentuk BPJS Syari’ah yang menerapkan Asuransi Syari’ah yang dalam operasionalnya diawasi oleh Badan Pengawas Syari’ah (BPS) dan diaudit oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Wallahu A’lam.

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA/Pondok Gede, 1 Rajab 1436 H / 21 April 2015 M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *