Majalah Islam Arrisalah Edisi 200, Februari 2018

Majalah islam

Telah terbit majalah islam Arrisalah edisi 200 Februari 2018, yang berjudul: “Dari Khilaf Menuju Insaf”

dengan tema unggulan:

  1. Kasyfu Syubhat : Serangan Kelanjutan Gerakan Kepunahan
  2. Fikih Nazilah : Lahan Dakwah Baru, Bersiaplah!
  3. Asilah  : Iblis, Biografi si Pembangkang

Majalah islam Arrisalah terbaru edisi 200 februari 2018

Segera dapatkan di agen atau distributor terdekat dikota anda,.
Atau andalah yang akan menjadi agen di kota anda sendiri?, karena kami membuka kesempatan bagi anda yang ingin bergabung menjadi agen resmi.

untuk info lebih lanjut, hubungi CS:

Tlp/Wa :0813-9103-3330 (Sigit) .  (klik untuk chat WhatsApp)

medsos:

Fanspage FB :@Majalah.Arrisalah

Instagram: Majalah_Arrisalah

website: arrisalah.net

 

Alamat Redaksi:

Jl. DR. Muh. Hatta Kp. Maddegondo RT. 05

RW. 04 Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Telp: (0271) 624421

 

Majalah Islam Arrisalah edisi 199, Januari 2018

Telah terbit majalah islam Arrisalah edisi 199 Januari 2018, yang bertema “Tekadnya Kuat Ilmunya Mantab”

dengan rubrik unggulan:

  1. Kasyfu Syubhat : Hukum Kotoran Kucing
  2. Fikih Nazilah : Pelaku Dakwah Keluarkan Semangatmu!
  3. Asilah  : Berguru dan Berburu Ilmu

majalah islam Ar-risalah

Segera dapatkan di agen atau distributor terdekat dikota anda,.
Atau andalah yang akan menjadi agen di kota anda sendiri?, karena kami membuka kesempatan bagi anda yang ingin bergabung menjadi agen resmi.

untuk info lebih lanjut hubungi CS:

Tlp/Wa :0813-9103-3330 (Sigit) .  (klik untuk langsung chat)

medsos:

Fanspage FB :@Majalah.Arrisalah

Instagram: Majalah_Arrisalah

website: arrisalah.net

 

 

Majalah Islam Arrisalah Edisi 198 Desember 2017

Telah terbit majalah islam Arrisalah edisi 198 Desember 2017, yang bertema “Bebas Bertingkah Berarti Terjajah”

dengan rubrik unggulan:

majalah islam terbaru

  1. Kasyfu Syubhat : Haruskah Saling Menilai?
  2. Fikih Nazilah : Mahar Dalam Islam
  3. Asilah  : Kapan Diwajibkan Bermadzhab?

 

Segera dapatkan di agen atau distributor terdekat dikota anda,.
Atau andalah yang akan menjadi agen di kota anda sendiri?, karena kami membuka kesempatan bagi anda yang ingin bergabung menjadi agen resmi.

untuk info lebih lanjut hubungi CS:

Tlp/Wa :0813-9103-3330 (Sigit) .  (klik untuk langsung chat)

medsos:

Fanspage FB :@Majalah.Arrisalah

Instagram: Majalah_Arrisalah

Ghibah Itu Boleh

Dalam islam, ghibah adalah perkara tercela yang sangat dilarang oleh Allah Ta’ala, hingga Ia memberi perumpamaan ghibah dengan memakan bangkai saudara sendiri. Bangkai haram dimakan dan ia sangat menjijikan, begitu juga ghibah, perbuatan ini haram dan sangat rendah nilainya. Hal tersebut digambarkan Allah dalam surat al-Hujurat ayat: 12,
“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat: 12).

Ghibah sebagaimana disabdakan Nabi ‘Alaihisshalatu Wasallam adalah menyebut (membicarakan) orang lain yang tidak ada di tempat dengan sesuatu yang ia benci, meskipun benar adanya. Atau dalam bahasa ibu-ibu sosialita disebut dengan gosip ataupun ngerumpi atau bisa juga disebut menggunjing. Jadi bisa saja kita membicarakan sebuah fakta/kebenaran pada si A akan tetapi ia membencinya, maka perbuatan tersebut termasuk ghibah yang dilarang. Andai yang dibicarakan tidak benar, hal tersebut adalah fitnah yang dilarang juga.

Lalu apa maksud judul diatas?

Dalam sebuah Hadits Ibunda Aisyah meriwayatkan, Hindun binti ‘Utbah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang pelit. Dia tidak memberikan nafkah kepadaku yang cukup untuk diriku dan anakku kecuali kalau aku mengambil darinya yang dia tidak tahu. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ambillah harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari).

Di Hadits lain Beliau berkata, “Seorang laki-laki meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau bersabda, “Izinkanlah dia, seburuk-buruk saudara satu kabilah.” Maka dia masuk, beliau melembutkan perkataan kepadanya. Aku (‘Aisyah) berkata, “Ya Rasulullah, engkau telah berkata apa yang engkau katakana, lalu engkau berkata lembut kepadanya.” Beliau menjawab, “Hai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang ditinggalkan/dijauhi manusia karena takut akan kejahatannya.” (HR. Al-Bukhari).

Pada suatu kesempatan Nabi ditanya dengan menyebutkan cela seseorang yaitu Abu Sufyan, dan di kesempatan lain Nabi bersabda tentang kejelekan suatu kaum. Dalam hal tersebut, Nabi tidak berbuat ghibah, karena ada sebuah kebaikan yang akan beliau sampaikan. Demikian tidak semua membicarakan seseorang masuk dalam kategori ghibah yang dilarang. Adakalanya kita membicarakan seseorang justru ditekankan bahkan berpahala.

Baca Juga: Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat

Diantara membicarakan orang lain yang boleh adalah ketika menjelaskan tentang kezhaliam seseorang pada diri kita. Meminta bantuan untuk mencegah kemungkaran seseorang, meminta fatwa seperti Shahabiyah Hindun diatas, menjelaskan keadaan calon mempelai bagi seseorang yang hendak nikah, menjelaskan kefasikan seseorang agar kaum muslimin tidak terpengaruh dan masih banyak lagi kebolehan ghibah selama ada maslahat yang lebih besar daripada keburukan orang yang dibicarakan.

Wal akhir, membicarakan keburukan seseorang adalah haram. Tidak diperkenankan seorang muslim membicarakan saudaranya dengan apa yang tidak ia sukai. Kecuali dalam beberapa hal yang tersebut diatas. Berupa hal-hal yang membawa pada kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Itulah ghibah yang diperbolehkan. Wallahu A’lam

Bubarkan Kajian, Cara Setan Lumpuhkan Lawan

Beberapa hari kemarin, ada sebuah kajian di daerah Sidoarjo Jawa Timur, yang mendatangkan pengisi kondang asal ibu kota. Tak disangka, kajian tidak bisa dilanjutkan dan terpaksa berhenti di tengah waktu lantaran ada segerombolan orang dari sebuah ormas besar Islam yang tidak sependapat dengan isian beliau. Mereka menyangkakan si Ustadz gemar mengkritisi perkara khilafiyah dan dituduh menganut paham Wahabi yang ekstrim dan tidak toleransi (menurut mereka).

Setelah berunding dengan polisi sebagai penengah dalam perkara tersebut tidak menemukan jalan keluar, dan mereka bersikukuh untuk membubarkan kajian itu, akhirnya Ustadz pengisi mengalah dan mengakhiri kajian beliau yang saat itu menyampaikan materi tentang keluarga sakinah.

Kurang lebih seperti diatas kronologis pembubaran kajian di sidoarjo kemarin, yang juga sempat mengisi timeline beberapa media dengan judul “pembubaran Kajian Ustadz Wahabi.” Sangat disayangkan sikap yang diambil oleh ormas tersebut. Membubarkan kajian dengan meneriakkan shalawat keras-keras di depan masjid padahal kajian baru berlangsung.

Baca Juga: Nasib Sial Karena Karma

Perbedaan pendapat seringkali menghiasai agama ini dengan diskusi yang halus dan bermartabat, akan tetapi kali ini perkara tersebut seolah-olah dikesampingkan oleh beberapa orang. Akhirnya yang terjadi adalah cek-cok dan permusuhan diantara kaum muslimin.

Demikianlah cara setan menggoda orang yang beriman. Setan lelah dan putus asa untuk mengganggu pribadi mereka, maka langkah yang diambil adalah mengganggu orang-orang yang jarang berdzikir dan acuh pada agama ini kemudian membenturkannya. Sebagaimana sebuah riwayat dari sahabat Ibnu Mas’ud beliau berkata, “Sesungguhnya setan mengelilingi orang-orang yang berdzikir untuk membuat fitnah, tapi tidak kuasa untuk membubarkan mereka. Maka dia mendatangi sekelompok orang yang hanya mengingat dunia, lalu dia memprovokasi antarmereka hingga terjadi saling bunuh membunuh, lalu berdirilah orang-orang berdzikir untuk melerai mereka, dengan demikian bubarlah mereka dari majlis dzikir.”

Hari ini syubhat itu benar-benar terjadi. Antara muslim satu dengan yang lain saling menyerang, saling menjatuhkan dan saling memfitnah. Ustadz A berkata bahwa hal ini bid’ah, hal demikian haram tanpa melihat siapa audiensnya. Ustadz B bilang mengangkat pemimpin kafir tidak masalah selagi adil dan tidak korupsi. Seolah kambing diadu dengan kambing sejenisnya. Kaum muslimin diadu dan dibenturkan dengan saudara seagama. Cara keji yang dilakukan setan untuk mematahkan kekuatan Islam. Mungkin dunia sedang menghinggapi hati dan keimanan kita sehingga setan mudah memprovokasi kita.

Hiruk-pikuk dunia seringkali melenakan kita dari berdzikir kepada Allah. Iming-iming jabatan, upah dan insentif seringkali mengganggu keyakinan kita, yang pada akhirnya kita akan menjadi hamba dunia. Saat dunia sudah menguasai kita, maka rasa membela kepada agama akan luntur apalagi untuk membela saudara seakidah kita. Yang akhirnya kita akan dibenturkan setan dengan saudara kita sendiri, kita mengolok-olok perjuangan mereka, menjatuhkan martabat mereka, membuat fitnah dan menyebar berita-berita dusta tentang mereka.

Begitulah setan teramat pandai untuk mengatur strategi, ketika strategi A gagal, ia segera mengambil inisiatif dan membuat strategi B dan seterusnya sampai korbannya jera dan kapok untuk berdzikir kepada Allah. saat itulah seseorang akan berdzikir kepada dunia. Wallahu A’lam

Apa Enaknya Jadi Pejabat?

Hiruk-pikuk pilkada serentak telah usai. Tinggal beberapa daerah yang masih menunggu putaran kedua untuk melihat hasilnya, siapa yang terpilih dia akan menduduki kursi jabatan pemerintahan. Terlepas dari bagaimana pemilihan itu berlangsung (entah curang atau memang benar-benar jujur), maraknya pendakwah agama yang menjual agamanya demi terwujud cita-cita si empunya, belum lagi menyoal kampanye dengan berbagai janji dan sumpah serapah, penodaan terhadap agama, uang pelicin dan berbagai dunia hitam dibalik perayaan pilkada versi demokrasi.

Memang, ketika ambisi telah di ubun-ubun, segala cara bisa ditempuh untuk mendapatkannya, meskipun agama menjadi taruhannya. Sampai seorang ulama’ berkata bahwa syahwat terhadap jabatan lebih menggoda daripada syahwat terhadap harta. Maha benar sabda Nabi, “Bahaya dua ekor serigala lapar yang dilepas kepada seekor kambing itu tidak lebih besar dari bahaya ambisi harta dan kehormatan terhadap agama seseorang.” (HR. Tirmidzi)

Betapa mengerikan nasib agama seseorang yang digambarkan Nabi tersebut. Bagaimana nasib domba yang dikeroyok oleh dua serigala lapar, masih mungkinkah ia akan selamat? Begitulah permisalannya, ambisi jabatan dan gila kehormatan, keduanya mampu merontokkan iman dari akarnya melebihi terkaman dua serigala pada seekor domba.

Baca Juga: Menahan Sendawa Meraih Pahala

Orang yang dulu memilihnya (mencoblosnya) pun tidak akan bisa berharap lebih dari pemimpin yang mengawali karirnya dengan kecurangan dan ambisi untuk meraih kehormatan. Karena mereka tidak memahami kepemimpinan sebagai amanah. Tetapi sebagai ajang untuk menunjukkan kehebatan dan kehormatannya.

Berbeda dengan konsep jabatan yang diapahami oleh para salafush Shalih. Dahulu, ketika Umar bin Khattab dicalonkan menjadi khalifah pasca wafatnya Nabi Muhammad, beliau berkata, “Demi Allah, leherku ditebas dengan pedang tanpa alasan, itu lebih aku sukai daripada menjadi khalifah yang di dalamnya ada Abu Bakar.” Keturunan beliau yang dijuluki Khalifah kelima yaitu Umar bin Abdul ‘Azis, ketika diamanati menjadi khalifah, dia mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun.” Karena mereka sadar betapa besar tanggung jawabnya di sisi Allah, karena seorang pemimpin bukan sekedar memamerkan kekuasaannya, tapi kelak akan ditanya tentang apa yang telah ia pimpin dan bagaimana ia memimpin dan memperlakukan rakyatnya. Kemudian sejarah mencatat keadilan mereka, mereka sangat hati-hati dan lebih mementingkan rakyatnya daripada diri mereka sendiri, menegakkan hukum Allah. Lalu berkah dari Allah turun dari langit dan bumi.

Begitulah seharusnya seorang mukmin memandang sebuah jabatan. Ia bagai serigala yang bisa menerkam iman kita kapan saja, ia adalah amanah yang begitu berat yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban. Bukan layaknya makanan yang pantas diperebutkan.

Hukum Mengecas HP Di Masjid

Saat bepergian, hal utama yang kita perhatikan adalah bagaiman tetap terhubung dengan keluarga, teman dan kolega kita. Tentunya bukan langsung bertata muka, melainkan via HP yang kita punya atau lewat medi sosial yang telah kita instal di dalamnya.

Akan tetapi karena kesibukan HP yang selalu kita bawa dan pakai kemana-mana terkadang mengancam daya baterai dari sang HP. Sebagai alternatifnya kita membawa powerbank atau kalau kepepet sekali biasanya mampir di sebuah masjid lalu mencari colokan disitu. Karena di masjid tempatnya terbuka umum dan gratis dibandingkan harus cari rest area atau tempat charge umum yang harus bayar. Lalu bagaimana hukumnya hal yang demikian?

 

BACA JUGA: Hukum Membangunkan Orang Tidur Di Sela-sela Khutbah Jumat

 

Syaikh Shalih al-Munajid, ketika ditanya tentang seseorang yang mengecas HP nya dengan listrik di masjidil Haram beliau menjawab,

“Alhamdulillah, yang lebih hati-hati bagi seorang muslim adalah tidak melakukan hal tersebut dan memilih sikap wara’ atau hati-hati dalam masalah ini. Sebagaimana sabda Nabi, “Tinggalkan yang meragukan dan ambil yang tidak meragukan.”

Sebaiknya charge HP di rumah sebelum pergi ke masjid sehingga tidak perlu memakai listrik di masjidil Haram. Akan tetapi jika seorang muslim perlu melakukan hal tersebut, maka semoga hal tersebut tidak menyebabkan dosa –InsyaAllah- dengan syarat penanggung jawab masjid (takmir masjid setempat) tidak melarang hal tersebut. Hendaknya mencharge seperlunya saja, tidak lebih dari itu sehingga tidak menghalangi orang lain yang juga ingin mencharge HP nya, karena bisa jadi orang lain lebih membutuhkan daripada kita.”
(al-Islamu Su’alun Wa Jawabun, Islamqa)

Intinya, boleh-boleh saja kita mengcharge HP kita di masjid, selama Takmir atau pengurusnya tidak melarang hal demikian, dan kita tidak mengganggu kepentingan orang lain. Wallahu a’lam

 

 

dibuka peluang menjadi agen dikota anda,
info dan pemesanan majalah islam Arrisalah
hubungi:

Tlp: 0813-9103-3330 (klik untuk chat)

facebook: @majalah.arrisalah

Instagram: majalah_arrisalah

Pendosa yang Masuk Surga dan Ahli Ibadah yang Masuk Neraka

Abu Hurairah pernah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita,

Ada dua orang laki-laki bersaudara dari Bani Israil. Salah seorang dari mereka adalah pendosa, sementara yang lain ahli ibadah. Ahli ibadah itu selalu melihat saudaranya berbuat dosa dan ia selalu berkata, “Berhentilah dari berbuat dosa.”

Suatu hari ia melihatnya sedang berbuat dosa, lalu ia berkata kepadanya, “Berhentilah dari berbuat dosa.” Pendosa itu berkata, “Biarkan aku bersama Rabbku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku?”

Ahli ibadah itu berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu!, atau berkata, “Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.”

Allah kemudian mencabut nyawa keduanya sehingga keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam. Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah, “Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?”

Allah lalu berkata kepada pendosa, “Pergi dan masuklah kamu kedalam surga dengan Rahmat-Ku.” Dan Allah berfirman kepada para malaikat, “Bawalah ia ke neraka.”

(Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan Ahmad).

Terkadang kita terlalu dini menilai seseorang karena kemaksiatannya, bahwa dia ahli neraka, Allah tidak akan mengampuni dosa-dosanya, dan ia akan kekal di neraka. Kita juga cepat pesimis ketika harus berdakwah kepada para pendosa karena hidayah tidak segera datang saat kita disana. Padahal bisa jadi Allah mengundur pintu hidayah tersebut agar kita semakin banyak berdakwah dan mengingatkan orang itu. Yang demikian akan menjadi ladang pahala bagi kita.

Tapi ketika hati sudah resah dan tidak lagi percaya dengan janji dan rahmat Allah, bisa saja justru kita yang tekun ibadah akan menjadi penghuni neraka. Wal iyadzubillah. Maka, tak perlu terburu-buru untuk melihat pertaubatan dari orang yang kita dakwahi, semoga Allah memberinya hidayah entah saat kita masih ada atau kelak saat kita sudah dipanggil-Nya.

 

BACA JUGA: Menjadi Makmum Pendosa & Menyalatinya

Tuhan Dalam Perspektif Deisme dan Islam, Sebuah Perbandingan

Penalaran akal manusia dalam mengamati alam semesta beserta isinya ; kompleksitas, keteraturan dan harmoninya, dapat mengantarkan manusia kepada pengenalan dan pengakuan eksistensi Sang Pencipta. Para filsuf Yunani kuno maupun para pemikir era renaissance Eropa yang mengacu kepada karya-karya mereka sampai pada kesimpulan yang sama,…eksistensi tuhan, dan Tuhan yang Esa.

Mereka mengakui eksistensi dan keesaan Tuhan, menyematkan sifat-sifat kebaikan kepadanya, tetapi mereka menolak campur tangan Tuhan dalam mengatur alam semesta dan isinya, termasuk manusia. Dalam perspektif mereka, Tuhan telah meletakkan pengaturan itu dalam kesempurnaan rancangan sehingga tidak memerlukan campur tangan lagi. Jika Tuhan masih campur tangan, berarti Tuhan telah bertindak otoriter dan menghambat manusia dalam berkarya. Paham ini memang tumbuh sebagai reaksi terhadap tirani gereja Eropa abad pertengahan. Ini inti paham ketuhanan Deisme.

Kesamaan Alur Berpikir Kaum Deism dan Penganut Sekularisme

Jika dicermati, Deisme ini sama dan sebangun dengan ilmaniyah (sekularisme) yang muncul di Eropa pada era renaissance, kebangkitan teknologi, revolusi industri, masa kolonialisme ke dunia Islam hingga sekarang. Sama-sama tidak mengingkari eksistensi Tuhan secara ekstrim seperti kaum atheis, akan tetapi mereka mem-pasif-kan Tuhan, mem-pensiun-kan Tuhan dari mengatur alam semesta ciptaannya.

Mereka memuji-muji Tuhan dengan sifat kebaikan dan kesempurnaan, namun… selanjutnya menelikung Tuhan dari mengatur ciptaannya dengan aturan dan hukum. Untuk menyempurnakan penelikungan, mereka menolak konsep ‘wahyu’ dan ‘rasul’ dimana dengan perantaraan rasul dan wahyu lah Tuhan mengatur kehidupan alam semesta. Pengesaan para filsuf terhadap Tuhan sebagai produk eksplorasi pemikiran, hanya sampai pada penemuan eksistensi dan keesaannya. Dan memang,..setelah itu adalah wilayah para rasul dengan arahan wahyu menjelaskan kepada manusia bagaimana tata cara mengesakan Tuhan dalam sikap dan perilaku. Tanpa itu, pengakuan keberadaan Tuhan dan pujian akan kesempurnaan-Nya, hanya’pepesan kosong’, tidak ada konsekuensi, bahkan akhirnya melecehkan Tuhan. Memang kehebatan akal tanpa bimbingan rasul yang dipandu wahyu tidak akan sampai kepada kebenaran hakiki yang dikehendaki Tuhan.

Sungguh berlainan persepsi akan eksistensi Tuhan dan keesaannya dari mereka, dengan ajaran ‘rasul’ yang bersumber dari ‘wahyu’. Tuhan Allah dalam keyakinan Islam memperkenalkan diri sebagai Tuhan yang ‘sibuk’, bukan tuhan yang ‘diam’ dan ‘pasif’. Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. [Ar-Rahman : 29]. Imam Al-Qurthubiy di dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam al-Qur-an mengutip perkataan beberapa generasi Islam, mengenai sibuknya Allah mengatur urusan. Abu ad-DardaradliyalLahu ‘anhu  berkata, …diantara urusan-Nya adalah mengampuni dosa, memberikan jalan keluar terhadap kesempitan, memuliakan suatu kaum dan merendahkan yang lain. Abdullah bin ‘Umar menambah,…mengabulkan permohonan. Generasi berikutnya, seperti Ibnu Bahr memerinci …masa (waktu) seluruhnya ada 2, yakni hitungan hari-hari di dunia, sedangkan di akherat  yakni hari pembalasan. Adapun urusan Allah dalam kehidupan di dunia menimpakan bala’ dan menguji manusia, menghidupkan dan mematikan, menimpakan bencana dan menguji manusia dengan perintah dan larangan, memberi dan menahan pemberian-Nya. Adapun urusan di akherat adalah meng-hisab dan membalas amal perbuatan. [Ahkam al-Qur-an, Imam al-Qurthubi, Maktabah Syamilah].

Para filsuf Deism tampak manis memuji Tuhan dalam kesempurnaan desain, keteraturan penataan dalam kompleksitas dan keterperinciannya, tampilan harmoni ciptaan yang menakjubkan. Tetapi di balik pujian itu mereka menikam tuhan dan membelenggunya dalam credo kepasifan. Credo (keyakinan) itu sendiri memang hanya persepsi mereka sendiri yang dibayang-bayangi oleh latar belakang kepahitan sistem nilai dan tatanan sosial di bawah para pemimpin gereja yang korup dan sok suci dengan mengatasnamakan Tuhan.

Kesempurnaan Desain atas Ciptaan-Nya justru Mengharuskan Tidak Mem-Pasifkan-Nya

Islam punya perspektif lebih indah dan memuaskan dahaga intelektual tanpa dibayangi pengalaman pahit tatanan kehidupan yang tempo-tempo memang dikendalikan oleh pemimpin (baik politik maupun agama) yang tidak mencapai tingkat maturity untuk bercermin dengan keindahan dan kesempurnaan sifat Allah.

Rancangan Allah atas makhluk-Nya, termasuk alam semesta, dalam credo (keyakinan) Islam tidak hanya sempurna, kompleks, terperinci, indah dan harmoni, bahkan juga mengikuti alur perancangan desain yang derivatif ; ada desain induk yang menjadi acuan dan ada desain turunan bersifat penjabaran tanpa menyelisihi desain induk. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyalLahu ‘anhu berkata bahwa dia pernah mendengar RasululLah shallalLahu ‘alayhi wa sallam  bersabda, “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Al-Qalam, kemudian Allah berfirman kepadanya : “Tulislah!” Ia bertanya : “Wahai Rabb-ku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman : “Tulislah taqdir segala sesuatu hingga hari Kiamat”. [Abu Dawud, At-Tirmidziy dan Ahmad, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy]. Taqdir segala sesuatu dari makluk-Nya tersebut tersimpan di Lauh al-Mahfudh, tidak ada yang mengetahui ketetapan itu selain-Nya. Waktu penetapannya pun telah dikhabarkan, RasululLah bersabda, “Allah telah menetapkan takdir para makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi”. [Muslim].

Contoh gambaran derivasi dari ketetapan besar itu, Allah menurunkan Al-Qur-an dari Lauh al-Mahfudh ke Bayt al-‘Izzah di langit dunia, sekali turun pada malam laylatul-Qodar sebagaimana firman-Nya dalam surat Ad-Dukhan ayat 3, adapun diwahyukannya kepada RasululLah, berjalan berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun masa kenabian. Dalam hal anak-cucu Adam, takdir induk tersebut dirinci pada derivasi level kedua sebagaimana diberitakan di dalam hadits AbdulLah bin Mas’ud bahwa ketika janin berusia 120 hari di dalam rahim ibu, dikirimkan malaikat meniupkan ruhnya, dan diperintahkan dengan 4 (empat) perkara yaitu menulis rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya dan apakah ia akan bahagia atau celaka. [Al-Bukhariy, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Majah].

Kesempurnaan turunan taqdir anak-cucu Adam ditetapkan dalam derivasi terperinci dalam penetapan takdir tahunan yang terjadi pada malam Laylatul-Qodar yakni diantara malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Segala sesuatu ketetapan rinci terhadap seseorang yang akan terjadi pada satu tahun ke depan ditetapkan pada malam yang mulia dan penuh berkah tersebut. Menurut Syaikh As-Sa’diy dalam Taysir Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalim al-Mannan ketika menjelaskan ayat 4 dari surat Ad-Dukhan bahwa hal itu menunjukkan kesempurnaan ilmu Allah, kesempurnaan hikmah-Nya dan ketekunan Allah yang tidak pernah teledor mengurus makhluq-Nya.

Dari sini kita mendapatkan gambaran lebih utuh, penciptaan dan pengaturan dengan desain dan rencana yang sempurna, sekaligus dapat mengkomparasikan keyakinan persepsi para filsuf Deisme yang meng-klaim mengakui eksistensi dan keesaan Tuhan, tetapi berpandangan bahwa jika Tuhan masih mengurus ciptaan yang telah diciptakan secara sempurna tersebut berarti Tuhan otoriter dan menghambat kreasi manusia, maka anggapan tersebut jauh dari apa yang diberitakan oleh Allah kepada Rasul-Nya dengan perantaraan wahyu. Justru dengan mengenali Allah dengan sifat dan perbuatan-Nya seperti Allah memperkenalkan diri-Nya melalui Rasul dan wahyu-Nya kita jauh lebih dapat mengagungkan-Nya sesuai dengan keagungan-Nya tanpa disertai oleh prasangka buruk kepada-Nya, hanya karena perilaku tokoh agama yang tidak mampu mencapai maturity untuk ber-akhlaq dengan bercermin kepada sifat dan keagungan-Nya. WalLohu A’lam bish-Showab.

 

BACA JUGA: Benarkah Ruh Sujud di Bawah Arsy Saat Manusia Tidur?

Puasa dan Zakat

Berzakat Atas Nama Pembantu Rumah Tangga

Pertanyaan :

Apakah wanita yang berprofesi menjadi pembantu rumah tangga diwajibkan mengeluarkan zakat fitri?

Jawab :

Wanita pembantu rumah tangga diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitri karena ia juga seorang muslimah, akan tetapi apakah yang menanggung dirinya sendiri atau boleh ditanggung oleh tuan rumahnya?, maka pada dasarnya zakat firti wanita itu dikeluarkan oleh dirinya sendiri, akan tetapi jika tuan rumahnya mengeluarkan zakat fitri untuk pembantunya tersebut, maka hal ini dibolehkan.

Durus wa fatwa al haram al makki, syaikh ibnu Utsaimin, dinukil dari fatwa fatwa wanita, Darul Haq hal 223.

Berzakat (Mal) Kepada Saudara Perempuan Yang Fakir Yang Telah Menikah

Pertanyaan :

Jika seorang wanita memiliki saudara perempuan, dan saudarnya itu sudah menikah tapi dalam keadaan fakir, bolehkah ia memberikan zakat malnya kepada saudaranya itu?

Jawab :

Nafkah seorang wanita adalah kewajiban bagi suaminya, dan jika suami itu seorang yang fakir maka bagi saudara saudara istrinya hendaklah memberikan zakatnya kepada saudara perempuannya itu, agar ia mendapat nafkah untuk dirinya sendiri dan untuk suaminya serta untuk anak-anaknya.

Bahkan jika istri ini memiliki harta yang wajib dizakati, maka hendaknya ia mengeluarkan zakat hartanya itu kepada suaminya agar suaminya dapat memberi nafkah kepada orang orang yang menjadi tanggungannya.

Majalah al Buhuts al islamiyah, dinukil dari fatwa fatwa wanita, Darul Haq hal 220.

 

Mengqadha Enam Hari Puasa Ramadhan Di Bulan Syawal, Apakah Mendapat Pahala Puasa Syawal Enam Hari Yang Sunnah?

Pertanyaan :

Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapatkan pahala puasa sunnah enam hari di bulan syawal?

Jawab :

Disebutkan dalam hadist, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan syawal maka ia seperti berpuasa setahun.”

Hadits ini menunjukkan bahwa, wajib menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib, kemudian ditambah dengan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadtis lain disebutkan:

“Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan syawal sama dengan dua bulan.”

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini, barang siapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, safat, nifas atau haidh hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan, yaitu dengan mendahulukan qadha puasa Ramadhan terlebih dahulu, baru kemudian melaksanakan puasa sunnah di bulan syawal agar mendapat pahala atau kebaikan yang dimaksud. Adapun puasa wajib yang diqadha dibulan syawal yang dilakukan oleh penanya tidaklah berstatus (tidak mendapat pahla) sebagai puasa sunah di bulan syawal.

Fatwa syaikh Abdullah jibrin, dinukil dari fatwa fatwa wanita, Darul Haq hal 270.

 

BACA JUGA: Zakat Mal ke Lembaga Sosial

‘Mengetuk’ Pintu ar-Rayyan

“Innaha shawwaamah qawwaamah, dia (Hafshah binti Umar bin Khathab) adalah wanita yang banyak shaum dan banyak mendirikan shalat, dan dia adalah isterimu di jannah.” (HR al-Hakim)

Itulah pesan Jibril alaihissalam kepada nabi shallallahu alaihi wasallam perihal Ummul Mukminin Hafshah radhiyallahu ‘anha.

Gelar shawwamah qawwamah (banyak shaum dan banyak shalat) tersebut disematkan beliau bukan oleh orang-orang belakangan yang mungkin melebih-lebihkan dari kenyataan. Akan tetapi gelar itu dikabarkan oleh Jibril alaihis salam, malaikat penyampai wahyu. Sehingga jauh dari ungkapan basa-basi atau manipulasi.

Ini menunjukkan sisi keutamaan dari Ibunda Hafshah radhiyallahu ‘anha, sekaligus bahwa banyak shaum dan banyak shalat merupakan pilihan unggulan amal.

Keistimewaan Pintu ar-Rayyan

Bukti bahwa memperbanyak shaum termasuk dari amal ketaatan yang bisa diunggulkan adalah, bahwa di jannah ada pintu yang dikhususkan bagi orang yang unggul dalam hal shaum, yang diberi nama ar-Rayyan. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Dan barangsiapa termasuk ahli shiyam, maka akan dipanggil dari pintu ar-Rayyan.” (HR Bukhari)

Diriwayatkan pula dari Sahl radhiyallahu ‘anhu dari nabi shallallahu alaihi wasallam,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di jannah ada satu pintu yang disebut ar-rayan, dari pintu inilah masuknya orang-orang yang shaum pada hari Kiamat. Tidak akan memasukinya kecuali orang-orang yang shaum, akan dikatakan, “Manakah orang-orang yang shaum?” Merekapun berdiri dan ketika mereka semua sudah masuk, maka pintu ditutup dan tak ada lagi seorangpun yang masuk melalui pintu itu.” (HR Bukhari)

Ar-Rayan dari kata ‘ar-ray’ yang merupakan kebalikan dari haus. Tapi masuk juga dalam pengertian di sini sebagai kebalikan dari lapar. Karena bisa jadi penyebutannya hanya satu (haus), sekedar mewakaili. Atau seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Likaunihi asyaqqu ‘alash sha’imi minal juu’, yakni karena umumnya rasa haus lebih berat bagi orang yang shaum daripada rasa lapar.”

Ini merupakan nama yang pas secara lafazh maupun makna, juga sesuai dengan kaidah ‘al-jaza’ min jinsil ‘amal’, bahwa imbalan sepadan dengan amal perbuatan. Ketika orang yang menjalankan shaum merasakan haus dan lapar di dunia, maka di akhirat akan dihilangkanlah rasa haus dan lapar tersebut untuk selamanya. Karenanya, di dalam riwayat an-Nasa’i dan Tirmidzi ada tambahan kalimat,

مَنْ دَخَلَهُ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا

“Barangsiapa yang memasukinya (ar-Rayyan) maka tidak akan pernah merasakan haus selamanya.” (HR Tirmidzi dan Abu Dawud)

Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah posisi pintu tersebut sebelum memasuki jannah atau berada di dalam jannah, mengingat kalimat dalam hadits tersebut menggunakan kata “fii”, yang bermakna di dalam. Ibnu Hajar al-Asqalani menukil dari az-Zain bin al-munir rahimahumallah, “Disebutkan dalam hadits ini fil jannah (pintu di jannah), bukan lil jannah (jannah memiliki pintu) untuk menghadirkan rasa bahwa di dalam pintu tersebut terdapat kenikmatan dan kenyamanan di jannah, sehingga penggunaan kalimat ini lebih menimbulkan kerinduan untuk mendatangi pintu ini.

Adapun keadaan mereka setelah masuk jannah, maka mereka akan makan dan minum dengan bebasnya, tak ada penghalang dan sempurnalah kelezatan yang dirasakannya. Allah Ta’ala berfirman,

“(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”. (QS al-Haqqah 24)

Imam ath-Thabari rahimahullah menafsirkan, “Makanlah dan minumlah dengan nikmat sebagai balasan dari Allah untuk kalian dan sebagai imbalan atas apa yang kamu lakukan di masa lalu, yakni apa yang telah kamu lakukan di dunia untuk akhirat kalian beruapa amal ketaatan kepada Allah.”Adapun Mujahid bin Jabr rahimahullah memaknai lebih khusus “ayyamul khaaliyah” (hari-hari yang telah lalu) yakni ayyamush shiyaam, hari-hari saat menjalani shaum, seperti yang disebutkan oleh asy-Syaukani dalam Fathul Qadiir.

Mereka merasakan kelezatan makanan dan kesegaran minuman tanpa disertai kesusahan sebelum dan sesudahnya. Tidak ada kesulitan atau larangan untuk mendapatkannya, tidak pula direpotkan dengan kekenyangan ataupun buang air besar dan kecil. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ يَأْكُلُونَ فِيهَا وَيَشْرَبُونَ وَلاَ يَتْفُلُونَ وَلاَ يَبُولُونَ وَلاَ يَتَغَوَّطُونَ وَلاَ يَمْتَخِطُونَ ». قَالُوا فَمَا بَالُ الطَّعَامِ قَالَ « جُشَاءٌ وَرَشْحٌ كَرَشْحِ الْمِسْكِ

“Sesungguhnya penduduk surga, mereka makan dan minum di dalam surga, namun mereka tidak meludah, tidak kencing, tidak buang air besar, dan tidak mengeluarkan dahak.” Para sahabat bertanya: ‘Lalau bagaimana nasib makanan di perut mereka?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Menjadi sendawa, dan keringat yang berbau misk.” (HR. Muslim).

 

‘Mengetuk’ Pintu ar-Rayyan

Menahan lapar dan haus dalam rangka taat kepada Allah adalah cara ‘mengetuk’ pintu ar-rayyan agar bisa memasukinya. Dan lebih luas lagi yakni menjaga diri dari syahwat perut. Bukan hal mudah untuk menahan syahwat perut. Bukankah terusirnya Adam alaihissalam dan Hawa dari jannah lantaran syahwat perut? Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Adalah bapak kita Adam diuji dengan makan, dan terus kalian akan diuji pula dengan makan, sampai hari Kiamat.” Beliau juga berkata, “Barangsiapa mampu menguasai perutnya maka dia akan mampu menguasai amal shalihnya.”

Menjaga syahwat perut, setidaknya dalam tiga hal. Pertama, menahan diri dari berlebihan makan dan minum meskipun dari yang halal. Kita memang diijinkan untuk makan dan minum yang halal, akan tetapi terikat dengan kaedah “wa laa tusrifuu”, tapi jangan berlebih-lebihan, baik dalam pengertian melampaui batas dari yang dihalalkan maupun berlebihan dengan pengertian melampaui batas dari kadar yang wajar. Tatkala menahan syahwat perut itu mermbutuhkan kesabaran tinggi, maka buah yang akan dihasilkan pun sangat fantastis, baik di dunia maupun di akhirat.

Imam ash-Shan’ani menyimpulkan sisi fadhilah shaum dan menahan lapar, “Sesungguhnya lapar itu adalah satu penjaga dari penjagaan Allah. Dan hal utama yang terhindar karena rasa lapar adalah dorongan syahwat dan nafsu bicara. Karena orang yang menahan lapar tidak berhasrat untuk berbicara kecuali sangat penting, sehingga dia terhindar dari berbagai penyakit lisan. Dan orang yang lapar juga tidak bangkit padanya syahwatnya sehingga terhindar dari penyaluran syahwat yang diharamkan.”

Menjaga syahwat perut yang lebih dituntut lagi adalah menjaga dari barang yang diharamkan agar jangan masuk ke dalam perut. Karena makanan maupun minuman yang haram memiliki dampak yang sangat buruk bagi kehidupan seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat.

Di antara dampak yang sangat menakutkan adalah terancam oleh jilatan api neraka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Sesungguhnya tidaklah daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang lebih pantas baginya.” (HR Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan Gharib”, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi

Dampak yang mengerikan pula, bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram menyebabkan doa tidak terkabul. Andai tidak ada dampak lain selain ini, sungguh meruapakan kerugian yang sangat besar. Karena bagi seorang mukmin doa adalah senjata paling ampuh untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan menghindarkan diri dari apa yang ditakutkan. Dan masih banyak lagi dampak buruk makanan dan minuman yang haram.

Adapun cara ketiga dalam menjaga syahwat perut adalah dengan menjalankan shaum, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Ketika seseorang rela menahan rasa lapar dan haus karena mentaati Allah, maka akan terhindarlah ia dari sesuatu yang ditakutkan. Shaum menjadi perisai antara dirinya dari neraka, sekaligus menjadi syafaat bagi orang yang menjalankannya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Shiyam dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut pada Hari Kiamat. Berkata Ash-Shiyam, “Rabbi, sungguh aku telah menghalanginya dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Al-Qur`an berkata, “Rabbi aku telah menghalanginya dari tidur pada malam hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Maka keduanya memberikan syafa’at.” (HR Ahmad dan Thabarani)

Maka hadirnya Ramadhan dari tahun ke tahun mestinya membuat semangat ketaatan menjadi subur dan ambisi kemaksiatan semakin terkubur. Dan dengan shaum yang kita jalankan mestinya juga membawa dampak sifat wara’ (menjaga) dari segala jenis makanan dan minuman yang haram, juga menjauhkan diri dari sifat berlebihan. Dan pada gilirannya, semoga kita termasuk kaum yang diijinkan masuk jannah melalui pintu ar-Rayyan, aamiin. (Abu Umar Abdillah)