Dakwah Islam Sebelum Wali Sanga

Hingga saat ini, banyak orang menganggap bahwa Islam baru masuk dan menyebar ke tanah Jawa pada masa akhir kerajaan Majapahit. Wali Sanga menjadi perintis jalan penyebaran Islam di Jawa. Periode Wali Sanga sendiri menurut versi yang masyhur terjadi pada abad 15-16 Masehi. Pada periode ini, penyebaran Islam di tetangga Jawa yang paling dekat, yaitu Sumatera dan Malaka, padahal telah memperlihatkan hasilnya. Beberapa kerajaan Islam telah lama muncul dan berkembang di dua wilayah tersebut. Sementara itu, Jawa seakan menjadi wilayah yang termarginalkan dari sentuhan dakwah Islam sehingga kedatangannya pun telat sekian abad dibanding Sumatera. Benarkah demikian?

Berbicara tentang Islamisasi Jawa, memang masih banyak hal yang terasa samar dan perlu dikaji berulang-ulang. Kesamaran itu di antaranya terjadi karena langkanya sumber tentang proses awal Islamisasi Jawa. Sumber-sumber yang ada lebih banyak memuat data periode saat Islam sudah berkembang. Berbeda dengan Sumatera, sumber tentang proses awal Islamisasi di wilayah ini masih bisa dilacak. Penulisan sejarah Islamisasi Sumatera pun menjadi lebih jelas dibanding Jawa. Terlepas dari faktor ini, harus dipahami bahwa Islamisasi adalah hasil dari interaksi bangsa Nusantara dengan dunia internasional, khususnya dengan bangsa yang sudah masuk Islam.  

 

Hubungan Jawa dengan Dunia Internasional

Dalam hubungan antarbangsa, nama Jawa sudah cukup lama dikenal di dunia internasional. Hal itu dibuktikan dengan disebutnya nama Jawadwipa dalam kitab Ramayana. Diceritakan, Sugriwa sang raja kera mengirimkan pasukannya ke empat mata angin untuk mencari Shinta. Salah satu daerah yang dituju adalah Jawadwipa. Menurut Prof. Sylvain Lévi, kitab ini ditulis tidak lebih dari abad 1 M. Ptolomy, ahli astronomi dari Iskandariah, menulis geografi dunia abad 2 M. Ia menyebut Jawa dengan Iabadiou. Menurutnya, “Iabadiou, yang berarti pulau jewawut (sejenis padi), konon adalah pulau yang sangat subur dan menghasilkan banyak emas.” Kronik China menyebutkan bahwa sekitar 132 M, Tiao Pien (Dewa Warman?), raja Ye-tioa (Jawadwipa), mengirimkan seorang duta ke Cina. Raja Cina menghadiahi Tiao Pien stempel emas dan pita ungu. (Bijan Raj Chatterjee, India and Java, 1933, hlm. 1 dan 22)

Data yang diungkap Prof. Bijan Raj Chatterjee di atas menunjukkan bahwa bangsa India, Mesir kuno (Koptik), dan China sudah lama mengenal Jawa dan berhubungan dengan penduduknya. Hubungan Jawa dengan Mesir kuno sendiri bahkan sudah terjalin berabad-abad sebelum Masehi. Donald Maclaine Campbell mengemukakan bahwa orang-orang dari barat yang pertama kali mengunjungi Jawa adalah orang-orang dari Laut Merah. Mereka datang dengan menaiki perahu pada permulaan 4.500 sebelum Masehi. (Java: Past and Present, Jilid 1, hlm. 20)

Jawa juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Madagaskar di Afrika Timur. Dalam History of Madagascar, Flaccourt menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh penduduk pulau ini penuh dengan kata-kata Jawa dan Melayu. Menurut Raempfer, fakta ini merupakan bukti hidup terjalinnya perdagangan antara Madagaskar dengan Jawa dan Sumatera sejak 2.500 tahun yang lalu. (Java: Past and Present, Jilid 1, hlm. 87)

Baca Juga: Citra Pribumi di Mata Penjajah, Portugis

Termasuk yang berhubungan cukup intens dengan orang Jawa adalah orang Arab. Sangat aneh jika orang Jawa sudah berlayar hingga Madagaskar dan menjalin hubungan dengan orang Mesir kuno, namun tidak mempunyai hubungan dengan orang Arab. Jazirah Arab berada di jalur yang dilewati orang Jawa ke Madagaskar. Orang Arab juga dikenal sebagai penjelajah bahari. Mereka membangun pemukiman di pantai barat Sumatera pada awal abad 1 M. Orang Arab tentu sudah lama menjalin hubungan dengan orang Jawa. Akan tetapi, kapan orang Arab pertama kali mengunjungi Jawa tidaklah diketahui meski beberapa abad sebelum Masehi mereka dipastikan sudah mengenal kepulauan Maluku. (ibid)         

     

Jejak Awal Islam di Jawa

Hubungan intens dengan dunia internasional menjadi mata rantai utama untuk menelusuri jejak awal Islamisasi Jawa. Apabila bangsa Arab, bangsa yang pertama kali menerima dan menyebarkan Islam, sudah sangat lama menjalin hubungan dengan bangsa Jawa, tentulah upaya Islamisasi Jawa juga sudah dilakukan sejak awal lahirnya agama ini. Jauh sebelum masa Wali Sanga, tentu sudah ada geliat dakwah di Jawa.

W.P. Groeneveldt dalam “Nusantara dalam Catatan Tionghoa” menceritakan bahwa seorang pemimpin pemukiman Arab di pantai barat Sumatera sempat berencana menyerang Kerajaan Kalingga di Jawa pada masa pemerintahan Ratu Shima (674 M). Akan tetapi, serangan ini dibatalkan ketika ia mendengar keadilan sang ratu dan kecintaan rakyat kepadanya. (hlm. 20-21) Rencana penyerangan itu sezaman dengan pemerintahan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan di Damaskus. Pada saat tersebut, bangsa Arab telah memeluk Islam dan menjadi dai yang sangat giat. Ini menjadi jejak awal datangnya orang Islam ke Jawa. 

Baca Juga: Jaringan Islamisasi Jawa-Maluku

Jejak berikutnya diungkap Solichin Salam dalam bukunya Sekitar Wali Sanga. Ia menyatakan bahwa pada masa Mpu Sendok (929-949 M), banyak orang Jawa berdagang hingga Baghdad. Dari hubungan ini, pada masa Airlangga (1019-1042 M) atau setidaknya masa Jayabaya (1135-1157 M), terbentuklah komunitas muslim di daerah pantai Jawa. Salah satu buktinya, ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik (meninggal th 1082 M). (hlm. 9)

Jejak berikutnya diungkap Soetjipta Wirjosoeparto. Dalam disertasinya tentang Kakawin Gatutkacasyara, ia menyebutkan bahwa kitab karya Mpu Panuluh yang ditulis pada masa Jayabaya tersebut banyak menggunakan kata-kata dari bahasa Arab. Jejak lain diungkap oleh T.W. Arnold. Dalam The Preaching of Islam (hlm. 378), ia menulis bahwa pada akhir abad 12 M, putra tertua raja Pajajaran masuk Islam. Namanya Haji Purwa. Ia berusaha mengislamkan Pajajaran, namun gagal. 

Itulah sebagian jejak sejarah yang menunjukkan upaya dakwah Islam sebelum Wali Sanga. Jadi, Wali Sanga bukanlah pihak pertama yang berdakwah di Jawa. Mereka hanya melanjutkan dakwah yang telah dirintis para dai sebelumnya. Dakwah Wali Sanga ternyata lebih sukses dibandingkan dakwah para pendahulu mereka. Oleh karena itu, nama-nama dan kisah mereka selalu dikenang dalam ingatan orang Jawa. 

 

Oleh: Ust. Muh. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Awal Islamisasi Maluku

Maluku pada hari ini merupakan sebuah provinsi yang meliputi bagian selatan Kepulauan Maluku, Indonesia. Sementara itu, bagian utara kepulauan tersebut sejak 1999 menjadi provinsi tersendiri bernama Maluku Utara. Jika mengkaji sejarah, sebenarnya dahulu wilayah yang disebut Maluku justru wilayah yang hari ini menjadi Provinsi Maluku Utara. Dalam kitab Nagarakretagama disebutkan bahwa wilayah pengaruh kerajaan Majapahit meliputi Maluku, Ambwan (pulau Ambon sekarang) dan Wandan (Banda sekarang). Ini artinya Ambon dan Banda tidak termasuk bagian dari Maluku.

Saat VOC berkuasa, pembagian wilayah sesuai keterangan Nagarakretagama masih dipertahankan. Ada tiga wilayah administrasi pemerintahan VOC, yaitu Gouvernement der Molukken yang berpusat di Ternate, Gouvernement van Amboina yang berpusat di Ambon dan Gouvernement van Banda yang berpusat di Banda Neira. Setelah VOC bubar, tepatnya pada 1817, Pemerintah Hindia Belanda menyatukan ketiga pemerintahan tersebut menjadi  Gouvernement der Molukken yang berpusat di Ambon. Hal ini terus bertahan hingga setelah Indonesia merdeka.

Baca Juga: Awal Islamisasi di Banjarmasin 

Pada saat NICA berkuasa, pemerintahan di Maluku sempat dibagi dua keresidenan, yakni keresidenan Maluku Utara dan keresidenan Maluku Selatan. Ini terjadi hingga tahun 1950. Setelah era reformasi, Maluku kembali dipecah menjadi dua mengikuti konsep NICA. Provinsi Maluku wilayahnya mencakup seluruh wilayah bekas keresidenan Maluku Selatan, sedangkan provinsi Maluku Utara wilayahnya juga meliputi seluruh wilayah bekas keresidenan Maluku Utara. (Usman Thalib, Sejarah Masuknya Islam di Maluku, hlm. 12-16) Mengikuti sejarah awalnya, maka istilah Maluku dalam tulisan ini lebih banyak merujuk ke Maluku Utara.

Asal Usul Nama Maluku

Nama Maluku telah dicatat dalam Nagarakretagama (1365) sebagai Maloko. Menurut Pigeaud, diduga bahwa penulis kitab ini mengadopsi nama tersebut dari kebanyakan pedagang Arab yang melakukan kegiatan perniagaan di Nusantara. Pendapat yang populer menyatakan bahwa nama Maluku berasal dari bahasa Arab Jazirah Al-Muluk yang berarti “negeri para raja”. Saat pedagang Arab itu mengunjungi kepulauan Maluku, mereka menemukan banyak raja.

Catatan dari Dinasti Tang (618-906) di Cina menyebutkan suatu kawasan yang digunakan untuk menentukan arah daerah Ho-ling (Kalingga) yang terletak di sebelah baratnya. Kawasan ini bernama “Mi-li-ku” yang diperkirakan sebagai sebutan untuk Maluku. Penulis-penulis Cina dari zaman Dinasti Tang tidak dapat memastikan lokasi sesungguhnya kawasan yang ditunjuk dengan nama tersebut. Pada masa kemudian, barulah diketahui bahwa yang dimaksud dengan “Mi-li-ku” adalah gugusan pulau-pulau Ternate, Tidore, Makian, Bacan dan Moti. (M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, hlm. 5-7)

Hubungan dengan Dunia Luar

Disebutnya nama Mi-li-ku dalam catatan dari Dinasti Tang maupun Maloko dalam Nagarakretagama menunjukkan bahwa telah terjalin hubungan antara kawasan tersebut dengan dunia luar. Hubungan itu bahkan telah ada sejak sekian ratus tahun sebelum Masehi. Dalam perdagangan kuno internasional, Kepulauan Maluku sering dikenal sebagai Kepulauan Rempah. Rempah-rempah, seperti cengkih dan pala, dihasilkan dan didatangkan dari Maluku.

Bukti paling awal dari keberadaan cengkih di luar Maluku datang dari penemuan arkeologis yang berasal dari sekitar 1700 SM di situs Mesopotamia, Terqa di Suriah sekarang. Di antara tanaman yang umum tersisa di ruang dapur rumah tangga adalah beberapa cengkih. Oleh karena umumnya cengkih berasal dari Maluku, kehadiran cengkih di rumah tangga kelas menengah di Suriah menunjukkan bahwa sejak zaman awal-awal sudah terdapat jalur perdagangan jarak jauh khusus dalam komoditas rempah yang tidak tahan lama ini. Pada abad 3 SM, rempah ini sudah cukup dikenal di Negeri Cina hingga Kekaisaran Han memerintahkan para bawahan istana untuk mengunyah cengkih agar napas mereka segar dan wangi. K’ang T’ai, satu dari utusan yang dikirim oleh Pemerintah Wu dari Negeri Cina Selatan ke Funan pada abad 3 M, melaporkan bahwa cengkih berasal dari pulau di timur. (Leonard Y. Andaya, Dunia Maluku, hlm. xvii)

Selama berabad-abad, Maluku dengan rempah-rempahnya mempunyai daya tarik bagi banyak bangsa. Orang Jawa menjadi penghubung perdagangan rempah antara Maluku dengan Malaka. Tuban adalah pelabuhan terbesar di Jawa. Kota ini menjadi gudang besar rempah-rempah dari Maluku. Dari sini, rempah-rempah kemudian dibawa ke Malaka untuk dipasarkan ke India hingga Eropa di barat maupun ke Cina di timur. Sementara itu, kebutuhan beras di Maluku disuplai dari Jawa yang dikenal sebagai penghasil beras. (H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia 1, hlm. 33)   

Islam Masuk Maluku

Pengaruh Islam telah hadir di kepulauan Maluku sejak kurun pertama tahun Hijriah. Akan tetapi, kemungkinan besar saat itu Islam hanya dianut oleh musafir Muslim yang singgah di Maluku. Hamka menyatakan bahwa sejak 650M atau 17 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para pedagang Arab telah membawa cengkih dan pala ke pelabuhan di Teluk Persia untuk kemudian diperdagangkan ke Eropa. Pada masa itu ramai pedagang Arab dan Persia berlayar ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Kemungkinan pedagang Arab itu telah menikah dengan wanita pribumi, berdiam sekian lama atau meninggal di sana. (Sejarah Umat Islam, hlm. 805)

Baca Juga: Sejarah Berhala Arab Jahiliyah

Dalam Hikayat Ternate yang ditulis oleh Naidah disebutkan bahwa pengislaman di sana terjadi pada 643 H (1250 M). Seorang tokoh bernama Jafar Shadik atau Jafar Nuh tiba di Ternate dari Jawa pada Senin 6 Muharam 643 H atau 1250 M. Sementara itu, sumber-sumber Portugis yang tiba di Maluku pada 1512 mencatat bahwa Islam telah ada di Ternate sejak 1460. Hal yang sama dikatakan oleh Tome Pires bahwa Banda, Hitu, Makian dan Bacan sudah terdapat masyarakat Islam sejak kira-kira 50 tahun sebelum Portugis tiba. Diperkirakan pada 1460 atau 1465. Pernyataan dari sumber-sumber Portugis ini memberi kesan kuat bahwa Islam telah melembaga dalam kehidupan masyarakat lokal di beberapa tempat tersebut; bukan bermakna kehadiran Islam untuk pertama kalinya di sana. (Sejarah Masuknya Islam di Maluku, hlm. 22) Wallahu a‘lam. (Redaksi/Hadharah/Sejarah Islam

 

Tema Terkait: Sejarah Islam, Indonesia, Dakwah Islam 

Ekspansi Dakwah Orang Bugis-Makassar

            Secara resmi, Kerajaan Gowa-Tallo menerima Islam pada malam Jumat 22 September 1605 M bertepatan dengan 9 Jumadil Awal 1014 H. Raja yang memeluk Islam pada tanggal itu ialah raja Tallo yang juga menjabat mangkubumi dalam Kerajaan Gowa. Namanya I Mallingkang Daeng Mannyori’. Sebagai raja yang mula-mula masuk Islam, ia diberi gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam. Kira-kira pada waktu itu juga raja Gowa bernama I Mangngarangngi Daeng Manra’bia masuk Islam dan diberi gelar Sultan Alauddin. Dua tahun kemudian, seluruh rakyat Gowa dan Tallo sudah selesai diislamkan. Sebagai buktinya, dilaksanakanlah shalat Jumat pertama di Tallo pada 9 Nopember 1607 M/19 Rajab 1016 H. (J. Noorduyn, “Sejarah Agama Islam di Sulawesi Selatan” dalam W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, hlm. 88-89)

            Shalat Jumat itu mempunyai arti penting dalam Islamisasi di Sulawesi Selatan. Sebab setelah itu, Sultan Alauddin mendekritkan di hadapan jamaah bahwa Kerajaan Gowa sebagai kerajaan Islam dan menjadikan kerajaannya sebagai pusat Islamisasi di Sulawesi Selatan. Untuk merealisasikan dekrit tersebut, Sultan Alauddin mengirim utusan ke kerajaan-kerajaan tetangga untuk mengajak mereka secara damai masuk Islam. Sebagaimana telah disebutkan pada edisi sebelumnya, sebagian kerajaan menerima ajakan tersebut dan sebagian lain menolaknya. Meskipun demikian, kerajaan-kerajaan yang menolak, seperti Bone, Wajo dan Soppeng, akhirnya masuk Islam setelah berhasil ditaklukkan Gowa melalui perang. Bersama orang Makassar, orang Bugis yang telah masuk Islam itu kemudian terlibat aktif dalam menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, bahkan hingga keluar wilayah mereka.  

Islam Mengangkat Kehormatan Suku Bugis

            Di kalangan suku Bugis, dakwah Islam memang berjalan agak lambat. Meskipun demikian, menurut John Crawfurd, sekali mereka masuk Islam, maka mereka sangat tergugah untuk berjuang seperti halnya suku-suku Arab. Islam juga telah membuat mereka seketika itu menjadi orang-orang yang paling gagah berani sebagai pedagang dan pelaut mengarungi daerah Nusantara. Dengan perahu-perahu layarnya, mereka mengarungi seluruh wilayah Nusantara, mulai dari pantai Papua sampai Singapura. Mereka yang banyak menetap di berbagai daerah pesisir sangat menonjol dan aktif berdakwah. Misalnya, mereka yang berdiam di pesisir selatan Flores. Mereka melakukan pernikahan dengan penduduk asli yang semula kebanyakan menganut agama Katholik. Akan tetapi berkat usaha mereka, seluruh penduduk pulau itu menjadi muslim. (The History of Indian Archipelago, I/75 dan II/666)

Gerak Dakwah dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Utara

            Sambil berdagang, orang-orang Bugis berhasil mengislamkan kaum Kristen di Kerajaan Bolaang-Mongondou yang telah menganut agama itu turun temurun sejak abad 17. Raja Kristen Bolaang-Mongondou yang pertama adalah Jacobus Manoppo (1689-1709). Pada masa itu, agama Kristen berkembang pesat melalui bantuan dan pengaruh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan gereja Belanda. Pengganti sang raja semuanya beragama Kristen hingga 1844. Pada saat itu, Raja Jacobus Manuel Manoppo memeluk agama Islam. Terjadinya perubahan agama ini berkat dakwah yang dilakukan sejak awal abad tersebut. Para pegadang yang juga muballigh dari Bugis dan selainnya berhasil mengajak masuk Islam penduduk di wilayah pantai Kerajaan Mongondou. Dari sinilah, dua orang muballigh yang bernama Hakim Bagus dan Imam Tuweko, bergerak menyiarkan agama Islam ke seluruh wilayah kerajaan ini. Mereka mula-mula mengislamkan budak-budak dan wanita setempat yang mereka nikahi. Secara perlahan-lahan, orang-orang yang telah masuk Islam itu mengajak teman-teman dan keluarga mereka untuk memeluk keyakinan baru.

            Dari Mongondou, Islam menerobos ke wilayah utara Kerajaan Bolaang. Pada 1830, seluruh penduduk Bolaang masih menganut agama Kristen atau kepercayaan animisme. Sementara itu, jumlah orang Islam semula hanya dua atau tiga. Oleh karena ketekunan para muballigh dari Bugis dengan dibantu orang-orang Arab, agama Islam segera menyebar luas. Orang-orang Kristen yang minim pengetahuan agamanya merasa kewalahan menghadapi gelombang dakwah Islam. Oleh karena kurangnya perhatian dari Pemerintah Hindia Belanda maupun pihak Gereja, mereka mulai melarut dalam masyarakat Islam, sebagian melalui pernikahan.

            Sejalan dengan kemajuan dakwah, kunjungan orang-orang Bugis dan Arab, yang semula agak jarang, kini menjadi lebih sering. Pengaruh mereka pun berkembang dengan pesat. Sekitar tahun 1832, putra seorang Arab menikahi putri Raja Cornelius Manoppo, sementara raja sendiri masih beragama Kristen. Pada saat yang sama, banyak pejabat pentingnya meninggalkan Kristen dan masuk Islam. Dengan cara ini, Islam mulai memperoleh kedudukan penting di negeri itu sampai Raja Jacobus Manuel Manoppo masuk Islam pada tahun 1844.

Raja ini berkali-kali memohon kepada perwakilan Pemerintah Hindia Belanda di Manado supaya menunjuk pengganti kepala Sekolah Kristen, Jacobus Bastiaan. Kepala sekolah ini meninggal sehingga masyarakat Kristen di Bolaang merasa kehilangan. Meskipun demikian, permohonan Raja tidak digubris oleh Belanda. Dia malah mendapat kabar bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak ambil pusing apakah rakyatnya beragama Kristen atau Islam. Yang penting rakyat tetap setia kepada pemerintah. Sejak saat itu, Raja secara terbuka menyatakan dirinya sebagai Muslim. Dia lalu berusaha mendorong rakyatnya agar mengikuti langkahnya.

Seorang muballigh Arab mengambil kesempatan baik ketika terjadi gempa bumi pada tahun berikutnya. Dia mengabarkan bahwa Bolaang Mongondou akan hancur apabila rakyatnya tidak segera masuk Islam. Banyak orang mengikuti nasihatnya. Sementara itu, Raja bersama pemimpin-pemimpin lainnya mendukung dakwah para pedagang Arab. Meskipun hampir separuh penduduk masih mempertahankan kepercayaan lama, tetapi kemajuan Islam secara perlahan terus berlanjut. (Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam, hlm. 396-398)

Selain ke Sulawesi Utara, orang Bugis dan Makassar juga aktif mendakwahkan Islam ke Sumbawa, Lombok, bahkan Papua. Demikianlah ketika Islam sudah merasuki jiwa mereka. Islam menjadi kekuatan besar yang menggerakkan pemeluknya untuk menghasilkan karya peradaban mulia. Wallâhu a‘lam