Tragedi Ar-Raji’

Kekalahan dalam perang Uhud menyebabkan pamor yang kurang menyenangkan bagi kaum Muslim. Wibawa mereka menjadi luntur di hadapan musuh. Orang-orang Yahudi dan munafik mulai berani menampakkan permusuhannya secara terang-terangan.  Madinah dikepung marabahaya dari segala penjuru. Tetapi semua marabahaya tersebut justru menjadi hikmah tersendiri bagi kaum Muslim untuk mengembalikan pamor yang sempat surut.

Belum genap dua bulan setelah perang Uhud, Bani Asad berani menggelar persiapan untuk menyerang Madinah di bawah pimpinan Thalhah dan Salamah, anak Khuwailid. Persiapan mereka diketahui oleh mata-mata Madinah dan segera informasi tersebut disampaikan kepada Rasulullah.  Seketika itu pula Rasulullah mengirim pasukan sebanyak seratus lima puluh personil di bawah komando Abu Salamah. Abu Salamah langsung menyerang Bani Asad di perkampungan mereka sebelum mereka berangkat menyerang Madinah. Mendapat serangan yang tak disangka-sangka tersebut, Bani Asad pun kocar-kacir menyelamatkan diri mereka masing-masing. Alhasil, pasukan Muslim mendapatkan rampasan perang yang banyak, berupa kambing dan unta milik Bani Asad. Setelah itu pasukan Muslim kembali ke Madinah dalam keadaan utuh dengan membawa rampasan perang tanpa harus berperang. Karena mengalami inveksi pada luka yang diderita dari perang Uhud, Abu Salamah meninggal dunia tak lama setelah peristiwa tersebut. Peristiwa penyerangan ini terjadi pada awal bulan Muharam di tahun ke-4 H.

Tragedi ar-Raji’

Pada bulan Shafar di tahun yang sama, beberapa orang dari Adhal dan Qarah datang kepada Rasulullah mengabarkan bahwa di tengah kaumnya ada beberapa orang Muslim. Mereka meminta gara dikirim beberapa orang yang sanggup mengajarkan Islam kepada mereka. Rasulullah pun mengutus sepuluh orang dengan Ashim bin Tsabit sebagai pemimpin rombongan.

Setibanya di ar-Raji’, pangkalan air milik Bani Hudzail, para utusan yang memang sejak awal berniat menipu kaum Muslim itu bekerja sama dengan perkampungan Bani Lahyan. Seratus pemanah dari Bani Lahyan mengejar sepuluh utusan Rasulullah tersebut. Menyadari bahwa bahaya mengintai para utusan Rasulullah tersebut, mereka berusaha menyelamatkan diri dengan mendaki tempat yang lebih tinggi.

Para pemanah yang mengepung mereka berkata, “Kami berjanji dan bersumpah tak akan membunuh seorang pun di antara kalian asal kalian turun.”

Rombongan itu menolak tawaran yang mereka anggap hanya jebakan tersebut. Mereka bertempur dengan gagah berani hingga gugur dan menyisakan Khubaib bin Ady dan Zaid bin Datsinnah. Akhirnya Khubaib dan Zaid di bawa ke Makkah dan di jual kepada penduduk Makkah, padahal keduanya banyak menghabisi para pembesar Quraisy di perang Badar.

Khubaib dimasukkan ke dalam penjara setelah di beli oleh Hujair bin Abu Ilhab, namun kemudian orang-orang Quraisy sepakat untuk membunuh Khubaib. Untuk membunuh Khubaib, orang Quraisy sepakat untuk menyalibnya di luar tanah suci Makkah. Sebelum di salib, Khubaib meminta kesempatan untuk mendirikan salat dua rakaat saja, dan dikabulkan. Selesai salat, Khubaib berkata dengan nyaring, “Ya Allah, hitunglah bilangan mereka, binasakanlah mereka semua dan jangan Engkau biarkan seorang pun di antara mereka tetap hidup.”

Setelah orang-orang Quraisy membunuh dan menyalib jasad Khubaib, mereka menunjuk beberapa orang untuk menjaga jasad Khubaib supaya tidak diambil oleh kaum Muslim. Tetapi atas ijin Allah, Amr bin Umayyah mampu mengakali para penjaga dan mengambil jasad Khubaib untuk dikuburkan. Sedangkan Zaid bin Datsinnah dibeli oleh Shafwan bin Umayyah untuk dibunuh, karena Zaid telah membunuh ayahnya di perang Badar.

Sementara itu, orang-orang Quraisy mengutus beberapa orang untuk memotong sebagian tubuh Ashim bin Tsabit untuk memastikan kematiannya, karena Ashim membunuh banyak pembesar Quraisy di perang Badar. Karena sebelumnya Ashim pernah bersumpah kepada Allah untuk tidak bersentuhan dengan orang-orang Musyrik dan tidak membiarkan dirinya disentuh oleh orang-orang Musyrik, Allah mengutus sekumpulan lebah yang melindungi jasad Ashim sehingga utusan orang Quraisy tersebut sama sekali tak bias mnyentuh jasad Ashim. Ketika Umar bin Khattab mendengar hal ini, dia berkata, “Allah menjaga hamba yang Mukmin setelah meninggal dunia, sebagaimana Dia menjaganya sewaktu masih hidup.”

(Amirullah)

Taat

Belum kering darah dari luka-luka yang menganga, belum cukup mata terpejam, dan belum hilang lelah dari kerasnya peperangan yang telah mereka lalui sehari sebelumnya. Bilal, atas perintah Rasulullah, mengumumkan bahwa musuh harus dikejar. Rasulullah mensyaratkan perintah bahwa yang ikut dalam aksi ini hanya orang-orang yang ikut dalam perang Uhud.

Thalhah bin Ubaidillah bermaksud menemui Rasulullah untuk memastikan keberangkatan. Di depan pintu masjid, didapatinya Rasulullah sudah siap di atas pelana kuda lengkap dengan baju besi beliau. Tanpa pikir panjang Thalhah segera berlari menyiapkan dirinya.

Sa’ad bin Muadz segera beranjak menuju kaumnya untuk memberitahu mereka agar memakai kembali pakaian perang. Sa’ad berkata, “Aku menyaksikan darah di tubuh mereka masih merah. Mayoritas Bani Asyhal terluka, bahkan semuanya.” Mendengar pengumuman tersebut, Usaid bin Hudhair yang menderita tujuh luka bangkit dan berkata, “Aku menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.” Lalu ia ambil senjatanya tanpa peduli dengan perih luka yang ia derita. Sa’ad bin Ubadah juga segera mendatangi kaumnya, dan mereka pun menyambut dengan sigap. Demikian juga Abu Ubadah, datang kepada kaumnya yang sedang mengobati luka-luka mereka, dan mereka pun bersegera menyambut panggilan Allah dan rasul-Nya tanpa peduli luka-luka yang menganga itu.

Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa empat puluh orang dari Bani Salimah menyambut seruan itu meskipun mereka mengalami cedera berat. Ada Thufail bin Nu’man yang menderita tiga belas luka, Bakhrasy bin ash-Shamah dengan sepuluh luka, Ka’b bin Malik dengan belasan luka, Quthbah bin Amir dengan Sembilan luka, dan sahabat lain dari Bani Salimah. Mereka berkumpul menghadap Rasulullah, lengkap dengan pedang dan baju besi mereka. Melihat kondisi Bani Salimah, dengan darah yang masih mengucur dan luka yang masih menganga, Rasul berkata,”Ya Allah, sayangilah Bani Salimah.”

Abdullah bin Sahl dan Rafi’ bin Sahl adalah dua bersaudara yang pulang dari Uhud dengan luka yang serius. Berkata salah satu dari mereka ketika mendengar perintah Rasulullah, “Demi Allah, jika kita tidak ikut bersama Rasulullah, sungguh kita sangat merugi. Tetapi kita tak memiliki tunggangan, bagaimana ini?”

“Mari kita berangkat.” Jawab saudaranya.

“Demi Allah, aku tak bisa berjalan dengan baik.”

“Kalau begitu, kita jalan pelan-pelan.”

Maka, mereka berdua berjalan pelan dan tertatih-tatih. Ketika Rafi’ merasa tidak kuat, saudaranya menggendongnya. Dan ketika Abdullah merasakan payah, maka giliran Rafi’ yang menggendong. Hingga mereka sanggup menyusul dan sampai di perkemahan pasukan ketika isya. Melihat dua bersaudara ini, Rasulullah pun mendoakan kebaikan bagi mereka.

Rasulullah pun keluar bersama pasukan dalam kondisi masih terluka, darah masih mengucur dari kening Beliau. Rasulullah dan pasukan Muslim keluar dari Madinah dan bermarkas di Hamra’ul Asad, delapan mil dari Madinah. Lokasi ini tidak jauh dari musuh di depan mereka yang telah berkemah selama beberapa waktu di Rawha. Kaum Quraisy pun  menunggu waktu tepat untuk menghabisi muslimin hingga ke akarnya di Madinah.

Di Hamra’ul Asad, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan kayu kering sebanyak-banyaknya. Setiap orang menumpuk sendiri kayu kering yang mereka kumpulkan, dan menyalakan di malam harinya. Maka pada malam itu, terjadilah parade api unggun yang jumlahnya sampai lima ratus api unggun. Kepulan asap dan nyala api yang banyak tersebut mampu menggentarkan kaum Quraisy yang masih beristirahat di daerah Rawha.

Tiga hari Rasulullah dan pasukan Muslim berada di Hamra’ul Asad menghadang musuh dengan luka-luka yang masih menganga, merancang srategi yang membuat takut musuh. Nyala api yang sangat banyak yang terpencar di areal yang luas seolah-olah menunjukkan besarnya pasukan yang sedang berkemah di sana. Kesan ini tersampaikan kepada pasukan Quraisy yang membuat ciut nyali mereka dan melarikan diri ke Makkah.

Kisah ini diabadikan Allah dalam firman-Nya:

الَّذِينَ اسْتَجابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصابَهُمُ الْقَرْحُ

(Yaitu) orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). (Ali Imran: 172)

Peristiwa Hamra’ul Asad mengajarkan kepada kita sebuah ketaatan pada Allah dan Rosul-Nya yang tak memerlukan alasan apapun. Mengajarkan kepada kita bahwa tawakkal adalah menyerahkan hasil pada Allah setelah ketaatan dijalankan.

 

Setelah Peperangan Uhud

            Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menguburkan jasad korban uhud di tempat masing-masing menemui ajalnya, tanpa dimandikan. Jasad mereka dikuburkan beserta pakaian yang melekat dibalik baju besi mereka. Diatas liang kubur mereka, Rasulullah berkata:

“Aku menjadi saksi atas mereka, bahwa tidaklah ada yang terluka karena Allah melainkan Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat, lukanya berdarah, warnanya merah darah namun baunya adalah bau minyak kasturi.”

            Imam Ahmad meriwayatkan, setelah orang-orang kafir Quraisy kembali, Rasulullah berkata kepada para sahabat, “Berbarislah yang lurus. Aku akan memuji Allah dan berdoa kepada-Nya.” Para sahabat pun berjajar membuat beberapa saf di belakang Rasulullah, lalu Rasulullah mendoakan korban Uhud.

            Seusai mengubur dan mendoakan para syuhada Uhud, Rasulullah dan pasukan Muslim kembali ke Madinah. Di tengah perjalanan, pasukan Muslim berjumpa dengan seorang wanita dari bani Dinar, yang suami, saudara dan ayahnya terbunuh dalam perang Uhud. Setelah diberitahu bahwa orang-orang tersayangnya telah syahid, wanita tersebut bertanya, “Lalu apa yang terjadi pada diri Rasulullah?”

“Beliau baik-baik saja wahai ummu Fulan.” Jawab para sahabat.

“Tunjukkan padaku agar aku bisa memastikannya.” Pinta wanita tersebut. Setelah melihat dan memastikan bahwa Rasulullah baik-baik saja, wanita tersebut berkata, “Setiap musibah asal tidak menimpa Rasulullah, itu kecil.”

            Lalu datanglah Kabsyah binti Rafi’, ibu dari Saad bin Muadz sambil berlari-lari, sementara Saad sedang memegang tali kekang kuda Rasulullah. Setelah mendekat, Saad berusaha menghiburnya. Namun, Ibu Saad berkata kepada Rasulullah, “Selagi kulihat engkau selamat wahai Rasulullah, maka musibah yang menimpa kuanggap ringan.”

            Kemudian Rasulullah berkata, “Wahai Ummu Saad, bergembiralah dan sampaikanlah kabar gembira kepada keluarga yang ditinggalkan, bahwa mereka yang terbunuh dalam perang Uhud saling menyayangi di surga, dan mereka juga memintakan syafaat bagi keluarga mereka semua.”

“Kami ridha wahai Rasulullah. Siapakah yang masih ingin menangis setelah ini. Juga doakanlah bagi orang-orang yang menggantikan keluarga mereka wahai Rasulullah.”

“Ya Allah, singkirkanlah duka hati mereka, gantikanlah yang hilang dan baguskanlah orang-orang yang menggantikan mereka.” Doa Rasullah.

            Sore hari di tanggal 7 Syawal tahun ketiga Hijriyah, Rasulullah dan pasukan Muslim tiba di Madinah. Sesampainya di Rumah, Rasulullah menyerahkan pedang kepada Fathimah seraya berkata, “Bersihkanlah darah di pedang ini wahai putriku. Demi Allah, ia telah memperlihatkan kehebatannya pada perang kali ini.”

            Beberapa riwayat sejarah menyebutkan bahwa korban meninggal di pihak Muslim sebanyak tujuh puluh. Empat puluh orang dari bani Khazraj, dua puluh empat orang dari bani Aus, seorang dari kalangan Yahudi, dan empat orang dari Muhajirin. Sedangkan korban dari kaum kafir Quraisy sebanyak tiga puluh tujuh.

            Malam harinya, meskipun suasana duka menyelimuti Madinah dan keadaan badan yang letih, Muslim Madinah tetap berjaga di luar dan dalam Madinah. Mereka berjaga-jaga bila sewaktu-waktu ada serangan terhadap Rasulullah.

 

 

Niat

            Sepulangnya pasukan Quraisy dari bukit Uhud, Rasulullah memerintahkan pasukan Muslim untuk memeriksa dan mencari orang-orang yang terluka dan terbunuh. Zaid bin Tsabit diperintahkan Rasulullah untuk mencari Sa’d bin ar-Rabi’. Rasulullah berpesan kepada Zaid, “Jika sudah kau temukan, sampaikan salamku kepadanya, katakan juga Rasulullah bertanya kepadamu bagaimana yang kau rasakan?”

            Kemudian Zaid bin Tsabit berputar-putar diantara jasad-jasad yang telah gugur mencari Sa’d bin ar-Rabi’, hingga ditemukannya Sa’d dengan tombak yang menancap di tubuhnya dan penuh luka di sekujur tubuhnya. Zaid berkata padanya, “Wahai Sa’d, sesungguhnya Rasulullah menyampaikan salam untukmu dan menanyakan apa yang kau rasakan?”

“Jadi Rasulullah menyampaikan salam kepadaku? Sampaikan pada Beliau aku mencium bau surga. Sampaikan pula kepada kaumku (kaum Anshar) kalian tak perlu lagi mencari alasan di sisi Allah jika memang Rasulullah sudah selamat dan ada mata yang melihatnya.” Jawab Sa’d. seketika itu pula Sa’d menghembuskan nafasnya yang terakhir.

            Di antara orang-orang yang terluka, kaum Muslim menemukan Ushairim bin al-Asyhal, dan di badannya masih menancap tombak bekas peperangan. Mereka berkata, “Demi Allah! Sesungguhnya lelaki ini adalah Ushairim. Apakah yang menyebabkan ia datang kemari? Kami telah meninggalkannya dan ia tidak mau memeluk Islam.” 

Mereka pun menanyakan kepada Ushairim mengenai dirinya, “Apakah yang menyebabkan engkau kemari hai Ushairim? Apakah karena kasihan terhadap kaummu atau karena rasa cintamu kepada Islam?”

Jawab Ushairim, “Karena rasa cinta kepada Islam. Aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan aku telah memeluk Islam. Lalu aku mengambil pedangku dan berangkat menyertai Rasulullah. Selanjutnya aku berperang hingga terjadi keadaan seperti ini.” 

Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia di pangkuan mereka. Kemudian mereka menceritakan apa yang telah terjadi kepada Rasulullah. Beliau menjawab, “Dia termasuk penghuni surga.” Abu Hurairah berkata, “Padahal Ushairim belum pernah sekali pun shalat kepada Allah.”

Di antara orang-orang yang terluka itu, kaum Muslim juga menemukan Quzman. Quzman adalah seorang yang dikenal para sahabat namun asal usulnya tidak diketahui secara umum kecuali oleh Rasulullah. Quzman memiliki keberanian dan fisik serta kelincahan yang cepat, dalam pertempuran Uhud ia bahkan dapat membunuh tujuh hingga delapan personil dari pasukan Quraisy. Kaum Muslim mendapati Quzman sedang menahan rasa sakit karena luka yang didapatkannya, kemudian mereka membawanya ke perkampungan bani Zhafr untuk dirawat. Kaum Muslim berusaha menghibur Quzman, namun ia menjawab, “Apa yang harus aku gembirakan? sesungguhnya aku bertempur bukan untuk siapa siapa, aku bertempur karena ingin mengangkat harkat keberanian suku dan kaumku.” Setelah itu lukanya semakin parah, karena merasa tak tahan lagi dengan sakit yang dideritanya, dia pun bunuh diri. Setelah kabar tentang Quzman sampai pada Rasulullah, Rasulullah berkata, “Jika dia berkata seperti itu, maka dia termasuk penghuni neraka.”

Begitulah akhir perjalanan orang-orang yang ikut berperang bersama Rasulullah dengan niat yang berbeda. Sekalipun berperang di bawah bendera Islam dan bergabung bersama Rasulullah dan para sahabat, jika niatnya untuk membela suku bukan untuk membela agama Allah, maka Allah tidak menulisnya sebagai penghuni surga.

Kekalahan Pertama

Dengan jumlah yang jauh lebih sedikit, pasukan Muslim berhasil unggul atas musuhnya dan menguasai medan laga. Melihat hal tersebut, pasukan Quraisy mulai ciut keberaniannya dan luntur semangatnya. Mereka lari dari peperangan dengan meninggalkan peralatan tempur dan bekal mereka. Mulailah perasaan cinta terhadap dunia menyerang sebagian besar pasukan pemanah, mereka khawatir jika tetap berada di atas bukit mereka tak akan mendapat rampasan perang. “Kenapa kita masih tinggal di sini? Allah telah menghancurkan musuh kita, kalau tetap di sini, kita tak akan mendapat rampasan perang.” Ucap salah seorang pemanah.

“Bukankah Rasulullah sudah berpesan jangan meninggalkan bukit ini?” timpal orang lain.

“Rasulullah tidak menghendaki kita di sini terus menerus, setelah Allah menghancurkan kaum musyrik itu.” Jawab orang pertama tadi.

Ketika mereka mulai berselisih, berteriaklah Abdullah bin Jubair agar pasukan pemanah jangan melanggar perintah Rasulullah dan mengejar rampasan perang dengan meninggalkan bukit. Tetapi, sebagian besar mereka memilih untuk meninggalkan bukit hingga menyisakan beberapa pemanah saja.

BACA JUGA: PERANG PERTAMA

Lubang yang ditinggalkan sebagian besar pasukan pemanah tersebut menjadi lubang yang membuat pertahanan pasukan Muslim menjadi rawan. Kholid bin Walid, salah satu komandan pasukan berkuda Quraisy, tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia memutar haluan pasukan berkuda Quraisy menuju puncak bukit untuk merebut posisi paling strategis dalam peperangan tersebut, yaitu bukit para pemanah. Para pemanah yang tetap berada di atas bukit tak kuasa menghalau serangan mendadak tersebut. Pertahan pasukan Muslim semakin rapuh, kondisi berbalik seketika.

Pasukan Quraisy yang tadinya sudah terpukul mundur, kembali maju dan menyerang pasukan Muslim yang sedang berebut rampasan perang. Terkejutlah pasukan Muslim, mereka yang tadinya mengira telah memenangkan pertempuran, kini dihantam oleh pasukan Quraisy. Hasil rampasan perang yang sudah ada di tangan itu dilemparkan kembali, pedang-pedang mereka kembali dihunuskan. Tetapi sayang, barisan telah terlanjur tercerai-berai, tak ada lagi pemanah-pemanah yang membantu dari atas bukit. Mereka yang tadinya berjuang untuk mempertahankan iman, sekarang berjuang untuk menyelamatkan diri. Mereka yang tadinya berada di atas angin, Allah balikkan keadaannya karena mereka tak mematuhi perintah Rasul-Nya dan memilih mengejar rampasan perang.

Pasukan Quraisy seolah mendapatkan semangat baru. Kondisi ini jelas berbeda dengan kondisi pasukan Muslim, terutama setelah psywar yang dilancarkan pasukan Quraisy. Mereka memunculkan berita bohong yaitu Rasulullah telah berhasil mereka bunuh, padahal Beliau masih hidup. Psywar ini semakin memperparah dan melucuti semangat sebagian pasukan Muslim. sehingga sebagian dari mereka melarikan diri, sementara yang lain terus bertempur sampai akhirnya wafat sebagai syahid. Sahabat yang pertama kali melihat Rasulullah dalam keadaan masih hidup adalah Ka’ab bin Mâlik. Tak terbilang kegembiraan yang dirasakan Ka’ab melihat Rasulullah dalam keadaan masih hidup. Saking gembiranya, ia berteriak memberitahukan kondisi Rasulullah yang masih hidup. Ka’ab bin Malik tidak sadar kalau perbuatan ini akan sangat membahayakan Rasulullah karena secara tidak langsung dia memberitahukan posisi Rasulullah kepada orang-orang musyrik. Mengetahui hal ini, Rasulullah memberikan isyarat kepada Ka’ab agar diam, supaya tidak diketahui pasukan Quraisy.

Meski sudah berusaha agar tidak diketahui musuh, namun akhirnya musuh tahu juga posisi Rasulullah . Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menumpahkan segala amarah dan kebenciaan mereka kepada Rasulullah. Sebanyak tujuh orang gugur dari sembilan orang shahabat yang melindungi Rasulullah. Adapun dua orang yang tersisa adalah Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Saat itu musuh sangat leluasa menyerang Rasulullah.

Utbah bin Abi Waqqash melukai bibir Rasulullah dengan lemparan batu. Abdullah bin Shihab Az-Zuhry menciderai pipi Beliau. Abdullah bin Qim’ah menyabetkan pedangnya pada pundak Beliau, yang menyebabkan rasa sakit lebih dari sebulan, namun sabetan tersebut tidak berhasil menembus baju besi Rasulullah. Abdullah bin Qim’ah kemudian menyabetkan kembali pedangnya mengenai pipi Rasulullah. hingga gigi seri beliau pecah. Sontak saja wajah Rasulullah berlumuran darah. Dua sahabat yang masih tersisa itulah yang melindungi Rasulullah sampai putus beberapa jari-jemari mereka. Pada pertempuran ini tentara Muslim banyak yang menjadi korban sehingga mayoritas ahli sejarah menyatakan bahwa kaum muslimin mengalami kekalahan dalam pertempuran Uhud.

 

# perang uhud # perang uhud # perang uhud # perang uhud # perang uhud # perang uhud #

Perang Uhud

Rasulullah berangkat dari Madinah bersama pasukan Muslim menuju Uhud. Sesampainya di suatu tempat yang bernama Syaikhan, Beliau melihat pasukan yang identitasnya belum diketahui. Akhirnya diperoleh informasi bahwa pasukan tersebut adalah orang-orang Yahudi sekutu dari Abdullah bin Ubay. Rasulullah pun memerintahkan pasukan Yahudi tersebut untuk kembali ke Madinah, Rasululah berkata, “Jangan meminta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam.”

Pagi berikutnya, Rasulullah dan pasukan Muslim melanjutkan perjalanan menuju Uhud. Sesampainya di Uhud, Rasulullah segera mengatur barisan kaum Muslim. Lima puluh pemanah ditempatkan di lereng-lereng Uhud, dan pemanah-pemanah tersebut diperintahkan untuk tidak meninggalkan pos mereka apapun yang terjadi.

Pasukan Quraisy pun sudah menyusun barisan, pasukan di sisi kanan dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedang di sisi kiri dipimpin oleh Ikrima bin Abu Jahl. Bendera pasukan Quraisy diserahkan pada Talhah bin Abi Talhah. Wanita-wanita Quraisy, yang dipimpin oleh Hindun, berjalan di tengahtengah pasukan Quraisy sembari memukulmukul genderang dan meneriakkan katakata penyemangat.

Kedua pasukan telah berhadap-hadapan dan siap bertempur, masing-masing sudah mengerahkan pasukannya. Di kepala pasukan Quraisy selalu terbayang dendam dan kekalahan di perang Badar, sedangkan pasukan Muslim selalu terbayang janji-janji Allah dan pertolongan-Nya. Rasulullah berpidato dengan mengobarkan semangat menghadapi peperangan itu, Beliau mengingatkan bahwa janji-janji Allah itu pasti dan mereka akan meraih kemenangan bila mereka tabah.

Di antara pasuka Quraisy, ada seseorang dari Bani Aus yang bernama Abu Amir bin Shaifi al-Ausi. Abu Amir sengaja pindah dari Madinah ke Makkah dengan tujuan membakar semangat Quraisy supaya memerangi Muhammad. Dia belum pernah terjun di perang Badar, sekarang ia menerjunkan diri di perang Uhud dengan membawa lima belas orang dari Bani Aus. Ia mengira nantinya apabila ia memanggil-manggil pasukan Muslim dari Bani Aus, mereka akan berpihak padanya dan membantu pasukan Quraisy.

“Saudara-saudaraku dari Aus, saya adalah Abu Amir!” teriaknya memanggil-manggil

Ternyata Muslimin dari Bani Aus membalas, “Allah takkan memberi kesenangan padamu penghianat!”

Perangpun lalu pecah. Budak-budak Quraisy serta Ikrima bin Abu Jahal yang berada di sisi kiri berusaha menyerang pasukan Muslim dari samping, tapi pasukan Muslim menghujani mereka dengan batu sehingga Abu Amir dan kawan-kawannya lari tunggang langgang.

Baca juga : Penentuan Strategi

Pasukan Qurasiy pun menyerbu ke tengah-tengah pertempuran tersebut. Darah mereka sudah mendidih hendak menuntut balas atas saudara dan pemuka mereka yang tewas di perang Badar. Dua kekuatan yang tak seimbang, baik jumlah pasukan maupun perlengkapannya, saling beradu senjata. Kekuatan dengan jumlah yang besar ini bermotif balas dendam yang terus mereka pupuk semenjak kekalahan di Badar. Sedang kekuatan yang lebih kecil bermotifkan mempertahankan akidah dan agama Allah.

Gugurnya Singa Allah

Tak sedikit di antara pasukan Quraisy yang membawa budak-budak mereka dan menjanjikan hadiah yang besar apabila budak-budak tersebut dapat membalaskan dendam kematian ayah, saudara, suami atau orang-orang tercinta lainnya yang terbunuh di perang Badar. Hamzah bin Abdul Muthalib adalah salah seorang pembela agama Allah yang paling berani. Ketika terjadi perang Badar, Hamzah lah yang menewaskan ayah dan saudara Hindun. Seperti halnya dalam perang Badar, di perang Uhud pun Hamzah adalah Singa Allah yang pemberani. Di tangannya, nyawa dari setiap musuh yang dijumpainya tak lepas dari renggutan pedangnya.

Sementara itu, Hindun telah menjanjikan kepada Wahsyi, orang Habsyi dan budak milik Jubair bin Mut’im, hadiah yang besar apabila ia berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib. Begitu pula Jubair bin Mut’im, yang pamannya terbunuh di perang Badar, berkata pada Wahsyi, “Kalau Hamzah bin Abdul Muthalib kau bunuh, kau akan kumerdekakan.”

Wahsyi sendiri dalam bercerita sebagai berikut: “Kemudian aku berangkat bersama rombongan. Aku adalah orang Habsy yang mahir melempar tombak, jarang aku meleset jika melemparkannya. Ketika terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia. Kemudian kulihat dia di tengahtengah orang banyak seperti unta abu-abu yang lincah, ia mengobrak-abrik pasukan Quraisy. Lalu tombak kuayun-ayunkan, ketika aku telah yakin akan mengenainya, kulemparkan ke arahnya. Tombakku tepat mengenai sasaran di bawah perutnya, dan keluar dari antara dua kakinya. Kubiarkan tombak itu begitu sampai dia mati. Sesudah itu kuhampiri dia dan kuambil tombakku, lalu aku kembali ke tenda dan aku diam di sana, sebab sudah tak ada tugas lain selain itu. Kubunuh dia hanya supaya aku dimerdekakan saja dari perbudakan. Dan sesudah aku pulang ke Makkah, ternyata aku dimerdekakan.”

Setelah peperangan usai, Rasulullah berdiri beberapa saat di samping jenazah Hamzah, yang telah terkoyak-koyak oleh Hindun, dan berkata, “Jibril datang di sisiku dan memeberikan kabar bahwa diantara penghuni tujuh lapisan langit tertulis, Hamzah bin Abdul Muthalib asadullah wa asadur rasuluhu (singa Allah dan singa Rasul-Nya).

Benih Perang Uhud

Memasuki musim kemarau di bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijriyah, kaum Quraisy Makkah mulai mempersiapkan kafilah dagang ke Syam dengan pemimpin rombongan Shafwan bin Umayyah. Kehidupan di Makkah memang sangat tergantung dengan perniagaan yang mereka jalankan. Jika musim panas mereka mengirim kafilah dagang ke Syam, sedang pada musim dingin ke Habasyah. Kalau perniagaan terhambat, kehidupan di Makkah akan mengalami krisis. Akan tetapi kaum Quraisy mengalami dilema, berkaca dari pengalaman mereka sebelum perang Badar. Ketika itu mereka dihadang pasukan Muslim sehingga membuat mereka berpikir dua kali jika harus melewati jalur yang biasa dilewati. Jika harus melalui jalur pantai di sisi barat pun mereka juga khawatir, karena kebanyakan penduduk pesisir telah menjalin perjanjian damai dengan Rasulullah. Ditakutkan para penduduk pesisir akan mengabarkan keberadaan kafilah dagang Quraisy kepada Rasulullah.

Ketika kaum Quraisy mulai mengalami kebuntuan menentukan jalur keberangkatan, Aswad bin Abdul Muthalib menyampaikan usulannya, “Tinggalkanlah jalur pantai dan ambil jalur Irak.”

Jalur Irak merupakan jalur perdagangan ke Syam yang melewati bagian timur Madinah. Jalur yang jarang dilewati karena sangat jauh memutar dari Makkah. Orang-orang Quraisy sendiri tak tahu-menahu tentang jalur ini. Maka Aswad bin Abdul Muthalib mengusulkan mengangkat Furat bin Hayyan dari kabilah Bakr bin Wail, yang memang cukup mengenal daerah tersebut sebagai penunjuk jalan. Dengan mengambil jalur tersebut, kafilah dagang Quraisy berangkat menuju Syam dengan diam-diam. Bahkan hanya sedikit kaum Quraisy yang mengetahui keberangkatan melalui jalur Irak tersebut.

Rasulullah dan kaum Muslim sebenarnya tidak mengetahui rencana kafilah dagang Quraisy mengambil jalur yang tak biasanya dan tak terduga itu. Akan tetapi, mudah saja bagi Allah jika ingin memberikan jalan dan pemberitahuan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Bermula dari Sulaith bin Nu’man, seorang Quraisy yang telah memeluk Islam tetapi masih tinggal di Makkah tanpa diketahui keislamannya oleh orang-orang Quraisy Makkah. Ketika itu ia sedang minum-minum khamr-yang belum turun perintah keharamannya- bersama Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyj’ai. Karena pengaruh khamr yang memabukkan, tanpa sadar Nu’aim menceritakan kafilah dagang Quraisy yang mengambil jalur tak biasanya tersebut secara rinci kepada Sulaith. Mendengar kabar tersebut, segeralah Sulaith berangkat diam-diam menuju Madinah untuk mengabarkan pada Rasulullah.

BACA JUGA : Pelanggaran Janji Yahudi Madinah

Seketika itu Rasulullah segera mempersiapkan pasukan berkekuatan seratus orang yang dipimpin Zaid bin Haritsah. Pasukan tersebut langsung memacu tunggangannya menembus padang pasir dan tinggal di Qardah untuk melakukan penghadangan. Begitu kafilah dagang Quraisy muncul, Zaid dan pasukannya melakukan serangan mendadak. Shafwan bin Umayyah sama sekali tidak dapat mempertahankan kafilah dagangnya. Tidak ada pilihan lain bagi rombongankafilah dagang tersebut kecuali melarikan diri tanpa melakukan perlawanan apapun. Bahkan pemandu mereka, Furat bin Hayyan tertawan oleh pasukan Muslim. Pasukan Muslim bisa membawa harta rampasan yang amat banyak jumlahnya, terdiri dari pundi-pundi emas dan perak. Setelah mengambil seperlimanya, Rasulullah membagi harta rampasan itu kepada semua satuan pasukan. Furat bin Hayyan kemudian mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah.

Tentu saja, hal ini merupakan bencana besar bagi kaum Quraisy setelah kekalahan perang Badar. Hanya ada dua pilihan bagi mereka, membuang jauh-jauh keangkuhan dan kesombongan mereka lalu berdamai dengan Rasulullah dan orang Muslim, atau berperang habis-habisan untuk mengembalikan kejayaan mereka dan melibas kekuatan Islam. Pada akhirnya kaum Quraisy sepakat mengambil pilihan kedua dan bertekad menuntut balas kekalahan mereka di Badar. Untuk itu mereka segera melakukan persiapan menghadapi Rasulullah dan kaum Muslim. Inilah yang nantinya mengawali perang Uhud.