Beberapa Cara Pelaksanaan Puasa Asyura

Muharram adalah bulan yang mulia, hingga Allah Ta’ala menjadikan bulan tersebut sebagai salah satu bulan haram, maknanya di bulan tersebut diharamkan melakukan pertumpahan darah (perang).

Empat bulan haram itu dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabdanya:

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim )

Islam Menyebut Bulan Muharram sebagai syahrullah (bulan Allah). Rasulullah bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”(HR. Muslim)

Bulan ini betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Az Zamakhsyari mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut.”

Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda:

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.”

Maksud puasa disini adalah puasa secara mutlak. Dan minimalnya bagi kita tidak meninggalkan puasa Assyura yang merupakan kebiasaan para salaf.

Dari Ibnu Abbas ra ia berkata, “sesungguhnya Rasulullah melakukan puasa Assyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukannya”. (Muttafaq ‘alaih)

Sedangkan mengenai pahalanya termaktub dalam sebuah hadits. “Sesungguhnya Rasulullah ditanya tentang pahala puasa Assyura maka beliau bersabda ,” Akan menghapuskan dosa setahun yang lalu”. (HR. Muslim).

Adapun pelaksanaan puasa asyura ada beberapa cara antara lain:

  1. Berpuasa pada tanggal 10 Muharram dengan berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya

Rasulullah bersabda, “Berpuasalah kalian di hari asyura, dan selisihilah orang-orang yahudi dengan berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya.” (HR. Al-Haitami)

  1. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram

Rasulullah bersabda, “”Kalau saja aku hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada

9 muharram.” (HR. Muslim)

  1. Berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram

Rasulullah bersabda, “Berpuasalah kalian di hari asyura, dan selisihilah orang-orang yahudi dengan

berpuasa sehari sebelumnya dan setelahnya.” (HR. Ahmad)

  1. Berpuasa sehari saja pada tanggal 10 muharram

Rasulullah bersabda, “Puasa di hari Asyura, sungguh aku mengharap kepada Allah dapat menggugurkan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

 

Redaksi/Fikih

Lelah dalam Memaknai Syahrun Mubaarak ‘Ramadhan’

Ataakum syahrun mubaarak, telah Adatang kepada kalian bulan yang diberkahi, demikian ucapan selamat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika datang bulan Ramadhan.

Ini memang perkara yang sudah dimaklumi dan disepakati. Sekaligus paling mewakili tentang sifat Ramadhan. Juga lebih tepat daripada menyifati ramadhan sebagai bulan suci, karena masih butuh dalil tentang penyifatan ini. Berbeda dengan syahrun mubaarak yang telah jelas nash dan dalilnya.

Tapi, mari kita selami lebih jauh lagi akan makna keberkahan yang berhubungan dengan Ramadhan. Di antara makna keberkahan adalah an nama’ wa ziyadah, bertumbuh dan bertambah. Keberkahan itu ketika mengenai yang sedikit maka akan berlipat menjadi banyak. Dan jika mengenai yang banyak akan tampak manfaatnya. Indikator yang paling nyata akan keberkahan sesuatu adalah istl’maluhaa alaa tha’atillah, ketika digunakan untuk ketaatan kepada Allah.

Ramadhan kita akan berkah ketika semakin banyak kita gunakan untuk ketaatan. Jelas pula kita pahami bahwa keberkahan bulan Ramadhan menjadikan pahala amal shalih menjadi berlipat ganda.

Namun tak hanya keberkahan yang berupa pahala semata. Bahkan setiap usaha, karya kebaikan dan amal shalih itu akan dilipatkan hasilnya di bulan Ramadhan.

Omset sedekah di bulan Ramadhan biasanya selalu meningkat drastis, pun begitu tak pernah ada laporan atau berita tentang bertambahnya angka kemiskinan disebabkan banyaknya orang yang bersedekah. Meskipun kita dapati bahwa orang yang bersedekah di bulan Ramadhan termasuk juga kalangan ekonomi menengah ke bawah. Ini di antara yang bisa dilihat dan dirasakan keberkahan sedekah di bulan ramadhan.

Ikhtiar untuk mencari ilmu, di bulan Ramadhan juga akan dilipatkan hasilnya dari pemahaman dan atau hafalannya. Sedikit usaha membuahkan hasil yang berlipat di hari biasa.

Baca Juga: Kultum Ramadhan, Indahnya Nostalgia Penghuni Surga

Keberkahan Ramadhan juga bermakna bagi orang yang berupaya menghafal aI-Qur’an, kemudahan juga akan lebih dirasakan jauh dibandingkan hari biasa. Pengalaman ini juga banyak disaksikan dan dialami oleh para penghafal al-Qur’an. Begitulah makna keberkahan Ramadhan bagi para penghafal aI-Qur’an.

Bagi para da’i di jalan Allah, ajakan dan seruan mereka lebih banyak didengar dan diterima oleh masyarakat, dibanding waktu-waktu yang lain. Nyatanya, event-event pengajian lebih banyak dihadiri meski secara intensitas juga lebih sering dari bulan selainnya.

Intinya, Ramadhan menjanjikan hasil yang berlipat ganda dan istimewa bagi siapapun yang mengisinya dengan kebaikan. Maka selayaknya kita tak canggung dan tanggung untuk merencanakan program-program di bulan Ramadhan. Baik yang berhubungan dengan target diri sendiri, keluarga maupun masyarakat secara umum. Mari lihat kembali, sedahsyat apa program kita di bulan Ramadhan tahun ini.

Apakah program yang terencaa sudah terealisasi? Sementara Ramadhan hanya tersisa beberapa hari lagi.

Semoga Allah menerima ibadah puasa kita tahun ini.

 

Muhasabah/Ust. Abu Umar Abdillah

Kultum Ramadhan: Berjaya di Atas Takwa

Kutum Ramadhan: Berjaya di Atas Takwa

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”.

(QS. al-A’raf: 128)

Selalu ada bisikan setan yang menakut-nakuti dengan resiko duniawi ketika seseorang hendak menjalani konsekuensi iman. Tak sepi pula halangan dan rintangan yang mengganggu jalan, hingga ancaman dari musuh-musuh dari kalangan setan jin dan setan manusia. Akan tetapi, ada kaidah qur’aniyah yang membuat orang mukmin memilih untuk melaju dan tegar berada di jalan takwa. Kaidah yang menenangkan jiwa dan mengusir rasa was-was, kekhawatiran dan ketakutan. Yakni kaidah yang berbunyi “wal ‘aaqibatu lil muttaqiin,”  dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-A’raf 128)

Kalimat ini pernah diucapkan oleh Nabi Musa alaihissallam pada saat memberikan motivasi dan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman bersama beliau. Bahwa kemenangan akan didapat orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat selagi mereka mau melazimi takwa.

Kalimat yang serupa ditujukan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, dengan kalimat ‘wal ‘aqibatu lit taqwa.”

Disebutkan pula kaidah ini setelah Allah mengisahkan kisah tentang Qarun di akhir surat al-Qashash.

Al-Qur’an juga banyak mengisahkan, bagaimana kesungguhan para Nabi dan Rasul dalam merealisasikan takwa, meski apa yang diperintahkan Allah kepada mereka itu secara dhahir bertentangan dengan jalan pikiran dan perasaan umumnya manusia.

Pada saat Ibrahim alaihissalam diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih puteranya, beliau tidak tahu sebelumnya, bahwa nantinya Ismail akan digantikan dengan seekor domba. Yang beliau tahu bahwa beliau harus menjalankan perintah Rabbya, lalu Allah memberikan kejutan yang membahagiakannya, sebagai balasan atas kesetiaan beliau terhadap perintah Rabbnya, maka kesudahan yang baik adalah bagi orang yang bertakwa.

Baca Juga: Kultum Ramadhan: Buta Hati di Dunia, Buta Mata di Akhirat

Sebagiamana juga Nabi Musa alaihissalam juga tidak tahu sebelumnya, bahwa nantinya laut akan terbelah setelah tongkat beliau dipukulkan ke lautan. Yang beliau tahu bahwa itu adalah perintah Allah, dan pasti Allah memberikan jalan keluar baginya.

Nabi Nuh alaihissalam juga tidak tahu bahwa akan terjadi banjir bandang, saat beliau membuat kapal di musim kemarau hingga ditertawakan kaumnya. Beliau hanya menjalankan perintah, lalu Allah memberikan kesudahan yang baik bagi beliau dan orang-orang yang mengimaninya.

Kaidah ini berlaku tak hanya di akhirat, tapi juga di dunia, baik secara fardi maupun jama’i. Yakni selagi seseorang atau kaum muslimin konsisten dengan takwa, maka Allah akan memberikan kesudahan yang baik kepada mereka.

Memang sepantasnya Allah memenangkan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, berpihak di pihak mereka, dan membahagiakan mereka.

Seorang mukmin merasa yakin dengan ketentuan Allah, karena Hanya Allahlah yang maha mengetahui segala sesuatu. Maka, jika Allah mensyari’atkan kepadanya tentang sesuatu, pastilah Dia itu mensyari’atkan atas dasar ilmu-Nya, yang meliputi segala sebab yang dapat menghilangkan mafsadat dan mendatangkan maslahat bagi orang yang melaksanakan syari’at-Nya. Dan untuk segala problem dan masalah, selalu ada jalan keluar untuk mereka.

Bagaimana mungkin orang yang mengikuti aturan Allah akan menemui jalan buntu, sedangkan Allah yang kuasa memberikan petunjuk dan menyesatkan jalan. Bagaimana mungkin seseorang akan kelaparan, sedangkan dia menjaga batasan-batasan yang Allah gariskan dalam mencari rizki.

Ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. ath Thalaq: 2-3)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa bertakwa, sementara rezkinya menyempit karena terputusnya berbagai hubungan, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar berupa kecukupan.”

Dan alangkah bagusnya penafsiran Umar bin Utsman Ash Shadafi rahimahullah tentang ayat ini, “Barangsiapa yang mengikuti ketentuan-ketentuan Allah dan menjauhi maksiat kepada-Nya, Allah akan mengeluarkannya dari haram menuju halal, dari kesempitan menuju kelapangan, dan menghindarkan dari neraka menuju surga.”

Bahkan, tak ada sesuatu yang lebih menjamin kesejahteraan anak keturunan dibandingkan takwa. Allah Ta’ala berfirman,

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّـهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

 “Dan hendaklah bertakwa kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.” (QS. An Nisa’: 9)

Al-Qasimi rahimahullah berkata, “Di dalam ayat ini Allah menunjukkan, bahwa karena rasa takutnya meninggalkan keturunan yang lemah, para orang tua membimbing anak-anak mereka dengan takwa dalam semua perkara mereka, sehingga terpeliharalah mereka dan mendapat pertolongan dari-Nya. Ayat tersebut juga menunjukkan sisi bahaya yang mengancam anak-anak mereka, jika takwa kepada Allah sirna dari diri mereka. Ini sesuai dengan kaidah, “Dengan memelihara yang ushul (pokok) maka terpelihara pula yang  furu’ (cabang).”

Hal senada dikatakan oleh Muhammad bin Munkadir, “Sesungguhnya Allah akan memelihara seorang anak melalui seorang ayah yang shalih, seoran cucu melalui anak yang shalih pula, dan memelihara negeri di mana mereka tinggal di dalamnya serta wilayah yang mengelilinginya. Dan mereka semua senantiasa berada dalam pemeliharaan dan perlindungan Allah.” Dan gelar shalih hanya diperuntukkan bagi seseorang yang bertakwa.

Maka, selagi kita menjalankan konsekuensi takwa dalam menjalankan segala bentuk perintah Allah, juga dalam hal meninggalkan segala bentuk larangannya, tak perlu takut akan resiko dunia. Berbesar hati dan bergembiralah dengan kemudahan yang akan didapatkan, tercapainya tujuan dan terhindar dari berbagai hal yang ditakutkan. Wallahu a’lam bishawab.

 

Kultum Ramadhan/Majalah ar-risalah/Ust. Abu Umar Abdillah

 

kultum Ramadhan: Takkan Mati Sebelum Habis Jatah Rezeki

Syaikh Shalih al-Maghamisi dalam sebuah ceramahnya menceritakan, ada seorang lelaki jatuh ke dalam sumur. Ia pun berteriak minta tolong. Orang-orang mendengar teriakannya, lalu berhasil mengeluarkan orang itu dari sumur dalam keadaan selamat. Seseorang menyodorkan kepadanya segelas susu untuk diminumnya dan menenangkan keadaannya.

Setelah tenang, orang-orang bertanya,  “Bagaimana bisa Anda jatuh ke dalam sumur?”

Mulailah orang itu bercerita, lalu ia berdiri di bibir sumur untuk mempraktikkan kronologi saat ia terjatuh ke dalam sumur. Qadarullah, tanpa sengaja orang itu terjatuh lagi ke dalam sumur dan akhirnya mati.

 

Begitulah, orang itu diselamatkan oleh Allah karena masih tersisa jatah rezekinya di dunia, yakni satu gelas susu untuknya. Maka setelah jatah rezeki disempurnakan untuknya, ia terjatuh di tempat yang sama kemudian mati.

Pesan dari kisah ini adalah bahwa manusia telah ditetapkan rezekinya dengan kadar tertentu. Maka tidak pantas seseorang merisaukan rezekinya di dunia. Karena tidak akan terkurangi sedikitpun jatah rezekinya, tidak pula akan tertukar dengan orang lain. Cukup bagi seseorang untuk mengoptimalkan ikhtiar dan sebab, sedangkan Pemberi rezeki adalah Allah. Tak ada rezeki yang akan tercecer, dan seseorang tidak akan mati sebelum menghabiskan jatah rezekinya di dunia.

Allah memberikan jaminan atas rezeki manusia, sebagaimana Allah telah menjamin rezeki bagi makhluk hidup lain seperti hewan. Tersedia rezeki bagi mereka dari sejak lahir hingga mati. Sebagaimana Allah berfirman:

 

{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ} [هود: 6]

“Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Hud: 6).

Tak ada sesuatu apa yang mampu menghalangi sampainya rezeki kepada seseorang jika memang itu menjadi jatahnya. Begitupun tak ada suatu usaha atau pertolongan seorang pun yang mampu menyampaikan rezeki kepada seseorang jika memang bukan menjadi bagiannya. Karena Allah yang memiliki kuasa dan kewenangan untuk membagi rezeki kepada semua makhluknya. Inilah di antara makna dari firman Allah:

مَّا يَفْتَحِ اللَّـهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2).

Keyakinan ini akan membuat orang-orang yang beriman menghindarkan diri dari cara-cara haram untuk mendapatkan rezekinya. Karena toh, usaha haramnya tak menambah sedikit pun dari total rezeki yang Allah tetapkan untuknya. Sedangkan ia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya di dunia. Berarti, usaha yang haram tidak menambah selain dosa dan penderitaan di akhirat.

Baca Juga: Kultum Ramadhan: Kenyang di Dunia, Lapar di Akhirat

Karena hanya Allah yang berhak menetapkan kadar rezeki manusia, maka Allah hanya memerintahkan manusia untuk mencari karunia Allah dan mengelola apa yang Allah anugerahkan sesuai dengan kehendak-Nya. Dan kelak, seseorang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat; dari mana ia mendapatkan harta dan untuk apa ia pergunakan hartanya. Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ» هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Tidak akan beranjak kedua kaki anak Adam pada hari Kiamat, hingga ia ditanya; tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang jasadnya untuk apa ia pergunakan.” (HR. Tirmidzi).

Allah tidak akan menyoal berapa harta yang mampu didapatkan atau berapa uang yang berhasil dikumpulkan oleh manusia. Karena hal itu di luar kemampuan manusia dan mutlak menjadi kewenangan Allah semata.

Meski telah ada jaminan rejeki dari Allah, bukan berarti manusia boleh berpangku tangan, lalu menanti datangnya rezeki yang kita ingikan. Tugas kita adalah memperbagus cara mengambil rezeki, dan padanya terdapat pahala ibadah. Allah memerintahkan pada banyak ayat, baik tersurat maupun tersirat agar manusia bekerja mencari karunia-Nya, wabtaghu min fadhlillah, dan hendaknya kalian mencari karunia dari Allah.

Perintah tawakal kepada Allah, sama sekali juga tidak menghilangkan keharusan ikhtiar, karena ikhtiar adalah bagian yang tak terpisahkan dari tawakal. Sebagaimana pelajaran yang bisa diambil dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:

 

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, dimana ia keluar pada pagi hari dalam keadaan lapar lalu di sore harinya pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi, shahih).

Imam Ahmad menjelaskan hadits tersebut, “hadits ini tidak menunjukkan bolehnya berpangku tangan tanpa berusaha. Bahkan padanya terdapat perintah mencari rezeki. Karena burung tatkala keluar dari sarangnya di pagi hari itu demi mencari rezeki.” Wallahu a’lam.

 

Kultum Ramadhan/Majalah ar-risalah/Ust. Abu Umar Abdillah

 

Kultum Ramadhan: Semangat Hingga Tamat

Banyak orang lebih bersemangat di awal program kebaikan, tapi loyo di akhir kesempatan, para salaf yang shalih justru lebih semangat lagi di momen-momen akhir setiap peluang. Dalil-dalil syar’i menunjukkan bahwa penentu hasil itu ada di akhir. Umur manusia manusia misalanya,  yang paling menentukan adalah di akhir-akhir kehidupan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

ﺇﻧَّﻤَﺎ ﺍﻷَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﺨَـﻮَﺍﺗِﻴْﻢُ

“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya”. (HR Bukhari)

Bahkan jika di awal-awal seeorang melakukan kesalahan dan banyak keteledoran, niscaya dosanya diampuni  jika dia bertaubat dan berkesempatan meraih derajat tinggi jika optimal dengan kebaikan di akhir kesempatan. Karena itulah, orang yang wafat dalam keadaan baik, maka disebut dengan husnul khatimah, akhir atau penutupuan yang baik.

Sebaliknya, meskipun nyaris sepanjang umur manusia melakukan ketaatan danbanyak amal shalih, namun ketika di akhirnya ia murtad atau lebih dominan maksiat, maka ia berakhir dengan suul khatimah, akhir yang buruk dan terancam dengan neraka. Begitulah urgensi amal di penghujung kesempatan.

Baca Juga: Setan Dibelenggu Nafsu Menghasutmu

Jika malam dibagi menjadi tiga, maka sepertiga malam yang terakhir adalah waktu terbaik bermunajat dan shalat. Bahkan Nabi shallallahu alahi wasallam bersabda,

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ ، مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita tabaroka wa ta’ala turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berkata: ‘Siapa yang berdoa pada-Ku, aku akan memperkenankan doanya. Siapa yang meminta pada-Ku, pasti akan Kuberi. Dan siapa yang meminta ampun pada-Ku, pasti akan Kuampuni’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan, “Riawayat ini dibawakan oleh Al Bukhari pada bab yang menerangkan mengenai keutamaan berdoa pada waktu tersebut hingga terbit fajar Shubuh dibanding waktu lainnya.”

Ibnu Baththal dalam Syarah Bukhari berkata, “Waktu tersebut adalah waktu yang mulia dan terdapat dorongan beramal di waktu tersebut. Allah Ta’ala mengkhususkan waktu itu dengan nuzul-Nya (turunnya Allah). Allah pun memberikan keistimewaan pada waktu tersebut dengan diijabahinya doa dan diberi setiap  yang diminta.”

Dalam menjalani amal yang berhubungan dengan Ramadhan juga begitu. Selama 29 atau 30 hari ramadhan, maka hari-hari terakhir sangat menentukan hasil dan penentu kesuksesan Ramadhan. Malam yang lebih baik dari seribu bulan yang disebut dengan lailatul qadar juga berada di sepertiga hari ramadhan yang terakhir.

Di penghujung Ramadhan seringkali berkecamuk perasaan; antara ingin segera beriedul fithri dan rasa ingin tetap bersama Ramadhan. Mungkin di antara hikmah bahwa ramadhan tak lama adalah agar jiwa senantiasa setia dan merindukan ia kembali tiba. Sungguh, hakikat cinta bukan semata perasaan bahagia ketika hendak bersua, tapi juga perasaan duka ketika hendak berpisah dengannya. Dan sejatinya cinta ialah yang tak ingin melewatkan sedetikpun waktu berlalu tanpa membersamai yang dicintai di hari-hari terakhirnya.

Sebagian salaf tampak bersedih ketika hari raya Iedul Fitri, lalu dikatakan kepadanya:Ini adalah hari kesenangan dan kegembiraan. Dia menjawab, “Kamu benar, akan tetapi aku adalah seorang hamba yang diperintah oleh Rabbku untuk beramal karenaNya, dan aku tidak tahu apakah Dia mengabulkan amalku atau tidak?

Baca Juga: Buta Hati Di Dunia, Buta Mata Di Akhirat

Karena itulah para salaf dahulu sangat serius memberikan perhatian di akhir ramadhan. Mereka masih tetap fokus hingga tamat. Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah sebagaimana uang disebutkan dalam Hilyatul Auliya berkata, “Berbuat baiklah di sisa-sisa Ramadhan niscaya diampuni (kesalahanmu) yang telah berlalu, maka manfaatkanlah hari-hari yangg tersisa, karena Anda tidak tahu kapan bisa meraih rahmat Allah untukmu.”

Mereka menganggap bahwa Ramadhan adalah perlombaan dalam ibadah dan kebaikan. Sedangkan peserta lomba tentu akan lebih power full dan mencurhakan segala kemampuannya ketika mendekati finishnya. Ibnul al-Jauzi berkata, “Sesungguhnya kuda pacu apabila mendekati batas finish ia akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk memenangkan perlombaan.Maka, jangan sampai kuda pacu menjadi lebih cerdas darimu.”

Maka selayaknya, semakin dekat dengan kesempatan terakhir, makin gigih dalam melakukan ketaatan. Seperti Qatadah, di luar bulan Ramadhan mengkhatamkan al-Qur`an tujuh hari sekali. Memasuki bulan Ramadhan mengkhatamkannya tiga hari sekali. Bahkan, di sepuluh terakhir, ia mampu mengkhatamkan al-Qur`an satu kali setiap malam.

Teladan terbaik adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang makin gigih di kesempatn-kesempatan terakhir.

 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim)

Amalan paling istimewa dan waktu yang paling agung keutamannya adalah lailatul qadar yang lebih baik dari seribu bulan. Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan umatnya untuk berjaga-jaga akan datangnya malam lailatul qadar,

 

تَحَرَّوْا وفي رواية : الْتَمِسُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ

“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana dinukil oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dari sekelompok ulama Madinah dan dinukil pula sampai pada Ibnu ‘Abbas disebutkan, “Menghidupkan lailatul qadar bisa dengan melaksanakan shalat Isya’ berjamaah dan bertekad untuk melaksanakan shalat Shubuh secara berjama’ah.”

Begitupun menghidupkan malam dengan shalat sunnah, membaca al-Qir’an, istighfar dzikir dan semisalnya termasuk dikatakan berjaga-jaga akan hadirnya malam lailatul qadar.

Intinya, tetap fokus dengan amal taat hingga tamat. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan 

Kultum Ramadhan: Buta Hati di Dunia, Buta Mata di Akhirat

Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan dari Ibnu Abbas dan Muqatil yang meriwayatkan bahwa Ibnu Ummi Maktum berkata, “Wahai Rasulullah, di dunia ini saya adalah orang yang buta, apakah di akhirat saya juga akan buta? Lalu turunlah ayat,

 

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَـٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada..” (Al-Hajj: 46).

Yakni barangsiapa di dunia hatinya buta terhadap Islam, maka di akhirat dia akan masuk neraka. Demikian dijelaskan oleh al-Qurthubi.
Tak semua orang yang memiliki kelengkapan indera mampu menangkap kebenaran. Bukan karena lemahnya indera, namun karena cacatnya iradah (kemauan) untuk mencari kebenaran, atau lebih suka menggunakan inderanya sesuai keinginan nafsunya, bukan sesuai kehendak Penciptanya.

Semestinya dengan indera mata, mereka bisa membaca ayat-ayat Qur’aniyah yang menunjukkan kebenaran secara terang benderang. Mereka juga bisa melihat ayat-ayat Kauniyah, sehingga bisa memahami dahsyatnya penciptaan yang otomatis menunjukkan keagungan Penciptanya.

Mereka tidak menggunakan matanya untuk melihat, telinganya untuk mendengar dan akalnya untuk memahami kebenaran, hingga mereka tidak mengenalnya dan tidak pula berpihak kepada kebenaran. Bukan inderanya yang lemah, tapi yang buta dan tuli adalah hatinya.

Baca Juga: Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat

Mereka adalah orang yang tak mau tahu petunjuk Allah yang seharusnya menjadi panduan hidup manusia. Tidak mau membaca al-Qur’an, tidak pula sudi mendatangi majelis ilmu sehingga mendengarkan petunjuk yang terkandung dalam al-Qur’an. Mereka lebih suka
menggunakan mata, telinga dan pikirannya untuk yang lain sembari berpaling dari al- Qur’an.

Buta hati adalah sebenar-benar bencana, karena dengannya seseorang tidak bisa mengenali nikmat Allah atas dirinya. Dia tidak juga membedakan mana jalan menuju keselamatan dan mana jalan yang menjerumuskan kepada kesengsaraan. Yang baik dikatakan buruk dan sebaliknya, yang semestinya musuh malah dijadikan teman, dan begitulah semua barometer bisa terbolak-balik.

Meski di dunia mereka melek matanya, namun kelak di akhirat, Allah akan bangkitkan mereka dalam keadaan buta lantaran hatinya buta saat di dunia. Allah Ta’ala berfirman,

 

وَمَن كَانَ فِي هَـٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا

“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS al-Isra’ 72)

Qatadah menjelaskan ayat tersebut, “Barangsiapa yang di dunia ini buta terhadap nikmat-nikmat Allah, juga terhadap bukti penciptaan dan keagungan- Nya, maka di akhirat dia akan lebih buta dan lebih tersesat jalannya.”

Baca Juga: Dari Mata Turun ke Hati, Jaga Mata Bersihkan Diri

Sedangkan Ibnu Katsier menjelaskan dari sudut panang yang lain, “Yakni barangsiapa yang di dunia ini buta terhadap bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Allah adalah Esa dalam mencipta dan mengurus makhluknya, maka dalam hal akhirat yang tak kasat mata tentu dai lebih buta dan ebih sesat.”

Gejala buta hati di dunia bisa dilihat dari fokus perhatian dan usahanya. Yang mereka lihat, dengar dan pikirkan hanya dunia semata. Mereka tidak pedulikan urusan akhirat, seperti yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Rum:7)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as- Sa’di berkata, “Pikiran mereka hanya fokus dengan urusan dunia sehingga lalai terhadap urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak pula takut akan neraka. Inilah tanda kebinasaan mereka, bahkan dengan akalnya mereka tidak bisa meraba. Usaha mereka memang menakjubkan seperti kemampuan menemukan atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada kaum lain yang mampu menandinginya, sehingga orang lain begitu remeh dalam pandangan mereka. Akan tetapi sayang, mereka jahil dalam urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya justru akan membinasakan dirinya.”

Maka Allah membenci orang yang hanya pandai dalam hal dunia, atau bahkan menjadi seorang pakar, namun dia jahil dalam urusan
agamanya. Amat disayangkan jika seseorang mampu menempuh jenjang strata-3 dalam hal ilmu dunia, namun pengetahuan agamanya
tidak beranjak dari level TK. Rasulullah bersabda yang artinya,

“Sesungguhnya Allah Ta’ala membenci orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam perkara akherat”.
(HR. Al-Hakim, dishahihkan oleh al-Albani)

Ini tidak menunjukkan bahwa ilmu dunia itu cela, akan tetapi sisi celanya adalah ketika seseorang tidak mau belajar tentang ilmu akhirat. Tapi, ilmu akhiratlah yang bisa menunjukkan agar ilmu dunianya bisa berfaidah untuk dirinya dan orang lain, baik di dunia maupun di akhirat.

Tanpanya, kepandaiannya bisa jadi akan menjadi bumerang bagi dia. Mungkin akan menyalahgunakan ilmu, atau setidaknya dia tidak mendapat pahala apa-apa dengan jerih payah dan usahanya, karena tidak ada panduan bagaimana keahlianya bisa bernilai di sisi Allah Ta’ala.

Semoga Allah anugerahkan kita kebaikan di dunia dan akhirat.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan

Kultum Ramadhan: Kenyang di Dunia, Lapar di Akhirat

Berlebihan saat makan bukanlah sifat orang-orang yang berjalan menuju Allah. Demikian pula orang yang senantiasa memperturutkan nafsu perutnya tanpa menimbang statusnya. Allah berfirman;

“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS. Abasa: 24)

Perintah untuk memperhatikan makanan tentunya mencakup proses dan setatus kehalalannya. Makanan yang halal dan baik akan bermanfaat dan memberikan energi pada tubuh sehingga ia bisa melaksanakan kewajiban untuk beribadah kepada Allah.

Sebaliknya, makanan yang rendah kualitasnya dan haram cara mendapatkan maupun bendanya tentu akan mendatangkan penyakit, melemahkan badan, dan tentunya menyebabkan dosa. Tidak diterima amal ibadahnya dan tidak ijabah doanya. Rasulullah telah pula mengingatkan umatnya untuk tidak memenuhi nafsu perutnya. Beliau bersabda sebagaimana disampaikan oleh Miqdam bin Ma’dikarib,

 

عَنْ مِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

Dari Miqdam bin Ma’dikarib berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Manusia tidak memenuhi wadah yang buruk melebihi perutnya, cukup bagi manusia beberapa suapan yang menegakkan tulang punggungnya. Bila tidak bisa, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi)

Banyaknya makan bukanlah sifat terpuji bagi seorang muslim. Orang yang banyak makannya, akan banyak minumnya. Orang yang banyak minumnya, ia akan banyak tidurnya, maka akan banyak dagingnya. Orang yang banyak dagingnya, maka akan keras hatinya, maka akan tenggelam dalam lumpur dosa.

 

Kenyang di Dunia

Rasulullah dan para shahabat lebih memilih lapar tenimbang hidup berlimpah makanan. Bukan karena tak memiliki makanan, namun mereka memilih keadaan yang lebih baik dan lebih sempurna daripada sebaliknya. Mereka makan dan minum sekadar untuk dapat melaksanakan ibadah, karena hanya untuk itu jin dan manusia diciptakan. Ibunda Aisyah menceritakan bagaimana kehidupan beliau bersama Rasulullah,

“Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang walaupun dengan roti gandum dua hari berturut-turut sampai Beliau wafat.” (Muttafaqun alaihi).

Sebaliknya, terlalu banyak makan mengundang berbagai permasalahan. Amir bin Qois berkata, “Jauhilah oleh kalian kenyang, karena kenyang itu mengeraskan hati.” Malik bin Dinar menasihatkan bahwa tidak semestinya seorang mukmin menjadikan perutnya sebagai cita-citanya yang paling besar dan menjadikan syahwatnya menguasai dirinya. Abu Imran Al-Juwaini menuturkan,

“Sesungguhnya nafsu, jika lapar dan haus maka bersih hati dan lembut dan jika perut kenyang dan lega maka hatinya buta.” Beliau juga mengatakan, “Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akhirat adalah lapar, dan pangkal segala kebaikan dunia dan akhirat adalah takut kepada Allah.

Baca Juga: Setan Dibelenggu, Nafsu Menghasutmu

Sesungguhnya Allah memberikan dunia ini kepada orang yang dicintai dan yang tidak, dan sesungguhnya lapar itu di sisi Allah ada
simpanan yang ditunda dan tidak diberikan kecuali kepada orang yang dicintai-Nya.” kenyang dengan yang haram berakibat fatal
Bila kenyang dengan yang halal saja banyak dihindari oleh para salaf karena dampak buruk yang mereka rasakan, apalagi dengan makan
haram. Islam sangat melarang pemeluknya memakan makanan haram. Sebab, karena makanan, doa kita bisa tidak dikabulkan.

Ibnu Abbas berkata bahwa Sa’ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah.” Apa jawaban Rasulullah, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal)
niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada
seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya.” (HR. At-Thabrani)

Dalam Al-Quran disebutkan, “Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. “Katakanlah, “Adakah Allah telah memberikan izin kepadamu (dalam persoalan
mengharamkan dan menghalalkan) atau kamu hanya mengada-adakan sesuatu terhadap Allah?” (QS. Yunus: 59).

Kenyang dengan makanan haram bisa berakibat fatal. Rasulullah bersabda,

“Ketahuilah bahwa suapan haram jika masuk ke dalam perut salah satu dari kalian, maka amalannya tidak diterima selama 40 hari.” (HR At-Thabrani).

Rasulullah juga bersabda,

“Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya.” (HR At Tirmidzi).

Begitu bahayanya mengonsumsi makanan haram, sampai Rasulullah mengajarkan sebuah doa:

اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ
وأغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ 

“Ya Allah, cukupkanlah kami dengan rezeki- Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu.” (HR. Tirmidzi)

Lapar Di Akhirat

Dunia laksana penjara bagi mukmin dan surga bagi orang kafir. Bila telah kenyang di dunia yang hanya sebentar, maka balasannya
adalah lapar dan dahaga di akhirat. Rasulullah pernah bersabda:

 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ تَجَشَّأَ رَجُلٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كُفَّ عَنَّا جُشَاءَكَ فَإِنَّ أَكْثَرَهُمْ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Ibnu Umar berkata, ada seorang lelaki bersendawa di sisi Nabi n, kemudian Nabi bersabda, “Hentikan sendawamu dari kami karena sesungguhnya kebanyakan orang yang kekenyangan di dunia kelak pada hari kiamat adalah orang yang paling lama merasakan laparan.” (Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib dari jalur sanad ini, dan dalam bab ini ada hadits dari Abu Juhaifah. Dihasankan al-Albani dalam Jaami’ ash-Shaghir).

Penghuni neraka akan merasakan kelaparan yang amat sangat. Mereka akan meminta kepada para penghuni surga untuk memberikan kepada mereka sedikit makanan yang mereka miliki. Allah berfirman mengabarkan hal tersebut dalam firman-Nya, “Mereka tidak memiliki makanan dan minuman, sehingga kelaparan dan memintanya kepada penduduk surga, sedikit saja dari air dan makanan, “Dan
penghuni neraka menyeru penghuni surga: “Limpahkanlah kepada Kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.” Mereka (penghuni surga) menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orangorang
kafir.” (QS.Al A’raf: 50).

Baca Juga: Yang Mengerikan di Bulan Ramadhan

Kalaupun ada itu adalah, “.. dhari’, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (QS. Al-Ghasyiyah: 6-7), dan “pohon zaqqum, makanan bagi orang yang banyak berdosa (orang kafir). Makanan ini seperti kotoran minyak yang mendidih di dalam perut, seperti mendidihnya air yang amat panas. (QS. Ad-Dukhan: 43-46).

Setelah menelan zaqqum, penduduk neraka sangat kehausan, dan yang ada hanya hamim dan ghassaq (nanah), “Mereka tidak
merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan ghassaq (nanah). Sebagai
pambalasan yang setimpal.” (QS. An-Naba: 24 – 26). “Mereka diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong
ususnya.” (QS. Muhammad: 15)

Ramadhan  hadir sebagai lahan pelatihan. Selama satu bulan kita dilatih mengendalikan nafsu untuk bisa masuk jannah melalui pintu ar-Rayan. Bagaimana bisa ‘mengetuk’ pintu ar Rayyan bila puasanya tidak benar. Apalagi memperturutkan syahwat perut dengan tidak berpuasa di bulan yang diwajibkan. Sementara, yang berpuasa saja ada yang dinilai Allah hanya mendapatkan lapar dan dahaga di dunia.

Apakah setelah di dunia hanya dihitung mendapat lapar dan dahaga kita juga mau kelaparan dan dahaga di akhirat seperti orang munafik dan orang kafir. Semoga Allah menjauhkan kita dari syahwat perut dan panasnya neraka. Allahumma amin.

 

Oleh: Redaksi/Kultum Ramadhan

Kultum Ramadhan: Kisah Para Pendamba Pintu Ar-Rayyan

Kebiasaan shaum telah mengantarkan orang-orang pilihan ke derajat yang tinggi. Shaum telah membuat kecenderungan mereka adalah memperbanyak amal shalih. Mereka rajin melakukan ketaatan, tak ada gairah untuk melakukan dosa, mereka jauh dari maksiat, sebagaimana hal itu menjadi inti tujuan shaum, yakni takwa.

Seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau melakukan beragam ketaatan di saat menjalankan shaum. Bukan saja ketika di bulan Ramadhan, tapi di bulan-bulan selainnya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

“Suatu ketika Nabi Muhammad bermajelis bersama para sahabat, lalu beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini melakukan shaum?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Nabi n bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang hari ini telah mengantar jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Nabi n bertanya lagi, Siapakah di antara kalian yang hari ini telah menengok orang sakit?” Lagi-lagi Abu Bakar menjawab, “Saya.” Kemudian Nabi n bersabda, “Tiadalah semua itu ada pada diri seseorang melainkan dia pasti masuk jannah.” (HR Muslim)

Begitulah, shaum telah membawa suasana yang ringan untuk melakukan banyak kebaikan. Lihatlah, sepagi itu, ash-Shiddiq telah melakukan amal sebanyak itu.

Mereka yang Terbiasa Menjalani Shaum

Adalah Utsman bin Affan, beliau orang yang sangat rajin menjalankan shaum. Seperti yang diungkapkan oleh Abu Nuaim, “Waktu siangnya adalah kemurahan berderma dan untuk shaum, sedang malamnya untuk sujud dan qiyam (shalat).” Ini menjadi kebiasaan beliau setiap harinya. Adapun di bulan Ramadhan, lebih menakjubkan. Beliau mengkhatamkan al-Quran dalam sehari dalam shalatnya. Perutnya kosong karena Allah, sementara lisannya senantiasa sibuk dengan dzikir dan bacaan al-Quran.

Beliau sangat rajin shaum di hari biasa, hingga di hari terbunuhnya, beliau dalam keadaan shaum sementara mushhaf al-Quran berada dalam dekapannya.

Baca Juga: Ia Ingin Memiliki Nyawa Sebanyak Jumlah Rambutnya

Memang ada hari-hari dimana sebagian sahabat tidak menjalankan shaum, seperti Abu Thalhah. Bukan karena malas, tapi karena tenaganya sangat dibutuhkan di saat perang, untuk menyerang dan menangkis serangan maupun berteriak untuk memberi motivasi kepada para mujahidin, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, suara Abu Thalhah di tengah-tengah pasukan lebih hebat dari seribu orang tentara.”

Tentang Abu Thalhah, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah tidak melakukan shaum (sunnah) di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena selalu terjun dalam kancah perang. Akan tetapi, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, aku tidak melihat dia meninggalkan shaum, kecuali di hari-hari Iedul Adha dan tasyriqnya, maupun di hari Iedul Fithri.”

Adapun Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu yang dikenal sebagai sahabat yang paling antusias dalam berittiba’ kepada Nabi , selalu menjalankan shaum, kecuali di saat safar. Putera beliau, Nafi’ bin Abdullah bin Umar berkata, “Ibnu Umar tidak melakukan shaum sunnah dalam keadaan safar, akan tetapi ketika tidak dalam keadaan safar, beliau hampir tidak pernah meninggalkan shaum. Inilah kebiasaan sahabat yang dipuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ni’mal ‘abdu Abdullah,” sebaik-baik hamba adalah Abdullah.

 

Hafshah ash-Shawwaamah dan Rahmah al-Abidah

Di kalangan wanita sahabiyat, tercatat seseorang yang digelari shawwamah, ahli shaum. Bukan gelaran yang disematkan oleh teman-temannya, atau generasi setelahnya, tetapi malaikat Jibril yang mengesahkannya. Dialah Hafshah, ummul mukminin, istri dari Rasulullah, sekaligus puteri dari Umar bin Khathab.

Seperti yang diceritakan oleh Qais bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mentalak Hafshah, lalu dua orang paman beliau dari pihak ibu, yakni Qudamah dan Utsman bin Mazh’un menemui beliau. Hafshah menangis sambil berkata, “Demi Allah Nabi mentalakku bukan karena saya senang makan kenyang…demi Allah Nabi mentalakku bukan karena saya senang makan kenyang…”

Tak lama kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan bersabda, “Jibril berkata kepadaku, “Ruju’lah Hafshah, karena ia itu shawwaamah (rajin shaum), qawwaamah (rajin shalat), dan ia nanti menjadi istrimu di jannah.” 

Subhanallah, pengesahan makhluk manakah yang lebih meyakinkan dan lebih berharga dari pengesahan Jibril? Semoga Allah meridhai Hafshah, beliau wafat di saat menjalani shaum, sebagaimana disebutkan oleh Nafi’, keponakannya.

Baca Juga: Shafiyah bintu Huyay, Putri Tercantik Khaibar

Satu lagi teladan menakjubkan dari kaum salaf. Seorang wanita yang dikenal dengan sebutan Rahmah al-Abidah, pelayan Muawiyah. Begitu rajinnya ia dalam melakukan shalat dan shaum, sampai-sampai beberapa orang mendatanginya untuk membujuk, supaya ia mengasihi dirinya. Maka beliau berkata, “Apa yang perlu dikasihani dari saya. Saya hanyalah bilangan hari yang bergulir dengan cepat, ketika satu hari berlalu maka tak mungkin lagi didapatkan di hari esok. Sungguh, saya akan bersungguh-sungguh shalat selagi jasadku terkandung nyawa, aku akan senantiasa shaum selagi masih hidup. Siapakah di antara kalian yang ingin hamba sahayanya berleha-leha tak bekerja keras?” Yakni, Allah yang menjadi majikannya yang sesungguhnya tentu menyukai jika ia bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya. Semoga Allah meridhai Rahmah al-Abidah.

Kiranya, beberapa penggal kisah di atas mampu mengatrol semangat kita untuk menjalankan shaum yang wajib maupun yang sunnah, serta mengisi saat-saat shaum dengan amal kebaikan. Agar kita termasuk kaum yang diijinkan masuk jannah melalui pintu yang istimewa, pintunya orang yang rajin menjalankan shaum, yakni ar-Rayyan.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan

Kultum Ramadhan: Mengenyam Lezatnya Shalat Malam

Shalat malam, inilah tradisi syar’I para shalihin sepanjang zaman. Tidak disebut julukan shalih, melainkan ia menjaga kebiasaan shalat malam, Tak mereka tinggalkan amal mulia ini. Amal yang dengannya derajat seseorang ditinggikan, doa-doanya dikabulkan, dosa-dosa diampunkan, terlepas pula ikatan ikatan setan, penyakit fisik tersingkirkan, ketenangan hati didapatkan dan jalan menuju jannah dimudahkan.

Dan pada beberapa ayat Allah juga menyebutkan bahwa salah satu karakter penghuni jannah adalah orang yang mengdiupkan waktu malamnya untuk shalat  ketika mereka masih di dunia.

 

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ﴿١٦ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezeki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (As-Sajdah 16-17)

Yang dimaksud dengan apa yang mereka lakukan di sini adalah shalat maliam; sebagaimana yang disebutkan oleh ibnu Katsir rahimahullah. Ibnul Qayyim rahimahullah juga memberikan catatan menarik tentang ayat ini, “Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas shalat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Dia rahasiakan sebelumnya, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan shalat malam diganti dengan kesenangan jiwa di dalam Surga.”

Baca Juga: Panen Pahala Di Bulan Mulia

Kebiasaan ini membuahkan kenikmatan dan kelezatan yang tidak dirasakan oleh orang-orang yang tidak melaziminya. lbnu al-Munkadir rahimahullah berkata, “Di dunia ini tidak tersisa lagi kelezatan selain pada tiga hal; shalat malam, bertemu dengan saudara seiman dan shalat berjamaah.” Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu dan yang lain.

Shalat malam senantiasa istimewa. Namun di bulan Ramadhan ia makin luar biasa. Tak ada yang berkurang sedikit pun dari keutamaan yang didapat di luar Ramadhan. Yang ada justru bonus-bonus istimewa dan pahala spesial yang Allah sediakan bagi orang yang antusias manghidupkan shalat malam di bulan Ramadhan.

 

ومن قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barang siapa meiakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR Bukhari dan Muslim).

Maksud qiyam Ramadhan, secara khusus, menurut Imam Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan semua dosa; tetapi dengan syarat karena bermotifkan iman; membenarkan pahala-pahala yang dijaniikan oleh Allah dan mencari pahala tersebut dari Allah. Bukan karena riya’ atau sekadar mengikuti kebiasaan orang.

Maka antusias para salaf untuk menghidupkan malam makin menjadi. Bukan sekadar orang perorang, tetapi semangat yang dimiliki secara serentak oleh masyarakat zaman itu. Saib bin Yazid berkata,

“Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu pernah menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar memimpin shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 11 raka’at. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga kami bersandar pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak pulang dari tarawih, melainkan hampir menjelang fajar.” (Fathul Bari, lbnu Hajar al-Asqalani)

Nafi’ bin Abdullah bin Umar juga menyebutkan, “Saya mendengar lbnu Abi Mulaikah berkata, ‘Saya mengimami masyarakat pada malam Ramadhan dengan membaca dalam satu rekaat surat Fathir (45 ayat) atau yang setara dengannya. Pun begitu belum pernah sampai kepadaku satu pun yang mengeluhkan keberatannya.” (Riwayat lbnu Abi Syaibah).

Sedangkan Abu al-Asyhab bercerita, “Abu Raja’ mengkhatamkan bersama kami (makmum) pada shalat tarawih setiap sepuluh hari sekali.”

Baca Juga: Puasa, Obesitas dan Tanda Kiamat

Ini menunjukkan antusias para salaf daIam menjaIankan shalat tarawih di bulan Ramadhan. Hanya saja. mereka tetap menjaga kondisi para makmum. Ketika tak ada keluhan dari para makmum. mereka memanjangkan shalatnya. Maknanya, jika kita diminta menjadi Imam, tidak sepantasnya kita memanjangkan shaIat sementara makmum banyak yang mengeluhkannya.

Dianjurkan untuk tetap menyertai Imam hingga selesainya shaIat, karena barang siapa melaksanakan shalat Tarawih berjamaah bersama Imam hingga selesai, maka akan dicatat baginya pahala seperti orang yang melakukan qiyamul lail semalam penuh. Rasulullah bersabda,

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda:

 

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

 “Sesungguhnya barangsiapa yang shalat (Tarawih) bersama imam sampai ia selesai, maka dituIis untuknya pahala qiyamul IaiI satu malam penuh.” (HR. An-Nasai no. 1605, At-Tirmidzi, aI-Albani mengatakan shahih)

Hadits ini menjadi koreksi atas kebiasaan di antara kita yang bersemangat untuk menghidupkan malam, lalu memilih pulang sebelum Imam menyelesaikan shalat witir. Meksipun maksudnya baik, yakni ingin menambah shalat lagi sebelum witir. Tapi apakah tambahan shalat yang dilakukan ini benar-benar semalam suntuk? Atau hanya beberapa menit saja? Padahal dengan meninggalkan Imam sebelum selesai, maka ia tidak tercatat sebagai orang yang menjalankan shalat semalam suntuk. wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan/Materi Kultum

Kultum Ramadhan: Mereguk Lezatnya Shaum Ramadhan

Shaum memang mengharuskan seseorang menahan diri darl berbagai keinginan. Shaum membuat pelakunya lapar dan haus seharian. Namun dibalik itu, Allah sediakan kompensasi yang membuat hati orang mukmin bergembira menjalani Ramadhan. Kegembiraan yang mampu mengalahkan segala bentuk kelelahan dan kesusahan saat menjalani shaum.

Karena itulah, para salafush shalih dahulu betul-betul merasakan lezatnya shaum melebihi kelezatan yang dirasakan oleh orang-orang yang mengenyam kelezatan makanan yang disukainya. Seperti Amir bin Abd al-Qais yang menangis saat menghadapl dekatnya kematian lalu ditanya, “Apakah Anda takut menghadapi kematian sehingga Anda menangis?” Beliau menjawab, “Kenapa aku tldak boleh menangis, dan siapa pula yang leblh berhak menangis daripada saya, hanya saja demi Allah saya menangis bukan karena takut mati atau ingin tinggal berlama-lama tinggal di dunia. Akan tetapi aku menangis karena harus berpisah dengan shaum di hari yang panas dan shalat malam di musim dingin.” Hal serupa dikatakan oleh Abdurrahman bin al-Aswad an-Nakha’i yang menjelang wafatnya berkata, “Alangkah sedlhnya berpisah dengan shalat dan shaum.”

Baca Juga: Gagal Paham Ramadhan, Pahalapun Melayang

Begitulah jiwa yang mengetahuil dan meyakini istimewanya ibadah shaum. Bagaimana tidak, Allah memuji orang yang shaum dan akan membalas sendiri atas jerih payah orang yang meninggalkan keinginan nafsunya demi mengutamakan pengabdiannya kepada Allah. Rasulullah bersabda,

 كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ 

“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan dilipatkan sepuluh kali lipat hingga 700 kali lipat,  Allah berfirman, “Kecuali shaum, karena shaum itu untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya. la telah meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya karena-Ku.” (HR Bukhari dan Muslim)

Bagaimana seseorang tidak tersanjung dengan pujian Allah ini. Di balik bau mulut yang tidak enak sebagai efek shaum Ramadhan, ternyata di sisi Allah lebih wangi baunya daripada minyak misk. Rasulullah bersabda,

“Bau mulut orang yang shaum lebih harum di sisi Allah daripada minyak misk. Malaikat memintakan ampun bagi mereka hingga berbuka. Allah menghlasi jannah-Nya setiap hari kemudian berfirman, ‘Sebentar lagi  hamba-hamba-Ku yang shalih akan lepas dari beban dan gangguan, dan akan mendatangimu.” (HR. Ahmad)

Yaknl bau mulut orang shaum lebih harum di sisi Allah daripada bau misk, karena sesuatu yang muncul sebagai efek dari ibadah kapada Allah dan ketaatan kepada-Nya itu dicintai di sisi Allah. Dengannya Dia akanmenggantikan sesuatu yang lebih baik, lebih utama dan lebih istlmewa. Seperti juga orang yang syahid terbunuh di jalan Allah karena ingin menjadlkan kalimt Allah menjadl tinggi, dia akan dibangkitkan pada hari kiamat sedang darahnya masih mengalir, warnanya merah darah namun baunya adalah misk. Allah juga membanggakan orang-orang yang berhaji kelika wukuf dengan firman-Nya, “Lihatlah hamba-hamba-Ku, mereka mendatangiku meski harus kusut dan berdebu.” (HR Ahmad dan lbnu Hibban).

Bagaimana kita tidak senang menjalankan shaum. sedangkan malaikat akan memintakan ampun bagi bagi orang yang shaum hingga datangnya waktu berbuka. Padahal malaikat adalah hamba yang dimullakan di sisi Allah, doa-doanya pastilah dikabulkan oleh Allah.

Rasa lapar hanya sebentar, haus hanya sementara dan keletihan segera sirna. Bersamaan dengan itu, Allah menghias jannah untuk menggantikan kesusahan orang yang shaum dengan kenikmatan. Hingga Dia berfirman, “Sebentar lagi hamba-hamba-Ku yang shalih akan lepas dari beban dan gangguan…” Dan masih banyak lagi fadhilah dari shiyam Ramadhan.

Hanya saja, shaum memillki adab yang wajiib dijaga sehingga seseorang memperoleh faedah yang optimal dengan shaumnya. Orang yang shaum adalah orang yang menjaga anggota badannya dari dosa, menjaga lisannya dari kata-kata keji dan dusta, menjaga perutnya dari makanan dan m-numan yang haram, dan menjaga kemaluannya dari tindakan keji. Jika dia berbicara, maka ia berbicara tentang apa yang tidak merusak shaumnya. Jika dia berbuat, maka perbuatan tersebut adalah sesuatu yang tidak menggerogoti pahala shaumnya. Sehingga apa yang diucapkannya senantiasa bermanfaat dan baik. Begitupula dengan amal perbuatannya. lniIah shaum yang disyariatkan, bukan hanya sekadar menahan Iapar dan haus saja.

Baca Juga: Tantangan Ramadhan

Selayaknya orang yang shaum tidak terlalu banyak makan di waktu malam. Jika seseorang kenyang di awal malam, maka dia tidak lagi dapat memanfaatkan sisa malamnya. Begitupula jika perut seseorang terlalu penuh ketika sahurnya, maka dia tidak lagi dapat memanfaatkan sebagian besar waktu siangnya. Karena terlaiu kenyang menyebabkan malas. Di samping itu, menjadi hilanglah maksud dari shaum jika temyata berlebihan ketika makan. Sedangkan maksud diperintahkannya shaum adalah agar seseorang merasakan Iapar dan meninggalkan apa yang disukainya.

Mengakhirkan makan sahur lebih diutamakan daripada mengawalkannya, yakni memulai shaum tatkala terbit fajar. Allah benfirman,

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Sebagian orang menyelisihi hal itu. Mereka begadang di malam hari kemudian makan sahur Ialu tidur satu atau dua jam sebelum terbitnya fajar. Mereka menghimpun beberapa kesalahan. Mereka telah shaum sebelum waktu shaum, bisa jadi mereka meninggalkan shalat jama’ah subuh, atau bahkan mereka shalat setelah habis waktunya, mereka tidak shalat melainkan setelah terbit matahari, sungguh ini musibah besar. Wal’ iyadzu billah.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan/Materi Kultum

Waspadai Ngedrop Iman Pasca Ramadhan

Bagaimana suatu dosa menjadi biasa itu ada siklusnya; baik dalam bentuk meninggalkan perintah maupun melanggar larangan. Bermula dari setan yang secara masif membujuk dan merayu nafsu, lalu nafsu tak kuasa menolak iming-iming dari setan, entah karena penasaran ataupun terpesona oleh cara setan menyajikan. Hingga terjerumuslah seseorang kepada dosa. Tak berhenti sampai di situ, karena setan terus membangkitkan memori lezatnya suatu kemaksiatan, ditambah janji-janji kenikmatan lebih yang bakal dirasakan, maka yang terjadi berikutnya adalah pengulangan dosa. Ketika pengulangan itu terjadi berkali-kali, maka suatu dosa telah terpatri dan bisa menjadi karakter diri. Inilah yang berlaku ketika perselingkuhan antara setan dan nafsu terjadi.

Di antara kemurahan Allah kepada hamba-Nya adalah ketika Allah memberikan kesempatan bagi manusia untuk terbebas dari belenggu setan dan kungkungan hawa nafsu. Allah ‘hadiahkan’ bagi hamba-Nya waktu sebulan penuh pertolongan bagi hamba-hamba-Nya yang mau memanfaatkan peluang. Di bulan Ramadhan Allah belenggu setan si musuh bebuyutan, hingga tak berdaya membujuk dan melancarkan godaan. Lalu Allah sediakan ‘program’ unggulan berupa shaum, yang dengannya manusia bisa menundukkan hawa nafsu, bukan justru menjadi budaknya.

Saat setan dibelenggu, nafsu juga tertundukkan, maka kita terbiasa untuk tertib dengan aturan; mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan, termasuk disiplin menjaga waktu dan batas-batasannya. Ini berlangsung hingga selama satu bulan. Yakni waktu yang semestinya sangat cukup untuk membentuk sebuah kebiasaan baik, reflek terhadap keshalihan hingga menjadi sebuah karakter. Karena telah menjadi kebiasaan dan karakter, semestinya tidak mudah berubah kebiasaan itu meskipun belenggu setan telah dilepaskan, karena nafsu telah tertundukkan.

Namun realita yang sering kita dapatkan, perubahan itu begitu drastis dirasakan; aturan syariat begitu enteng ditinggalkan, larangan-larangan begitu mudah untuk dilanggar, hingga seakan ia tidak pernah memiliki kebiasaan yang baik. Kebaikan yang telah dirintis dan dibiasakan makin jauh makin terkikis dan habis. Allah ingatkan kita, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.” (QS. an-Nahl: 92)

Ini adalah perumpamaan yang pas dengan kondisi orang yang telah memperbaiki hati dan amalnya pada bulan ramadhan, lalu ia menanggalkan kebaikan itu satu persatu, hingga ia seakan tak pernah memperbaiki diri. Sisi cela bukan pada program yang tersedia pada bulan ramadhan, tapi dari kecerobohan orang yang menjalaninya. Atau dia tidak bersyukur atas nikmat ramadhan yang Allah sediakan. Karena seandainya dia bersyukur tentu Allah akan memudahkan baginya menjalankan ketaatan. Maka jangan sampai kita rusak sendiri kebiasaan baik yang telah kita rintis di buan ramadhan, jadikan kebaikan sebagai karakter yang melekat hingga tak mudah berubah kepada keburukan, wallahul muwaffiq.

(Abu Umar Abdillah)

Mencicipi Masakan Bagi Orang yang Berpuasa

Pada bulan-bulan selain ramadhan, sangat lumrah kita dapati ibu-ibu mencicipi dahulu masakannya sebelum dihidangkan ke suami. Biar ketahuan bumbunya sudah pas atau belum. Jangan sampai kurang garam atau terlalu masam, bisa-bisa kena semprot suami tercinta.

Tapi, bagaimana kalau saat puasa, Padahal sebelum masuk waktu berbuka belum boleh makan dan minum?

Syaikh Ibnu Jibrin dalam Fatawa ash-Shiyam berkata,

“Tidak apa-apa mencicipi masakan jika diperlukan yaitu dengan cara menempelkannya pada ujung lidah untuk mengetahui rasa manis, asin atau yang lainnya. Namun tidak ditelan dan diludahkan atau dikeluarkan lagi dari mulut. Hal ini tidak merusak puasa. Wallahu a’lam.”

Jadi buat ibu-ibu tidak perlu risau, boleh mencicipi masakannya asalkan hanya di ujung lidah dan tidak sampai ditelan.

(Majalah ar-risalah edisi 40/ tahun 2004)

Puasa Iya, tapi ndak Shalat

Ada satu fenomena yang seolah sudah lumrah terjadi di masyarakat muslim, terkhususnya di negeri kita indonesia. fenomena yang tidak didasari dengan ilmu, tapi dengan ikut-ikutan. Yaitu meramaikan bulan Ramadhan dengan menjalankan puasanya, tapi tidak mengerjakan shalat lima waktu. Sangat jarang pergi ke masjid tapi dia berpuasa di bulan Ramadhan.

Apakah hal yang demikian lumrah dalam agama? Tentu saja tidak.

Agama Islam terdiri dari lima rukun atau pondasi, yaitu; Syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji (bila mampu). Seseorang dikatakan Islam atau muslim bila melengkapi kelima hal tersebut. Dengan begitu, shalat itu wajib dan puasa juga wajib. Dalilnya sudah jelas dan sering kita dengarkan. Bila salah satu dari lima hal tersebut alpa, tentunya predikat muslim juga akan ikut alpa.

BACA JUGA: MENCICIPI MAKANAN BAGI ORANG YANG BERPUASA

Adapun orang yang berpuasa tapi meninggalkan shalat lima waktu dan dia mengingkari kewajibannya, para ulama sepakat bahwasanya orang tersebut dihukumi kafir dan keluar dari Islam. Dengan demikian, meskipun dia berpuasa, puasanya tidak diterima oleh Allah.

Sedangkan orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehan, tapi masih mengakui kewajibannya, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengkafirkan dan adapula yang tidak.

Dari kedua pendapat di atas, pendapat yang mengatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena malas lebih betul, berdasarkan sabda Nabi,

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka dia terbebas dari jaminan Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad).

Dalam hadits lain beliau bersabda, “Batasan antara seorang hamba dengan kekafiran adalah ketika dia meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, rasanya percuma bila ada orang yang puasa tapi tidak menjalankan shalat. Karena Islamnya tidak sempurna. Lebih-lebih dia bukan termasuk orang muslim sebagaimana sabda Nabi diatas. Mungkin sebabnya mereka hanya ikut-ikutan tren, yang lain puasa, dia ikutan puasa, agar nanti saat manusia merayakan lebaran, ia juga bisa ikut-ikutan. Wallahu a’lam

(Majalah ar-risalah edisi: 110/rubrik as’ilah)

 

Khutbah Rasulullah menjelang Ramadhan

Salman al-Farisi, salah seorang sahabat Nabi Muhammad menuturkan kepada kita, bahwa pada hari-hari terkahir bulan sya’ban, Rasulullah berkhutbah, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah dekat kepadamu sekalian bulan yang agung, bulan yang penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Inilah Ramadhan, bulan yang Allah tetapkan shaum di siang harinya sebagai kewajiban, dan shalat tarawih di malam harinya sebagai sunnah.

Barangsiapa yang ingin mendekatkan diri kepada Allah di bulan ini dengan suatu amalan sunnah, maka pahalanya seolah-olah ia melakukan amalan wajib pada bulan lain.

Dan barangsiapa melakukan amalan wajib pada bulan ini, maka ia akan dibalas dengan pahala seolah-olah telah melakukan tujuh puluh amalan wajib pada bulan lain. Inilah bulan kesabaran dan ganjaran bagi kesabaran yang sejati yaitu jannah. Bulan ini juga merupakan bulan simpati terhadap sesama. Pada bulan ini rezeki orang-orang beriman ditambah.

Barangsiapa memberi makan (untuk berbuka puasa) kepada orang yang sedang berpuasa, maka kepadanya dibalas dengan ampunan terhadap dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka jahannam dan ia memperoleh ganjaran yang sama sebagaimana orang yang berpuasa tanpa sedikitpun megurangi pahala shaum dari orang itu.

Sesaat kalimat dari Rasulullah ini terhenti, maka salah seorang sahabat meyela, “Wahai Rasulullah, tidak semua diantara kami mempunyai sesuatu yang dapat diberikan kepada orang yang shaum untuk berbuka.” Rasulullah kemudian menjawab, “Allah akan mengaruniakan balasan ini kepada siapa saja yang memberi buka walaupun hanya dengan sebiji kurma atau seteguk air dan susu.”

Barangsiapa yang meringankan beban hamba sahayanya pada bulan ini, maka Allah akan mengampuninya dan akan membebaskannya dari api neraka.

Perbanyaklah di bulan ini empat perkara; dua perkara dapat mendatangkan keridhaan Rabbmu, dan dua perkara lagi kamu pasti memerlukannya. Dua perkara yang pertama adalah hendaknya kalian membaca kalimat thayyibah (Laa ilaaha illallah) dan istighfar sebanyak-banyaknya;  dan dua perkara berikutnya adalah hendaknya kalian memohon kepada-Nya agar masuk jannah dan berlindung kepada-Nya dari api neraka.

“Dan barangsiapa memberi minum kepada orang yang shaum (untuk berbuka), maka Allah akan memberinya minum dari telaga-Nya (Haudh) yang sekali minum saja, ia tidak akan merasakan dahaga lagi sampai ia memasuki jannah.”

Allahumma Baalighna Ramadhana. Aamiin

Hukum Membatalkan Puasa Saat Melakukan Puasa Qadha Yang Wajib

Jika seseorang telah memulai puasa wajib seperti puasa qadha Ramadan dan kafarat sumpah, dan kafarat fidyah memotong rambut dalam ibadah haji jika seorang yang berihram menggundul kepalanya sebelum tahalul, atau puasa serupa yang wajib. Maka tidak dibolehkan dalam puasa seperti itu membatalkannya tanpa uzur syar’i. Demikian pula, siapa yang telah memulai melakukan amal yang wajib, maka dia harus menyempurnakannya, tidak boleh dia batalkan kecuali ada uzur syar’i yang membolehkannya untuk membatalkan. (Fatwa Syaikh Utsaimin)

BACA JUGA : Apakah Puasa Sunnah Yang Tertinggal diqadha

Bila telah diqadha, maka setelah itu tidak ada kewajiban apa-apa lagi baginya. Karena qadha maksudnya mengganti satu hari dengan hari lain. Akan tetapi hendaknya dia bertaubat dan beristighfar kepada Allah Azza wa Jalla, karena dia telah membatalkan puasanya yang wajib tanpa uzur.” (syaikh Shalih Munajjid)