Menuai Berkah Dengan Shalat Sunah Di Rumah

”Kok si fulan gak pernah shalat sunah ya, hampir setiap kali selesai shalat wajib dan berdzikir ia langsung pulang ke rumahnya.”

Demikian gumam hati saya setiap kali memperhatikan si fulan tersebut. Ada rasa su’uzhan berkecamuk di dalam dada, karena bagaimanapun ia adalah salah seorang ustadz lulusan timur tengah yang sudah tentu faham tentang keutamaan shalat sunah rawatib. Namun rasa su’udhan tersebut tiba-tiba hilang ketika suatu saat saya berkunjung ke rumahnya persis setelah selesai mengerjakan shalat wajib dan berdzikir. Ketika saya mengetuk pintu, yang nongol justru anaknya yang menyuruh untuk menunggu sebentar, katanya sang abi sedang mengerjakan shalat sunah. Ternyata beliau mempunyai kebiasaan mengerjakan shalat sunah di rumah.

 

Meneladani Kebiasaan Salaf

Shalat sunah disebut juga shalat nawafil atau tatawwu’. Yang dimaksud dengan nawafil ialah semua perbuatan yang tidak termasuk dalam fardhu. Disebut nawafil karena amalan-amalan tersebut menjadi tambahan atas amalan-amalan fardhu dan juga sebagai penyempurna dari yang kurang.

Menilik dari apa yang dilakukan sang ustadz diatas sebenarnya bukan suatu hal yang aneh, karena sejatinya demikianlah Rasulullah ﷺ dan para salaf shaleh melaksanakan shalat tersebut. Mereka membiasakan diri untuk mengerjakannya di rumah, tidak sebagaimana yang dilakukan kebanyakan muslimin hari ini yang mengerjakannya di masjid.

Baca Juga: Memuliakan Marbut Masjid

Shalat sunnah sebenarnya boleh dilakukan di mana saja, di masjid, rumah, atau segala tempat yang suci seperti tanah lapang dan lainnya. Tetapi shalat sunnah di rumah itu lebih utama, kecuali untuk shalat sunnah yang disyariatkan berjamaah seperti shalat tarawih, atau yang tidak bisa dikerjakan di rumah seperti shalat tahiyatul masjid maka dilakukan di masjid lebih utama.

Rasulullah ﷺ bersabda:

 

فَصَلُّوْا أَيُّهَا النَّاسُ فِيْ بُيُوْتِكُمْ، فَإِنََّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ

“Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah kalian karena shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata, ”Rasulullah ﷺ mengerjakan shalat-shalat sunah di rumah. Demikian pula shalat sunah yang tidak berkaitan dengan tempat tertentu, beliau lebih suka mengerjakannya di rumah. Terutama shalat sunah ba’diyah maghrib, tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pernah mengerjakannya di masjid.”

Salah satu keutamaan ulama’-ulama’ shaleh pada zaman dahulu adalah mereka berusaha menyembunyikan amal-amal saleh yang mereka kerjakan. Jika mereka mampu menyembunyikan semuanya, mereka pasti akan melakukannya. Imam Sufyan Ats Tsaury pernah mengatakan bahwa dirinya tidak menganggap amal yang terlihat oleh manusia sebagai amal shalehnya. Rabi’ bin Khutsaim tidak suka memperlihatkan amal ibadahnya. Ia bahkan berupaya menyembunyikan ibadahnya. Rabi’ tidak melakukan shalat sunnah di masjid jami’. Hanya satu kali orang-orang melihatnya mengerjakan shalat sunnah di masjid.

 

Turun Rahmah Menuai Barakah

Shalat sunah yang dikerjakan di rumah selain untuk meneladani sunnah Rasulullah juga akan menghindari dari riya’ dan ujub (membanggakan diri). Begitu pula lebih mudah untuk khusyu’ dan ikhlas lantaran suasana yang sepi, tidak banyak orang. Juga bisa menjadi penyebab rahmah Allah turun ke dalam rumah bersamaan dengan turunnya malaikat karena bacaan dzikir dan Al Qur’an yang dilantunkan ketika shalat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

”Tiada satu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat akan mengelilinginya, dan rahmat Allah akan tercurah kepadanya, dan sakinah (kedamaian) akan turun di atasnya, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dengan mengerjakan shalat sunah di rumah berarti tidak menjadikannya seperti kuburan. Rasulullah saw bersbda:

اجْعَلُوا فِى بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاتِكُمْ، وَلا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

”Kerjakanlah sebagian dari shalat (shalat sunah) kalian di rumah, dan janganlah kalian jadikan seperti kuburan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah ﷺ memang melarang shalat dan membaca Al Quran di kuburan. Mafhumnya, jika rumah tidak digunakan untuk berdzikir, membaca Al Qur’an dan shalat sunah di dalamnya berarti ia telah menjadikannya kuburan.

Shalat sunah juga bisa mendatangkan keberkahan, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Apabila salah seorang di antara kalian usai melaksanakan  shalat di masjid, hendaklah dia menyisakan waktu untuk shalat di rumahnya karena Allah menjadikan kebaikan pada shalatnya di rumah tersebut.” (HR. Muslim).

Sangat tepat apa yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi: “Shalat sunnah dianjurkan di rumah karena akan lebih terhindar dari sikap riya’ serta lebih menjaga dari hal-hal yang membatalkan ibadah. Juga  agar barakah meliputi rumah tersebut, rahmat dan para malaikat akan turun, serta dijauhi oleh setan.”

Ternyata, shalat sunah di rumah mendatangkan banyak fadhilah. Selayaknya kita meneladani sunah yang mulia ini.

 

Oleh: Redaksi/Ibadah/Fadhilah Amal

Hukum Shalat Di Atas Sajadah Bergambar Ka’bah dan Gambar Lainnya

Pertanyaan:

Apakah menginjak Ka’bah dan tempat-tempat suci yang ada dalam sajadah shalat itu haram? Ada propoganda yang mengajak embargo tidak membeli sajadah shalat yang ada gembar tempat-tempat suci agar tidak menginjaknya dengan kaki. Apa pendapat syar’i dalam masalah ini? Terimakasih

 

Jawaban:

Alhamdulillah

Menggambar yang tidak ada ruh baik benda mati atau tumbuhan serta semisalnya tidak mengapa. Termasuk dalam hal ini Ka’bah dan tempat-tempat suci selama tidak ada gambar orangnya. Akan tetapi hendaknya jamaah shalat tidak shalat di hadapan gambar atau di sajadah yang ada gambarnya agar tidak mengganggunya.

Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Aisyah sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam mempunyai kelambu yang ada gambarnya, maka beliau melihat sepintas gambar tersebut, lalu ketika selesai beliau mengatakan,

 

اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي

“Pergilah kalian dengan kain ini ke Abu Jahm dan datangkan kain kasar Abu Jahm. Karena ia barusan melenakan dalam shalatku. Hisyam bin Urwah mengatakan dari ayahnya dari Aisyah, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Saya barusan melihat gambarnya, sementara saya dalam shalat, saya khawatir menggangguku.”

Kata ‘Khomishoh’ adalah baju bergaris dari sutera atau wol

Kata ‘Al-A’lam’ adalah ukiran dan hiasan

Kata ‘Anbajaniyah adalah kain tebal tidak ada gambar dan ukiran.

Dimakruhkan shalat di atas sajadah yang bergambar dan ada ada hiasannya karena dapat mengganggu dan melalaikan jamaah shalat. Bukan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan yaitu karena ada penghinaan tempat suci dengan menginjaknya. Yang nampak hal itu tidak ada penghinaan dalam hal ini. Bahkan sajadah-sajadah ini sangat dijaga oleh pemiliknya dan biasanya menjadikan ruang kosong untuk tempat pijakan kaki.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang sajadah yang ada gambar masjid apakah shalat di atasnya?

Maka beliau menjawab, “Pendapat kami, hendaknya tidak menaruh sajadah untuk Imam yang ada gambar masjidnya. Karena terdakang mengganggu dan memalingkan pandangannya dan ini mengurangi kekhusyukan shalat. Oleh karena itu ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam shalat dengan kain yang ada gambarnya, beliau melihat selintas gambarnya. Ketika selesai beliau mengatakan, “Pergi dengan kain bergambar ini ke Abu Jahm. Dan datangkan kepadaku dengan kain kasar yang  tidak bergambar karena ia berusan melalaikan shalatku.” Muttafaq ‘alaihi dari hadits Aisyah radhiallahu anha.

Kalau seorang Imam shalat di atas sajadah bergambar sedangkan ia tidak tergangu dengan hal itu, karena buta atau karena hal ini seringkali dilewati sehingga tidak ada perhatian dan tidak mengalihkan pandangannya, maka kami berpendapat tidak mengapa shalat di atasnya. Wallahu muwafiq. Selesai dari ‘Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, (12/362).

 

Oleh: Ust. Taufik al-Hakim/Fatwa

 

Baca Fatwa Lainnya Tentang:

Hukum Menjadikan Bekam Sebagai Pekerjaan Tetap, Hukum Mengucapkan “al-marhum” Bagi Orang Meninggal, Gaya Rambut Terlarang

Suami Saya Enggan Shalat, Bagaimana Hukum Pernikahan Kami?

PERTANYAAN:  

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Maaf Ustadz, saya mohon pertimbangannya. Suami saya jika disuruh shalat wajib susah. Dia hanya menjawab, kalau kamu ikut campur urusanku mending bercerai saja. Saya bingung karena sudah punya dua orang putri. Putri yang kecil sangat dekat dengan ayahnya. Saya baca di ar-Risalah edisi pernikahan impian. Saya jadi merasa berkecil hati. Yang saya tanyakan, bagaimana hukum pernikahan kami? Waktu Ramadhan ia berpuasa dan shalat Jum’at, sedang yang lain tidak. Sekian jazakumullah khairan katsiran.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Ummu Abdillah, di bumi Allah

 

JAWABAN:

Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Ukhti fillah yang sedang bingung, saya bisa memahami kegelisahan anda dengan kondisi suami yang seperti itu. Mestinya sebagai imam keluarga, dialah yang menyuruh isteri dan anak-anaknya untuk mendirikan shalat, bukan sebaliknya. Kondisi seperti ini jelas tidak nyaman. Semoga anda segera memperoleh jalan keluar yang terbaik, insyaallah.

Menurut saya, masalah suami anda adalah masalah yang serius. Shahabat Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa barangsiapa yang meremehkan shalat, maka dalam urusan selainnya dia akan lebih meremehkan lagi. Penjelasannya, kalau tentang hak Allah saja seseorang berani meremehkan, apalagi hak selain-Nya?

Carilah waktu untuk berbicara dari hati ke hati agar dia mengerti apa yang anda maui. Ingatkan juga tentang tujuan pernikahan kalian, dan tanggung jawab yang akan dipikulnya di akhirat kelak, jika dia meremehkan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Katakan juga bahwa hal ini bukan urusannya saja, namun urusan seluruh anggota keluarga.

Ajaklah dia untuk hadir di majelis pengajian, agar pemahamannya tentang agama semakin bertambah baik. Temanilah dia dalam proses mencari nikmatnya ibadah, agar dia tidak menganggap shalat dan ibadah yang lain hanya merepotkan dan melelahkan. Jangan lupa untuk selalu berdoa agar Allah membukakan pintu hatinya untuk kebenaran. Yakinlah, doa adalah kekuatan utama ketika semua rumusan akal telah menemui jalan buntu.

Ukhti fillah, seandainya semua cara sudah ditempuh dan dia tetap kukuh untuk tidak mengerjakan shalat, bersiap-siaplah untuk mengajukan khulu’, yaitu pengajuan perceraian dari pihak isteri. Pedih memang. Namun ini adalah jalan terakhir, sebab tidak ada yang bisa diharapkan dari laki-laki seperti ini. Sebelum kesedihan anda akan bertambah-tambah.

Yakinlah Allah akan memberikan petunjuk terbaiknya jika anda melakukan semuanya karena Allah, bukan karena hawa nafsu saja. Karena itu, serahkan semuanya kepada-Nya saja. Wallahu a’lam,

Demikian, semoga bermanfaat!

 

Dijawab oleh: Ust. Tri Asmoro K

 

Baca Konsultasi Lainnya: 

Saya Rajin Ibadah, tapi Mengapa Jodoh tak Kunjung Datang?

Selalu Kena Marah Ibu Mertua, Bagaimana Solusinya?

Suami Punya Hutang, Apakah Istri Harus Melunasinya?

 

Ukuran Mengangkat Tangan Saat Takbir dalam Shalat

Pertanyaan:

Assalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh Ustadz, saya anak SMA yang ingin tahu lebih tentang shalat, Takbir yang benar itu tangan diangkat sampai mana? Karena saya sering lihat banyak orang yang berbeda-beda cara takbirnya?

Demikian pertanyaan dari saya, apabila kata yang tidak berkenan saya mohon maaf sebesarnya. Atas perhatian ustadz saya ucapkan terima kasih. Wassalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Hamba Allah, Semarang

 

Jawaban:

Mengenai posisi tangan ketika takbir dalam shalat, ada perbedaan pendapat diantara para ulama. Mereka berbeda pendapat karena adanya hadits yang berbeda dalam menerangkan masalah ini. Diriwayatkan Salim dari ayahnya, Abdullah bin Umar, ia berkata,

 

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ مَنْكِبَيْهِ

Aku telah melihat Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bila memulai shalat dengan iftitah beliau mengangkat tangannya hingga berada di hadapan dua pundaknya.” (HR. Muslim)

Dan dalam riwayat Wa’il bin Hijr,

 

فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ

Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan menghadap kiblat, lalu takbir dan mengangkat kedua tangannya hingga berada di hadapan kedua telinganya.” (HR. Abu Daud)

Menyikapi kedua hadits yang zhahirnya berbeda ini, Imam An-Nawawi berkata, “Dalam madzhab kami dan kebanyakan madzhab lain, teknisnya yaitu mengangkat tangan di depan pundak, yaitu posisi ujung jari di depan telinga bagian atas, dan ibu jari berada di bawah telinga, di atas dua pundak. Ini yang disebut dengan posisi depan dua pundak. Dalam hal ini Imam Asy-Syafi’i telah mengkompromikan kedua hadits tersebut.”

Ada juga pendapat yang membenarkan keduanya, sebagaimana menurut sebagian ahli hadits, “Orang yang shalat dibolehkan memilih, boleh mengangkatnya hingga pundaknya, boleh juga mengangkat hingga kedua telinganya.” Menurut Ibnu Mundzir seperti ini adalah pendapat yang terbaik.

Dan ada juga yang lebih menguatkan riwayat dari Abdullah bin Umar. Ibnu Abdul Bar berkata, “Hadits Ibnu Umar lebih kuat dalam masalah ini, sebagaimana pendapat kebanyakan ulama tabi’in, Ahli fiqih dan Ahli hadits.” WaAllahu A’lam Bissawaab

(Lihat: Syarhu Al-Bukhari Ibnu Baththal: 3/436, Aunul Ma’bud: 2/257, Shahih fiqh sunnah: 1/343)

 

Oleh: Redaksi/Konsultasi

 

Baca Juga: 

Tak Shalat Berjamaah Karena Sibuk Bekerja

Yang Dilakukan Makmum Masbuk Saat Shaf Sudah Penuh

Hukum Menjalin Jari-jemari Saat Shalat

Yang Dilakukan Makmum Masbuk Saat Shaf Sudah Penuh

Pertanyaan:

Assalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh, Ustadz, saya mau tanya :

  1. Apa yang harus dilakukan makmum masbuk ketika shaf shalat sudah penuh. Apakah boleh menarik mundur makmum lain agar berdiri bersamanya, atau berdiri sendirian di belakang shaf shalat?
  2. Lalu apakah sah shalatnya orang sendirian di belakang shaf, karena pernah ada yang bilang bahwa Rasulullah memerintahkan untuk mengulanginya?

Abdullah, Masaran Sragen

 

Jawaban:

Ketika seorang makmum masbuk datang, dan melihat shaf sudah penuh, hendaknya mencari celah shaf dengan menembus shaf bila memungkinkan. Bila dia tidak mendapatkan celah atau kelonggaran shaf, dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama, dia tetap berdiri sendiri dan tidak menarik salah satu dari jama’ah shalat, sehingga tidak menghalangi dari keutamaan shaf yang terdahulu, ini pendapat al-Qadhi Abu Thayib. 

kedua, disunahkan baginya menarik salah satu jama’ah shalat dari shaf, dan bagi yang ditarik disunahkan menolongnya, sehingga ia terbebas dari pendapat ulama, bahwa shalat sendirian di belakang shaf tidak sah, ini adalah pendapat kebanyak dari ulama Syafi’iyyah juga Abu Hamid.

Adapun pertanyaan kedua, kebanyakan ulama tetap menghukumi shalatnya sah dan diterima, walaupun menurut Ahmad dan Abu Tsur shalatnya rusak. Perselisihan mereka disebabkan oleh perselisihan atas keshahihan hadits Wabisah bin Ma’bad:

 

عَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ أَنَّ رَجُلاً صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الصَّلاَةَ

Dari Wabisah bin Ma’bad, ia berkata, “Ada seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar ia mengulangi shalatnya.” (HR. Tirmidzi)

Imam Syafi’i berpendapat, bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits Anas yang menjelaskan, pernah ada seorang yang tua sendirian di belakang shaf. Menurut Ahmad, hadits ini tidak bisa dijadikan alasan, karena termasuk dari sunah wanita, adalah berdiri shalat di belakang imam, walaupun dia sendirian.

Dan kebanyakan ulama, berdasarkan dengan hadits Abu Bakrah, bahwa Abu Bakrah pernah berdiri dan ruku’ di belakang shaf, tapi Rasulullah SAW tidak memerintahkan mengulangi shalatnya.

Lalu Ibnu Taimiyah menengahi dalam hal ini, “Bahwa shalat makmum sendirian di belakang shaf karena tidak mendapatkan kelonggaran hukumnya makruh dan tidak sesuai dengan sunnah. Tapi shalatnya tetap sah, karena semua kewajiban shalat bisa gugur karena ketidakmampuan. (Fatawa Kubra:2 /327, Bidayatul Mujtahid:1/108, Al-Majmu:4/255)

 

Oleh: Redaksi/Konsultasi

 

Baca Juga: 

Tak Shalat Berjamaah Karena Sibuk Bekerja

Kapan Diwajibkan Bermadzhab?

Hukum Menjalin Jemari Saat Menunggu Shalat

Tak Shalat Berjamaah Karena Sibuk Bekerja

Pertanyaan:

Bapakku seorang kuli bangunan. Terkadang ia tidak pergi ke masjid untuk shalat berjamaah karena pekerjaannya. Apakah hal tersebut dibolehkan?

 

 

Jawaban

Seorang muslim hendaknya menjaga shalat berjamaah di masjid dalam semua waktunya. Jangan sampai kesibukan dunia menghalangi dirinya dari shalat berjamaah.

Allah berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ 

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Cobalah memberi nasihat kepada Ayah Anda dengan cara yang bijak dan mengingatkannya dengan dalil-dalil yang sahih.

Seorang muslim tidak boleh bersusah payah bekerja untuk dunia namun mengorbankan ibadah dan shalatnya. Salah satu ciri orang beriman telah disebutkan oleh Allah yaitu tidak terbuai oleh perdagangan mereka dan jual beli mereka sehingga lupa berzikir kepada Allah dan menegakkan shalat. Sebagaimana firman-Nya,

 

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآَصَالِ . رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأَبْصَارُ . لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ  

“(Mereka) bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.  (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. an-Nur: 36-38)

Dan kumpulan ayat-ayat tersebut ditutup dengan firman Allah Ta’ala,

 

وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

Hal ini sebagai isyarat bahwa hendaknya bagi orang yang sibuk berdagang dan bekerja dengan mengabaikan ketaatan kepada Rabbnya menyadari bahwa rezeki itu ada di tangan Allah, Dia yang memberi rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas.

Kita memang dianjurkan untuk menjemput rezeki dengan bekerja, akan tetapi seorang muslim tak boleh berlebihan dalam bekerja sehingga menghabiskan seluruh waktunya dengan mengorbankan ketaatan, kesehatan, dan pendidikan anak-anaknya. Hendaknya dia bersungguh-sungguh dan selalu mendekat kepada Allah.

Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua dan memberikan rezeki yang baik dan barokah. Wallahua’lam.

 

Oleh: Redaksi/Konsultasi

 

Baca Konsultasi Yang Ini Juga: 

 

Tanda Haji Kita Diterima

Haji, adalah panggilan Allah bagi hamba-Nya yang beriman lagi mampu, setidaknya sekali seumur hidup. Tentu bagi yang diberi rejeki berkesempatan haji, ini merupakan momen yang super istimewa dalam hidupnya. Bagaimana tidak, ia datangi undangan Allah di tempat dan waktu yang disepakati. Selama prosesi itu hati, lisan dan anggota badan senantiasa fokus dan menikmati ‘hidangan’ sebagai tamu Allah. Hidangan yang pastinya menyehatkan hati dan memperbaiki perilaku bagi yang menikmati. Yang diharapkan, saat ia kembali ke tanah air menjadi pribadi yang sehat jiwanya, lebih matang kepribadian baiknya dan lebih rajin ibadahnya. Dan dalam waktu yang bersamaan, ia makin jauh dari dosa dan kemaksiatan.

Baca Juga: Memakai Obat Penunda Haid Saat Haji dan Umrah 

Imam Hasan al-Bashri menjelaskan indikasi keberhasilan haji seseorang, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.” Beliau juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.” Senada dengan beliau, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti kegiatan-kegiatan yang melalaikan menjadi majlis dzikir dan kesadaran.”

Tapi bagi yang tidak berhaji tahun ini, jangan sampai lupa bahwa hakikatnya ia juga mendapat undangan dari Allah, bahkan lima kali dalam sehari. Agar ia datang di tempat dan waktu yang telah ditetapkan. Bagaimana kita mimpi mendatangi undangan Allah ke tempat yang jauh, biaya yang besar, antri yang lama sementara kita abaikan panggilan ke tempat yang dekat, murah dan mudah.

Dituntut pula kita fokus dan khusyuk saat menjadi tamu Allah di lima waktu. Pun juga diharapkan sepulang dari ‘bertamu’ kita kepada Allah akan tampak bekas yang dibawa. Dan bekas yang paling tampak dari shalat adalah hendaknya ia meninggalkan dosa dan maksiat. Sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. al-Ankabut: 45)

Maka jika kita dapati diri begitu mudah terjerumus ke dalam maksiat, kurang peka terhadap dosa dan berkali-kali melanggar syariat-Nya, kita periksa kembali shalat kita, karena pasti ada yang tidak beres padanya.

Baca Juga: Haji dan Jihad Syariat Sampai Hari Kiamat

Sebagaimana pengharapan utama setelah mendatangi undangan Allah yang seumur hidup sekali, dan yang lima kali sehari adalah terhapusnya dosa dan maksiat, maka itu pula yang kita harapkan saat kita dipanggil untuk terakhir kali. Yakni ketika Allah memanggil kita di sisi-Nya, takkan kembali lagi ke dunia, semoga dalam keadaan baik dan bersih dari noda dan dosa. Agar masuk dalam bilangan orang yang difirmankan Allah, “(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salamun ‘alaikum (keselamatan sejahtera bagimu)”, masuklah ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. An Nahl: 32)

Aamiin. 

Oleh: Abu Umar Abdillah 

 

Tema Lainnya: Haji, Shalat, Ibadah

 

Menjalin Jari-Jemari Saat Menunggu Shalat

Pertanyaan:

Apakah benar menjalin jari jemari ketika menunggu shalat didirikan dilarang dan adakah larangan mengikat rambut ketika shalat?

Jawaban:

Bismillah, walhamdulillah wa’ala aalihi wa shahbihi waman tabi’a hudah, wa ba’du

Ada perkara perkara yang sepertinya wajar untuk dilakukan oleh seorang muslim namun ternyata dilarang dalam syariat Islam. Contohnya adalah yang ditanyakan oleh penanya. Bila telah sampai kepada kita kabar yang shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam maka sikap seorang muslim adalah sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami patuh, meski kita tidak mengetahui hikmah dari perintah atau larangan tersebut.

 

Baca Juga: Shalat Tanpa Wudhu Karena Lupa

 

‘At-tasybik’ atau menjalin jari jemari ketika mengunggu shalat dan ketika seorang berjalan menuju masjid adalah terlarang. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا تَوَضَّأ اَحَدُكُمْ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى المسْجِدَ كَانَ فِي صَلاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ فَلا يَقُلْ هَكَذَا وَشَبَكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

“Apabila salah seorang diantara kalian wudhu di rumahnya kemudian ia pergi ke masjid, maka ia senantiasa dalam keadaan shalat hingga ia kembali pulang ke rumahnya. Oleh karena itu, janganlah ia melakukan seperti ini ! – Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperagakan dengan menjalinkan jari-jemarinya “tasybik” (HR. Ibnu Khuzaimh, Al Haakim, dan Ad Daarimi).

عَنْ إسْمَاعِيْلَ بْنِ أُمَيَّة، قَالَ: سَأَلْتُ نافِعاً عَنْ الرَجُلٍ يُصَلّي وَهُوَ مُشَبِّك يَدَيْهِ؟ قَالَ: قَالَ اِبْنُ عُمَرُ: تِلْكَ صَلاةُ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِم.

Dari Isma’il bin Umayyah, ia berkata: “Aku bertanya kepada Naafi’ tentang seorang laki-laki yang menjalin jari-jemarinya (tasybik) ketika shalat?, Maka ia berkata: Telah berkata Ibnu ‘Umar: “Itu adalah cara shalat orang-orang yang dimurkai oleh Allah” (HR. Abu Dawud)

 

Baca Juga: Shalat di Dalam Pesawat

 

Adapun larangan mengikat rambut bagi orang yang shalat adalah hadits yang diriwayatkan dari Kuraib maula ibnu Abbas :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ رَأَى عَبْدَ اللهِ بْنَ الْحَارِثِ، يُصَلِّي وَرَأْسُهُ مَعْقُوصٌ مِنْ وَرَائِهِ فَقَامَ فَجَعَلَ يَحُلُّهُ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: مَا لَكَ وَرَأْسِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا، مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوفٌ

Dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu’anhuma, bahwasanya ia melihat Abdullah bin al-Harits sedang shalat sementara rambutnya diikat ke belakang, maka Ibnu Abbas berdiri dan mengurai ikatannya. Selesai shalat ia mendatangi Ibnu Abbas dan bertanya, “ada apa dengan rambutku?” Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Perumpamaan orang yang seperti ini adalah seperti orang yang shalat dengan tangan terikat.” (HR. Muslim)

Meski terlarang, namun tidak membatalkan shalatnya, dan larangan ini tidak berlaku bagi wanita sebagimana dinukil oleh Imam syaukani dari imam al iraqi dalam kitabnya nailul authar. Wallahua’alam. (Taufik al-Hakim/Arrisalah/Konsultasi)

 

Tema Terkait: Shalat, Adab, Konsultasi

Hukum Ta’ziyah dan Mensholatkan Pelacur, Gay dan Lesbian

Para Pelacur, Gay dan Lesbian termasuk dalam katagori Fasik. Dan fasik secara bahasa berasal dari ‘fasaqa ‘ yang artinya keluar. Orang Arab menyebutkan : “ Fasaqa ar-Rutabu “ (Kurma basah yang terkelupas dari kulitnya ). Maka Orang Fasik adalah seorang muslim yang banyak meninggalkan ( keluar ) dari ajaran-ajaran Islam dengan melakukan dosa- dosa besar, seperti berzina, mencuri, membunuh orang tanpa hak, minum khamr dan perbuatan sejenis. Atau yang melakukan dosa-dosa kecil yang sangat banyak dan secara terus menerus. ( ar-Raghib al-Ashfahani(W.502 H), al-Mufradat fi Gharibi al-Qur’an, hlm.380 ) 

Salah satu ayat al-Qur’an yang menyebutkan lafadh fasik yang berarti “keluar” adalah firman Allah :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

 

“ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia keluar (durhaka )dari perintah Tuhannya.  Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang lalim.( Qs. al-Kahfi : 50)

 

Mayoritas ulama mengatakan bahwa ta’ziyah disunnahkan untuk orang yang meninggal dunia dalam keadaan fasik dan bermaksiat. Sebagian kecil dari ulama asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa ta’ziyah untuk orang fasik hukumnya makruh. ( Nihayatu al-Muhtaj : 3/13, Hasyiatu al-Qalyubi :1/432)

Adapun dalil disunnahkan ta’ziyah untuk mereka adalah sebagai berikut :

Pertama : Keumuman hadist-hadist yang menunjukkan anjuran dan keutamaan ta’ziyah  untuk kaum muslimin yang terkena musibah secara umum. Dan belum ada dalil yang membatasi ta’ziyah khusus orang-orang yang taat saja.

Kedua : orang yang fasik ahli maksiat termasuk dalam katagori muslim selama tidak melakukan hal-hal yang menyebabkannya keluar dari Islam. Diantara dalilnya adalah firman Allah :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“ Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.’ (Qs.al-Hujurat: 9)

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ( 7/374 ) :

 فسماهم مؤمنين مع الاقتتال. وبهذا استدل البخاري وغيره على أنه لا يخرج من الإيمان بالمعصية وإن عظمت، لا كما يقوله الخوارج ومن تابعهم من المعتزلة ونحوهم

“ Mereka masih disebut orang-orang beriman walaupun saling berperang. Dengan ayat ini, al-Bukhari dan lainnya berdalil bahwa seseorang tidak keluar dari keimanan dengan maksiat walaupun berupa dosa besar, tidak seperti yang dikatakan oleh al-Khawarij dan pengikutnya seperti al-Mu’tazilah dan sejenisnya. “

Begitu juga firman Allah :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

 

“  Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Qs. al-Baqarah : 178)

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang muslim yang dengan sengaja membunuh  orang muslim lainnya masih disebut saudara, yaitu saudara seiman. Ini menunjukkan bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan.

 

Berkata Syekh Abdul Aziz bin Baz di dalam Majmu’ Fatawanya : “ Tidak apa-apa, bahkan dianjurkan untuk berta’ziyah, walaupun yang mati adalah  pelaku maksiat seperti bunuh diri atau yang lainnya. Begitu juga dianjurkan berta’ziyah kepada keluarga yang salah satu anggotanya dihukum qishas karena membunuh orang lain, atau dirajam sampai mati karena berzina padahal dia sudah menikah, begitu juga peminum khamer yang mati karenanya. Maka tidak dilarang untuk berta’ziyah kepada keluarganya, dan tidak dilarang pula  mendo’akannya untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. “

 

Hukum Mensholatkan Orang Fasik

 

Boleh mensholatkan orang fasik atau ahli maksiat yang meninggal dunia, karena dia masih dianggap muslim. Diantara dalilnya adalah hadist Zaid bin Khalid al-Juhani  radhiyallahu ‘anhu :

 

 أَنَّ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تُوُفِّىَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ». فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ فَقَالَ « إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ». فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لاَ يُسَاوِى دِرْهَمَيْنِ.

                “ Bahwa seorang laki-laki dari sahabat nabi meninggal dunia dalam perang Khibar. Maka mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliaupun bersabda :“Sholatkanlah teman kalian.” Maka wajah para sahabat berubah(merasa aneh) dengan pernyataan tersebut. Maka beliaupun bersabda :“Sesungguhnya sahabat kalian telah melakukan kecurangan di jalan Allah.” Kemudian kami periksa barangnya, maka kami dapatkan dompet miliknya orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham.“(HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Berkata Syu’aib al-Arnauth : Ini hadist shahih )

Hadist di atas menunjukkan kebolehan mensholatkan orang yang berbuat curang (mengambil ghanimah sebelum dibagi) dalam perang. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memilih untuk tidak mensholatkannya sebagai bentuk teguran kepadanya dan kepada siapa saja yang berbuat seperti perbuatannya.

Ibnu Abdil Bar al-Maliki di dalam al-Istidzkar(5/85) berkata : “ Hadist di atas merupakan dalil bahwa imam dan para pemimpin agama tidak menshalatkan pelaku dosa. Akan tetapi tidak boleh juga melarang shalat jenazah terhadapnya. Bahkan dia harus menyuruh orang lain. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alihi wa sallam : ‘Shalatkanlah teman kalian.”

 

Ini dikuatkan dengan hadist Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu :

 أُتِيَ اَلنَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ, فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

 

“ Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah, maka beliau tidak mensholatkannya.” ( HR. Muslim )

Selain orang fasik dan ahli maksiat, beliau juga tidak mau mensholatkan orang yang mempunyai utang dan belum melunasinya sampai meninggal dunia, sebagaimana di dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ اَلْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ اَلدَّيْنُ, فَيَسْأَلُ: ” هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ? ” فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ, وَإِلَّا قَالَ: ” صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ” فَلَمَّا فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْفُتُوحَ قَالَ: ” أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ, فَمَنْ تُوُفِّيَ, وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ

“ Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam suatu ketika dihadirkan kepadanya seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan punya utang. Maka ditanyakan:“ Apakah meninggalkan sesuatu untuk membayar utangnya ?“ Jika dijawab bahwa ada yang ditinggalkan untuk membayarnya, maka beliau mensholatkannya, jika tidak, maka beliau bersabda:“ Sholatlah kalian untuk saudara kalian ini.“ Ketika terjadi pembukaan kota-kota, beliau bersabda : “ Saya lebih berhak ( untuk membantu ) kaum muslimin daripada mereka sendiri, maka barang siapa yang meninggal dunia dan mempunyai utang, maka saya yang bertanggung jawab untuk membayarnya.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Akan tetapi jika orang fasik atau pelaku tersebut sudah bertaubat dan dihukum oleh pemerintah Islam, maka beliaupun ikut mensholatkannya. Seperti dalam hadist  Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ جَاءَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْتَرَفَ بِالزِّنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ آحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا أَذْلَقَتْهُ الْحِجَارَةُ فَرَّ فَأُدْرِكَ فَرُجِمَ حَتَّى مَاتَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرًا وَصَلَّى عَلَيْهِ

“Bahwa seseorang yang berasal dari suku Aslam datang kepada nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengaku telah berbuat zina, nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak menanggapinya, sehingga dia bersaksi kepada dirinya empat kali, maka nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepadanya : “ Apakah anda sudah gila ?” Dia menjawab :“Tidak”, Nabi bertanya : “Apakah anda sudah menikah “? Dia menjawab :‘Ya‘, maka beliaupun memerintahkan agar orang tersebut dirajam di musholla (tempat lapang), ketika batu-batu menimpanya, diapun lari, dan berhasil ditangkap lagi dan dirajam sampai mati. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata tentangnya dengan sesuatu yang baik dan mensholatkan jenazahnya.“ ( HR. Bukhari, 6820)

Memang ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mensholatkannya, tetapi Imam Ahmad ketika ditanya masalah ini, beliau mengatakan :

 

لا يعلم أن النبي – صلى الله عليه وسلم – ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه.

“ Tidak diketahui bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mau mensholatkan jenazah sahabatnya kecuali orang yang mencuri harta rampasan perang dan yang melakukan bunuh diri. (al-Hasan ash-Shan’ani( 1276H), Fathu al-Ghaffar, 2/721)

 

Hal ini dikuatkan dengan hadist Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهِىَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَى فَقَالَتْ يَا نَبِىَّ اللَّهِ أَصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَىَّ فَدَعَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلِيَّهَا فَقَالَ « أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا وَضَعَتْ فَائْتِنِى بِهَا ». فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ تُصَلِّى عَلَيْهَا يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ فَقَالَ « لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

 “ Bahwa seorang wanita dari Juhainah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hamil karena zina. Wanita itu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, aku telah melanggar sesuatu yang menyebabkan hukuman rajam, maka tegakkanlah hukuman tersebut atas diriku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil wali wanita tersebut, lalu beliau berkatanya : “Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan, maka bawalah dia kepadaku.”Maka diapun melaksanakan perintah tersebut. Setelah itu beliau memerintahkan agar wanita diikat pakaiannya dengan erat dan dilaksanakan hukuman rajam. Kemudian beliaupun mensholatkannya. Saat itu Umar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau mensholatkannya wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang jika taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?”  (HR. Muslim)

Apakah Memulai Shaf Harus dari Tengah?

Ustadz, suatu ketika saya masbuq. Di shaf kedua hanya ada satu orang dan tidak berada di tengah shaf (belakang imam). Padahal yang saya tahu, memulai shaf harus dari tengah. Apa yang sebaiknya saya lakukan? Membuat shaf sendiri dari tengah (tepat di belakang imam), atau berdiri merapat ke orang tadi, meski dia berada di pinggir?

Jawab:
Hadits yang menjadi dalil bahwa memulai shaf harus dari tengah di antaranya:

وَسِّطُوا الإِمَامَ وَسُدُّوا الْخَلَلَ

“Jadikanlah Imam di tengah kalian dan tutuplah celah shaf.” (HR abu Daud).

Hadits ini dinilai dhaif karena ada dua perawi yang majhul. Abdul haq al Isybili juga menilai hadits ini lemah, sebagaimna dituturkan oleh Syaikh al Albani dalam Tamamul Minnah I/284.
Hadits kedua:

أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِى يَلِيهِ فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِى الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ

“Sempurnakanlah shaf yang paling depan lalu setelahnya. Jika ada yang kurang hendaknya shaf yang paling belakang.” (HR Abu Daud).

Syamsyul Haq alAzhim al Abadi menjelaskan bahwa jika dipadukan dengan hadits riwayat abu Daud di atas, shaf akhir yang kurang semestinya berdiri di belakang imam. (Aunul Ma’bud 2/260).
Jadi, memulai shaf memang hendaknya dari tengah. Adapun jika ada yang memulai shaf tidak dari tengah, maka hendaknya orang yang datang berikutnya tidak memisahkan diri dan tetap merapat ke dalam shaf yang sudah dibentuk.

DR Shalah Shawi menjelaskan bahwa jika shaf kedua telah dibentuk, yang datang belakangan harus merapat ke shaf yang ada. Bukan membentuk shaf lagi di belakang Imam hanya karena shaf yang ada tidak tepat di belakang imam. Demikian keterangan beliau dalam situs resminya. ( http://el-wasat.com/assawy/?p=2636).

Dalil merapatkan shaf telah jelas dan shahih. Inilah yang diutamakan. Hanya saja, beliau menambahkan, setelah shalat harus diberitahukan kepada orang yang memulai shaf tidak dari belakang imam mengenai sunahnya memulai shaf dari belakang imam. Wallahua’lam.

Waktu Mustajab di Hari Jum’at

Pertanyaan :

Apakah penghujung waktu Ashar pada hari Jum’at merupakan waktu mustajab? Dan apakah seorang Muslim diharuskan berada di masjid saat itu dan wanita diharuskan berada di rumah?

 

Jawab :

Pendapat yang paling kuat tentang waktu mustajab pada hari Jum’at ada dua:

Pertama; Waktu tersebut adalah setelah Ashar hingga terbenamnya matahari bagi orang yang duduk menunggu tibanya shalat maghrib, baik di masjid ataupun di rumah dengan berdoa kepada Allah, baik laki-laki maupun perempuan. Inilah saat yang paling dekat untuk diperkenankan. Tapi bagi laki-laki tidak boleh shalat Mahgrib atau shalat lainnya di rumah, kecuali karena udzur yang dibenarkan syari’at, sebagaimana yang telah diketahui dari dalil-dalil syari’at.

Dari Jabir bin Abdullah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda; “Hari jum’at itu dua belas -maksudnya jam- dan tidak di dapati seorang muslim pun yang meminta kepada Allah kecuali Allah ta’ala akan mengabulkannya, maka bersegeralah untuk mendapatkannya pada waktu-waktu akhir setelah Ashar.”(HR. Abu Daud, dishahihkan Al Albany)

 

Kedua; Waktu tersebut adalah dari saat duduknya imam/khatib di atas mimbar untuk menyampaikan khutbah Jum’at hingga selesainya pelaksanaan shalat Jum’at. Doa di dua waktu ini lebih dekat untuk dikabulkan.

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membicarakan perihal hari Jum’at. Beliau mengatakan: “Pada hari Jum’at itu ada satu waktu, tidaklah seorang hamba Muslim mengerjakan shalat lalu dia berdo’a tepat pada saat tersebut melainkan Allah akan mengabulkan do’anya tersebut.” Kemudian beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya saat tersebut”. (HR. Bukhari)

Kedua waktu tersebut merupakan waktu yang paling mustajab pada hari Jum’at, keduanya berdasarkan hadits-hadits shahih yang menunjukkannya. Selain itu, perlu kiranya mengusahakan saat mustajab tersebut pada waktu-waktu lainnya, karena karunia Allah itu sangat luas.

Adapun waktu-waktu mustajab dalam shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah adalah ketika sujud, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Keadaan seorang hamba yang paling dekat dari Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca al-Qur’an dalam keadaan rukuk atau sujud. Adapun rukuk maka agungkanlah Rabb azza wajalla, sedangkan sujud, maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa, sehingga layak dikabulkan untukmu.” (HR. Muslim)

(dari Fatawa Syaikh Ibnu Bazz) dinukil dari Fatwa-Fatwa Terkini jilid 1 hal 224-225, Darul Haq,dengan sedikit tambahan dalil).