Khutbah Jumat: Rugi Nian Ibadah Di Tepian

 

Khutbah Jumat:
Rugi Nian
Ibadah di Tepian

 

الْحَمْدُ للهِ الكَرِيمِ المَنَّانِ، صَاحِبِ الفَضلِ وَالجُودِ وَالإِحْسَانِ، يَمُنُّ وَلا يُمَنُّ عَلَيْهِ، سُبْحَانَهُ لا مَلْجَأَ مِنْهُ إِلاَّ إِلَيْهِ، أَحْمَدُهُ بِمَا هُوَ لَهُ أَهلٌ مِنَ الْحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، حَثَّ عِبَادَهُ عَلَى الإِخْلاصِ فِي العَطَاءِ، وَنَهَاهُمْ عَنِ المَنِّ وَالرِّيَاءِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، قَدَّرَ نِعَمَ اللهِ حَقَّ قَدْرِهَا، وَأَجْهَدَ نَفْسَهُ بِالقِيَامِ بِشُكْرِهَا، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَرَضِيَ اللهُ عَنِ التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ

أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ تَعاَلَى ، وَصِيَّةُ اللهِ لَكُمْ وَلِلأَوَّلِيْنَ. قَالَ تَعَالَى: ( وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ للَّهِ مَا فِى السَّمَاواتِ وَمَا فِى الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيّاً حَمِيداً) (النساء:131)

Jamaah Jumat rahimakumullah

Kita bersyukur kepada Allah atas limpahan karunia-Nya. Allah menempatkan kita di sebuah negeri yang dianugerahi banyak keistimewaan. Tanahnya mudah ditanami, banyak jenis pepohonan yang dapat tumbuh, hawa yang baik dan perairan yang luas. Sebuah nikmat yang luar biasa yang harus senantiasa kita syukuri. Syukur dalam arti mengguna kian nikmat itu untuk taat kepada-Nya, bukan hanya untuk memenuhi kesenangan nafsu pada kenikmatan dunia. Sebuah kenikmatan yang jika kita kufuri, akan berubah menjadi bencana yang membinasakan kita.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ keluarga dan juga orang-orang yang senantiasa teguh membela sunahnya hingga akhir zaman.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Telah jelas dalil-dalil syar’i tentang perintah masuk Islam secara kafah, tentang keharusan mengisi hidup hanya untuk ibadah, juga tentang larangan mencampuradukkan yang benar dengan yang bathil.

Tapi sayang, tidak semua orang yang mengaku dirinya beriman lantas menerima seluruh totalitas syariat secara integral. Bukan karena tidak mampu, tapi karena memiliki pilihan lain. Dia hanya mengambil sebagian, lalu membuang sebagian yang lain.

Allah berfirman,

 

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّـهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ ﴿١١﴾

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi, Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”(QS. al-Hajj: 11)

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Mujahid dan Qatadah berkata ketika menafsirkan firman Allah yang artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi..” “Maksud ‘ala harfin adalah di atas keraguan.” Ulama yang lain berkata, “berada di tepian, yakni masuk agama di tepian, jika sesuai dengan seleranya dia ikut, tapi jika tidak maka dia menghindar.”

Kedua makna tersebut saling menguatkan satu sama lain. Ketika seseorang ragu, maka ia tidak total dalam melangkah, iapun memilih berjalan di tepian. Ketika datang kepadanya suatu aturan syar’i, ia memilah dan memilih. Seakan pada syariat itu ada sisi kekurangan. Atau ada kesalahan yang tersisipkan.

Padahal Allah yang menciptakan manusia beserta alam semesta, Dia pula yang paling tahu, mana yang baik dilakukan manusia, mana pula yang berbahaya bagi mereka. Karena itu Allah memberikan rambu-rambu untuk manusia secara sempurna dengan syariat-Nya.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Adapun manusia, dengan kelemahan logika, hipotesa dan analisanya, kerap kali keliru. Menyangka sesuatu sebagai hal yang bermanfaat, padahal sejatinya adalah madharat. Atau menyangka seseuatu sebagai keburukan, ternyata selaksa manfaat terdapat di dalamnya,

Allah Berfriman,

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٢١٦﴾

 “…boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah 216)

Contoh sebentuk ibadah di tepian adalah orang yang tak mau meninggalkan adat syirik, atau tradisi yang mengandung dosa, demi menjaga kelestarian adat leluhurnya. Mereka itulah kaum yang disindir oleh Allah dalam firman-Nya,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّـهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ ﴿١٧٠﴾

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS al-Baqarah: 170)

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Dia menjalankan sebagian aturan syariat, tapi juga mengambil kebiasaan nenek moyang meskipun bertentangan dengan syariat, atau bahkan tradisi syirik yang menyebabkan hapusnya seluruh amalan.

Sebagian lagi beribadah dipinggiran karena orientasinya hanyalah dunia semata. Apa yang menurutnya menguntungkan dunia, dia akan memakainya, dan aturan syariat yang menurutnya merugikan dunianya, atau mengandung resiko, ia tidak mau memakainya.

Ketika dia merasa diuntungkan secara materi karena agama, dia mengatakan, “Islam memang bagus.” Tapi ketika yang dialami sebaliknya, dia berkata, “agama ini memang buruk.”

Keuntungan tersebut bisa berupa harta, jabatan atau sanjungan. Kerugian yang dimaksud juga hanya diukur dari situ. Contoh dari fenomena seperti ini banyak sekali. Seperti seseorang yang ingin mendapat pengakuan keshalihannya di lingkungan yang islami, atau situasi agamis. Tapi dia juga ingin unjuk gigi, menampakkan keberaniannya melanggar syariat di tengah situasi hura-hura atau hiburan yang mengedepankan hawa nafsu dan dosa.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Berbagai fenomena cara ibdah di tepian itu divonis Allah sebagai kerugian. Bahkan kerugian di dunia dan akhirat. Di dunia, orang yang tidak mantap dengan satu pilihan, akan didera kebimbangan. Dia akan bingung dalam menentukan pilihan yang saling berlawanan. Pilihan untuk menjalankan syariat, dan pilihan untuk memuaskan keinginannya, atau kemauan untuk mendapat ridha dari makhluk atau aneka berhala yang dipertuhankan. Keadaannya seperti yang digambarkan oleh Allah,

رَبَ اللَّـهُ مَثَلًا رَّجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا ۚ الْحَمْدُ لِلَّـهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٢٩﴾

“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya?” (QS az-Zumar: 29)

Kerugian lain, umumnya manusia tidak menyukai sikap ‘mendua’ seperti ini. Jarang sekali orang seperti itu memiliki sahabat atau teman yang bisa dipercaya. Orang yang baik-baik tak menyukai orang yang tidak konsisten dalam kebaikan. Begitupula, teman-temannya dalam dosa ingin pula mendapatkan loyalitas dia dalam kemungkaran. Maka orang yang beribadah di tepian justru tidak mendapatkan tempat di hati rata-rata manusia. Kerugian mana yang lebih berat dari hilangnya ketenangan hati dan keterasingan dari sesama manusia?

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Lebih mengenaskan lagi, kerugian itu tak akan terbayar di akhirat. Bahkan, kerugian yang lebih besar menunggunya. Neraka adalah tempat orang yang menduakan Allah dengan selain-Nya, tempat pengidola para pendosa, dan tempat orang-orang yang sengaja memilih maksiat sebagai jalannya. Sedangkan jannah diperuntukkan bagi orang yang tunduk dan taat terhadap syariat yang dibawa oleh Nabi ﷺ. Beliau bersabda, “Semua orang akan masuk jannah, kecuali yang enggan?” Para shahabat bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى

“Barangsiapa yang mentaatiku maka dia masuk jannahm dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka dia enggan (untuk masuk jannah.).” (HR Bukhari)

 

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

 

Khutbah Kedua

 

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، تَفَضَّلَ وَأَكْرَمَ، وَأَعْطَى وَأَنْعَمَ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، عَطَاؤُهُ مَمْدُودٌ، وَنِعَمُهُ عَلَى عِبَادِهِ بِلا حُدُودٍ، وَكُلُّ شَيْءٍ مِنْهُ وَإِلَيْهِ، لا مِنَّةَ لأَحَدٍ مِنْ خَلْقِهِ عَلَيْهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ البَشِيرُ النَّذِيرُ، أَعْطَاهُ رَبُّهُ مِنَ الخَيْرِ الكَثِيرَ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَأصَحْابِهِ أَجْمَعِينَ، وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى إِمَامِ الْمُرْسَلِيْن، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللهُ تَعَالَى بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَيْهِ فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ حَيْثُ قَالَ عَزَّ قَائِلاً عَلِيْمًا

(( إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا))

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ

رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ

رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ :(( إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ )).وَ أَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ لَذِكْرَ اللهِ أَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.

 

Pemahaman Ahlus Sunnah Tentang Ru’yatullah (Melihat Allah)

وَقُلْ يَتَجلَّى اللهُ للخَلْقِ جَهْرةً … كَمَا البدْرُ لا يَخْفى وَرَبُّكَ أَوْضَحُ

Allah menampakkan diriNya kepada hambanya (mukmin) dengan jelas

Sebagaimana bulan purnama yang tampak jelas tanpa ada kesamaran dan Rabmu lebih jelas.

 

Mungkinkah manusia melihat Allah (ru’yatullah)?, bait diatas menetapkan aqidah Ahlus sunnah wal Jama’ah dalam masalah ru’yatullah, serta menerangkan pendapat-pendapat menyimpang dalam pembahasan ini.

Kelompok sesat jahmiyah dan mu’tazilah berpendapat bahwa makhluk tidak dapat melihat Allah, mereka berkata, sesungguhnya Allah tidak bisa dilihat, karena sesuatu yang bisa dilihat adalah berjism (berjasad), sedangkan Allah tidak berjasad maka Ia tidak terlihat. Kelompok ini menolak ru’yatullah baik di dunia maupun di akhirat.

Sebagian sufi ada yang berpendapat bahwa Allah dapat dilihat baik di dunia maupun di akhirat. Ini juga pendapat yang batil.

Yang benar dalam masalah ini adalah bahwa Allah Ta’ala dapat dilihat di akhirat oleh para penghuni surga. Adapaun di dunia maka tidak ada makhluk yang dapat melihat-Nya. Seorang Nabi saja tidak bisa melihat Allah di dunia, apa lagi kita. yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam ketika meminta kepada Allah untuk dapat melihat-Nya,  Allah Ta’ala berfirman :

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Allah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Rabku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatKu”. tatkala Rabnya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: “Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (QS. Al A’raf : 143).

Adapun di akhirat maka Allah Ta’ala memberikan kekuatan kepada ahli surga untuk melihat-Nya. Mereka beriman ketika di dunia walaupun belum pernah melihatnya, maka Allah memuliakan mereka di surga dengan kenikmatan berupa kemampuan untuk melihat-Nya. Sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil, baik dari Al Qur’an maupun As-Sunnah As-Shahihah.

Sedangkan orang kafir, mereka yang tidak beriman kepada Allah ketika di dunia, maka Allah memberikan hijab kepada mereka ketika di akhirat, Allah Ta’ala berfirman:

“Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup/terhalang dari Rab mereka.” (QS. Al Muthaffifin: 15)

Ini berarti, orang kafir tidak bisa melihat Allah di akhirat karena Allah memberikan penutup atas mereka dan sebaliknya orang-orang mukmin bisa melihat Allah. Diantara dalil yang bisa dijadikan sandaran dalam ru’yatullah di akhirat adalah:

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahannya.” (QS. Yunus : 26)

Pahala terbaik adalah surga dan tambahannya adalah melihat wajah Allah, ini adalah penafsiran sahabat diantaranya adalah Abu Bakar, khudaifah bin Yaman, Ibnu Abbas dan yang lain Radhiallahu’anhum. (tafsir Ibnu katsir)

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ ﴿٢٢ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabnyalah mereka melihat.” (QS. Al Qiyamah : 22-23)

Jelas sekali ayat ini menerangkan bahwa orang mukmin di akhirat nanti akan melihat Allah dengan mata mereka. Adapun dalam ayat 103 surat al-An’am:

لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ ﴿١٠٣

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”

Kata Al-Idrak dalam surat al-An’am tidaklah sama artinya dengan kata an-Nadhar dalam surat al-Qiyamah. Lebih jelasnya perhatikan kalimat ini, anda bisa melihat matahari tapi tidak bisa meliputinya (tidak dapat mengetahui secara detail, berapa besarnya, kandungan senyawanya dll). Ini di antara makhluk, lalu bagaimama makhluk meliputi Al Khaliq? Jadi ahli surga dapat melihat Allah dengan mata mereka namun mereka tidak dapat meliputi Allah Subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةً يَعْنِي الْبَدْرَ فَقَالَ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ

Dari Jarir bin ‘Abdullah berkata, “Pada suatu malam kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu melihat ke arah bulan purnama. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya. (HR. Bukhari)

Hadits shahih ini memperkuat pendapat ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah ru’yatullah. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam hadits ini tidak menyamakan Allah dengan bulan purnama, tetapi menyamakan cara melihat bulan dan cara melihat Allah, dengan mata, tidak berdesak-desakan dan melihat dengan jelas tanpa ada sesuatu yang menghalangi. Wallahua’alam bis shawab.

 

Oleh: Ust. Taufik el-Hakim/Akidah 

Anak Indigo, Kelebihan atau Karena Gangguan?

Pada 28 Desember 2014, kita dikejutkan dengan jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 yang terbang dari Surabaya ke Singapura. Pesawat tersebut jatuh di perairan saat menuju ke Changi. Namun, ternyata jatuhnya pesawat ini telah diprediksi oleh anak indigo Naomi. Pada Oktober 2014, di salah satu acara televisi nasional, Naomi memprediksikan akan ada kecelakaan yang dialami pesawat. Seperti dikutip jadiberita.com, “Bakal ada kejadian lagi di transportasi udara”, kata Naomi pada presenter acara.

Di kasus yang lain, Sebut saja Riska, tatkala ia sedang mengadakan pesta kecil merayakan ulang tahun ke-36, suasana bahagia melingkupi rumah keluarga di kawasan Pondok Jaya Raya, Mampang, Jakarta Selatan. Namun suasana sedikit berubah ketika Tasya, putrinya yang berusia 2,5 tahun, berujar bahwa sang opa( kakek Tasya) ikut datang kedalam pesta. “ Padahal si kakek telah meninggal. Konon, anak itu memiliki karakter sebagai anak indigo.

 

Apa Itu Indigo

Dua kasus di atas sekedar gambaran kejadian yang melibatkan anak yang disebut-sebut sebagai anak indigo. Secara bahasa, indigo adalah sebutan untuk warna antara biru dan violet. Ada pula yang menyebutnya dengan warna nila. Lalu istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural. Interpretasi mengenai indigo pun bermacam-macam, asal ada sisi-sisi keunikan dan kejanggalan yang tak dimiliki umumnya anak, orang-orangpun menyebutnya sebagai anak indigo.

Konsep anak indigo pertama kali dikemukakan oleh cenayang Nancy Ann Tappe pada tahun 1970-an. Cenayang adalah orang yang dianggap bisa menjadi medium bagi roh. Pada tahun 1982, Tappe menerbitkan buku Understanding Your Life Through Color (Memahami Hidup Anda Melalui Warna) yang menjelaskan bahwa semenjak pertengahan tahun 1960-an, ia mulai menyadari bahwa ada banyak anak yang lahir dengan aura indigo (dalam publikasi lain Tappe juga mengatakan bahwa warna indigo atau nila berasal dari “warna kehidupan” anak yang ia dapatkan melalui sinestesia). Sehingga, anak indigo adalah anak yang memiliki warna aura indigo (nila).

Gagasan dukun ini kemudian dipopulerkan oleh sebuah buku yang berjudul The Indigo Children: The New Kids Have Arrived (Anak Indigo: Anak-anak Baru Telah Tiba) pada tahun 1998. Lee Carroll sendiri juga seorang cenayang yang mengklaim sebagai medium bagi roh  yang bernama Kryon. Menurutnya, roh Kryon telah memberikan kepadanya beberapa cara untuk mengenali anak Indigo.

Dalam konteks Islam, cenayang adalah dukun, sedangkan apa yang dianggap sebagai roh Kryon itu tak lain adalah setan dari golongan jin dan bukan roh orang yang telah mati. Ibnul Qayyim mengistilahkan dukun sebagai ‘rasul’nya setan. Setan memberikan bisikan kepada dukun, lalu dukun yang menyebarkan di tengah-tengah manusia. Dengan kata lain, dukun adalah medium bagi setan untuk menyampaikan ‘wahyu’ dari setan. Inilah ‘kerjasama’ setan jin dan setan manusia yang Allah sebutkan ‘yuuhii ba’dhuhum ilaa ba’dhin’, masing-masing (setan dari golongan manusia dan setan dari golongan jin ) mewahyukan satu sama lain seperti tersebut dalam Surat al-An’am: 112, yang kemudian dibahasakan orang sebagai wangsit atau bisikan.

Dan jelas sudah, kita tidak boleh mempercayai pengakuan seorang dukun. Lantas bagaimana halnya dengan anak indigo dalam pandangan syariat?

 

Kelebihan atau Gangguan?

Karena diangap memiliki kemampuan bisa melihat apa yang tidak dilihat orang lain, memiliki bayangan kejadian yang akan datang, bisa mengobati penyakit dengan cara yang unik dan tanpa belajar, maka merekapun dianggap memiliki kelebihan. Jarang yang mengatakan mereka sebenarnya tengah mendapat gangguan.

Apa yang dilihat anak sebagai arwah yang telah mati sesungguhnya jin yang mengaku sebagai orang yang telah mati. Begitupun roh yang berhubungan dengan cenayang (dukun). Karena orang yang telah mati telah terputus amalnya. Roh orang yang beriman dan beramal shalih berada di ketinggian ‘illiyyin’ yang dimuliakan, sementara ruh orang kafir dan fajir terpenjara di kedalaman ‘sijjiin’ seperti disebutkan dalam hadits yang panjang. Ada yang mendapatkan siksa di alam barzakh, dan ada yang mendapatkan nikmat, bagaimana mungkin mereka sempat menghadiri ulang tahun cucunya, mendatangi undangan sebagai jaelangkung dan klaim-klaim lain yang semisalnya.

Jika ada anak yang melihat ‘penampakan’, bukan karena si anak yang sakti atau memiliki kelebihan, tapi bisa jadi jin sedang mengganggunya, atau membidiknya sebagai calon rekanan. Karena hakikatnya manusia tidak melihat jin, sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. al-A’raf: 27)

Bahwa ada orang yang melihatnya, itu sebenarnya bukan karena kehebatannya, tapi karena jin yang menampakkan diri kepada manusia dengan wujud yang tidak aslinya.

Begitupula, tatkala anak indigo bisa meramal atau mengobati penyakit. Sebenarnya ia sedang dipromosikan setan untuk menjadi paranormal. Dengan cara itu, manusia banyak yang mencari jalan kesembuhan dengan cara isti’anah (meminta pertolongan) kepada jin.

Ringkasnya, anak indigo itu sebenarnya sedang mengalami gangguan, atau setidaknya menjadi bidikan setan dari golongan jin. Mereka mestinya diselamatkan, bukan justru dihebatkan dan distimuli keanehan-keanehannya.

Ketika mereka kemudian diasah kemampuannya, ujung-ujungnya akan menjadi paranormal, na’udzu billah. Semestinya anak yang memiliki karakter-karakter indigo diarahkan untuk berlaku pasif terhadap bisikan atau apa yang dilihatnya. Jika keadaannya masuk kategori parah, bisa menjalani terapi ruqyah syar’iyyah, wallahu a’lam.

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Syubhat

Bekerja Keras di Dunia, Sengsara di Neraka

Kita pantas salut melihat orang yang kerja keras mengais rezeki, membanting tulang dan memeras keringat. Tapi, rasa salut itu akan berbalik menjadi belas kasihan, ketika kita tahu, bahwa ternyata ia adalah orang yang tidak memperhatikan urusan akhiratnya. Tidak shalat, tidak taat dan bahkan uang yang tidak seberapa banyak ia hasilkan dari kerja kerasnya digunakan untuk bermaksiat.  Betapa tidak, hasil dari jerih payahnya bukan kebahagiaan, tapi kepayahan yang lebih dahsyat dari kepayahan yang dia alami di dunia,

 عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ ﴿٣ تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً 

“Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka),”. (QS. al-Ghasyiyah 3-4)

 

Kerja Keras di Akhirat

Banyak variasi pendapat para ulama dalam menafsirkan firman Allah, “bekerja keras lagi kepayahan.” Apakah itu terjadi di dunia, ataukah di akhirat, yakni neraka. Al-Fakhrur Razi dalam tafsirnya menyebutkan tiga pendapat, “Bisa jadi segala kerja keras dan kepayahan yang dimaksud semua dialami di dunia, bisa jadi semuanya terjadi di akhirat, dan bisa jadi pula sebagian kepayahan itu dialami di dunia, sebagian lagi dialami di akhirat.” Beliau tidak memberikan keterangan manakah yang lebih rajih di antara tiga pendapat tersebut.

Namun, tak ada ulama yang membantah, bahwa di neraka, penghuninya akan mengalami kerja keras dan kepayahan. Dan tak ada yang lebih payah dari kepayahan yang dialami oleh penduduk neraka.

Hasan al-Bashri Rahimahullah mengatakan bahwa, “mereka dibuat kerja keras dan lelah di neraka oleh rantai dan belenggu.”

Berbeda dengan kepayahan di dunia yang berjeda dan ada kesempatan untuk istirahat. Di neraka, kepayahan akan berlangsung selamanya. Sementara makanannya duri yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar. Tak ada pula minuman selain air mendidih yang amat sangat panasnya.

 

Kerja Keras di Dunia untuk Dunia

Meskipun makna yang sudah pasti masuk dalam ayat tersebut adalah kepayahan di hari Kiamat sebagaiamana diindikasikan ayat sebelum dan sesudahnya, namun tidak dipungkiri, bahwa yang mereka alami di neraka itu karena ulahnya di dunia. Sehingga banyak ulama mengkaitkan kerja keras dan kepayahan di akhirat itu sebagai balasan atas tindakan mereka yang sesat di dunia. Ibnu Abbas berkata, “Yakni, ia telah bekerja keras dan kepayahan di dunia, lalu pada hari Kiamat dia masuk ke dalam Neraka yang sangat panas.”

Kerja keras di dunia yang dimaksud bisa bermakna orang yang hanya mencari kenikmatan dunia semata. Mereka bersusah payah, membanting tulang, sekedar untuk mencari makan dan kebutuhan hidup semata. Pada saat yang bersamaan, mereka enggan untuk mengabdi kepada Allah, meninggalkan amal yang bisa membuat mereka bahagia dan selamat di akhirat. Atau bahkan kerja kerasnya dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Inilah pendapat yang diutarakan oleh Ikrimah dan as-Suddi, “Di dunia mereka kerja keras di jalan maksiat, sehingga merasakan kepayahan di neraka dengan adzab dan kesengsaraan.”

Alangkah mengenaskan nasib mereka. Di dunia menderita, di akhirat sengsara selamanya. Lantas kapan mereka bisa mendapatkan kebahagiaan? Penderitaan mana yang lebih berat dan kekal daripada penderitaan ini?

Islam menghasung kita untuk kerja keras. Jika kemudian hasil jerih payah yang diapatkan belum mencukupi kebutuhan, jangan sampai membuat kita berputus asa, apalagi putus asa untuk mendapatkan kenyamanan di akhirat. Bahkan, bagi orang yang beriman, ketika mendapatkan dirinya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan, dia terhibur dengan keyakinan, bahwa kemiskinan itu hanyalah sementara, kelak di jannah takkan lagi terasa bekasnya. Berganti dengan kenikmatan tiada tara. Dengan motivasi ini, mereka akan memperhatikan urusan akhiratnya. Bersabar dalam menghadapi cobaan, sabar dalam menjalani ketaatan, dan bersabar untuk tidak tergiur dengan cara-cara maksiat untuk mendapatkan rejeki.

Mereka itulah orang-orang yang cerdas, bahkan lebih cerdas daripada orang-orang kaya yang menjadikan dunia yang begitu singkat sebagai tujuan akhirnya. Mereka memakmurkan dunia mereka dengan cara merusak akhiratnya. Mereka memilih untuk menderita selamanya, asalkan bisa sesaat bersenang-senang di dunia. Sungguh merupakan pilihan yang picik dan tak sesuai dengan nalar yang sehat.

 

Kerja Keras untuk Akhirat, Tapi Sesat

Penafsiran lain dari ‘kerja keras dan kepayahan’ dalam Surat al-Ghasyiyah ini adalah kerja keras untuk mendapatkan pahala, namun berangkat dari keyakinan yang sesat, atau cara yang salah. Syeikh asy-Syinqithi menukil sebagian penafsiran, bahwa maksud ayat itu adalah, “Mereka kerja keras dan kelelahan dalam menjalankan ibadah yang sesat, seperti para pendeta dan uskup, begitupun dengan para pelaku bid’ah.”

Kelompok ini juga sangat memprihatinkan. Betapa tidak, mereka merasa telah menjalankan ibadah, bersusah payah untuk berbuat baik dalam persangkaannya, namun ternyata sesat.

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”  (QS. al-Kahfi 103:-104)

Mereka salah dalam berkeyakinan, keliru pula dalam menjalankan, sementara mereka menyangka di atas kebenaran. Karena itulah, ketika Umar bin Khattab melewati seorang pendeta yang sedang ‘khusuk beribadah’, beliau berhenti sejenak dan memperhatikannya. Lalu, beliau menangis sembari membaca firman Allah, ‘amilatun naashibah, tashla naaran haamiya, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” Karena apa yang dilakukan pendeta itu adalah kekhusyukan dalam kekafiran.

[bs-quote quote=”Ketika Umar bin Khattab melewati seorang pendeta yang sedang ‘khusuk beribadah’, beliau berhenti sejenak dan memperhatikannya. Lalu, beliau menangis sembari membaca firman Allah, ‘amilatun naashibah, tashla naaran haamiya, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” Karena apa yang dilakukan pendeta itu adalah kekhusyukan dalam kekafiran.” style=”default” align=”center” color=”#2476bf”][/bs-quote]

Termasuk dalam kategori ini, mereka yang beribadah, baik shalat, dzikir dan amalan lain yang tidak mengikuti sunnah. Mereka yang tertarik dengan bid’ah yang diada-adakan. Syeikh asy-Syinqithi mengingatkan tatkala menafsirkan ayat ini, “Hendaknya takut akan ayat ini, orang yang beramal tanpa dasar ilmu, tapi beramal di atas bid’ah dan kesesatan.”

Umumnya, orang yang melakukan bid’ah memiliki prasangka akan mendapatkan pahala lebih dengan menjalaninya. Padahal, bukan itu amal yang dikehendaki Allah. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal untuk Allah, sedangkan benar adalah sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu alam bish shawab.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/ Muhasabah

‘Suro’ Bulan Rahmat Bukan Keramat

Muharram, orang jawa menyebutnya bulan suro. Ia identik dengan bulan sakral, angker dan keramat. Penganut klenik mencapai puncak kegigihannya menjalani ritual di bulan ini. Menjamas keris pusaka, sedekah laut, sedekah bumi, ruwatan sampai pagelaran wayang yang bertujuan agar mendapat berkah, panen bertambah, menghindari pageblug (bencana) dan semisalnya. Tempat-tempat (yang dianggap) keramat pun ramai didatangi orang.

Di keraton Jogja misalnya, warga melakukan tirakatan mubeng benteng yaitu memutari benteng keraton Yogyakarta sebanyak tujuh kali di malam 1 Suro tanpa bicara. Hal ini dipercayai bakal mennyingkirkan marabahaya yang akan menimpa kampung mereka.

Di pantai Parangtritis yang dikenal dengan sebutan pantai selatan, manusia menyemut sehari sebelum satu muharram. Di puri parangkusumo yang dipercaya sebagai tempat pertemuan asmara panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram Islam) dengan Nyi Roro Kidul, digelar ritual khusus penganut klenik kebatinan. Ritual syirik pun digelar. Labuh Mahesa Lawung beserta ubo rampenya, menghanyutkan kepala kerbau lengkap dengan sesajinya ke laut selatan.

Nabi menyebutkan, ada seorang masuk neraka gara-gara berkorban seekor lalat untuk selain Allah. lalu bagaimana jika yang dikorbankan adalah kerbau yang jutaan kali lebih besar dari lalat?

Keraton solo melakukan kirab pusaka keraton. Berbagai benda pusaka yang dianggap keramat, ampuh dan memiliki kekuatan diarak ke luar keraton. Tak ketinggalan enam kerbau bule yang dianggap bertuah pun ikut diarak. Kerbau yang dinamakan Kyai Slamet ini pun menjadi primadona. Orang-orang bahkan yakin, kotoran kerbau ini mengandung berkah, bisa mendatangkan kekayaan atau bikin awet muda dan semisalnya. Sungguh tak beda dengan perilaku orang musyrik jahiliyyah yang mengagungkan pohon ‘Uzza, patung Latta, atau perilaku Bani Israel yang mengagungkan sapi.

Selain upacara-upacara, satu Suro juga dimanfaatkan orang untuk berziarah ke kuburan-kuburan orang yang dianggap sakti atau wali. Sebagian bersemedi, sebagian lagi ngalap (berharap) berkah, sebagian lagi –katanya- hanya menjalankan rutinitas ziarah dan berdoa di sana.

Ada petilasan joyoboyo di Kediri, makam Syaikh Abdul Muhyi serta makam-makam wali songo seperti makam sunan gunung jati di Cirebon, makam sunan Kalijaga di Demak, Sunan Kudus dan Sunan Muria di Kudus, Goa Maharani dan sunan Drajat di Lamongan, Sunan Ampel di Surabaya dan yang lainnya.

Padahal Rasulullah sendiri melarang kuburannya dijadikan ‘ied, dikunjungi secara rutin pada waktu tertentu, atau dijadikan ajang kumpul-kumpul mengadakan ritual khusus. Larangan yang disertai laknat bagi yang melaksanakannya. Jika makam Nabi, manusia paling mulia saja dilarang untuk digunakan sebagai tempat upacara, apalagi sekedar makam wali-wali, ulama, atau raja yang semasa hidupnya tak semulia beliau.

Di sisi lain, kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa enggan melakukan kegiatan yang bersifat sakral terutama hajatan pernikahan. Entah sejak kapan kepercayaan ini muncul. Namun yang jelas, sampai sekarang pun mayoritas masyarakat Jawa tidak berani menikahkan anaknya di bulan Suro. Ada sebagian mereka percaya bahwa setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul penguasa laut selatan, selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (tidak diketahui jumlah anaknya berapa). Jika ada yang punya gawe di bulan Suro ini, diyakini pengantin atau keluarganya tidak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yang jelas masyarakat Jawa turun-temurun memilih tidak menikahkan anaknya du bulan Suro. Jika tak percaya, tanyalah penyedia jasa sewa alat-alat resepsi atau sejenisnya, mereka pasti sepi orderan.

Tidakkah orang-orang tahu, menganggap bulan Muharram sebagai bulan sial untuk menikah berarti telah menyakiti Allah karena telah mencela masa?

Jika kita amati lebih cermat, apa yang dilakukan orang Jawa di bulan Suro merupakan akulturasi Syi’ah dan animisme, dinamisme dan arab jahiliyyah. Dulu, orang Quraisy jahiliyyah setiap Asyura’ selalu menggantung kiswah Ka’bah. Kini, orang jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus. Alangkah miripnya hari ini dan kemarin.

Muharram bukanlah bulan keramat. Ia adalah bulan pembuka penanggalan Hijriyah. Ia bukan bulan buruk, karena Islam tidak mengenal waktu-waktu buruk selain waktu-waktu yang diharamkan Allah untuk melakukan suatu amalan.

[bs-quote quote=”Muharram bukanlah bulan keramat. Ia adalah bulan pembuka penanggalan Hijriyah. Ia bukan bulan buruk, karena Islam tidak mengenal waktu-waktu buruk selain waktu-waktu yang diharamkan Allah untuk melakukan suatu amalan.” style=”default” align=”center” color=”#2285e8″][/bs-quote]

Rasulullah telah memberi teladan kita dalam menyambut bulan Muharram. Nabi hanya mencontohkan shaum pada tanggal 10 Muharram ditambah sehari sebelum atau sesudahnya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda, Berpuasalah pada hari Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi itu, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.”

Maka, untuk apa melebih-lebihkan amalan dengan amalan yang tidak ada tuntunannya, apalagi jika terjerumus ke dalam kesyirikan. Waliyadzubillah

Oleh: Abu Umar Abdillah/Syubhat

 

4 Alasan Kaum Muslimin Dilarang Mengikuti Perayaan Natal

Mendekati penghujung tahun di tiap tahunnya, selalu saja ada polemik mengenai perayaan natal. Ada sebagian kaum muslimin yang berujar bahwa tidak mengapa mengucapkan “selamat hari natal”, “Merry Christmas” dan bentuk ucapan lainnya kepada saudara, tetangga maupun teman yang beragama Nashrani. Lebih dari itu, ada sebagian yang ikut-ikutan meramaikan perayaan ini dengan membuat hiasan pohon cemara yang dihiasi dengan pernak-pernik dan lampu berwarna-warni di rumah-rumah mereka. Alasannya karena menghormati dan ikut merasa bahagia dengan hari raya tersebut.

Bagi sebagian orang Islam yang tidak mau ikut merayakan atau sekedar mengucapkan kata-kata selamat kepada saudara Nashrani pun mendapat label ‘intoleran’ dan ‘anti kebhinnekaan’. Padahal belum tentu yang bilang begitu sudah toleran dan berkebhinnekaan.

Dalam Islam, hari raya merupakan bentuk syiar dan pengagungan. Artinya, bila seorang muslim mengikuti hari raya diluar Islam, secara tidak langsung ia ikut mengagungkan perayaan tersebut. Belum lagi ketika mengucap, “selamat natal”, artinya ia mengakui akan kelahiran Yesus Kristus dalam versi mereka. Yang mana, hal-hal ini sangat riskan dan bisa mencederai akidah seorang muslim.

Setidaknya ada empat dalil yang mengharamkan seorang muslim mengikuti perayaan orang-orang kafir, termasuk hari raya natal, Valentine, Easter day (hari Paskah), April Mop dan lainnya;

 

1.Tasyabbuh

Rasulullah bersabda,

 

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa ikut-ikutan dengan suatu kaum, maka ia termasuk dalam golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)

Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Siapa yang mengikuti perbuatan orang-orang kafir, kelak di hari kiamat ia akan merugi bersama orang-orang kafir tersebut. Siapa yang mengikuti perbuatan kekufuran seseorang, perbuatan tersebut bisa juga membuat orang yang mengikutinya menjadi kafir dan siapa yang mengikuti perbuatan dosa besar seseorang, maka perbuatannya tersebut akan membuatnya terkena dosa besar juga.”

Tidak semua bentuk ikut-ikutan dengan orang kafir itu dilarang. Sebagaimana Syaikh Shalih al-Munajjid menjelaskan ada tasyabbuh yang haram dan ada juga bentuk mengikuti yang tidak dilarang. Adapun yang dilarang adalah segala perbuatan peribadatan dan syariat yang mengandung keyakinan dan tidak pernah ada syariat dalam Islam yang membolehkan. Sedangkan menggunakan atau mengikuti mereka dalam urusan dunia yang bukan merupakan bentuk ibadah dan syariat, maka selama ada manfaatnya tidaklah mengapa.

 

2.Bentuk Loyal Pada Kekufuran

Mengikuti perayaan mereka, artinya mengamini dan mendukung keyakinan yang mereka bawa. Padahal mereka sendiri telah mengingkari apa yang kita yakini. Allah berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu,……”(QS. al-Mumtahanah: 1)

 

3.Hari Raya Adalah Pengagungan dan Keyakinan Dalam Sebuah Agama

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

إن لكل قوم عيدا، وهذا عيدنا

“Sesungguhnya tiap-tiap kaum itu memiliki hari raya, dan adapun hari ini (hari raya idul fitri) adalah hari raya kita (kaum muslimin).” (HR. Muslim)

Islam memilki hari raya, begitu juga mereka orang-orang diluar Islam juga memiliki semisalnya. Siapa yang mencari-cari hari raya diluar ketetapan Islam, maka ia telah memuliakan hari raya tersebut, demikian juga ia telah mengagungkan dan meyakini sebagaimana orang-orang kafir meyakininya dengan sepenuh hati.

 

4.Sifat Orang Mukmin Tidak Menghadiri Majelis Kekufuran

Allah berfirman,

 

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu……………”(QS. al-Furqan: 72)

Sebagian para ulama’ diantaranya; Dhahak, Thawus dan Muhammad bin Sirin mereka menafsirkan ayat ini dengan hari raya orang-orang kafir. Sifat orang beriman yang tersebut dalam ayat ini adalah mereka yang menjauhi perayaan hari raya orang-orang kafir dan tidak memiliki kecondongan untuk mengikuti.

Hal ini dikuatkan oleh Imam Malik yang mengutip hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

 

” من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يجلس على مائدة يدار عليها الخمر “

“Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya ia tidak menghadiri perkumpulan yang didalamnya disajikan khamr. (HR. Muslim)

Sebagaimana diketahui, hampir di tiap tempat perayaan orang-orang kafir, disana disajikan minuman keras dan berbagai hidangan lain yang mengandung unsur haram lainnya.

Menambahkan hal ini, Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitab Ahkamu Ahli Dzimmi Ia berkata, 

“Mengucapkan selamat pada perayaan orang non muslim adalah perbuatan haram menurut syariat. Seperti mengucap, “Semoga terberkati di harimu ini” dan semisalnya. Seperti halnya ia telah mengucap selamat untuk sujud pada salib. Hal ini lebih besar dosanya di sisi Allah, bahkan lebih besar dari mengucap selamat pada orang yang meminum khamr atau membunuh seseorang. Siapa yang mengucap keselamatan pada pelaku bid’ah, maksiat, atau bahkan kekufuran, maka sejatinya ia telah mengundang murka Allah.”

Demikian beberapa nash syar’I sebagai landasan akan haramnya mengikuti dan ikut meramaikan perayaan hari-hari besar orang kafir. Semoga Allah senantiasa memberikan kita keistiqamahan untuk tetap berada di jalan yang Ia ridhai. (dari Islamqa.info)

 

Oleh: Redaksi/Terkini

 

Baca Juga: 

Hari Raya, Syiar dan Identitas Keyakinan

Say No To Valentine

Hukum Memajang Pohon Natal Untuk Hiasan

Rahmatan Lil’alamin Versi Anu

Syirik, Mengharap Syafaat Peroleh Laknat

Mereka mengatakan: Tidaklah kami berdoa kepada mereka dan menghadapkan wajah kepada mereka kecuali untuk mendapatkan kedekatan dan syafaat.

Para pelaku syirik tidak mengatakan bahwa apa yang mereka sembah mampu menciptakan dan memberi rezeki bersama Allah. Mereka juga tidak mengatakan bahwa mereka dapat memberi manfaat, mendatangkan madharat, atau mengatur bersama Allah. Mereka hanya menjadikan sesembahan itu sebagai pemberi syafaat, sebagaimana yang telah Allah ta’ala firmankan mengenai mereka yang artinya, “Dan mereka menyembah dari selain Allah sesembahan yang tidak dapat mendatangkan madharat dan tidak dapat memberi manfaat. Dan mereka mengatakan bahwa sesembahan itu adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18). Para pelaku keyirikan berkurban dan berdoa agar sesembahan itu menjadi perantara untuk mereka di sisi Allah dan memberi syafaat di sisi Allah.

Allah juga menjelaskan keadaan para penyembah berhala dalam firmannya,

 

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Az-Zumar: 3)

Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya hal yang mendorong mereka menyembah berhala-berhala itu hanyalah karena berhala-berhala tersebut mereka pahat dengan rupa malaikat-malaikat yang terdekat (dengan Allah) menurut dugaan mereka. Lalu mereka sembah patung-patung itu yang mereka anggap sebagai malaikat-malaikat.yang terdekat, agar malaikat-malaikat tersebut mau meminta pertolongan bagi mereka di sisi Allah Swt. untuk menolong mereka, memberi mereka rezeki, dan melepaskan dari mereka perkara duniawi yang menimpa diri mereka. Adapun terhadap hari kemudian, maka mereka mengingkari dan kafir terhadapnya.

Qatadah, As-Saddi, dan Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam dan Ibnu Zaid sehubungan dengan makna firman-Nya: melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (Az-Zumar: 3) Yaitu agar sembahan-sembahan itu dapat menolong kami dan mendekat­kan kami kepada Allah Swt.

 

Baca Juga: Tauhid Rububiyyah Saja Tidak Cukup 

 

Karena itulah mereka mengatakan dalam talbiyahnya bila melakukan ibadah haji di masa Jahiliah, “labbaika la syarikalaka illa syar’ikan huwa laka tamlikuhu wama malak.” (Kupenuhi seruan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang kepunyaan-Mu, Engkau memilikinya, sedangkan sekutu-sekutu itu tidak memiliki).

Kekeliruan semacam inilah yang sengaja dilakukan oleh orang-orang musyrik di masa silam dan masa sekarang. Lalu datanglah kepada mereka para rasul yang menolak keyakinan seperti ini, melarangnya, serta menyeru mereka untuk memurnikan penyebaran hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang dibuat-buat oleh orang-orang musyrik dari diri mereka sendiri. Allah tidak mengizinkan hal itu, tidak merestuinya, bahkan murka terhadapnya dan melarangnya.

 

{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ}

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah tagut itu.” (QS. An-Nahl:36)

Dan firman Allah Swt:

{

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ}

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (QS. Al-Anbiya: 25)

Allah Swt. memberitahukan bahwa para malaikat yang ada di langit, yaitu para malaikat yang terdekat dan juga malaikat lainnya, semuanya ialah hamba-hamba Allah yang tunduk patuh kepada-Nya; mereka tidak mau meminta syafaat di sisi-Nya kecuali dengan seizin-Nya terhadap orang yang direstui-Nya. Para malaikat di sisi-Nya tidaklah seperti keadaan para amir di hadapan raja-raja mereka yang dapat memberikan syafaat (pertolongan) di sisi raja-raja mereka tanpa restu dari raja-raja mereka; raja mereka setuju ataukah tidak, syafaat tetap dilakukan.

 

{فَلا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الأمْثَالَ}

Maka janganlah kamu membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah. (QS. An-Nahl: 74)

 

Syafaat dan Macamnya

Syafaat adalah penengah (perantara) bagi yang lain dengan mendatangkan suatu kemanfaatan atau menolak suatu kemudharatan. Pemberi syafa’at berada di antara yang diberi syafa’at dan syafa’at yang diberikan sebagai perantara untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudharat darinya.

Syafaat bisa benar dan bisa keliru. Syafaat yang benar adalah yang ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an atau yang ditetapkan oleh Rasulullah. Abu Hurairah pernah bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’at baginda ?”. Beliau menjawab, “Orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah secara ikhlas (murni) dari kalbunya”.

Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa syafaat ini bisa diperoleh dengan tiga syarat:
Keridhaan Allah terhadap yang memberi syafaat, keridhaan Allah terhadap yang diberi syafaat, dan izin Allah bagi pemberi syafaat untuk memberi syafa’at.

Allah berfirman yang artinya “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai(Nya)”. (QS. An-Najm: 26).

“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya dan Dia telah meridhai perkataanNya.” (QS. Thaha : 109).

“Mereka tidak bisa memberi syafa’at kecuali kepada orang yang diridhai oleh Allah.” (QS. Al-Anbiya: 28).

Syafaat ada yang bersifat umum dan ada yang khusus.

Syafaat yang bersifat umum artinya Allah mengizinkan siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hambaNya yang shalih untuk memberikan syafaat kepada orang yang juga diizinkan oleh Allah untuk memperoleh syafaat. Syafaat semacam ini bisa didapatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain beliau dari para Nabi yang lain, shidiqqin, syuhada’ dan shalihin. Yaitu bisa berupa syafaat kepada penghuni neraka dari kalangan orang beriman yang bermaksiat agar mereka bisa keluar dari neraka.

Sementara, syafa’at yang bersifat khusus hanya dimiliki oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan syafaat yang paling agung. Syafaat yang paling agung ini adalah syafaat pada hari kiamat ketika manusia tertimpa kesedihan dan kesukaran yang tidak mampu mereka pikul, kemudian mereka meminta orang yang bisa memohonkan syafaat kepada Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian itu.

 

Baca Juga: Iman Butuh Bukti Bukan Sekedar Teori

 

Mereka datang kepada Adam, kemudian kepada Nuh, kemudian Ibrahim, Musa dan Isa -‘alaihimus salam-, namun mereka semua tidak bisa memberi syafa’at, sehingga akhirnya meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliaupun bangkit untuk memohonkan syafa’at di sisi Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan hamba-hambaNya dari keadaan seperti ini. Allah mengabulkan do’a beliau dan menerima syafa’atnya.

Ini merupakan Al-maqam Al-Mahmud (tempat yang terpuji) yang telah dijanjikan oleh Allah dalam firmanNya:

“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. [QS. Al-Isra : 79]

Di antara syafaat khusus dari Rasulullah adalah syafaat beliau terhadap ahlul jannah untuk masuk jannah. Karena ahlul jannah itu ketika melewati shirath, mereka diberhentikan di atas jembatan antara jannah dan naar, lalu hati mereka satu sama lain disucikan, kemudian barulah diizinkan masuk jannah dan dibukakan untuk mereka pintunya dengan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Syafa’at Yang Batil
Inilah yang dilakukan oleh para pelaku kesyirikan. Mereka menganggap apa yang mereka sembah bisa menyelamatkan mereka di sisi Allah. Syafaat ini sama sekali tidak akan memberikan manfaat kepada mereka. Allah berfirman.

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.” [QS. Al-Muddatsir : 48]

Allah tidak ridha terhadap kemusyrikan dan tidak mungkin mengizinkan kepada siapapun untuk memberikan syafaat kepada mereka. Sementara syafaat hanya diberikan kepada orang-orang yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla. Ketergantungan orang-orang musyrik terhadap ilah-ilah mereka yang mereka ibadahi serta mengatakan, “Mereka adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah), adalah ketergantungan yang batil yang tidak bermanfaat,” justru akan menjauhan mereka dari Allah. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Redaksi/Akidah

 

 

Mulia Dengan Islam

Agama Islam merupakan agama terakhir dari seluruh agama yang pernah Allah turunkan ke muka bumi ini. Melengkapi agama samawi yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad. Sehingga Islam adalah satu-satunya agama yang Allah terima dan Allah ridhai. 

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

 Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya(QS. ali-Imran: 19)

Dalam tafsirnya Ibnu Katsir mengatakan : “Tidak ada satupun agama dimuka bumi ini yang diterima oleh Allah  selain agama Islam. Islam adalah agama yang dibawa oleh semua Rasul, telah sempurna dengan diutusnya Nabi Muhammad. Barangsiapa yang mati setelah diutusnya Nabi Muhammad dengan memeluk agama selain Islam maka Allah tidak akan menerimanya”  (tafsir al-Qur’an al-‘adzim, 2/25)

Agama Islam diturunkan di tanah Arab disaat kebobrokan dan kehancuran moral tengah melanda bangsa Arab, membawa masyarakatnya dari zaman keterpurukan menjadi sebuah bangsa yang berperadaban. Tanpa memilih dan memilah si kaya dan si miskin, rakyat jelata atau para raja, berkulit hitam maupun berkulit putih.

Meskipun diturunkan di Tanah Arab, Arab bukanlah patokan standar kebenaran Islam. Allah menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman dan panduan hidup bagi seluruh manusia. Agama islam tidak pernah membedakan ras, suku dan bangsa. orang yang paling mulia di dalam islam adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah

…إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“ …Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. al-Hujurat:13)

Agama Islam cocok dan bisa terima disetiap tempat dan waktu. Namun, sebelumnya ada dua hal yang harus diperhatikan oleh ummat Islam. Pertama, dalam Islam ada perkara-perkara yang bisa berubah seiring waktu dan perubahan dinamika kehidupan manusia, perkara ini terletak pada perkara yang bersifat fiqih dan pada perkara yang para ulama berbeda pendapat (furu’iyah), adapula perkara yang bersifat baku atau ushuli (dasar-dasar) yang tidak mengalami perubahan sampai kapanpun, perkara ini terletak pada perkara aqidah yang berhubungan dengan keyakinan atau keimanan.

Perbedaan yang terjadi pada perkara-perkara fiqih adalah hal yang diperbolehkan dalam islam dan ini merupakan rahmat Allah bagi manusia. Sebagaimana firman Allah:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا 

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…” (QS. al-Hujurat:13)

Perbedaan yang kedua adalah perbedaan dalam masalah aqidah dan keyakinan dasar. Perkara ini tidak diperbolehkan dalam Islam, ummat Islam wajib bersatu,  berbeda dalam perkara ini keislamannya akan berdampak buruk bagi keimanannya. Allah berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara…” (QS. ali-Imran:103)

Inti kekuatan kaum muslimin ada pada persatuan dan kesatuan mereka yang dibangun diatas landasan aqidah yang benar dan sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah. Selama ummat islam bersatu dan berpedoman kepada al-Qur’an dan sunnah, agama Islam tidak akan terkalahkan oleh bangsa dan peradaban manapun. Tetapi, ketika kaum muslimin berpecah belah dan mulai cenderung kepada dunia maka Allah akan menghinakan kaum muslimin dihadapan musuh-musuhnya.

Perkara inilah yang sangat dipahami oleh musuh-musuh Islam, bersatunya Islam merupakan sebuah momok dan bencana besar bagi orang kafir, mereka tidak akan pernah rela melihat ummat ini bersatu padu, orang kafir tidak ingin peradaban islam kembali bangkit mereka selalu mencari seribu cara untuk memecah belah dan menjauhkan ummat Islam dari pedoman hidupnya yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah berfirman :

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

 Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS. al-Baqarah:120)

Orang-orang kafir berusaha memutus mata rantai yang akan membuat kuat aqidah dan persatuan kaum muslimin. Caranya adalah dengan menjauhkan mereka dari pedoman hidupnya yaitu al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Samuel Zwemmer, seorang tokoh Yahudi berkata dalam pidatonya di Yerussalem tahun 1935 berkata “…perlu saudara-saudara ketahui adalah bahwa tujuan misi yang telah diperjuangkan bangsa Yahudi dengan mengirim saudara-saudara ke negeri-negeri Islam, bukanlah untuk mengharapkan kaum muslim beralih ke agama Yahudi atau Kristen. Bukan itu. Tetapi tugasmu adalah mengeluarkan mereka dari islam, menjauhkan mereka dari islam, dan tidak berpikir mempertahankan agamanya. Di samping itu saudara-saudara harus menjadikan mereka jauh dari keluhuran budi, jauh dari watak yang baik…”

Dari sinilah kemudian aliran-aliran yang merusak aqidah islam berkembang pesat. Terjadinya infiltrasi Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme kedalam dunia Islam menjadi hal yang harus kita wasapadai, terutama kepada generasi muda muslim yang masih labil. Semua pemahaman itu menggiring kepada tasykik (keraguan) terhadap agama sendiri. Sehingga mengasilkan fikiran untuk mendekontruksi al-Qur’an dan mengkaji ulang seluruh tafsir para ulama karena penafsiran mereka sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan tidak mampu menjawab berbagai macam problematika kontemporer.

Setelah ummat Islam jauh dari al-Qur’an dan Sunah, dan kehancuran generasi Islam telah mulai nampak. Berbagai kasus seperti maraknya perzinahan, tawuran, kasus narkoba, belakangan kasus kampanye LGBT yang jelas dilarang oleh syari’at Islam menjadi perbincangan hangat di tengah massa ummat Islam,  menjadi pertanda bahwa jika suatu generasi sudah meninggalkan aturan Allah, tidak lagi mempedulikan halal dan haram maka kehancuranlah yang akan didapat. Di sisi lain, dalam dunia pemikiran  dimunculkan pula berbagai istilah-istilah baru seperti Islam Radikal, Islam garis keras, Ektrimis,  Islam ala Nusantara, Islam versi Liberal dan lainnya, yang tidak lain tujuannya hanya untuk memecah belah Islam.

Dalam al-Qur’an, Allah telah menetapkan bahwa ummat Islam adalah ummat yang terbaik sepanjang masa. Allah berfirman :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik  (QS. ali-Imran:110)

Para ulama mufassirin menjelaskan bahwa ummat Islam dilahirkan dari sebaik-baik manusia untuk ummat yang terbaik. Namun semua itu tidak berlaku, jika ummat Islam meninggalkan amar ma’ruf dan nahyi munkar dan saling nasehat-menasehati antara satu dengan yang lain.

Serupa dengan ayat diatas Allah juga menegaskan dalam surat al-Ashr:

إِنَّ الْإِنْسَانَ لفي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran(QS. al-Ashr: 2-3)

 Mengenai surat ini Imam Syafi’i berkata,“ Seandainya Allah hanya  menurunkan surat ini dalam al-Qur’an, tentu itu sudah cukup”.  Ini menunjukkan kepada kita urgensi sebuah nasehat bagi seorang muslim, karena sangat wajar sekali kita sebagai pribadi muslim lupa akan hal ini, memang kita hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa. Dan manusia Allah adzab bukan karena kesalahan dan kealpaannya. Akan tetapi diadzab karena kengganannya untuk memperbaiki kesalahan layaknya kaum Yahudi.

Kejayaan ummat ini akan bangkit kembali ketika ummat ini diingatkan, dinasehati dan dibimbing untuk menyadari kemuliaan agamanya, sehingga tidak silau dengan berbagai ragam ideologi diluar islam. Kuncinya ada ditangan para ulama rabbani yang ikhas. Maka, tak heran jika hari ini musuh-musuh Islam mulai melirik para ulama dan mencoba mengebiri peran mereka ditengah ummat. Meski begitu kita harus tetap yakin, orang kafir memang mempunyai makar, tapi Allahlah sebaik-baik pembuat makar. Wallahu a’lam.

 

Cari Aman di Tempat Rawan

Manusia diciptakan memiliki sisi lemah. Lemah menghadapi penyakit, lemah menghadapi kefakiran, lemah kesiapannya menghadapi kenyataan yang berbeda dengan harapan. Ia juga lemah secara fisik dan lemah untuk menggapai cita-cita yang tinggi.  Begitupun untuk menghindar dari besarnya bahaya yang datang silih berganti mengancam sepanjang hayat. Terlebih lagi untuk menggapai kenikmatan surgawi dan terbebas dari neraka yang siksanya tak terperi.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. an-Nisa’: 28).

Bahkan manusia juga memiliki sisi lemah dalam hal kemuan dan tekad. Mudah berubah pendirian, mudah tergoda dan putus asa. Ibnu Katsir menafsirkan makna lemah dalam ayat tersebut, lidha’fihi fi nafsihi wa dha’fi ‘azmihi wa himmatihi, yakni lemah jiwanya, lemah tekad, dan semangatnya.

 

Tempat Perlindungan yang Rawan

Dengan kelemahan itu manusia berusaha mencari ‘kekuatan lain’ untuk menolong dirinya meraih apa yang dicita dan melindungi diri dari bahaya yang mengancam dirinya. Akan tetapi, amat disayangkan di antara manusia justru mencari perlindungan kepada makhluk yang lemah seperti dia atau bahkan lebih lemah lagi.

Padahal, tempat perlidungan selain Allah yang mereka sangkakan itu sejatinya tempat yang rawan dari bahaya yang menimpa. Bahkan Allah mengumpamakannya dengan sarang laba-laba. Allah berfirman,

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. al-Ankabut [29]: 41).

Secara fisik, rumah laba-laba adalah rumah yang lemah, rapuh, tidak bisa melindungi dari panas dan hujan, dari angin, dari dingin, apalagi dari timpukan batu atau ranting yang patah menimpanya. Meskipun secara unsur pembuatannya konon sangat kuat dan bentuknya tampak indah.

Itulah perumpamaan orang yang mengambil perlindugan selain Allah dan bertawakal kepada selain-Nya, hakikatnya ia sedang berlindung di sarang laba-laba.

Seperti orang yang mencari keselamatan ketempat para dukun yang dianggap memiliki kekuatan lebih. Mendatangi dukun berarti mendatangi bahaya, seperti layaknya bersembunyi di sarang laba-laba. Ia seperti serangga yang masuk ke jaring laba-laba, tidak tahunya itu adalah jerat laba-laba untuk menjebak mangsanya.

Hal ini persis dengan kehidupan para dukun yang memasang jaring untuk mencari mangsa dan memeras masyarakat yang bodoh. Dan tak jarang kita dengar, ada dukun yang akhirnya membunuh pelanggannya setelah memerasnya.

Ada yang menjadikan jin sebagai tambatan pengharapan dan tempat perlindungan. Dia mengira bahwa jin mampu mengatasi segala problemnya, dan melindungi segala kepentingannya. Ini juga tempat yang rawan bahaya, bukan tempat perlindungan yang aman. Karena jin hanyalah makhluk seperti manusia juga, sama-sama lemah, menanggung beban dan memiliki masalah sendiri dalam hidupnya. Jikalau jin memberikan sebagian ‘keuntungan’, maka kerugian dan kemadharatan yang ditimpakan lebih banyak. Maka, tidaklah dihasilkan dari usaha manusia ini selain dosa dan kerugian. Maksud hati terhindar dari bahaya dan gangguan, tapi yang dimintai perlindungan justru menjadi sumber dosa dan bencana.

Allah Ta’ala berfirman,

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. al-Jin: 6)

Ada dua kemungkinan makna dari ayat tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh as-Sa’di. Pertama bahwa perbuatan tersebut menambah dosa dan keburukan bagi jin yang dimintai bantuan. Dikarenakan jin tersebut akan menjadi sombong, pongah merasa dirinya hebat dan semakin suka memperdaya manusia. Kemungkinan kedua, perbuatan tersebut menambah dosa dan keburukan bagi manusia yang meminta bantuan. Dikarenakan manusia itu akan senantiasa was-was dan takut akan gangguan jin sehingga akhirnya selalu ber-isti’adzah kepada jin ketika menemui sesuatu yang membuatnya khawatir, dan jatuhlah ia kepada kesesatan.

Ibnu Katsier rahimahullah menjelaskan ayat tersebut, “Yakni kami dahulu berpandangan bahwa kami (jin) lebih utama daripada manusia karena manusia sering meminta perlindungan kepada kami. Bila mereka berada di sebuah lembah atau suatu tempat yang mengerikan seperti hutan dan tempat-tempat lain yang dianggap angker. Sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab di masa jahiliyah mereka. Mereka meminta perlindungan kepada pemimpin jin ‘penunggu’ di tempat mereka beristirahat agar mereka tidak diganggu oleh kaumnya. Persis seperti ketika seseorang memasuki kota musuh mereka di bawah jaminan perlindungan orang besar yang berpengaruh di kota itu. Ketika jin melihat bahwa manusia itu selalu meminta perlindungan  kepada mereka karena takut kepada para jin, maka justru jin-jin itu makin berulah untuk membuat manusia lebih takut, lebih was-was dan kecut hatinya. Dan ketika manusia semakin takut kepada jin, maka mereka lebih banyak meminta perlindungan kepada jin, inilah yang dijelaskan oleh Qatadah rahimahullah sehubungan dengan firman-Nya, “Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS al-Jin 6)

Yakni makin menambah manusia berdosa dan jin pun makin bertambah berani kepada manusia. Maka, meminta perlindungan kepada jin berarti menjerumuskan diri ke jurang sengsara dan dosa.

 

Tempat Rawan yang Disangka Aman

Ada lagi orang yang menggantungkan keselamatan dan pengharapannya kepada jimat yang dikalungkan di leher, atau dipakai sebagai gelang tangan. Atau diletakkan di bagian tertentu di rumahnya untuk melindungi harta dan rumah tangga mereka dari bahaya yang tampak dan tidak tampak sebagaimana yang mereka yakini. Sungguh, ini juga menjadi sarana perlindungan yang rapuh dan rawan dengan bahaya. Dia sudah terlanjur mempercayakan keselamatannya kepada jimat itu, sementara jimat itu tidak tak berfaedah apa-apa dan tak mampu berbuat apapun untuk meolongnya. Sedangkan Allah juga tidak sudi menolong mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ

Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat pemudah urusan), maka Allah tidak akan menyempurnakan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan wada’ah (jimat penangkal bahaya), maka Allah tidak akan menjamin (keselamatan)nya. ” (HR. Ahmad, hadits hasan)

Bahkan, selagi dia masih menggantungkan keselamatannya kepada jimat, maka selamanya dia tidak akan bahagia dan beruntung. Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria ada gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “Ini adalah wahinah (pengusir sial dan kelemahan). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً

 “Justru ia tdiak menambah untukmu selain kelemahan. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Adapun sebagian manusia yang mengaku modern, ada yang mengandalkan perlindungan keselamatan mereka dengan teknologi. Bukanlah sisi cela itu pada kreasinya dalam mengembangan teknologi. Namun jika hal itu disertai kesombongan dan menantang murkanya Allah dengan maksiat, lalu mengandalkan teknologi sebagai antisipasi, maka sungguh murka Allah tak dapat dicegah oleh teknologi. Jikalau mereka menemukan alat pencegah bencana, Allah Mahakuat untuk menimpakan adzab dengan cara yang lebih kuat atau jenis bencana yang tidak akan mampu mereka hadapi. Simaklah firman Allah Ta’ala,

“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. al-Hajj: 73).

Berapa banyak juga manusia yang menyangka bahwa harta kekayaan yang ia miliki akan dapat menjaganya dari kemiskinan. Atau penguasa yang ia pilih dan dukung akan dapat melindungi kepentingannya, atau melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang ia kira akan dapat menjaganya. Namun demikian semua ternyata tidak dapat melindungi mereka dari marabahaya di dunia, apalagi kelak di akhirat. Harta bisa ludes seketika, penguasa bisa ingkar janji atau tumbang, dan ilmu pengetahuan serta teknologi tidak dapat menangkal beragam bahaya dan bencana. Maka tidak ada tempat perlindungan paripurna selain Allah, dengan mendekat kepada-Nya, memohon belas kasih-Nya dan mentaati segala aturan-Nya. Wallahu a’lam bishawab.

(Abu Umar Abdillah)

 

 

Manusia Melihat Jin

Antara percaya dan tidak percaya, begitulah sikap orang dalam kasus ini. Di antara kaum muslimin tak sedikit yang masih bimbang dan bingung dalam mengkompromikan antara dalil satu dengan yang lain, atau antara dalil dengan fakta dan pengakuan di lapangan.

Ada yang tidak percaya bahwa manusia bisa melihat jin, karena jin adalah makhluk gaib, tidak bisa dilihat. Juga berdasarkan firman Allah,

“Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.”                                  (QS Al-A’raf 27)

Lantas, bagaimana dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa jin maupun setan pernah terlihat? Juga pengakuan banyak orang yang mengaku pernah melihat penampakan dan semisalnya?Seperti misalnya setan yang menampakkan diri dalam wujud Suraqah bin Malik ketika perang Badar. Juga tentang seorang sahabat Anshar yang bergulat dengan seekor ular, yang akhirnya keduanya mati, lalu Nabi katakan bahwa ular itu adalah jin. Kisah tentangnya diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri dalam Shahih Muslim.

Abu Hurairah juga meriwayatkan dalam Shahih Bukhari, bahwa beliau menangkap makhluk yang mencuri harta baitul mal yang dijaganya, lalu Nabi berkomentar tentangnya, “dzaaka syaithaan”, ia adalah setan (dari golongan jin).

Sebenarnya, dalil dan fakta yang ada tidaklah saling bertentangan. Bahwa pada dasarnya manusia memang tidak bisa melihat jin. Hanya saja, jin bisa melakukan tasyakkul (penampakan) di dunia manusia. Bukan karena kemampuan manusia yang bisa melihat, tapi kemauan jin yang melakukan tasyakkul.

Meskipun jin adalah makhluk gaib, tidak menutup kemungkinan mereka menampakkan diri dan terlihat oleh manusia, tapi bukan dalam wujud aslinya. Sebagaimana Jibril yang merupakan makhluk gaib, pernah pula menampakkan diri dalam wujud laki-laki yang amat putih bajunya, amat hitam rambutnya dan tidak ada bekas safar. Dan para sahabat menyaksikan kejadian itu. Dia bertanya kepada Nabi perihal islam, iman, ihsan dan hari Kiamat. Setelah pergi, Nabi shallallahu alaihi wasallam mengungkap identitas beliau, ”haadza Jibriil ja’a liyu’alliman naas diinahum”, dia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan manusia perihal agama mereka. (HR Bukhari dan Muslim).

Begitupun halnya dengan jin yang pernah terlihat di dunia nyata. Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan perkataan Imam Syafi’i, “Barangsiapa mengklaim dirinya dapat melihat jin, maka kami menganggap kesaksiannya batal, kecuali jika dia seorang nabi.”

Maksudnya, “Yang beliau katakan ini adalah bagi orang yang mengklaim melihat jin dalam bentuk aslinya sebagaimana dia diciptakan. Sedangkan orang-orang yang melihat jin dalam bentuk yang telah melakukan penyerupaan dalam bentuk hewan misalnya, maka hal itu tidak mengapa, karena berbagai riwayat telah menyebutkan tentang adannya tasyakkul jin.” ((Fathul Bari VI/396))

Adapun tentang ‘taghawul’ yang oleh orang kita disebut penampakan hantu, Umar bin Khathab berpendapat, “Mereka melakukan sihir sebagaimana kalian (manusia) ada yang melakukan sihir.” Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)

 

<a href=”https://www.arrisalah.net/wp-content/uploads/2011/12/melihat-jin.jpg”><img class=”alignleft size-thumbnail wp-image-1205″ title=”melihat-jin” src=”https://www.arrisalah.net/wp-content/uploads/2011/12/melihat-jin-150×150.jpg” alt=”” width=”150″ height=”150″ /></a>

Mental Syirik

Barangkali karena nenek moyang negeri ini penganut animisme dan dinamisme plus paganisme, orang-orang di sini terkesan sangat mystic minded. Apa-apa dikaitkan dengan mistik yang menjurus pada syirik. Sedikit saja ada hal aneh, pasti akan dihubungkan dengan hal-hal ghaib berupa kekuatan magis, khasiat ajaib atau kekeramatan dan pantangan tertentu. Baik berdasarkan ilmu warisan leluhur maupun asal-asalan alias ngawur.

Semua tentu masih ingat kisah fenomenal batu petir Ponari yang membuat geger seantero Jawa dengan khasiat penyembuhnya. Batu yang katanya mucul bersaman dengan petir itu, dipercaya berkhasiat menyembuhkan segala penyakit. Ribuan orang pun berduyun-duyun untuk mendapatkan pengobatan murah dan instan untuk segala jenis penyakit mereka. Meski akhirnya praktik itu ditutup karena ada dugaan eksploitasi anak, tapi fenomena itu sukses menyisakan ‘ikhtilaf’ dan kebingungan antara yang percaya dan yang tidak.

Saat terjadi bencana, beberapa keanehan yang terjadi juga dikaitkan dengan kekuatan mistis. Sekali lagi kekuatan mistis dan bukan kekuatan sang Pencipta. Lihat saja kasus Merapi, awan yang muncul berbentuk “Petruk” (salah satu karakter wayang) dianggap sebagai pertanda akan ada letusan besar yang mengarah ke arah wajah Petruk menghadap. Kematian Juru kunci dianggap sebagai warning bahwa Merapi tak terhenti dan sebagainya.

Bahkan ketika muncul fenomena kelainan genetis dari hewan atau tumbuhan semisal bayi sapi berkaki lima, pisang bertandan 3 , kelapa bercabang dua, atau buah yang bentuknya mirip kepala manusia, pasti tidak sedikit yang kemudian menganggapnya sebagai sesuatu yang memiliki kaitan dengan dunia metafisik.Banyak pula yang menjadikan tumbuhan dan hewan dengan kelainan genetis itu sebagai jimat. Misalnya “pring pethuk”, bambu dengan cabang bertaut yang biasa dijadikan jimat pesugihan (agar cepat kaya), kadal berekor cabang yang katanya merupakan uba rampe terbaik untuk pelet atau batu merah delima sebagai batu pesugihan dan kekuatan.

Seakan-akan ada saja jalan bagi setan untuk menyesatkan manusia menuju kesyirikan. Kita bisa melihat, isu-isu mistis dapat berkembang dengan cepat di negeri kita ini. Asal memiliki sesuatu yang aneh, dengan sedikit bumbu mistik, -bohong-bohongan tidak masalah- pasti akan ada yang percaya,lalu tak lama akan tersiar kemana-mana. Sisi lain, pantas kiranya jika film-film di negeri ini dari jaman merdeka sampai era komputer ada dimana-mana, tema mistik masih tetap laris dan diputar di bioskop maupun layar kaca.

Memang, alam ghaib itu ada. Syariat juga menegaskan bahwa selain manusia, ada pula makhluk yang disebut jin yang hidup di muka bumi. Sedikit banyak, ada keterkaitan dan ada pula campur tangan mereka di dunia manusia. Mereka mampu melakukan beberapa hal yang bagi manusia tampak luar biasa. Hanya saja, kebanyakan “korelasi” dengan dunia ghaib yang digembar-gemborkan seringnya hanya mengada-ada, atau hanya berdasar satu-dua kebetulan belaka.

Lebih dari itu, mengait-kaitkan segala keanehan dengan mistik akan berdampak buruk terhadap akidah. Pasalnya, kebanyakan korelasi tersebut mengarah kepada syirik karena mengusik kerububiyahan Allah dalam hal kekuasaan untukjalbun naf’I wa daf’udhar, memberikan manfaat/keberuntungan dan menolak bahaya, memberikan rezeki dan perlindungan.

Misalnya, meyakini bahwa “pring pethuk” atau bambu dengan batang beradu memiliki kaitan dengan dunia metafisik hingga mampu mendatangkan keberuntungan atau menolak bencana. Hewan tertentu seperti ikan arwana, ikan koi, bunga Jemani dan lainnya akan mendatangkan hoki dan keberuntungan ataukelapa gading dan pohon kelor yang dipercaya akan menolak bala’.

Tak peduli apakah hal semacam itu syirik kecil atau besar, yang jelas syirik adalah satu-satunya dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah dan merupakan dosa paling besar. Meski syirik kecil, tapi ulama sepakat bahwa syirik kecil lebih buruk daripada dosa besar semacam zina dan memakan riba.

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. 4:48)

Karenanya hendaknya kita wasapada. Setan tetap akan melestarikan dosa ini dan memancing manusia agar terjebak didalamnya sampai kapanpun. Zaman yang modern, yang katanya manusia-manusia pada saat itu sangat memuja rasionalitas pun tak akan mampu menenggelamkan kesyirikan. Orang-orang Eropa yang dianggap pusat modernitas pun masih banyak yang percaya mitos. Banyak diantara artis maupun pemain bola yang masih mempercayai takhayul semisal mengusap lapangan sebelum bermain akan membawa keberuntungan, angka 7 dan sepuluh adalah angka hoki, hujan menandakan kekalahan dan sebagainya.

Jebakan syirik adalah jebakan yang tidak mungkin dibiarkan usang oleh setan. Setan akan terus meng-update dan meng-upgrade jebakannya agar selalu licin di setiap masa. Maka hendaknya kita selalu waspada. Wallhua’lam. (T. Anwar)