Dr. Ahmad Zain

Zakat untuk Muallaf

Pengertian Muallaf

Muallaf adalah singkatan dari istilah, “al-Muallaf Qulubuhum,“ sebagaimana yang disebutkan Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 60. Yang artinya adalah orang-orang yang hati mereka dilunakkan agar masuk Islam, atau agar keimanan mereka meningkat, atau untuk menghindari kejahatan mereka.

Pembagian Muallaf

Dari pengertian di atas, Muallaf yang berhak mendapatkan zakat terbagi menjadi tiga, yaitu:

Pertama, orang-orang kafir yang hati mereka sudah cenderung kepada Islam, atau diharapkan agar mereka masuk Islam, karena dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam, diprediksi Islam akan menjadi lebih kuat. Hal itu karena mereka adalah tokoh masyarakat yang berpengaruh, seorang ilmuan, atau cendikiawan yang  diharapkan bisa memberikan kontribusi kepada kemajuan Islam.

Sebagai contoh, Rasulullah memberikan unta yang begitu banyak kepada Shofwan bin Umayyah yang masih kafir, padahal dia adalah tokoh kafir yang disegani dan sangat membenci Islam. Setelah mendapatkan pemberian yang begitu banyak dari Rasulullah, dia mengatakan, “Ini pemberian dari seseorang yang tidak takut miskin. Demi Allah, saya diberi oleh Nabi , padahal dia adalah orang yang paling saya benci, tetapi beliau terus menerus memberikan kepadaku, sehingga beliau menjadi orang yang paling saya cintai.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah).

Kedua, orang-orang kafir yang jika diberi zakat diharapkan akan menghentikan kejahatan mereka kepada kaum muslimin.

Ketiga, orang-orang yang baru masuk Islam dan masih lemah keimanan mereka. Mereka diberi zakat agar iman mereka bertambah dan tidak murtad kembali.

Pertanyaan: Bagaimana hukum memberikan zakat kepada orang Islam yang tidak mengerjakan shalat?

Jawaban:

Kita kembalikan kepada hukum orang yang meninggalkan shalat, apakah orang tersebut telah dinyatakan kafir atau tidak. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan orang tersebut telah dinyatakan kafir dan sebagian yang lain mengatakan belum bisa dinyatakan kafir sampai dia mengingkari kewajiban shalat. Artinya, orang yang meninggalkan shalat sesekali karena malas belum bisa dinyatakan kafir, walaupun begitu dia telah berbuat dosa besar.

Lepas dari perbedaan pendapat di atas, jika orang yang meninggalkan shalat masih bisa diharapkan untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, maka masih dikatagorikan muallaf, baik dia masih muslim, maupun dinyatakan telah kafir. Dengan demikian ia berhak mendapatkan zakat agar hatinya bisa luluh dan tunduk kepada ajaran Islam kembali. Wallahu A’lam.

Siapa yang Menunjuk Muallaf?

Pemimpin kaum musliminlah yang menentukan seseorang dikatagorikan muallaf yang mendapatkan zakat atau tidak. Kalau  tidak ada pemimpin yang menegakkan syariat, seperti pada zaman kita, maka penentuan tersebut diserahkan kepada musyawarah kaum muslimin, atau bisa dilakukan oleh pimpinan ormas Islam, lembaga, atau yayasan yang mempunyai lembaga amil zakat.

Muallaf pada zaman Umar bin Khathtab.

Bagian muallaf telah ditentukan di dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 60, maka Rasulullah memberikan  kepada beberapa muallaf pada waktu itu, seperti Abu Sufyan, Aqra’ bin Habis, Abbas bin Mirdas, Sufwan bin Umayyah, Uyainah bin Hushain. Masing-masing dari mereka diberi 100 ekor unta.  Hal ini berlangsung juga pada zaman pemerintahaan Abu Bakar Shiddiq. Ketika itu, Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin Hushain datang kepada Abu Bakar Shiddiq meminta jatah tanah, maka beliau memberikannya kepada kedua orang tersebut dan mencatatnya.

Ketika Umar bin Khathtab menjadi khalifah pengganti Abu Bakar Shiddiq, beliau merobek kertas catatan tersebut dan menghentikan bagian muallaf untuk sementara waktu. Umar melihat bahwa Islam pada zamannya telah menjadi agama yang kuat serta mempunyai kekuasaan yang sangat luas, membentang dari Iraq, Syam, Mesir, Hijaz, Bahrain, hingga Yaman. Oleh karenanya, tidak perlu memberikan bagian zakat untuk orang- orang yang ingin masuk Islam. Barang siapa yang ingin masuk Islam, hendaknya masuk Islam dengan kesadaran tanpa mengharapkan bagian zakat. Dalam hal ini Umar bin Khattab berkata:

إِنَ اللهَ أَعَزَ الإِسْلَامَ وَأَغْنَى عَنْكُمْ ، فَإِنْ ثَبَتُّمْ عَلَيْهِ ، وَإِلَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ السَيْف

“Sesungguhnya Allah telah memuliakan Islam, dan tidak membutuhkan kalian, maka jika kalian tetap teguh kepada Islam, itulah yang diharapkan, tetapi jika tidak, maka antara kita dan kalian  adalah pedang.“ (HR. Hakim).

Apakah Perbuatan Umar bertentangan dengan al-Qur’an?

Banyak kalangan yang menuduh Umar bin Khattab mengubah jatah zakat untuk muallaf yang telah ditentukan di  dalam Al-Qur’an, padahal sebenarnya Umar bin Khattab tidak mengubah ketentuan tersebut. Beliau hanya beranggapan bahwa jatah zakat untuk muallaf diberikan ketika Islam dalam keadaan lemah dan membutuhkan masuknya barisan muallaf untuk menguatkan Islam. Ketika Islam sudah kuat, maka jatah itu dihentikan dan disalurkan pada kemaslahatan kaum muslimin yang lain. Walaupun begitu, jatah muallaf ini tetap berlaku sampai hari kiamat, khususnya ketika Islam menjadi lemah kembali seperti pada zaman sekarang. Wallahu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *