Para Pemula Dalam Sejarah Islam

Para shahabat adalah orang-orang yang sangat antusias dalam berburu keutamaan, bersemangat untuk mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka ingin hadir dalam setiap momen kebaikan, terus bergerak menyusuri jalan menuju ridha Allah. Mereka saling berlomba untuk menjadi pertama. Mereka adalah teladan, maka lihatlah semangat kita terhadap setiap jenis kebaikan, apakah juga sudah sejalan dengan jejak para teladan. Di sini kita hendak membaca siapakah para pemula, orang-orang yang pertama melakukan aktivitas yang kemudian ditulis dalam sejarah.  Semoga Allah memudahkan langkah kita dalam kebaikan.

  1. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan laki-laki yang merdeka Abu Bakr as-Shidq RA
  2. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak Ali bin Abi Thalib RA
  3. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan pelayan Zaid Bin Haritsah RA
  4. Orang yang pertama kali masuk islam dari kalangan budak Bilal bin Rabbah RA
  5. Orang yang pertama kali diutus Nabi sebagai komandan Sariyah (jihad tanpa terjadi pertempuran dan tidak dipimpin oleh Rasulullah) Hamzah bin Abdul Muthalib RA
  6. Orang Yang pertama kali menjadi pemegang panji Islam dalam perang Hamzah bin Abdul Muthalib
  7. Orang yang pertama kali membunuh kaum musyrikin dalam perang Badar Hamzah bin Abdul Muthalib
  8. Orang yang pertama kali diberikan jatah ghanimah dan menyalurkan seperlimanya Abdullah bin Jahsy RA
  9. Orang yang pertama kali diberikan gelar Amirul Mukminin dari para Khalifah Islam Umar bin Khatab RA
  10. Orang yang pertama kali hijrah ke Habasyah Abdullah bin Abdul Asad (Abu Salamah) RA
  11. Orang yang pertama kali mengumpulkan manusia untuk shalat tarawih? Umar bin Khatab RA
  12. Orang yang pertama kali dijuluki Amirul Umara’ dari sahabat (pemimpin dari para pemimpin) Abu Ubaidah bin Jarah RA
  13. Orang yang pertama kali Allah tertawa padanya Saad bi Muadz RA
  14. Orang yang pertama kali membaca alQuran dengan jahr (suara keras) Abdullah bin Mas’ud RA
  15. Orang yang pertama kali di muka bumi masuk kota Mekah dengan bertalbiyah Tsamamah bin Utsal RA
  16. Orang yang pertama kali dikubur di pemakaman Baqi’ Utsman bin Madh’un RA
  17. Orang yang pertama kali mengucapkan salam pada Nabi SAW Abu Dzar al-Ghifari RA
  18. Orang yang pertama kali menulis lafadz Basmallah (Bismillahirrahmanirrahim) Khalid bin Said bin al-Ash RA
  19. Orang yang pertama kali mengadakan penanggalan hijriyah Umar bin Khatab RA
  20. Orang yang pertama kali mati Syahid dalam Islam Al-Harits bin Abi Halah RA
  21. Orang yang pertama kali mati Syahid di perang Uhud Zur’ah bin ‘Amir al-Aslami RA
  22. Orang yang pertama kali mati syahid dari kaum Anshar ‘Umair bin al-Hamam RA
  23. Orang yang pertama kali dilahirkan dari golongan Bani Hasyim di mulut kakbah Ali bin Abi Thalib
  24. Orang yang pertama kali menjadi komandan dalam perang gerilya Abu Bashir ats-Tsaqafi
  25. Orang yang pertama kali menjadi Khatib (pengkhutbah) dalam Islam Abu Bakr ash-Shidiq RA
  26. Orang yang pertama kali menjadi pemimpin Kufah setelah ditakhlukan Saad bin Abi Waqash Ra
  27. Orang yang pertama kali menjadi pemimpin di Azerbaijan Hudzaifah bin Yaman RA
  28. Orang yang pertama kali mati syahid di perang Badar Mahja’ Maula Umar RA
  29. Orang yang pertama kali membebaskan/ menakhlukan negeri Mesir Umar bin Khatab Ra
  30. Orang yang pertama kali menghidupkan malam untuk meninjau keadaan rakyatnya Umar bin Khatab RA
  31. Orang yang pertama kali menetapkan perhakiman Umar bin Khatab
  32. Orang yang pertama kali mendirikan tempat persinggahan bagi musafir di antara kota Mekah dan Madinah Umar bin Khatab RA
  33. Orang yang pertama kali mengadakan pengarsipan/pencacatan data dalam Islam Umar bin Khatab RA
  34. Orang yang pertama kali mengadakan perangkat keamanan/penjaga dari khalifah Utsman bin Affan RA
  35. Orang yang pertama kali mengadakan tempat untuk peradilan Utsman bin Affan RA
  36. Orang yang pertama kali berbaiat di Baiat Ridwan Sinan bin Sinan al-Asadi RA
  37. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan Bani Khathamah Al-Harits bin ‘Adi RA
  38. Orang Anshar pertama yang membaiat Abu bakr ash-Shidq dari suku Khazraj Basyir bin Saad RA
  39. Orang Badui yang pertama kali mengikuti Sariyah Uyainah bin hishn al-Fazari RA
  40. Orang yang pertama kali menyerang imperium Persia dan menghujamnya dari dalam Mutsana bin Haritsah RA
  41. Orang yang pertama kali berbaiat kepada Nabi SAW Basyir bin Bara’ bin Ma’rur RA
  42. Orang yang pertama kali diberikan wasiat untuk mensedekahkan sepertiga hartanya Basyir bin Bara’ bin Ma’rur RA
  43. Orang yang pertama kali menghadap kiblat Basyir bin Bara’ bin Ma’rur RA
  44. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan kaum Anshar menurut Ibnu Ishaq Uqbah bin Wahb RA
  45. Orang yang pertama kali di tawari Nabi untuk mewariskan jatah Ghanimahnya kepada beliau Khilad bin Suwaid RA
  46. Orang yang pertama kali dinamai dengan nama Muhammad Muhammad bin Khatib al-Jamhi RA
  47. Orang yang pertama kali mati Syahid di peperangan Nahawan An-Nu’man bin Maqran al-Muzanni
  48. Orang yang pertama kali memimpin Haji dalam Islam Abu Bakr ash-Shidiq RA
  49. Orang yang pertama kali melemparkan tombak di jalan Allah Saad bin Abi Waqash RA
  50. Orang yang pertama kali menghunuskan pedangnya di jalan Allah Zubair bin Awam RA
  51. Orang yang pertama kali bereperang dengan kudanya di jalan Allah Miqdad bin ‘Amru al-Kindi RA
  52. Orang yang pertama kali menjalankan shalat sunnah 2 rekaat saat perang Khubaib bin ‘Adi RA
  53. Orang yang pertama kali hijrah ke Madinah Abdullah bin Abdul Asad RA
  54. Orang yang pertama kali rumahnya digunakan untuk dakwah dalam Islam Al-Arqam bin Abil Arqam RA
  55. Orang yang pertama kali dilahirkan dan diberikan air liur Nabi SAW Abdullah bin Zubair RA
  56. Orang yang pertama kali terbunuh di atas kudanya Miqdad bin ‘Amru RA
  57. Orang yang pertama kali berbaiat kepada Nabi SAW pada Baiat Aqabah kedua Al-Bara’ bin Ma’rur RA
  58. Orang yang pertama kali dilahirkan setelah peristiwa hijrah Abdullah bin Zubair RA
  59. Orang yang pertama kali terluka saat perang Yamamah dan akhirnya mati syahid Abu Uqail Abdurrahman bin Abdullah bin Tsa’labah RA
  60. Orang yang pertama kali meninggal setelah peristiwa hijrah As’ad bin Zararah RA
  61. Orang yang pertama kali meninggal dari pemuka kaum Al-Bara’ bin Ma’rur RA
  62. Orang yang pertama kali dishalati jenazahnya oleh Nabi SAW As’ad bin Zararah RA
  63. Orang yang pertama kali menusuk kudanya sendiri karena takut menjadi ghanimah orang kafir Ja’far bin Abi Thalib RA
  64. Orang yang pertama kali datang dari Hijaz menemui Nabi SAW dan memberikan harta dari kaumnya Hamzah bin Nu’man al-Udzri RA
  65. Orang yang pertama kali melakukan dhihar (suami menyerupakan istri dengan ibunya) dalam Islam Aush bin Shamit RA
  66. Orang yang pertama kali menumpahkan darah dalam Islam Saad bin Abi Waqash RA
  67. Orang yang pertama kali menulis untuk Nabi SAW Ubai bin Kaab RA
  68. Orang yang pertama kali menulis di akhir kitab (sepeti menulis; Fulan bin Fulan) Ubai bin Kaab RA
  69. Orang yang pertama kali lahir dari kaum Anshar Nu’man bin Basyir RA
  70. Orang yang pertama kali berangkat ke medan perang dan paling akhir pulangnya Abdullah bin Ruwahah RA
  71. Orang yang pertama kali meluaskan Masjid Nabawi Utsman Bin Affan
  72. Orang yang pertama kali memberikan penerangan/memberikan penghiasan dalam masjid Tamim ad-Dari RA
  73. Orang yang pertama kali berbaiat kepada Nabi SAW di Darul Arqam Aqil bin al-Bakir RA Amir bin al-Bakir RA Iyas bin al-Bakir RA Khalid bin al-Bakir RA

 

Oleh: Redaksi/Tsaqafah Islam

Petualangan Portugis di Jawa

Barangkali perjumpaan pertama antara orang Jawa dengan orang Portugis terjadi di Malaka saat bangsa Paranggi –sebutan lain untuk orang Portugis dan Spanyol– itu datang pada 1511. Tidak lama setelah berhasil menguasai Malaka, Alfonso de Albuquerque mengirimkan pasukan ekspedisinya ke beberapa wilayah lain di Nusantara. Jawa adalah salah satu wilayah yang menjadi tujuan ekspedisi tersebut.

Orang Portugis yang pertama datang ke Jawa adalah Antonio de Abreu. Ia mengunjungi Jawa pada 1511. Ada dua pelabuhan yang dikunjunginya, yaitu pelabuhan Tuban dan Gresik. Ia melaporkan bahwa pelabuhan Gresik penuh dengan para pedagang Cina. Dari Gresik, ia melanjutkan pelayarannya ke Ambon dan Banda. (Donald M. Campbell, Java: Past and Present, Volume I, hlm. 157)

 

Perjanjian dengan Padjadjaran

Kunjungan berikutnya terjadi pada 1522. Kali ini Portugis mengunjungi Banten, pelabuhan kerajaan Padjajaran yang sangat ramai pada masa itu. Portugis bermaksud mengadakan perjanjian dagang. Peristiwa ini dicatat oleh Joao de Barros sebagai berikut.

Pada tahun 1522, Jorge de Albuquerque, kapten kota Malaka untuk urusan perdagangan, mengirim utusan yang dipimpin oleh Henrique Leme menghadap Samiam, raja Sunda. Sewaktu utusan tersebut tiba di pelabuhannya raja tersebut menerima orang-orang Portugis dengan baik. Guna memperoleh bantuan dalam peperangan yang sedang berlangsung melawan orang Islam, dan untuk memperkuat berbagai hubungan dagang, orang Portugis diberi hak untuk membangun benteng dan dijamin bahwa mereka boleh memuat merica sejumlah yang mereka kehendaki. Selain itu, raja pun berjanji memberikan 1000 karung merica setiap tahunnya kepada raja Portugal mulai hari dibangunnya benteng tersebut. Perjanjian itu dibuat secara tertulis. Tiga orang menteri setempat turun mengambil bagian dalam pembicaraan tersebut: Mandari Tadam, Tamungo Sague de Pate dan Bengar, syahbandar setempat. Atas perintah raja, mereka mengantar Leme ke tempat akan dibangunnya benteng tersebut, di sebelah kanan muara sungai, di kawasan yang dinamai Calapa, di situ mereka mendirikan sebuah padrao (semacam tugu peringatan). Selanjutnya Leme pulang ke Malaka. Jorge de Albuquerque menilai hal itu sangat penting dan menulis kepada raja Portugal untuk meminta persetujuannya. Joao III menyetujui usaha tersebut dan mempercayakan pelaksanaannya kepada Francisco de Sa yang berangkat dengan armada kapal yang dipimpin oleh Vasco da Gama, wakil raja India yang baru. Oleh karena Vasco da Gama kemudian meninggal, maka Francisco de Sa tinggal beberapa waktu di Goa.

Baca Juga: Citra Pribumi di Mata Penjajah Portugis

Ketika Francisco de Sa tiba di Malaka, armada Portugis sedang menyiapkan operasi militer melawan Bintan di bawah pimpinan Pero Mascarenhas. Francisco de Sa dengan armadanya bergabung, dan setelah selesai baru berangkat menuju Sunda. Armadanya terserang badai. Duarto Coelho, salah seorang kapten armada tersebut, berhasil sampai di Calapa, sementara kapalnya tenggelam di situ. Semua penumpang kapal diserang oleh orang-orang Islam yang beberapa hari sebelumnya telah merebut kota itu dari Samiam, sahabat orang Portugis.

Orang Islam yang telah merebut kota itu adalah orang rendahan bernama Faletehan asal Pasai. Sewaktu Pasai baru saja direbut oleh Portugis, Faletehan pergi berlayar menuju Mekah dengan kapal yang memuat rempah-rempah, dan tinggal di sana selama kira-kira dua atau tiga tahun untuk belajar agama Islam. Sekembalinya di Pasai, dia menganggap tidak mungkin dapat mengajarkan agama Islam di dekat benteng orang Portugis, ia lalu pergi ke Jepara, mengislamkan rajanya dan dia sendiri menjadi kadinya. Sebagai imbalan, raja memberikan saudara perempuannya untuk diperistri. Terdorong oleh keinginan untuk mengislamkan banyak orang, Faletehan meminta izin kepada raja untuk pergi ke Bintam, kota di Sunda. Di kota itu, dia diterima dengan baik oleh seorang tokoh setempat yang kemudian masuk Islam. ketika Faletehan menganggap keadaan kota itu cocok untuk melaksanakan rencananya, dia meminta kepada raja Jepara untuk mengirim pasukan tentara. Raja Jepara menyanggupinya dan segera mengirimkan dua ribu orang tentara. Ketika Francisco de Sau tiba di Pelabuhan Sunda, Faletehan telah menguasai keadaan dengan begitu baiknya, sehingga mampu melarang pembangunan benteng itu.

 

Kandasnya Perjanjian

Setelah ikut mengambil bagian dalam ekspedisi Pero Mascarenhas melawan Bintan, Francisco de Sa berlayar menuju Sunda untuk membangun benteng. Selama perjalanan, armada yang dipimpinnya diserang badai sehingga kapal-kapalnya terpencar-pencar selama beberapa hari. Tiga di antaranya, sebuah kapal yang besar pimpinan Duarte Coelho serta dua kapal lainnya, dengan susah payah berhasil mencapai Pelabuhan Sunda. Pada waktu terserang badai itulah salah satu kapalnya terdampar, tiga puluh orang Portugis yang ada di dalamnya berenang menuju daratan, tetapi di pantai itu mereka diserang oleh musuhnya, orang-orang Islam. sebenarnya raja yang menghendaki dibangunnya benteng itu sudah meninggal dan musuh yang diperanginya telah merebut daerahnya. Pada waktu itu, musuh dalam jumlah yang besar telah tiba di kota Bantam, kota terpenting di kerajaannya, dan berusaha menundukkannya. Begitu orang Islam melihat kedatangan armada Portugis, timbul niat mereka untuk membalas dendam, mereka tahu bahwa raja yang meninggal itu telah memberi izin kepada Portugis membangun benteng di pelabuhan tersebut. Namun demikian, kapal besar dan satu kapal lainnya tidak terdampar. Sewaktu melihat apa yang menimpa para penumpang kapal yang terdampar itu, tanpa mengetahui nasib Francisco de Sa beserta kapalnya, Duerte Coelho bertolak kembali ke Malaka.

Francisco de Sa beserta kapalnya terbawa badai sampai di pantai Jawa. Dia berhasil menghimpun kembali kapal-kapal lainnya di Pelabuhan Panarukan, dan membawa armadanya menuju pelabuhan Batam untuk berlabuh. Dikirimnya utusan untuk memperingatkan raja akan janji yang sudah pernah diberikan oleh raja yang digantinya. Karena raja menolak, Francisco de Sa memutuskan untuk mempergunakan kekuatan, tetapi di daratan dia menghadapi pertahanan yang begitu kuat –di antara pasukan Portugis, empat orang terbunuh dan sejumlah orang lainnya luka-luka– sehingga dia mengundurkan diri dan kembali ke Malaka.

 

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia 

Respons Militer Kesultanan Aceh Terhadap Ekspansi Portugis

Kedatangan Portugis di Malaka pada 1511 mendorong aktif perlawanan dari orang-orang di wilayah tersebut. Atas dasar intoleransi beragama dan monopoli perdagangan, mereka mengancam hampir semua penduduk dan pengunjung Malaka dan sekitarnya. Akibatnya, beberapa kerajaan menantang orang Portugis, dengan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai pihak yang paling gigih melakukannya. Oposisi ini diungkapkan melalui kegiatan militer, politik, perdagangan, dan semangat agama.

 

Bersatu Sebelum Melawan

Setelah menaklukkan Malaka pada 1511 dan menghalau pedagang Islam dari situ, Portugis berusaha menanamkan pengaruh di Pasai dan Pidie dengan mendukung salah satu pihak dalam perselisihan perebutan mahkota yang banyak terjadi di situ. Pada mulanya hubungan antara Kesultanan Pasai dan Kesultanan Pidie dengan Portugis berlangsung dengan baik. Ketika pertama kali datang di Pasai pada 1509, rombongan Portugis diterima dengan baik oleh Sultan Pasai. Di tempat ini, pemimpin rombongan Portugis, Diogo Lopez de Sequieira, bahkan sempat mendirikan tugu atau salib.

Sementara itu, kedatangan orang Portugis di Pidie bermula dari orang-orang mereka yang melarikan diri dari Malaka. Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh Sultan Pidie. Alfonso d’ Albuquerque menyatakan penghargaannya terhadap sikap bersahabat Sultan Pidie dan memperbarui persekutuan yang telah dirintis oleh Sequieira. Kemudian ia meneruskan perjalanan ke Pasai.

Hubungan baik itu akhirnya kandas di tengah jalan karena ambisi Portugis yang memaksakan pengaruhnya di Malaka dan sekitarnya khususnya dan Kepulauan Nusantara umumnya. Akibatnya, hal ini mendorong semua unsur anti-Portugis, termasuk masyarakat pedagang kaya Islam, untuk bersatu di bawah panji-panji Aceh, sebuah kesultanan baru yang terbentuk pada sekitar 1500 di atas bekas-bekas Lamri kuno di ujung barat lau Sumatra. Antara 1519 dan 1524 Sultan Ali Mughayat Syah dari Aceh berhasil mengusir orang Portugis keluar dari Sumatra utara dan mulailah apa yang kemudian menjadi abad pertarungan sengit melawan orang asing Kristen ini. (Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra, hlm. 5-6 dan William Marsden, Sejarah Sumatra, hlm. 376)

Pada awal abad 16 konsentrasi kekuatan Portugis sempat tidak dilawan oleh kaum Muslim di Nusantara. Inilah alasan penting yang membuat orang Portugis begitu cepat mencapai kesuksesan. Akan tetapi, setelah diketahui siapa bangsa Portugis sebenarnya, berbagai perlawanan muncul dari Aceh di barat hingga Maluku di timur. Kekuatan spiritual Islam memberikan kekuatan dan persatuan kepada dunia Islam. Hal ini membuat semua pedagang Muslim tidak hanya menjadi pengikut Islam, tetapi juga penyebar agama dan pembela keyakinan. Umat Islam pun bersatu memberikan perlawanan terhadap orang Portugis. (M. A. P. Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara, hlm. 121-122)

 

Api Jihad Berkobar

Tidak seperti Pasai dan Pidie, Aceh sejak awal menunjukkan respons yang berbeda terhadap Portugis. Para penguasa Aceh tidak pernah berkompromi dengan Portugis. Mereka lebih memilih untuk menggunakan kekuatan militer sebagai gantinya. Sekitar tahun 1519, sebuah kapal di bawah komando Gaspar de Costa hilang di dekat Aceh. Orang-orang Aceh menyerang kapal itu, membunuh sejumlah orang dan menawan sisanya, termasuk de Costa. Nina Cunapam, syahbandar Pasai, harus membayar tebusan kepada Sultan Aceh, Ali Mughayat Syah, dan de Costa pun diserahkan kepadanya untuk dipulangkan ke Malaka. Selanjutnya, Sultan Ali Mughayat Syah berhasil mengusir semua pemukiman Portugis di Daya (1520), Pidie (1521) dan Pasai (1524). Ia terbukti menjadi penguasa yang kuat dan Sultan Aceh pertama yang mengendalikan seluruh wilayah Aceh yang disebut Aceh Darussalam. (Amirul Hadi, Aceh and The Portuguese, hlm. 53-54)

Tidak seperti Pasai dan Pidie, Aceh sejak awal menunjukkan respons yang berbeda terhadap Portugis. Para penguasa Aceh tidak pernah berkompromi dengan Portugis. Mereka lebih memilih untuk menggunakan kekuatan militer sebagai gantinya.

Setelah berhasil mengusir Portugis dari Aceh dan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di ujung utara Sumatra, Kesultanan Aceh kemudian aktif menyerang Portugis di Malaka. Serangan pertama terjadi pada 1537, yakni pada masa Sultan Alauddin Al-Kahar (1537-1571). Selanjutnya selama berada di Malaka (1511-1641), Portugis mengalami 13 kali serangan lagi dari Kesultanan Aceh, tapi selalu gagal. Dalam penyerangan ke Malaka, Kesultanan Aceh sering mendapatkan bantuan dari umat Islam di luar Aceh. Misalnya serangan pada 1567, yaitu pada zaman Sultan Mansur Syah. Pada waktu itu, Sultan Mansur Syah membawa sebuah armada besar yang berisi 15.000 orang Aceh, 400 orang Turki, dan 200 meriam. (Sejarah Sumatra, hlm. 389)

Dalam serangan pada 1569, Sultan Mansur Syah membentuk persekutuan dengan Ratu Jepara. Armadanya berkekuatan 90 kapal. Dua puluh lima di antaranya adalah kapal perang besar yang mengangkut 7.000 pasukan dan sejumlah artileri. Namun, serangan ini tidak berhasil. Pada 1574, Malaka dikepung oleh armada Ratu Jepara berkekuatan 300 kapal layar. Delapan puluh di antaranya jung berukuran 400 ton. Setelah mengepung kota itu selama 3 bulan, armada itu mundur dan kehilangan 5.000 orang. (hlm. 390)

Serangan Aceh yang cukup gemilang terjadi pada 1575 setelah armada dari Jawa itu meninggalkan Malaka. Sultan Mansur Syah memerintahkan untuk menyerang 3 fregat Portugis yang sedang berlabuh melindungi beberapa kapal perlengkapan. Akhirnya, ketiga fregat hancur beserta seluruh awaknya. William Marsden menggambarkan peristiwa ini sebagai pukulan dahsyat bagi Malaka. Jumlah pasukan yang tersisa adalah 150 orang dan sebagian besar jumlah ini non-efektif. Sultan Aceh segera mendaratkan pasukannya dan mengepung benteng. Benteng itu dihujani peluru meriam selama 17 hari. Tembakan-tembakan orang Portugis semakin mengendor. Setelah beberapa waktu, tembakan itu berhenti sama sekali karena gubernur berpendapat lebih baik menghemat persediaan amunisi yang tinggal sedikit untuk pertempuran terakhir. Sultan menjadi gelisah karena kesunyian yang tiba-tiba. Ia mengartikannya sebagai persiapan untuk sesuatu tipu muslihat berbahaya sehingga segera menghentikan pengepungan dan kembali ke Aceh. (390-391)

Demikianlah jihad Muslim Aceh melawan penjajah Portugis. Dalam sejarah, Muslim Aceh memang dikenal sebagai suku bangsa yang pantang menyerah kepada penjajah. Mereka lebih memilih bangkit melawan daripada diam menghinakan diri. Wallahu a‘lam.

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Ahli Sejarah Pemikiran Islam

Sejarah Para Tuhan Kaum Nuh

Ada lima berhala yang dituhankan kaum Nuh: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Beberapa riwayat sejarah menyatakan bahwa asal usul tuhan-tuhan ini sebenarnya adalah manusia yang shalih. Salah satu riwayat mengatakan, Wadd adalah anak dari Adam. Adam memiliki 20 anak lelaki dan 20 anak perempuan. Beberapa nama yang diriwayatkan adalah Qobil, Habil, Shalih, Abdurrahman, Abdul Harits dan Wadd atau yang disebut Syits. Adapun Suwa’, Yaghuts, Yauq dan nasr ada yang menyebutkan mereka adalah anak Wadd ada pula yang menyatakan mereka adalah saudara Wadd.

Rentang waktu antara Adam dan Nabi Nuh adalah 10 qurun (abad). Jika qurun yang dimaksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tersebut adalah seratus tahun, maka nabi Nuh diutus menjadi rasul seribu tahun setelah Adam.  Di masa antara inilah kehidupan manusia mulai berkembang. Pada masa awal, mereka mengikuti ajaran Nabi Adam. Bahkan Qobil yang dikisahkan membunuh saudaranya pun seorang muslim.

Wadd sendiri adalah anak Adam yang sangat shalih. Dia ditokohkan di tengah saudara-saudaranya dan paling berbakti kepada Nabi Adam.

Setelah keturunan Adam mulai banyak, semakin banyak pula orang yang menjadi pengikut Wadd. Demikian pula keshalihan Suwa’, Yaghuts dan Nasr mendapat banyak simpati dari saudara-saudara dan keturunannya. Hingga suatu saat, tibalah ajal menjemput mereka.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, “Suatu ketika ada obrolan tentang Yazid bin al-Muhallab di dekat Abu Jakfar (al- Baqir) saat beliau sedang shalat. Setelah selesai shalat, Abu Jakfar mendekat dan berkata,

“Kalian membicarakan Yazid bin al-Muhallab. Dia itu dibununh di tempat pertama disembahnya tuhan selain Allah. Ada “Wadd”, dia dahulunya adalah muslim yang shalih yang sangat dicintai kaumnya. Pasca kematiannya, mereka berkumpul di kuburnya dan bersedih. Melihat hal itu, Iblis menjelma menjadi manusia. Dia berkata kepada mereka, “Aku melihat kesedihan kalian akan orang ini. Maukah kalian aku lukiskan wajah yang serupa dengannya di tempat ibadah kalian agar kalian dapat mengingatnya?” Orang-orang menjawab, “Ya silakan.” Iblis pun memahat patung yang serupa dengan Wadd dan meletakkannya di tempat ibadah mereka. Melihat betapa seringnya mereka mengingat Waad, Iblis kembali menawarkan, “Maukah aku buatkan patung yang serupa dengan itu untuk ditempatkan di rumah-rumah kalian agar kalian bisa lebih sering mengingatnya?” mereka menjawab, “Ya.” lalu Iblis pun membuat patung-patung yang serupa dengan Wadd untuk setiap rumah. Tradisi mengenang Wadd ini berlanjut dari generasi ke generasi. Dan pada generasi jauh, akhirnya patung Wadd disembah.”

Penyembahan berhala semakin merajalela. Tidak hanya patung Wadd saja yang dipertuhankan tapi juga patung-patung lain; Suwa’ Yaghuts, Yauq dan Nasr. Pada saat inilah Allah mengutus Nabi Nuh. Disebutkan bahwa Nabi Nuh diutus menjadi Rasul pada saat berumur 50 tahun. Beliau berdakwah mengajak kaumnya untuk meningalkan penyembahan berhala dan kembali menyembah Allah dan menjadi muslim.

Dari kisah ini, ada beberapa poin penting yang perlu kita resapi, diantaranya;

  • Pertama, mengenai tipu daya Iblis. Untuk membentuk sebuah dosa terbesar berupa syirik, Iblis tidak secara langsung menyuruh manusia menyembah selain Allah. Dengan halus, Iblis seakan justru membantu ibadah mereka dengan cara membuatkan lukisan dan patung untuk mengenang leluhur yang shalih. Dan benar, lukisan dan patung ini awalnya memang tidak disembah dan semakin menambah semangat dalam ibadah. Iblis tidak langsung memetik buahnya. Buah kesyirikan itu matang setelah berlalu beberapa generasi dan distrosi sejarah secara sistematis dilakukan, dari sekadar untuk mengenang leluhur menjadi menyembah para leluhur.

Mengetahui efektivitas pola ini, Iblis dan setan pun terus menggunakan metode ini dan mengembangkannya. Penyembahan Uzair dan Isa oleh kaum Yahudi dan Nashrani pun tidak jauh-jauh dari metode ini. Awalnya, kaum nashrani mengimani Isa sebagai Rasul, yang kemudian di angkat ke langit. Namun lambat laun, persepsi ini dirusak sembari dibangun ulang dengan menyusupkan keyakinan bahwa Isa adalah anak tuhan atau penjelmaan lain dari tuhan. Perbuatan bid’ah pun sama. Awalnya dilakukan para moyang sebagai bagian dari budaya, tapi kemudian setan memasukkannya ke dalam ritual ibadah dan keyakinan. Latta yang disembah kaum musyrik, dahulunya adalah orang baik yang senantiasa menggiling gandum untuk disedekahkan kepada orang-orang yang berhaji.

  • Kedua, mengenai susahnya dakwah di tengah kaum Nuh. Pernahkah kita bertanya, mengapa dakwah selama 950 tahun hanya menghasilkan belasan pengikut? Tentu salah jika yang kita evaluasi adalah dakwahnya Nabi Nuh. Beliau sudah berdakwah sesuai wahyu-Nya, siang malam, dengan beragam metode. Dengan ini, tidak ada penghalang lain selain faktor kaum Nuh yang memang luar biasa keras kepala. Tapi sekeras apapun manusia, bukankah ada kemungkinan generasi selanjutnya bisa lebih lunak dan moderat? Dan bukankah Nabi Nuh berdakwah dari generasi ke generasi?

Ternyata, Ibnu Katsier menyebutkan, faktor utama mengapa kaum Nuh begitu susah didakwahi adalah karena mereka secara konsisten mewariskan kekufuran kepada generasi setelahnya. Dikisahkan bahwa setiap kali seorang anak mulai berakal, orangtuanya pasti mendoktrin anaknya agar jangan mempercayai Nuh dan pengikutnya. Doktrin ini terus dicecar sampai dewasa hingga menyatu dengan pikiran dan perasaan si anak. Inilah yang menjadi dinding penghalang masuknya iman di hati kaum Nuh. Sebuah kekufuran yang diwariskan secara turun temurun.

[bs-quote quote=”Ibnu Katsier menyebutkan, faktor utama mengapa kaum Nuh begitu susah didakwahi adalah karena mereka secara konsisten mewariskan kekufuran kepada generasi setelahnya. Dikisahkan bahwa setiap kali seorang anak mulai berakal, orangtuanya pasti mendoktrin anaknya agar jangan mempercayai Nuh dan pengikutnya. Doktrin ini terus dicecar sampai dewasa hingga menyatu dengan pikiran dan perasaan si anak. ” style=”default” align=”center” color=”#156fbf”][/bs-quote]

Peran orangtua dalam membentuk sebuah generasi memang tak diragukan lagi. Seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa keyakinan anak akan sangat dipengaruhi orangtuanya. Jika mereka menanamkan keimanan, anak akan tumbuh menjadi manusia beriman. Sebaliknya jika yang mereka tanamkan kekufuran, maka kekufuran akan turun-temurun menjadi akidah dalam silsilah nasabnya. Wallahua’lam.

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Akidah

Perdagangan Jawa Pada Zaman Kekuasaan Portugis

Ekspansi Portugis ke Asia pada abad 16 didorong oleh beberapa faktor, seperti agama dan niaga, rasa haus akan petualangan serta ambisi kaum bangsawan yang belum tersalurkan sejak berakhirnya perang Salib. Setelah berhasil melewati Tanjung Harapan, Portugis mendapati pemandangan ramainya perdagangan di Samudra Hindia. Kapal orang Moor berlalu lalang di jalur ini. Orang Portugis dan orang Moor adalah saingan dagang. Selain itu, keduanya merupakan musuh bebuyutan yang berusaha saling menghancurkan. (B.J.O. Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 51 dan 56)   

 

Catatan Portugis Tentang Perdagangan Jawa

Pada 1511 Portugis berhasil menguasai Malaka, bandar terbesar di Nusantara saat itu. Setahun berikutnya, Portugis  tiba di Maluku. Selanjutnya, Portugis berusaha mengontrol jalur perdagangan Malaka-Maluku.

Berita dari orang Portugis pertama menceritakan bahwa orang Jawa sekitar tahun 1500 mendominasi perdagangan di perairan Nusantara, termasuk Malaka di sebelah barat dan Maluku di sebelah timur. Undang-undang Maritim Malaka disusun pada waktu itu oleh sekelompok pemilik kapal Malaka yang sebagian besar berasal dari Jawa. Kapalnya yang berbasis di Malaka dengan teratur berlayar ke Cina.

Tome Pires, orang Portugis yang mencatat perjalanannya dalam Summa Oriental, melaporkan bahwa mereka wajib berlabuh di lepas pantai karena orang Cina benar-benar khawatir jika “salah seorang anak buah jung ini menghancurkan dua puluh jung Cina”. Namun Pires juga mengemukakan bahwa perdagangan di Jawa jauh lebih besar satu abad sebelumnya –“karena mereka menyatakan bahwa pelayarannya sampai ke Aden dan bahwa perdagangan utamanya berada di Benua Keling (India Selatan), Bengala dan Pasai, ia pun menguasai seluruh perdagangan pada waktu itu”. Pada setiap “musim” di tahun 1406, 1408, 1410, 1414, 1418, dan 1432, armada Cina yang terdiri dari seratus atau lebih menghabiskan waktu yang panjang untuk perbaikannya di bandar-bandar Jawa Timur. (Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 2, hlm. 48-49)

Baca Juga: Pengaruh Islam Pada Zaman Perdagangan Jawa

Pires juga melaporkan bahwa informasi tentang jalur ke Maluku diperoleh di Malaka dari orang Islam setempat. Sementara itu, peta pelayaran ke Maluku didapat dari orang Jawa. Dalam surat Alfonso de Albuquerque kepada Raja Manuel 1 April 1512, ia mencatat, “Sehelai peta besar dari jurumudi Jawa, berisi peta Tanjung Harapan, Portugal, dan Daratan Brasilia, Laut Merah, dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, pelayaran orang Cina dan Ryukyu, dengan jalur mata angin dan jalur langsung mereka yang diikuti oleh kapal-kapal, kawasan pedalaman, dan bagaimana kerajaan-kerajaan itu saling berbatasan. Paduka, bagi saya tampaknya ini adalah hal yang paling bagus yang pernah saya lihat … Peta ini bertulisan Jawa, tetapi bersama saya ada orang Jawa yang dapat membaca dan menulis.” (Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, hlm. 55)          

 

Berpindah ke Bandar Baru

Orang Portugis berambisi untuk menjadi bangsa besar dan ingin mencari keuntungan dari perdagangan. Mereka bernafsu menjadi kaya mendadak dengan menjarah bangsa-bangsa lain. Sebagaimana diceritakan sebelumnya, pada mulanya mereka meminta bantuan orang Muslim Jawa untuk menunjukkan jalur pelayaran ke Maluku. Namun setelah berhasil tiba di Maluku, Portugis justru berbalik memerangi para pedagang Muslim Jawa dan Muslim lainnya. Saudagar-saudagar Arab dan Persia melukiskan bangsa Portugis sebagai bajak laut liar. Pada awalnya, orang-orang Portugis hanya ingin mengadakan perjanjian dagang. Kemudian dengan kerakusan, mereka menghancurkan dan memperbudak sultan-sultan yang telah mempercayai mereka ataupun memberi tempat bagi mereka di kerajaannya. (William Marsden, Sejarah Sumatra, hlm. 375 dan 376)

Baca Juga: Datangnya Si Perusak Kedamaian, Portugis

Dengan pendudukan Malaka, monopoli perdagangan dan penjarahan terhadap kapal-kapal dagang milik kaum Muslim, Portugis telah menghancurkan perdagangan Nusantara, bahkan perdagangan Asia. Selama berabad-abad, perdagangan di lautan Nusantara, dari Selat Malaka hingga kepulauan Maluku, berjalan dengan damai dan melibatkan banyak bangsa. Keadaan ini tiba-tiba berubah setelah Portugis datang. Timbullah kekacauan sistem perdagangan secara damai berubah menjadi sistem perampokan. Portugis tidak memiliki komoditi yang bisa dibarterkan di Malaka. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid I, hlm. 159)

Maka dari itu, setelah Malaka diduduki Portugis, para pedagang selain mereka berusaha menghindari jalur Selat Malaka. Mereka juga memindahkan aktivitas perdagangan mereka ke bandar-bandar lain, seperti Aceh, Banten, Tuban dan Makasar. Namun demikian, Portugis tetap menjadi ancaman di lautan dari Selat Malaka hingga kepualaun Maluku. Oleh karena itulah, terutama pedagang-pedagang Jawa menganggap orang-orang Portugis sebagai musuh. Akibatnya, tidak ada satu tempat pun di Pulau Jawa yang sempat diduduki oleh orang-orang Portugis, kecuali di Jawa Timur yang hingga akhir abad 16 masih terdapat sebuah kerajaan Hindu Jawa yang kecil. (Th. Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, hlm. 19) Upaya pendudukan terhadap bandar di Jawa, seperti Sunda Kalapa, segera membangkitkan perlawanan dari Muslim Jawa.   

 

Goyahnya Monopoli Portugis

Sejak tiba di Maluku pada 1512, Portugis berusaha mengontrol dan memonopoli perdagangan di kepulauan ini. Usaha untuk mendapatkan hak eksekutif atas rempah-rempah menjadi faktor pendorong bagi ekspansi mereka terhadap daerah-daerah penghasil cengkih. Mereka juga giat menyebarkan agama Katolik di kalangan pribumi. Akibatnya, meletuslah perlawanan rakyat Maluku dengan dibantu para pedagang Muslim Jawa. Akhirnya, monopoli rempah-rempah oleh Portugis pun goyah. Pada sekitar 1565, Portugis harus menyerahkan perdagangan di Maluku ke tangan orang Jawa. Dengan penyerahan itu, kawasan dagang orang Jawa semakin meluas, bahkan luasnya melampaui yang sudah-sudah.

Portugis terpaksa melepaskan impiannya dalam kebijakan monopoli di Maluku. Mereka tidak pernah benar-benar berkuasa atas Banda. Hitu yang merupakan perkampungan Muslim Jawa di Ambon terbukti terlalu kuat bagi Portugis. Pada 1572 Portugis meninggalkan benteng mereka di Ternate. (Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 63-64) Wallahu a‘lam.

 

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Muslihat Sempurna Nuaim bin Masud Pada Sekutu Ahzab

Terbunuhnya Amr bin Abdi wad tak lantas membuat pasukan ahzab menyerah. Mereka tetap melakukan pengepungan Madinah, bahkan sebuah strategi telah disiapkan untuk mengalahkan Rasulullah dan pasukannya. Pasukan ahzab berencana membujuk bani Quraizhah (salah satu kabilah Yahudi Madinah) untuk melanggar perjanjian dengan Rasulullah.

Strategi tersebut segera dijalankan dengan mengirimkan Huyyai bin Akhthab untuk menemui pimpinan bani Quraizhah dan membujuk supaya bergabung dengan pasukan ahzab. Bani Quraizhah pun setuju untuk menghianati perjanjian damai dengan Rasulullah dan bergabung dengan pasukan ahzab.

Kabar penghianatan tersebut pun sampai kepada Rasulullah. Beliau lalu menugaskan Zubair bin Awwam untuk memastikan kebenaran kabar tersebut. Tak berapa lama Zubair kembali dan membenarkan kabar penghianatan bani Quraizhah.

Baca Juga: Dia Ingin Memilki Nyawa Sebanyak Jumlah Rambutnya

Mengetahui hal tersebut, Rasulullah langsung mengambil dua keputusan penting. Pertama Beliau mengutus Maslamah bin Aslam bersama dengan 500 prajurit untuk menjaga wanita dan anak-anak muslim yang diungsikan di perkampungan bani Haritsah di bagian selatan Madinah. Ketika itu semua pasukan muslim berada di sebelah utara Madinah, sedangkan perkampungan bani Quraizhah berada di sebelah selatan. Sehingga dengan penghianatan tersebut, bani Quraizhah bisa dengan mudah menghabisi wanita dan anak-anak muslim.

Kedua, Rasulullah mengutus Saad bin Muadz, Saad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah, dan Ibnu Jubair mendatangi bani Quraizhah. Keempatnya diutus untuk mengadakan pembicaraan dengan bani Quraizhah. Alangkah terkejut keempatnya ketika bani Quraizhah menolak pembicaraan dan merobek kertas perjanjian seraya mencela Rasulullah.

“Adhl dan Qarah.” Kata keempatnya kepada Rasulullah ketika menemui Rasulullah kembali. Maksudnya adalah bani Quraizhah melakukan penghianatan sebagaimana yang dilakukan Adhl dan Qarah ketika tragedy Raji’.

Mendengar kabar penghianatan bani Quraizhah membuat orang-orang munafik berbalik ke belakang dan keluar dari pasukan muslim. Mereka beralasan bahwa rumah mereka akan menjadi sasaran pasukan ahzab karena berada di selatan Madinah.

Di tengah situasi yang semakin genting tersebut, Nuaim bin Masud datang menghadap Rasulullah. Nuaim berasal dari suku ghatafan, suku yang ikut bergabung dengan pasukan ahzab.

Kemudian ia melanjutkan kata-katanya, “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah benar-benar masuk Islam. Dan kaumku tidak mengetahui bahwa aku telah masuk Islam. Perintahkanlah kepadaku perintah apa saja yang dapat aku laksanakan!”

Rasulullah menjawab, “Engkau hanya seorang dari pihak kami, kembalilah kepada kaummu! Dan jika kamu sanggup, takut-takutilah mereka bahwa sesungguhnya mereka lemah dan kami kuat. Sesungguhnya perang itu adalah tipu daya.”

Baca Juga: Duel Menegangkan Antara Dua Ahli Pedang

“Saya siap, wahai  Rasulullah. Insya Allah engkau akan segera melihat sesuatu yang menggembirakan,” janji Nu’aim.

Setelah itu, Nu’aim segera berangkat menuju ke kubu Bani Quraidzah, yang telah menjadi sahabat baiknya sampai saat ini. Ia berhasil meyakinkan mereka untuk tidak dalam pertempuran melawan Rasulullah SAW.

“Jangan kalian bantu mereka (Quraiys) memerangi Muhammad sebelum kalian minta jaminan kepada kedua sekutu kalian itu, yakni pemuka-pemuka atau bangsawan-bangsawan terpandang dari mereka sebagai jaminan atas peperangan ini. Sampai kalian memenangkan peperangan ini dan menguasai negeri ini, atau kalian mati bersama-sama dengan mereka,” saran Nu’aim. Bani Quraizhah pun menerima saran itu.

Setelah itu, Nu’aim segera beranjak menuju kubu Quraisy dan Ghathafan di luar Kota Madinah. Ia segera menemui pimpinan Quraisy, Abu Sufyan bin Harb, yang saat itu dikelilingi para pembesar Quraiys. Ia berhasil merayu mereka agar tidak melanjutkan serangan bersama. Nu’aim mengatakan bahwa Bani Quraizhah menyesal memutusan perjanjian dengan Muhammad SAW, dan malah mereka akan membantu Rasulullah menghadapi pasukan Ahzab.

Mendengar penjelasan Nu’aim, Abu Sufyan berkata, “Kau adalah sekutu kami yang baik. Semoga kamu mendapat balasan yang baik pula.”

Hal yang sama dilakukan juga oleh Nu’aim kepada Kaumnya, yakni Bani Ghathafan. Dan setelah yakin bahwa Pasukan Ahzab tidak akan melancarkan serangan apa pun kepada kaum Muslimin. Diam-diam Nu’aim pergi ke Madinah dan bergabung dengan pasukan Rasulullah.

 

Oleh: Redaksi/Tarikh Sahabat

Kedatangan Portugis di Bumi Nusantara

Portugis bersusah payah mencari jalan pelayaran ke Asia. Di bawah pimpinan Vasco da Gama, mereka berhasil tiba di India pada 1498. Pelayaran pertama ke India ini harus dibayar mahal. Hanya 54 dari 170 kelasi dan dua dari empat kapal yang kembali ke negeri mereka dengan selamat pada 1499. Meski demikian, pelayaran da Gama berhasil membangun rute laut dari Eropa ke India yang memungkinkan perdagangan dengan Timur Jauh tanpa menggunakan rute Jalur Sutera antara Timur Tengah dan Asia Tengah yang sering tidak aman.

Untuk kedua kalinya, Vasco da Gama kembali ke India pada 1502. Kali ini ia datang dengan armada yang terdiri dari 20 kapal perang. Ia memaksa orang India agar menerima cara dagang Portugis. Kota Calicut ditembaki karena melawan Portugis. Selain menguasai kota-kota di pantai India, Portugis juga berusaha meluaskan pengaruhnya ke wilayah lain. Terlebih akhirnya Portugis mengetahui bahwa India bukanlah tempat rempah-rempah berasal. Barang dagangan ini berasal dari negeri yang masih jauh berada di sebelah timur India. Pada 1509, mereka pun untuk pertama kali datang ke Nusantara.

 

Motif Kedatangan Portugis

Pada pelayaran kedua dan selanjutnya, semakin terlihat jelas motif kedatangan Portugis ke Asia umumnya dan Nusantara khususnya. Setidaknya ada tiga motif yang melatarbelakangi pelayaran mereka.

Pertama: motif ekonomi (gold/emas), yaitu merebut perdagangan Asia. Rempah-rempah merupakan komoditas terpenting di pasar Eropa. Barang itu harus didatangkan dari Asia dengan jarak tempuh yang sangat panjang sehingga harganya pun menjadi mahal. Pada waktu itu, rempah-rempah dikuasai oleh para pedagang Muslim dari Turki. Portugis ingin menemukan jalan ke Asia dan mengambil rempah-rempah langsung dari pusatnya.

 

Baca Juga: Kedatangan Si Perusak Kedamaian; Portugis

 

Kedua: motif politik (glory/kejayaan), yaitu menghancurkan kekuasaan negeri-negeri Islam. Kalau berhasil memperoleh jalan langsung ke Asia, mereka dapat mengalihkan lalu lintas perdagangan melalui jalan itu. Hal ini akan merugikan bangsa-bangsa yang sampai saat itu menguasai rantai perdagangan Asia-Eropa. Salah satu dari bangsa itu ialah bangsa Turki yang justru pada zaman itu sedang melancarkan serangan yang dahsyat terhadap negara-negara Eropa. Serangan mereka mungkin dapat dilumpuhkan kalau pendapatan yang diperoleh negara Turki dari perdagangan dapat dihancurkan.

Ketiga: motif agama (gospel), yaitu menyebarkan agama Kristen. Orang-orang Portugis ingin mengepung lawan yang beragama Islam dan menyiarkan agama Kristen di seberang lautan. (M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm.32)

 

Api Perang Salib

Semangat perang salib sangat kuat mendorong ekspansi mereka. Portugis memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus diperangi. Oleh karena itulah ketika Alfonso d’Albuquerque berhasil menduduki Malaka pada 1511, ia berpidato, “Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita adalah mengusir orang Moor dari negeri ini dan memadamkan api Sekte Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini… Saya yakin, jika kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka, Kairo dan Mekkah akan hancur total dan Venesia tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi dan membelinya di Portugis.” (F. C. Danvers, The Portuguese in India, I/226)

 

Baca Juga: Jaringan Islamisasi Jawa-Maluku

 

Api perang salib cukup kuat dalam diri Albuquerque sehingga mendorongnya menangkap dan menjarah semua kapal muslim yang bisa ditemukannya antara Goa dan Malaka. Ia memerangi orang Muslim sambil melayani kepentingan perniagaan Portugis. Demikianlah, sekali lagi terjadi perang salib antara orang Muslim dan orang Kristen. Sebelumnya, perang itu berkali-kali bergolak di Laut Tengah. Akan tetapi, kini perang itu berlangsung di Nusantara yang jauh. Dengan pukulan pertama, armada Portugis berhasil menjatuhkan Malaka, tetapi tiga kerajaan lain bangkit untuk tetap mengibarkan bendera Nabi Muhammad di Kepulauan Nusantara. Kerajaan tersebut adalah kesultanan Aceh, Demak, dan Ternate. (Bernard H. M. Vlekke, Nusantara, hlm. 98)

 

Kristenisasi

Setelah berhasil menaklukkan Malaka, pada 1512 kapal-kapal Portugis mulai berlayar di Laut Jawa dan akhirnya sampai ke Maluku. Di kawasan inilah terletak kepulauan rempah-rempah. Pada mulanya Portugis hanya membeli rempah-rempah di kepulauan tersebut. Mereka juga meminta izin untuk mendirikan benteng sebagai tempat tinggal dan tempat penampungan rempah-rempah. Para sultan di Maluku memberikan izin kepada mereka karena mengharapkan laba besar dari hubungan dagang itu. Benteng Portugis pun berdiri di Hitu pada 1515 dan di Ternate pada 1523.

Akan tetapi, lama kelamaan Portugis berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah. Para pedagang Muslim tidak boleh lagi turut dalam perniagaan itu. Portugis juga mengedarkan dan menjual minuman keras di kalangan penduduk Muslim. Malah orang Portugis sendiri yang minum sampai mabuk serta membuat kekacauan dalam pasar cengkeh di Hitu. Lebih dari itu, Portugis juga menyebarkan agama Kristen Katholik Roma.

 

Baca Juga: Awal Islamisasi Maluku

 

Penyebaran Kristen Katholik di Maluku dimulai sekitar 1523, yaitu ketika Antonio de Brito datang untuk mendirikan benteng di Ternate. Pada waktu itu, beberapa biarawan Fransiscan ikut serta dalam kapal Portugis. Para misionaris Portugis itu menyebarkan agama Kristen Katholik dengan cara paksaan dan tidak mengenal toleransi beragama. Para misionaris Portugis tidak menghiraukan agama Islam yang telah dianut oleh penduduk di Maluku. Hal ini membangkitkan perlawanan dari kaum Muslim di Maluku.

Penyebaran Kristen Katholik oleh para misionaris Portugis di wilayah-wilayah Islam terkadang dilaksanakan pada hari Jumat tepat waktu shalat. Pada waktu itu semua orang laki-laki berada di masjid, sedangkan wanita dan anak-anak berada di rumah. Mereka yang dapat meloloskan diri dari kepungan Portugis terpaksa lari meninggalkan keluarganya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi di wilayah-wilayah Islam di pulau Ambon, seperti Negeri Lama (Pasolama), Suli, Wai dan lain-lain. (Maryam RL Lestaluhu, Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam Terhadap Imperialisme di Daerah Maluku, hlm. 39-41)

 

Oleh: M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Kedatangan Si Perusak Kedamaian-Portugis

Pada abad 15 M, jalur perdagangan dari Malaka hingga Maluku sangat ramai. Berbagai suku bangsa terlibat di dalamnya, seperti Melayu, Jawa, Keling, Arab, Persia dan Cina. Meski berbeda ras dan agama, mereka mampu menjaga jalur tersebut tetap ramai, damai, dan tanpa monopoli salah satu pihak. Masing-masing pedagang saling menghormati. Akan tetapi, kedamaian jalur perdagangan itu hancur saat memasuki abad 16 M setelah Portugis datang. 

    

Euforia Kemenangan

Wilayah Portugis terletak di Semenanjung Iberia Eropa Barat. Sejak 711 M hingga beberapa abad kemudian, umat Islam pernah menguasai Semenanjung Iberia. Selanjutnya Semenanjung Iberia dikenal dengan nama Andalusia. Pada masa kejayaannya, Andalusia memancarkan sinar peradaban cemerlang yang menerangi Eropa. Selain Muslim, banyak orang Kristen dan Yahudi turut mengambil manfaat dengan menimba ilmu di sekolah-sekolahnya. Akan tetapi, sinar itu perlahan redup, kemudian padam. Kelemahan dan perpecahan internal di antara kaum Muslim menjadi celah bagi orang Kristen untuk menyerang mereka. Perebutan Andalusia dari tangan umat Islam ini oleh orang Kristen dinamakan Reconquista yang secara harfiah berarti “penaklukan ulang”. Di Portugis sendiri, kekuasaan Islam berakhir pada 1249 dengan ditaklukkannya Algarve oleh Afonso III

Setelah berhasil mengusir orang Moor –sebutan untuk orang Muslim– dari Semenanjung Iberia, Portugis mengalami euforia kemenangan. Mereka pun melanjutkan peperangan ke wilayah lain. Pada 1400, Raja Portugis Joao I (1385-1433) memerangi wilayah tetangganya yang seagama, Castilia. Peristiwa ini menyebabkan Sang Raja merasa bersalah. Oleh karena itu, ia ingin menebus kesalahannya dengan “mencuci tangan-tangan yang berdosa tersebut dengan darah orang kafir”. Ia kemudian mengumumkan perang salib untuk merebut Ceuta, yang terletak di pantai utara Afrika di seberang Gibraltar, dari tangan orang Islam. Pada 1415, Ceuta jatuh ke tangan Portugis. Setelah peristiwa ini, mulailah serangan secara berturut-turut atas kedudukan umat Islam

Putra Joao I, Henrique, melanjutkan usaha ayahnya untuk mengekang kekuasaan Islam di Afrika Utara hingga Selatan. Ia mendirikan sekolah navigasi untuk mendorong usaha-usaha ekpansi Portugis berikutnya. Oleh karena itu, namanya sering disebut Henrique sang Navigator. Meskipun belum pernah berlayar jauh, ia mengatur banyak perjalanan ke wilayah-wilayah yang baru dikunjungi Portugis. (C.P.F. Luhulima, Motif-Motif Ekspansi Nederland dalam Abad Keenambelas, hlm. 9-10)

 

Baca Juga: Awal Islamisasi di Banjarmasin

 

Pada 1460, tahun meninggalnya Don Henrique, orang Portugis sampai di pantai Guinea. Di sini mereka mengambil emas dan penduduk pribumi sebagai budak. Dua puluh enam tahun kemudian, Bartholomeus Diaz sampai di ujung selatan Afrika. Ia sebenarnya berharap dapat melintasi ujung ini agar bisa melanjutkan perjalanan ke wilayah di baliknya. Akan tetapi, ia terpaksa kembali ke Portugis karena kapalnya diserang badai. Ujung selatan Afrika itu kemudian dinamakan Tanjung Harapan.

Ekspedisi Portugis berikutnya dipimpin oleh Vasco da Gama. Ekspedisi ini sukses melewati ujung selatan Afrika. Begitu sampai di Samudra Hindia, Vasco da Gama menyaksikan kawasan tersebut sangat ramai. Banyak kapal berukuran jauh lebih besar dari kapal Portugis. Kapal-kapal itu membawa berbagai macam barang berharga. Yang lebih mengejutkan lagi bagi Portugis, pelayaran di Samudra Hindia didominasi oleh musuh mereka, orang Moor. (J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, hlm. 96 dan Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, hlm. 97)

 

Menuju India

Tujuan Portugis selanjutnya adalah India, tempat yang mereka ketahui rempah-rempah berasal. Selain itu, Portugis juga menduga India adalah tempat kerajaan rahasia Pendeta John. Sejak lama Portugis ingin membangun sebuah persekutuan dengan sang Pendeta untuk mengobarkan kembali perang salib melawan orang Moor. (B.J.O. Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 53)

Oleh karena belum mengetahui jalur ke India, Portugis memanfaatkan jasa para navigator Muslim. J.C. van Leur menyebutkan bahwa Portugis dibantu oleh seorang Muslim Gujarat yang diberikan oleh penguasa Melinde (wilayah Kenya). Sementara itu, M.A.P. Meilink Roelofsz menyebutkan bahwa Ibn Iyas dan Ibn Majid –keduanya orang Arab– membantu pelayaran Portugis ke India.

Pada 1498, ekspedisi Vasco da Gama sampai di Calicut India. Di sini, orang Portugis disambut oleh para pedagang Maghribi dengan sikap mengejek dan menjelekkan mereka di hadapan penguasa Calicut, raja Zamorin. Tetapi apa daya, mereka juga memerlukan para pedagang Maghribi, yang mengerti bahasa setempat sekaligus bahasa Spanyol, itu. Mereka lalu mempersembahkan pemberian kepada raja, “dua belas lembar kain lakan bergaris-garis, dua belas buah jubah bertudung kepala, enam buah topi, empat cabang karang, enam buah pasu (bejana besar dari tanah untuk tempat air), sepeti gula serta dua gentong minyak dan madu.”

 

Baca Juga: Jaringan Islamisasi Jawa-Maluku

 

Pemberian ini memicu sindiran para pedagang Maghribi. Mereka menertawakannya. Mereka memandang pemberian Portugis itu terlalu remeh. Menurut mereka, pedagang Mekah yang paling miskin pun akan menganggap pemberian itu sangat tidak layak. (Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jilid 2, hlm. 4)  

Portugis kemudian mendirikan kantor-kantor dagang di beberapa pelabuhan di India. Selain berdagang, Portugis juga menyebarkan agama Katholik. Dalam rombongan Vasco da Gama memang terdapat beberapa orang misionaris. Orang Portugis merasa bahwa penyebaran Katholik adalah tugas yang sejalan dengan penjajahan mereka. Pemimpin tertinggi Katholik saat itu, Paus Alexander VI, bahkan merestui hal ini. Dalam Perjanjian Tordesillas pada 4 Mei 1493, ia membagi dunia menjadi dua: bagian barat untuk Spanyol dan bagian timur untuk Portugis, dengan syarat kedua bangsa ini harus menyebarkan agama Katholik di wilayah yang mereka kuasai.

Setelah kunjungan pertama pada 1498, beberapa tahun kemudian Vasco da Gama kembali ke perairan India dengan perintah tegas dari raja Portugis untuk menghentikan semua pelayaran Arab antara Mesopotamia dan India. Setelah beberapa pertempuran dahsyat, ia berhasil mengontrol bagian barat Samudra Hindia bagi rajanya. Wallahu a‘lam.

 

Oleh: M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia   

Dinamika Dakwah Islam Di Kesultanan Ternate

Sebelum menjadi kesultanan, Ternate merupakan sebuah kerajaan yang berdiri pada abad 13 M dan memeluk semacam agama syamanisme. Ternate bersama Tidore, Bacan dan Jailolo adalah empat kerajaan bersaudara yang berasal dari keturunan yang sama. Kerajaan Ternate didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kerajaan ini memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad 13 hingga abad 17 M. Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya, kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah; bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Lautan Pasifik.

 

Membangun Masyarakat Islami

Raja Ternate pertama yang bergelar sultan adalah Zainal Abidin (memerintah 1486-1500). Sejak saat itu, Ternate secara resmi menjadi kesultanan Islam. Zainal Abidin sempat belajar Islam di Giri Jawa Timur. Sekembalinya ke Ternate, ia mengukuhkan Islam dengan memasukkannya dalam struktur politik, kemudian berusaha memperluas dan menanamkan ajaran Islam melalui pendidikan. Ia membuka sekolah dengan mengangkat guru-guru agama dari Jawa. Ia juga mewajibkan para pegawai daerah untuk mempelajari syariat Islam di Ternate.

Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin, Ternate mengalami kemajuan yang pesat bukan hanya di bidang keagamaan, melainkan juga di bidang ekonomi. Perdagangan yang dijalankan oleh orang-orang Ternate, Jawa, dan Melayu menjadi lebih ramai dengan datangnya orang-orang Arab. Kemajuan yang dialami oleh Ternate sempat menimbulkan iri hati kerajaan-kerajaan sekelilingnya. (Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5, hlm. 99)

 

Memperadabkan Ternate

Setelah Sultan Zainal Abidin meninggal, Bayanullah naik menjadi sultan kedua Ternate (1500-1522). Di kalangan orang Barat, ia dikenal dengan nama Abu Lais atau Sultan Boleif. Ia adalah tokoh yang dipandang sangat pandai, terpelajar, ksatria dan pedagang ulung. Ludovido di Varthema, dalam sebuah lukisan yang dibuatnya semasa Bayanullah, melukiskan Sultan Ternate itu sebagai “seorang pria terhormat dari kota Roma”.

Sultan Bayanullah menyadari segi-segi negatif keadaan kawulanya. Sebagai seorang terpelajar dan terhormat, ia mempunyai keinginan besar untuk memperbaikinya. Pada masa pemerintahannya, sejumlah peraturan yang bertujuan memantapkan syariat Islam dan meningkatkan peradaban bagi kawula kesultanan dikeluarkan. Ada dua tindakan Sultan Bayanullah yang layak dicatat.

Pertama, Kesultanan Ternate menyatakan berlakunya hukum perkawinan Islam bagi seluruh kawula kesultanan yang beragama Islam. Sultan Bayanullah melakukan pembatasan poligami. Pada masa itu, rakyat Maluku utara baik yang sudah beragama maupun belum, seperti yang dikeluhkan oleh seorang misionaris Katholik, Franciscus Xaverius, tidak dapat hidup tanpa poligami. Kemungkinan tidak ada batasan jumlah wanita yang dipoligami. Sultan Bayanullah pun mengeluarkan sejumlah persyaratan berat, sehingga secara formal hampir tidak ada celah lagi yang dapat membawa seseorang untuk berpoligami.

Selain itu, Sultan Bayanullah juga melarang praktek pergundikan yang marak pada zaman tersebut, terutama di kalangan para bobato (sebutan pemimpin level bawah di Ternate). Ada bobato yang memelihara gundik hingga puluhan orang. Sultan Bayanullah membuat peraturan bahwa bobato yang memelihara gundik tanpa persetujuannya akan dipecat.

Peraturan lain yang ditegakkan oleh Sultan Bayanullah adalah memangkas biaya dan peningset dalam perkawinan yang memberatkan dan berlebihan. Sultan menerapkan syarat ijab kabul perkawinan, baik hal itu dilakukan secara Islam maupun adat.     

Kedua, semua kawula kesultanan, tanpa pandang bulu –baik Muslim maupun bukan— harus berpakaian secara Islami. Sultan Bayanullah melarang laki-laki memakai cawat, dan perempuan harus memakai pakaian yang menutup auratnya.

Kebijakan Sultan Bayanullah lainnya yang menyangkut Islam adalah peraturannya yang menentukan bahwa untuk diangkat dalam jabatan bobato, baik di pusat maupun daerah, seseorang harus beragama Islam. Dengan peraturan ini, hampir semua bobato kerajaan adalah Muslim. Dengan demikian, melalui pengaruh para bobato, rakyat Maluku didorong untuk memeluk Islam.

Setelah Zainal Abidin, Bayanullah dapat dipandang sebagai tokoh paling berjasa dalam penyebaran agama Islam, khususnya di wilayah Kesultanan Ternate. Di samping itu, Bayanullah merupakan sultan yang paling penting jasanya dalam penerapan prinsip-prinsip Islam ke dalam struktur dan lembaga-lembaga Kesultanan Ternate. Ia juga sukses mengeluarkan rakyatnya dari kesyirikan menuju tauhid. (M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah, hlm. 66-68)

 

Menghadapi Kristenisasi

Saat pertama kali datang ke Banda pada 1512, Portugis disambut baik oleh pribumi Maluku. Sultan Ternate saat itu, Sultan Bayanullah, segera mengadakan hubungan persahabatan dengan Portugis. Portugis kemudian diberi izin untuk membangun benteng di Ternate. Hubungan persahabatan Ternate-Portugis ini berakhir dengan buruk akibat ulah Portugis sendiri. Di antara sebabnya adalah monopoli perdangan rempah-rempah dan Kristenisasi yang dilakukan Portugis kepada pribumi Maluku yang sudah beragama Islam.

Sultan Khairun (1535-1570) adalah tokoh yang menjadi kendala utama baik di bidang perdagangan maupun pelaksanaan konversi ke agama Kristen Katholik. Sebagai Sultan Ternate, Khairun mengeluarkan berbagai peraturan yang menghambat kedua hal tersebut. Di bidang perdagangan rempah-rempah misalnya, ia sangat pro perdagangan bebas dan menentang pungutan pajak penghasilan terhadap petani cengkih. Demikian pula, untuk menghadapi laju konversi yang sangat mengkhawatirkan, Khairun pernah mengadakan pertemuan dengan Sultan Tidore, Bacan dan Jailolo pada 1544 untuk membendung penginjilan yang dilakukan Misi Jesuit. Pertemuan itu menghasilkan keputusan untuk memisahkan pemukiman orang Islam dari pemukiman orang Kristen, dengan tujuan mencegah konversi orang-orang Islam ke dalam agama Kristen. (M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku, hlm. 195) Wallahu a‘lam.

 

Ditulis Oleh: M. Isa Anshari 

 

Tema Lainnya:

Yahudi dan Runtuhnya Khilafah

Juli lalu, di tengah kisruh pelarangan ormas yang konsisten meneriakkan khilafah, kita diingatkan dengan satu negara di dunia yang sangat terkait dengan keruntuhan khilafah Utsmaniyah. Israel.

Pendirian negara israel dan khilafah Islamiyah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Daulah Utsmaniyah dibawah kekuasaan Sultan Abdul Hamid merupakan perintang terbesar gagasan pendirian Israel.

Mereka mengiming-imingi dengan berbagai imbalan yang ditolak tegas oleh sultan Abdul Hamid. Kalimatnya yang sangat masyhur, “sesungguhnya, andaikata tubuhku disayat dengan pisau atau salah satu anggota badanku dipotong maka itu lebih aku sukai daripada aku perkenankan kalian tinggal di bumi palestina yang merupakan negara kaum muslimin. Sesungguhnya bumi palestina telah direbut dengan pengorbanan darah. Dan sekali-kali bumi itu tidak akan dapat dirampas dari mereka melainkan dengan pertumpahan darah. Dan sesungguhnya Allah telah memuliakanku sehingga dapat berkhidmat kepada Agama Islam selama tiga puluh tahun. Dan aku tidak akan mencoreng sejarah leluhurku dengan aib ini. Simpanlah uangmu itu Hertzl. Jika Abdul Hamid telah mati maka kalian akan mendapatkan negeri Palestina dengan Cuma-Cuma.”

Baca Juga: Khilafah dan Syariat Islam, Dua Pondasi Inti

Sejak penolakan tersebut, kekuatan lobi Yahudi mulai bermain keras. Mereka berupaya membunuh sultan Abdul Hamid. Mereka datang dengan sebuah mobil berisi bahan peledak dan meletakkanya disamping mimbar tempat sultan Abdul Hamid shalat. Alhamdulillah, Allah menyelamatkan nyawa Sultan Abdul Hamid.

Setelah rencana itu gagal mereka “membeli” satu persatu orang yang yang berada disekitar sultan. Media mereka kuasai untuk menumbuhkan sikap anti kepada kepribadian muslim. Setelah itu mereka mulai membangkitkan gerakan anti sultan Abdul Hamid II. Salah satu yang mengambil peran besar adalah gerakan pemuda yang diasuh oleh zionis. Agenda utamanya adalah menentang dan dan memberontak kepada sultan Abdul Hamid. Setelah itu mereka melakukan gerakan masif dan mengklaim diri telah menguasai sebagian besar kekuatan militer, temasuk pemimpin tertingginya, Mustafa Kamal Ataturk.

Pada tahun 1928 mereka berhasil meruntuhkan khilafah dan ditegaskan bahwa negara tidak ada lagi hubungannya dengan agama.

1948 israel diakui sebagai negara merdeka di tanah umat Islam, Palestina. Israel menjadi negara Yahudi satu-satunya didunia. Meskipun dikenal sebagai negara demokrasi modern, Israel tetap mengaitkan eksistensinya dengan teks-teks agama Yahudi. Meskipun memang dalam pemerintahan teks-teks keagamaan Yahudi bukanlah pertimbangan utama, tetapi seringkali hanya dimanfaatkan untuk kepentingan negara. (Redaksi/Terkini

 

Tema Lainnya: Khilafah, Yahudi, Sekulerisme

Mukjizat Di Sebuah Parit

 

Setengah tahun berlalu sejak pengusiran Bani Nadhir, suasana damai menyelimuti Madinah. Dalam kondisi demikian, Rasulullah memfokuskan diri untuk memperbaiki tatanan hidup masyarakat Madinah.

Suasana damai tersebut tak disukai oleh orang-orang Yahudi yang terusir dari Madinah. Sebelumnya di Madinah terdapat tiga kabilah besar Yahudi, Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir diusir dari Madinah dan menetap di Khaibar.

Tak senang melihat kaum Muslim hidup dalam ketenangan, mereka pun merencanakan makar, mengajak kabilah-kabilah yang membenci Islam untuk bersatu memerangi Rasulullah dan kaumnya. Mereka mendatangi Kaum Quraisy dan kabilah-kabilah lain untuk menggalang kekuatan menyerang Madinah. Hingga terkumpullah sekitar sepuluh ribu lebih pasukan untuk menggempur Madinah.

Informasi ini pun sampai kepada Rasulullah, Beliau segera memanggil para sahabat untuk bermusyawarah menghadapi serbuan tersebut. Dalam musyawarah, Salman al-Farisi mengusulkan idenya, “Wahai Rasulullah, dulu jika kami orang Persia dikepung musuh, kami membuat parit di sekitar kami.”

Baca Juga: Penentuan Strategi Perang

Rencana dari Salman al-Farisi pun disetujui Rasulullah.  “Mari kita gali parit di sekeliling Madinah. Kita akan bertahan di dalam kota dan memerangi mereka. Kita pun akan mencari tempat yang aman untuk anak-anak, wanita, dan orang tua.” Seru Rasulullah.

Persiapan perang segera dilakukan. Orang-orang munafik Madinah melarikan diri ke pegunungan sekitar Madinah. Sementara orang-orang tua, wanita, dan anak-anak diungsikan ke tempat yang aman.

Para sahabat mulai melakukan penggalian parit di bawah komando Rasulullah . Panjang parit membentang dari bagian barat sampai bagian timur sekitar 5 km, lebar parit sekitar 4 meter, dalamnya sekitar 4 meter. Tanah galiannya disimpan di arah Madinah, sehingga menjadi pelindung.

Rasulullah saw menugaskan setiap 10 orang menggali 40 hasta. Beliau ikut menggali parit, tidak duduk santai di tenda yang nyaman, tidak pula diam dalam kamar istimewa. Pada pagi yang amat dingin Rasulullah menggali parit bersama dengan sahabat Muhajirin dan Anshor. Beliau tahu bahwa mereka mengalami keletihan yang luar biasa dan perut mereka kosong. Oleh karenanya Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan akhirat. Maka ampunilah orang-orang Muhajirin dan Anshor.”

Seorang sahabat, Jabir bin Abdullah, merasa iba melihat Rasulullah yang terus menggali meskipun dalam keadaan lapar. Akhirnya ia memerintahkan istrinya untuk menyembelih dan memasak seekor kambing untuk dihidangkan pada Rasulullah. Jabir berbisik kepada Rasulullah untuk datang ke rumahnya sendiri saja, tetapi Beliau justru mengajak semua yang sedang menggali parit. Atas izin Allah, semua mendapat jatah makanan sampai semua kenyang, bahkan masih ada sisa daging untuk keluarga Jabir bin Abdullah.

Ketika menggali parit, para sahabat menemukan batu yang sangat keras. Setiap sahabat yang kuat maju untuk menghancurkan batu tersebut, namun batu itu tetap tak hancur juga. Para sahabat pun melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah. Beliau pun datang, mengambil cangkul dan berucap, “Bismillah. .”

Hantaman yang pertama Beliau berkata, “Allah Maha Besar, aku diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah, aku benar-benar bisa melihat istana-istananya yang bercat merah saat ini.”

Lalu Rasulullah menghantam untuk kedua kalinya bagian batu yang lain. Bongkahan batu tersebut kembali hancur. Rasulullah berkata, “Allah Maha Besar, aku diberi kunci-kunci Persia. Demi Allah! Saat ini pun aku dapat melihat istana Mada’in yang bercat putih.”

Kemudian Beliau menghantam untuk ketiga kalinya, “Allah Maha Besar. Aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah! Dari tempatku ini aku bisa melihat pintu-pintu gerbang Shan’a.”

Inilah mukjizat. Batu yang tidak bisa dihancurkan oleh para sahabat, bisa dihancurkan oleh Rasulullah sampai hancur lebur menjadi pasir. Dan dalam keadaan sulit seperti itu, Allah memberi kabar gembira, kabar kemenangan bahwa Syam akan dikuasai oleh kaum Muslim, juga Romawi akan berada di bawah kekuasaan Islam, demikian pula dengan negeri Yaman. (Redaksi/Tarikh Islam) 

 

Tema Lainnya: Tarikh Islam, Pahlawan Islam, Dunia Islam

 

Jaringan Islamisasi Jawa-Maluku

Islamisasi merupakan proses yang membentuk jaringan panjang di dunia Islam. Melalui aktivitas perdagangan, para dai berhasil membangun hubungan antarpulau. Jika Islam berhasil didakwahkan di satu pulau, maka dari pulau itu akan berangkat para dai untuk mendakwahkan Islam ke pulau lainnya. Demikianlah yang terjadi di kepulauan Nusantara. Dari ujung barat Sumatra, para dai yang banyak berprofesi sebagai pedagang kemudian melanjutkan gerak Islamisasi ke Jawa. Dari Jawa, gerak Islamisasi dilanjutkan ke pulau-pulau di sebelah utara dan timur, seperti Kalimantan, Madura, Sulawesi dan Maluku.   

Hubungan Dagang dan Dakwah

Sebelum kedatangan Portugis dan Spanyol ke Asia pada pergantian abad 15 ke 16 M, orang Jawa menguasai perdagangan laut di Kepulauan Nusantara. Periode 1300-1500 merupakan masa kejayaan perdagangan Jawa. Di sebelah barat, orang Jawa sejak 1286 menguasai Palembang –ibukota Sriwijaya– yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Setelah Palembang mengalami kemunduran pada akhir abad 14 M, sejumlah pedagang Hindu Jawa melakukan eksodus. Mereka kemudian memindahkan aktivitas perdagangan ke Malaka. Di Malaka, para pedagang Hindu Jawa berhubungan dengan orang-orang Muslim dari Gujarat yang giat melakukan dakwah sehingga dengan cepat mereka memeluk Islam. (B. J. O. Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 19-21)

Baca Juga: Islam Nusantara dan Islam Arab

Aktivitas perniagaan Malaka menyebabkan agama Islam tersebar ke wilayah yang lebih luas. Dalam hubungan ini, perdagangan menjadi faktor yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Malaka memainkan peran penting dalam konversi Kepulauan Maluku melalui pelabuhan-pelabuhan laut di Jawa, dimana mereka sendiri memeluk Islam akibat pengaruh Malaka. (M. A. P. Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara, hlm. 33)   

Orang Jawa menjadi penghubung perdagangan rempah antara Maluku dengan Malaka. Tuban adalah pelabuhan terbesar di Jawa. Kota ini menjadi gudang besar rempah-rempah dari Maluku. Dari sini, rempah-rempah kemudian dibawa ke Malaka untuk dipasarkan ke India hingga Eropa di barat maupun ke Cina di timur. Sementara itu, kebutuhan beras di Maluku disuplai dari Jawa yang dikenal sebagai penghasil beras. (H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia 1, hlm. 33)          

Santri Giri Berdakwah di Maluku

Dengan memanfaatkan hubungan yang telah terbangun antara Jawa dan Maluku, pada akhir abad 15 berangkatlah seorang santri Giri asal Minangkabau bernama Dato’ Maulana Husain ke Ternate. Ia pandai membaca Al-Qur’an dan suaranya amat merdu. Hampir setiap malam ia membaca kitab suci itu dengan baik dan menarik pribumi Ternate. Akibatnya, banyak pribumi Ternate datang ke rumahnya sekadar mendengar tilawah Al-Qur’an. Jumlah mereka semakin membengkak dari hari ke hari.

Di antara pengunjung pribumi ini ada yang mengajukan permintaan agar diajarkan membaca Al-Qur’an seperti yang dilakukan Maulana Husain. Dengan cara halus, Maulana Husain mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci orang Islam. Untuk membacanya, seseorang harus terlebih dahulu menjadi Muslim. Orang-orang Ternate tidak keberatan menerima persyaratan itu. Sejak saat itulah, mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam. Maulana Husain membuka pengajian untuk mengajari mereka membaca Al-Qur’an dan agama Islam.

Maulana Husain juga ahli kaligrafi. Keahliannya digunakan untuk menulis ayat-ayat suci Al-Qur’an di atas sebilah papan. Keahlian ini membuat kawula Ternate kagum dan berhasrat mempelajarinya. Dakwah Maulana Husain akhirnya menerobos ke dalam istana. Kolano (gelar raja-raja Maluku sebelum Islam) Marhum sendiri tertarik dan sering mengundang Maulana Husain untuk membaca Al-Qur’an dan berdakwah di istana. Akhirnya, Kolano Marhum memeluk Islam dan memerintahkan para bobato dan keluarganya untuk mengikuti jejaknya. Dengan demikian, Kolano Marhum telah membidani lahirnya komunitas Muslim pertama kerajaan Ternate. Marhum wafat pada 1486. Untuk pertama kali dalam sejarah Kerajaan Ternate, seorang Kolano dimakamkan sesuai syariat Islam. (M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah, hlm. 62-63)        

Sultan Ternate Nyantri ke Giri

Sepeninggal Marhum, putranya yang bernama Zainal Abidin menggantikan posisinya memimpin Ternate. Ia adalah pemimpin pertama Ternate yang bergelar sultan. Sejak kecil ia tumbuh dalam didikan Maulana Husain. Semangatnya untuk mempelajari Islam sangat tinggi. Oleh karena itu, pada 1495 ia berangkat ke Jawa guna melanjutkan belajar kepada Sunan Giri.

Ia diterima belajar di pesantren Giri selama 3 bulan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih). Menjadi murid salah seorang Wali Sanga yang terkenal merupakan idamannya sejak remaja. Karena informasi yang disampaikan Maulana Husain, ia tahu betapa tinggi pengetahuan agama Sunan Giri. Zainal Abidin merupakan satu-satunya Sultan asal Maluku yang menimba ilmu dari salah seorang Wali Sanga.

Baca Juga: Awal Islamisasi Maluku

Selama di Giri, Sultan Zainal Abidin bertemu dengan pemimpin Hitu, Pati Tuban, yang juga disebut Pati Putik. Keduanya menjalin persahabatan dan kerja sama yang memberikan pengaruh agak lebih besar kepada Sultan Ternate yang waktu itu mempunyai kekuasaan yang luas. Selain itu, Sultan Zainal Abidin juga berhasil membina persahabatan dengan orang-orang Jawa yang berpengaruh dan berkuasa. Dalam pelayaran pulang, ia sempat singgah di Makasar dan Ambon untuk membangun hubungan persahabatan dengan berbagai penguasa lokal di sana.

Selama berada di Jawa, Sultan Zainal Abidin sempat merekrut beberapa guru agama. Yang paling terkenal dan terpandai di antara mereka adalah Tuhubahahul. Ia ikut ke Ternate dan membantu Sultan dalam menyebarkan agama dan budaya Islam di sana. Beberapa ulama diboyong ke Ternate, diberi tugas sebagai guru agama, muballigh, dan ada pula yang diangkat sebagai imam. Inilah cikal bakal lembaga Imam Jawa dalam struktur Bobato Akhirat pada pemerintahan kesultanan Ternate. (Kepulauan Rempah-rempah, hlm. 64-65; J. Keuning, Sejarah Ambon Sampai Akhir Abad ke-17, hlm. 3-4) Wallahu a‘lam. (Redaksi/Sejarah/Islamisasi)

 

Tema Terkait: Sejarah Islam, Nusantara, Islamisasi

Awal Islamisasi Maluku

Maluku pada hari ini merupakan sebuah provinsi yang meliputi bagian selatan Kepulauan Maluku, Indonesia. Sementara itu, bagian utara kepulauan tersebut sejak 1999 menjadi provinsi tersendiri bernama Maluku Utara. Jika mengkaji sejarah, sebenarnya dahulu wilayah yang disebut Maluku justru wilayah yang hari ini menjadi Provinsi Maluku Utara. Dalam kitab Nagarakretagama disebutkan bahwa wilayah pengaruh kerajaan Majapahit meliputi Maluku, Ambwan (pulau Ambon sekarang) dan Wandan (Banda sekarang). Ini artinya Ambon dan Banda tidak termasuk bagian dari Maluku.

Saat VOC berkuasa, pembagian wilayah sesuai keterangan Nagarakretagama masih dipertahankan. Ada tiga wilayah administrasi pemerintahan VOC, yaitu Gouvernement der Molukken yang berpusat di Ternate, Gouvernement van Amboina yang berpusat di Ambon dan Gouvernement van Banda yang berpusat di Banda Neira. Setelah VOC bubar, tepatnya pada 1817, Pemerintah Hindia Belanda menyatukan ketiga pemerintahan tersebut menjadi  Gouvernement der Molukken yang berpusat di Ambon. Hal ini terus bertahan hingga setelah Indonesia merdeka.

Baca Juga: Awal Islamisasi di Banjarmasin 

Pada saat NICA berkuasa, pemerintahan di Maluku sempat dibagi dua keresidenan, yakni keresidenan Maluku Utara dan keresidenan Maluku Selatan. Ini terjadi hingga tahun 1950. Setelah era reformasi, Maluku kembali dipecah menjadi dua mengikuti konsep NICA. Provinsi Maluku wilayahnya mencakup seluruh wilayah bekas keresidenan Maluku Selatan, sedangkan provinsi Maluku Utara wilayahnya juga meliputi seluruh wilayah bekas keresidenan Maluku Utara. (Usman Thalib, Sejarah Masuknya Islam di Maluku, hlm. 12-16) Mengikuti sejarah awalnya, maka istilah Maluku dalam tulisan ini lebih banyak merujuk ke Maluku Utara.

Asal Usul Nama Maluku

Nama Maluku telah dicatat dalam Nagarakretagama (1365) sebagai Maloko. Menurut Pigeaud, diduga bahwa penulis kitab ini mengadopsi nama tersebut dari kebanyakan pedagang Arab yang melakukan kegiatan perniagaan di Nusantara. Pendapat yang populer menyatakan bahwa nama Maluku berasal dari bahasa Arab Jazirah Al-Muluk yang berarti “negeri para raja”. Saat pedagang Arab itu mengunjungi kepulauan Maluku, mereka menemukan banyak raja.

Catatan dari Dinasti Tang (618-906) di Cina menyebutkan suatu kawasan yang digunakan untuk menentukan arah daerah Ho-ling (Kalingga) yang terletak di sebelah baratnya. Kawasan ini bernama “Mi-li-ku” yang diperkirakan sebagai sebutan untuk Maluku. Penulis-penulis Cina dari zaman Dinasti Tang tidak dapat memastikan lokasi sesungguhnya kawasan yang ditunjuk dengan nama tersebut. Pada masa kemudian, barulah diketahui bahwa yang dimaksud dengan “Mi-li-ku” adalah gugusan pulau-pulau Ternate, Tidore, Makian, Bacan dan Moti. (M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, hlm. 5-7)

Hubungan dengan Dunia Luar

Disebutnya nama Mi-li-ku dalam catatan dari Dinasti Tang maupun Maloko dalam Nagarakretagama menunjukkan bahwa telah terjalin hubungan antara kawasan tersebut dengan dunia luar. Hubungan itu bahkan telah ada sejak sekian ratus tahun sebelum Masehi. Dalam perdagangan kuno internasional, Kepulauan Maluku sering dikenal sebagai Kepulauan Rempah. Rempah-rempah, seperti cengkih dan pala, dihasilkan dan didatangkan dari Maluku.

Bukti paling awal dari keberadaan cengkih di luar Maluku datang dari penemuan arkeologis yang berasal dari sekitar 1700 SM di situs Mesopotamia, Terqa di Suriah sekarang. Di antara tanaman yang umum tersisa di ruang dapur rumah tangga adalah beberapa cengkih. Oleh karena umumnya cengkih berasal dari Maluku, kehadiran cengkih di rumah tangga kelas menengah di Suriah menunjukkan bahwa sejak zaman awal-awal sudah terdapat jalur perdagangan jarak jauh khusus dalam komoditas rempah yang tidak tahan lama ini. Pada abad 3 SM, rempah ini sudah cukup dikenal di Negeri Cina hingga Kekaisaran Han memerintahkan para bawahan istana untuk mengunyah cengkih agar napas mereka segar dan wangi. K’ang T’ai, satu dari utusan yang dikirim oleh Pemerintah Wu dari Negeri Cina Selatan ke Funan pada abad 3 M, melaporkan bahwa cengkih berasal dari pulau di timur. (Leonard Y. Andaya, Dunia Maluku, hlm. xvii)

Selama berabad-abad, Maluku dengan rempah-rempahnya mempunyai daya tarik bagi banyak bangsa. Orang Jawa menjadi penghubung perdagangan rempah antara Maluku dengan Malaka. Tuban adalah pelabuhan terbesar di Jawa. Kota ini menjadi gudang besar rempah-rempah dari Maluku. Dari sini, rempah-rempah kemudian dibawa ke Malaka untuk dipasarkan ke India hingga Eropa di barat maupun ke Cina di timur. Sementara itu, kebutuhan beras di Maluku disuplai dari Jawa yang dikenal sebagai penghasil beras. (H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia 1, hlm. 33)   

Islam Masuk Maluku

Pengaruh Islam telah hadir di kepulauan Maluku sejak kurun pertama tahun Hijriah. Akan tetapi, kemungkinan besar saat itu Islam hanya dianut oleh musafir Muslim yang singgah di Maluku. Hamka menyatakan bahwa sejak 650M atau 17 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para pedagang Arab telah membawa cengkih dan pala ke pelabuhan di Teluk Persia untuk kemudian diperdagangkan ke Eropa. Pada masa itu ramai pedagang Arab dan Persia berlayar ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Kemungkinan pedagang Arab itu telah menikah dengan wanita pribumi, berdiam sekian lama atau meninggal di sana. (Sejarah Umat Islam, hlm. 805)

Baca Juga: Sejarah Berhala Arab Jahiliyah

Dalam Hikayat Ternate yang ditulis oleh Naidah disebutkan bahwa pengislaman di sana terjadi pada 643 H (1250 M). Seorang tokoh bernama Jafar Shadik atau Jafar Nuh tiba di Ternate dari Jawa pada Senin 6 Muharam 643 H atau 1250 M. Sementara itu, sumber-sumber Portugis yang tiba di Maluku pada 1512 mencatat bahwa Islam telah ada di Ternate sejak 1460. Hal yang sama dikatakan oleh Tome Pires bahwa Banda, Hitu, Makian dan Bacan sudah terdapat masyarakat Islam sejak kira-kira 50 tahun sebelum Portugis tiba. Diperkirakan pada 1460 atau 1465. Pernyataan dari sumber-sumber Portugis ini memberi kesan kuat bahwa Islam telah melembaga dalam kehidupan masyarakat lokal di beberapa tempat tersebut; bukan bermakna kehadiran Islam untuk pertama kalinya di sana. (Sejarah Masuknya Islam di Maluku, hlm. 22) Wallahu a‘lam. (Redaksi/Hadharah/Sejarah Islam

 

Tema Terkait: Sejarah Islam, Indonesia, Dakwah Islam 

Dinamika Dakwah Islam di Kesultanan Banjarmasin

            Pada dua edisi sebelumnya telah dibahas periode penerimaan Islam secara resmi di Kalimantan Selatan dan sekitarnya, yaitu dengan munculnya Kesultanan Banjarmasin pada 1526. Sultan pertama adalah Sultan Suriansyah. Sejak itu, gerak dakwah Islam semakin berjalan massif. Banjarmasin kemudian tampil menjadi salah satu pusat Islamisasi di Kalimantan.   

Islamisasi Bahasa Banjar

            Setelah menerima Islam, penggunaan huruf Arab yang dikenal dengan huruf Arab-Melayu menjadi pengikat identitas masyarakat Banjar. Bahasa Banjar dengan tulisan Arab-Melayu menempatkan Islam sebagai agama ilmu pengetahuan. Sejak abad 17, telah ada kitab Melayu-Banjar dengan huruf Arab yang dikarang oleh Syekh Ahmad Syamsuddin Al-Banjari, sebagai bukti telah resminya huruf Arab Melayu menjadi bahasa dan tulisan ilmu pengetahuan.

            Bahasa Melayu-Banjar dan huruf Arab menjadi bahasa pemersatu komunitas Muslim di Kesultanan Banjarmasin. Surat-surat Sultan Banjarmasin senantiasa menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu, dengan bulan Hijriah dan hari serta penanggalan Arab. Salah satu contohnya adalah surat yang dikirim oleh Sultan Sulaiman Tahmidullah II bin Sultan Muhammad Aminullah kepada Gubernur Jenderal Inggris Willem Arnold Alting, 9 Dzulhijjah 1210 H (15 Juni 1796 M).

            Saat Belanda menjajah beberapa wilayah Nusantara, pemerintah Hindia Belanda sangat menghormati Sultan Banjarmasin dengan segala kebesaran Kesultanan Islam yang menggunakan bahasa Arab, huruf Arab, bahasa Melayu-Banjar dan penanggalan Hijriah sebagai identitas formal. Hal demikian sebagai bukti bahwa Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat dan dalam pergaulan sehari-hari. (Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin, hlm. 409-410)     

Membangun Jaringan Banjar-Mekah

            Rukun Islam yang kelima adalah menunaikan ibadah haji. Seorang muslim yang taat dan mempunyai kemampuan akan berusaha untuk menunaikannya. Bagi masyarakat Muslim Banjarmasin, menjadi “haji” merupakan obsesi mereka. Sejak Islamisasi Banjarmasin berlangsung, telah ada orang-orang Muslim Banjar yang pergi menunaikah haji ke Mekah. Di antara mereka adalah Haji Batu atau Syekh Abdul Malik yang menunaikan ibadah haji dari Banjamasin pada abad 16. Pada abad 17, Datu Kandang Haji dari Paringin dan Datu Ujung dari Banua Lawas-Rantau telah menunaikan haji. Abad 18, terkenal Datu Sanggul telah pulang pergi ke Mekah, Haji Matahir yang dikenal Haji Muhammad Taher dari Negara yang menunaikan ibadah haji bersama rombongan yang banyak; disusul oleh Datu Kalampayan-Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datu Nafis-Syekh Muhammad Nafis dari Kelua, serta Datu Abulung-Syekh Abdul Hamid Abulung-Martapura.

            Para Datu yang merupakan ulama Banjarmasin berperan dalam Islamisasi Banjarmasin dari abad 16 hingga awal abad 19 tersebut tidak hanya menunaikan ibadah haji. Setelah menyelesaikan manasik, mereka tidak langsung pulang ke kampung halaman. Mereka melanjutkan aktivitas mereka dengan menuntut ilmu di Mekah dan Madinah. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 420)   Dari sini, terciptalah jaringan ilmiah Banjar-Mekah.

            Barangkali nama yang paling terkenal dalam jaringan itu adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia diberangkatkan oleh Sultan Tahlilullah ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu atas biaya dari kesultanan. Muhammad Arsyad tinggal di istana dan dibesarkan sebagai putra angkat Sultan Tahlilullah sejak ia berusia tujuh tahun. Selama 30 tahun di Mekah dan 5 tahun di Madinah, ia mempelajari banyak ilmu. Ia bahkan dipromosikan sebagai guru besar mazhab Syafi‘i oleh salah seorang gurunya yang terkenal, Syekh Atha‘illah ibn Ahmad Al-Mishri Al-Azhari.

            Pada 1772, Muhammad Arsyad bersama ketiga sahabatnya: Abdush Shamad Al-Palembani, Abdul Wahhab Bugis, dan Abdurrahman Misri, kembali ke tanah air. Sesampainya ke Kalimantan, Muhammad Arsyad disambut oleh Sultan Tamjidullah. Ia kemudian bergelar Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia hidup dalam masa pemerintahan tiga sultan, yaitu Sultan Tamjidullah, Sultan Tahmidullah (memerintah 1778-1808), dan Sultan Sulaiman.

            Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ini membawa sinar yang lebih terang dalam syiar Islam di Kalimantan. Di kampung halamannya, ia menjalankan peran keulamaan dalam bidang pendidikan dan dakwah. Sebagai contoh, ia membetulkan kiblat masjid, melakukan pemurnian akidah karena masyarakat Muslim setempat masih dipengaruhi kepercayaan dan praktek-praktek pra-Islam, seperti upacara “menyanggar” dan “membuang pesilih” yang bertujuan menyembuhkan penyakit, menghilangkan sial dan mengabulkan permohonan melalui dukun yang berkomunikasi dengan roh.

            Selain itu, Syekh Muhammad Arsyad juga berupaya memerangi paham wahdatul wujud yang dipandangnya sebagai bid‘ah sesat. Sebaliknya, ia berusaha mengembangkan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia juga aktif menulis sejumlah buku, seperti Ushûlud Dîn dan Tuhfah Ar-Râghibîn dalam bidang akidah; Sabîl Al-Muhtadîn dan Hâsyiah Fath Al-Jawwâd dalam bidang fikih; serta Kanzul Ma‘rifah dan Al-Qaul Al-Mukhtâr dalam bidang tazkiyatun nafs. (Khairil Anwar, “‘Ulamâ’ Indûnîsiyyâ Al-Qarn Ats-Tsâmin ‘Asyar” dalam Studia Islamika, vol. 3 no. 4 th 1996, hlm. 139-140)

            Pada pemerintahan Sultan Tahmidullah, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari diangkat sebagai Mufti Besar Kesultanan Banjarmasin untuk mendampingi sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Untuk mendidik dan membina masyarakat Islam, ia mendirikan pondok pesantren yang menampung para santri yang datang menuntut ilmu dari berbagai pelosok Kalimantan. Dari sini lahirlah ulama-ulama yang akan melanjutkan syiar dan dakwah Islam di Kalimantan. Di antara mereka adalah Syekh Syihabuddin, Syekh Abu Zu‘ud (keduanya putra Muhammad Arsyad Al-Banjari), dan Syekh Muhammad As‘ad (cucu Muhammad Arsyad). Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah orang pertama yang menyusun organisasi Mahkamah Syariah dan qadhi pengadilan seluruh kesultanan. (Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid I, hlm. 229). Wallâhu a‘lam.       

(Ust. M. Isa Anshari)

Awal Islamisasi Banjarmasin

            Banjarmasin hari ini adalah ibu kota provinsi Kalimantan Selatan. Dahulu, pada abad 15 hingga abad 19, Banjarmasin adalah sebuah wilayah geografis untuk sebutan yang melingkupi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Tenggara dan sebagian Kalimantan Timur. Kumpulan berbagai etnis yang tinggal di wilayah tersebut dinamakan masyarakat Banjar. (Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin, hlm. 10)

Banjarmasin dalam Hubungan Internasional

            Meski kajian sejarah tentang Banjarmasin tidak seramai kajian sejarah tentang Sumatra dan Jawa, tetapi Banjarmasin bukanlah wilayah sepi tanpa aktivitas. Disebutnya nama Banjarmasin dalam beberapa literatur asing menjadi bukti bahwa wilayah ini telah lama dikenal dan dikunjungi orang. Tentunya ada interaksi antara pengunjung dengan pihak yang dikunjungi.

            Pada abad 7, I-Tsing menyebut nama Mo-Ho-Sin dalam berita yang ditulisnya. Nama ini ditafsirkan oleh Junjiro Takasusu sebagai sebutan untuk Banjarmasin. Dalam berbagai peta kuno yang dibuat orang-orang Eropa, sebutan untuk wilayah Kalimantan bagian Selatan, Tengara dan Tengah adalah Banjarmasin. Dalam Fig. 74, peta yang dibuat Willem Lodewijcksz tahun 1598 disebutnya Bandermacsin. Dalam peta yang dibuat oleh Theodor de Bry tahun 1602, Fig. 102, disebut Bandermach. Selanjutnya, Antonio Sanches membuat peta pada 1641 dengan menyebut Bandermasyn. Lalu dalam peta yang dibuat Jan Jansson pada 1557, ia menulis Banjermshin. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 12)

Dagang Sebagai Saluran Islamisasi

            Sebagaimana wilayah lain di Nusantara, awal masuknya Islam di Banjarmasin terjadi melalui perdagangan. Jauh sebelum Islam diterima secara resmi sebagai agama masyarakat Banjar, Banjarmasin telah masuk dalam jaringan dagang yang dibangun oleh para saudagar di Nusantara. Pedagang dari Sumatra (Melayu) dan Jawa sering mengunjungi wilayah ini. Pedagang dari Jawa bahkan berhasil mendirikan Kerajaan Negara Dipa (1387-1495) dan Kerajaan Negara Daha (1478-1526). Kerajaan Negara Dipa dibangun oleh Empu Jatmika; keturunan saudagar Keling, sedangkan Kerajaan Negara Daha dibangun oleh Raden Sekar Sungsang; anak keturunan penguasa Negara Dipa yang pernah melarikan diri dari rumahnya sewaktu masih kecil. Ia kemudian bertemu dengan pedagang dari Surabaya bernama Juragan Balaba dan menjadi anak angkatnya. Sebagaimana bapak angkatnya, Sekar Sungsang kemudian menjadi pedagang sukses.

            Ia kembali ke kampung halamannya untuk meneguhkan kekuasaan raja Majapahit atas wilayah Negara Daha. Di Majapahit sendiri, komunitas Muslim telah terbangun sejak awal kerajaan ini berdiri. Oleh karena itu, pengaruh Islam tidak hanya terlihat di Majapahit, tetapi juga di wilayah yang menjadi vasal Majapahit, termasuk wilayah pesisir Kalimantan. Tidak menutup kemungkinan para pedagang dari Majapahit yang datang ke Negara Daha dan wilayah lain di Kalimantan adalah pedagang Muslim. Menurut Yusliani Noor, hal ini ditunjukkan dengan bukti-bukti arkeologis nisan bercorak Islam di barat Kalimantan, kawasan Tanjungpura, yang bercorak Majapahit. Sekar Sungsang sendiri bahkan diduga kuat adalah pemeluk Islam yang berupaya membangun pusat kuasa Islam di Banjarmasin, sekitar Negara Daha. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 108)   

            Salah satu anak Sekar Sungsang bernama Raden Sira Panji Kesuma. Kemungkinan besar Sira Panji telah memeluk Islam. Untuk menghindarkan intrik istana Dipa dan Daha, ia diberi sebuah wilayah yang dihuni oleh etnis Ngaju. Bersama dengannya, etnis ini bersedia membangun komunitas baru di kawasan Muara Bahan dan Kahuripan yang mereka sebut Bakumpai. Dua kawasan ini sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Jawa, Melayu, Makassar, Wajo, Gujarat, dan Cina.

            Sangat mungkin antara akhir abad 15, etnis Bakumpai yang dipimpin Sira Panji Kesuma telah memeluk agama Islam. Pembentukan Islam sebagai identitas etnis ini tentulah memerlukan proses yang lama. Sebagai pemimpin Biaju atau Ngaju, Sira Panji Kesuma memiliki hubungan kekerabatan dengan Raden Sekar Sungsang. Friksi berbagai kepentingan, termasuk kuatnya pengaruh Hindu-Budha di kalangan kerabat Negara Daha, menyebabkan Sira Panji Kesuma membangun komunitas sendiri di Rantauan Bakumpai. Daerah tersebut kemudian menjadi sebutan untuk identitas etnisnya, yakni etnis Bakumpai.

            Meskipun telah memeluk Islam, Raden Sira Panji Kesuma tidak menampilkan kerajaan baru. Kepemimpinannya masih berada dalam wilayah kekuasaan Negara Daha. Oleh sebab itu, Sira Panji dan komunitas Bakumpai awal tidak membangun masjid dan tidak menampilkan simbol-simbol Islam lainnya. (Islamisasi Banjarmasin, hlm. 116-117)   

            Hubungan antara Majapahit dan Kalimantan dimanfaatkan oleh orang-orang Islam sebagai jalur dakwah ke pulau ini. Bandar dagang Majapahit di pesisir utara Jawa, seperti Gresik dan Tuban, telah lama didatangi oleh mubaligh Islam yang juga pedagang bangsa Arab. Datang pula mubaligh dan pedagang dari Aceh dan Malaka. Para pedagang Muslim memanfaatkan jalur dagang Jawa-Kalimantan yang sudah lama terbangun bahkan sejak sebelum Majapahit berdiri. Dengan pelan namun pasti, terbangunlah komunitas Muslim di pesisir Kalimantan.

            Pada 1470, Raden Paku atau Sunan Giri putra Maulana Ishaq yang saat itu masih berumur 23 tahun berlayar ke Kalimantan dan tiba di Muara Bahan. Kedatangannya sebagai mubaligh sambil membawa barang dagangan dengan tiga buah kapal bersama juragan Champa yang terkenal bernama Abu Hurairah. Sesampainya di pelabuhan, datanglah penduduk berduyun-duyun membeli barang dagangannya. Kepada penduduk miskin, barang-barang itu diberikannya gratis. (Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 386)

            Penyebaran Islam di kalangan penduduk Banjarmasin dilakukan dengan hati-hati dan bijak. Para mubaligh berusaha tidak menyinggung perasaan penduduk yang masih beragama Hindu-Budha dan sangat fanatik kepada Majapahit. Begitu fanatiknya, hingga muncul doktrin di kalangan mereka, “Jangan meniru adat istiadat bangsa lain kecuali adat istiadat Majapahit.” Akan tetapi setelah zaman Majapahit berakhir dan lahir Kerajaan Demak, fanatik mereka beralih kepada Demak. Mereka memandang Demak sebagai mercu suar. (hlm. 390) Wallahu a‘lam.     

 

Ust. Isa Anshari